Madani

Tentang Kami

Madani Insight: Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Madani Insight: Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Dalam kajian ini, Madani menyandingkan definisi hutan, deforestasi, degradasi, metodologi perhitungan deforestasi, dan angka deforestasi dari beberapa lembaga, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan beberapa lembaga masyarakat sipil (CSO) serta menyoroti poin-poin pertentangan (Poin Pertentangan) dari berbagai lembaga tersebut.

Dalam mendefinisikan hutan, salah satu poin pertentangan utama adalah batas minimal tutupan tajuk untuk dapat dikatakan sebagai hutan, yakni antara 10% dan 30%. Poin pertentangan lain adalah pengkategorian Hutan Tanaman ke dalam kategori kelas lahan hutan. Beberapa CSO dalam kajian ini berpandangan bahwa Hutan Tanaman seharusnya tidak masuk ke dalam kelas lahan hutan karena sifatnya yang monokultur dan lebih mirip perkebunan kayu. Masuknya Hutan Tanaman ke dalam kelas lahan hutan juga dikhawatirkan dapat menutupi penggundulan hutan alam yang dikonversi menjadi Hutan Tanaman, terutama Hutan Tanaman Industri, yang merupakan salah satu pendorong hilangnya hutan alam di Indonesia.

Poin pertentangan lain adalah dikotomi hutan alam menjadi hutan alam primer dan sekunder di mana perlindungan hutan alam sekunder lebih lemah dibandingkan hutan alam primer. Beberapa lembaga masyarakat sipil dalam kajian ini mendorong perlindungan hutan alam secara keseluruhan, terutama dalam konteks penghentian pemberian izin baru, tanpa mendikotomikannya menjadi hutan alam primer dan sekunder.

Poin pertentangan selanjutnya adalah definisi hutan primer yang berbeda antara KLHK dan GFW (Global Forest Watch), di mana GFW menggunakan istilah hutan primer yang definisinya lebih luas daripada KLHK dengan nilai deforestasi yang mendekati nilai deforestasi hutan alam KLHK secara keseluruhan.

Dalam mendefinisikan deforestasi, beberapa lembaga masyarakat sipil menentang penggunaan istilah deforestasi netto yang menjadi penekanan dalam komunikasi publik pemerintah. Selain karena hilangnya hutan di satu tempat tidak bisa digantikan dengan penanaman hutan di tempat lain, definisi ini juga dikhawatirkan dapat menutupi penggundulan hutan alam untuk dikonversi menjadi hutan tanaman, terutama hutan tanaman industri.

Terkait angka deforestasi, angka deforestasi hutan alam versi KLHK dari tahun 2006-2018 jauh lebih rendah dibandingkan angka deforestasi hutan alam yang dipublikasikan oleh FWI (Forest Watch Indonesia). Data KLHK menunjukkan bahwa tren deforestasi bruto maupun deforestasi hutan alam menurun pada periode 2006-2018. Sebaliknya, data FWI menunjukkan tren peningkatan laju hilangnya hutan alam pada periode yang sama.

Untuk 3 periode (2011-2012, 2012-2013, dan 2013-2014), angka deforestasi hutan alam KLHK hampir sama dengan angka Primary forest loss yang dikemukakan GFW. Baik data KLHK maupun GFW menunjukkan tren laju deforestasi hutan alam yang menurun dalam periode 2006-2018. Akan tetapi, jika data KLHK menunjukkan tren deforestasi bruto yang menurun pada 2006-2018, data Tree Cover Loss dari GFW justru menunjukkan tren meningkat pada periode 2006-2018. Namun, perlu dicatat bahwa definisi Tree Cover Loss dan deforestasi tidak dapat dipertukarkan.

Dalam uji silang antara data spasial dan statistik yang dipublikasikan KLHK, analisis Madani mengkonfirmasi kecocokan nilai deforestasi bruto, namun tidak dapat mengkonfirmasi kecocokan nilai deforestasi hutan alam dan deforestasi netto karena keterbatasan data hilangnya hutan alam dan data reforestasi.

Terakhir, terdapat pertanyaan yang belum terjawab mengenai perbedaan definisi deforestasi hutan alam yang digunakan dalam Buku Deforestasi dengan definisi yang digunakan untuk menyusun FREL untuk REDD+. Terdapat selisih yang cukup besar di antara angka deforestasi hutan alam hasil rekalkulasi KLHK dengan angka deforestasi hutan alam yang digunakan untuk menyusun FREL untuk REDD+ di mana angka deforestasi hutan alam untuk FREL lebih tinggi dibandingkan dengan angka deforestasi hutan alam yang terdapat dalam Buku Deforestasi KLHK pada periode yang datanya tersedia dan bersinggungan, yaitu 2006-2009, .2009-2011, dan 2011-2012.

Beberapa lembaga yang memiliki perhatian mengenai isu ini dan memiliki data serta kesimpulan yang berbeda perlu duduk bersama dan membuka panel metodologi serta sumber data masing-masing agar publik dapat memperoleh informasi yang lebih jernih terkait status dan kondisi hutan Indonesia terkini serta dapat menilai keberhasilan Indonesia dalam mengurangi deforestasi secara lebih objektif.

Dapatkan informasi lebih lengkap terkait dengan Madani Insight: Mengurai Benang Kusut Deforestasi dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat. 

Related Article

Webinar Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Webinar Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Sekarang Indonesia sedang berada dalam situasi terancam oleh pandemi covid-19 dan juga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Jika Covid-19 menyerang kesehatan manusia khususnya pada saluran pernapasan, begitu juga dengan karhutla. Selain merusak lingkungan, asap yang ditimbulkan karhutla juga sama-sama menyerang kesehatan manusia. Bermula dengan sesak napas, sakit tenggorokan, kerusakan pada paru-paru, bahkan efek dari asap tersebut mampu menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia. Fungsi kekebalan tubuh yang menurun akhirnya berujung pada semakin rentannya seseorang terserang covid-19. Kedua ancaman ini jelas tidak bisa pandang sebelah mata.

Keresahan tersebut menjadi topik dalam Indonesian Forest Forum yang diinisiasi oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari mengangkat diskusi virtual yang bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat”. 

Dalam acara ini, hadir Nila Moeloek (Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2014-2019) sebagai pembicara kunci. Hadir pula Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang juga Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, serta Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin. Turut hadir pula Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, dan Perwakilan Yayasan Alam Sehat Lestari, drg.Monica Nirmala. 

Dalam kesempatan yang sama, dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) mewakili lebih dari 500 tenaga kesehatan professional Indonesia membacakan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk cegah kebakaran hutan dan lahan. 

Dapatkan materi diskusi “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Jakarta, 24 September 2020 – Surat terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang ditandatangani lebih dari 500 tenaga kesehatan professional Indonesia dibacakan oleh dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari pada Kamis, 24 September 2020. Turut hadir sebagai pembicara drg. Monica Nirmala, MPH (Senior Public Health Advisor Yayasan ASRI), Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan), Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB), dengan moderator Wahyu Dyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo). Acara tersebut dibuka oleh Prof. DR. dr. Nila Moeloek, Sp. M (K) (Menteri Kesehatan RI 2014-2019) sebagai Keynote Speaker.

Acara webinar yang dihadiri 234 peserta ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk merespon potensi bencana ganda Covid-19 dan kebakaran hutan dan lahan, berupa seruan para profesional kesehatan Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di era pandemi ini. Inisiatif ini didorong oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo. Sampai acara ini diselenggarakan, sudah lebih dari 500 tenaga kesehatan profesional yang mendukung dan menandatangani surat tersebut.

“Saya sangat berterima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang sudah meluangkan waktu untuk mendukung dengan menandatangani surat terbuka ini di tengah padat dan sibuknya mereka dalam berjuang menghadapi badai pandemi Covid-19 ini. Persoalan kesehatan masyarakat harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi secara umum adalah upaya terintegrasi menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Jangan sampai di situasi Covid-19 yang sudah rumit seperti saat ini, kesehatan masyarakat semakin terbebani dengan bencana asap karhutla. Saat ini boleh dikatakan kita beruntung karena musim kemarau tidak sekering dan selama biasanya. Ke depannya, mari kita terus jaga hutan kita, demi Indonesia yang lebih sehat,” ujar drg. Monica Nirmala.

Hal yang sangat meresahkan adalah jika penyebaran virus Covid-19 terjadi berbarengan dengan kebakaran hutan dan lahan, di mana keduanya bisa berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Beban rumah sakit saat ini sudah cukup berat akibat Covid-19, dan kondisinya bisa semakin parah jika jumlah pasien bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan. Fokus penanganan bencana oleh pemerintah daerah juga akan terbelah sehingga tidak optimal.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Nila Moeloek dalam pidatonya saat membuka acara webinar, “asap ini bisa dari rokok, bisa dari kebakaran hutan, akhirnya akan mengganggu paru-paru. Dan paru-paru ini akan mengirup oksigen. Kita mengharapkan oksigen yang dengan mudah masuk paru-paru untuk bernapas, tapi ternyata virus (Covid-19) ini beresiko lebih besar saat paru-paru terganggu akibat kebakaran hutan.”

Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 64.600 hektare area terbakar yang terjadi selama periode Januari-Juli 2020. Analisa dari MADANI Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa ada terjadi perluasan area potensi terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus. Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.

Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya, data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari. Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.

Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.

“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di suatu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut. Sehingga diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla,” kata Teguh Surya.

Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat. RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.

RUU Cipta Kerja  ini perlu dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, wakil rakyat serta K/L yang berkepentingan dalam merumuskan RUU tersebut, untuk kemaslahatan umum. Bahwa akan sangat merugikan jika RUU disahkan. Dalam kajian MADANI menjelaskan bahwa hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsiyang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh  hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Husa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi. Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya. 

Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, kesehatan, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita. Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi. Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat.

—###—

 

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:

Image Dynamics

Ayunda Putri
08122001411
ayundapputri@gmail.com

Related Article

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Tidak dapat dimungkiri bahwa, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini. Tahun demi tahun karhutla berulang,  tidak ada jaminan bahwa karhutla akan berhenti secara permanen dan tidak akan terjadi di tahun-tahun ke depan.

Khusus untuk tahun ini, -maka jika karhutla terjadi, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan menghadapi dua bencana sekaligus. Karhutla dan pandemi COVID-19 yang hingga tulisan ini dibuat, masih terus merebak dengan korban jiwa dan penderita yang terus bertambah.

Terkait penanganan COVID-19, belum lama ini Universitas Oxford di Inggris memberikan rapor merah kepada Pemerintah Indonesia, mengacu pada empat indikator penilaian berikut: respons pemerintah secara umum (Overall Government Response Index), upaya penanggulangan dan kesehatan (Containment and Health Index), penegakan social distancing (Stringency Index), dan dukungan ekonomi (Economic Support Index).

Hasilnya, Indonesia hanya mendapatkan nilai indeks 43,91 yang artinya nilai tersebut setara nilai D (di bawah nilai 50). Berkat penilaian tersebut, Indonesia menempati posisi terendah di antara negara ASEAN, bahkan nilai Indonesia kalah jauh dari Kamboja. Lalu bagaimana jika bencana karhutla terjadi terjadi bersamaan? Banyak pihak yang meragukan kemampuan pemerintah menghadapi double disasters ini.

Mengkaji Ancaman Karhutla di Indonesia

Kita masih dapat memaklumi jika karhutla bersumber dari kejadian alam, seperti fenomena El Nino, yang dapat memantik api di lahan yang sudah mengering. Namun, pada kenyataannya permasalahan karhutla yang menahun, bersumber dari ulah manusia itu sendiri.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99% penyebab terjadinya karhutla di Indonesia adalah ulah manusia yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata. Karhutla telah menjadi persoalan multi dimensi. Tidak hanya pada kerugian lingkungan, tetapi kerugian negara dan masyarakat.

Seperti dari sisi kesehatan masyarakat. Karhutla 2019 menyebabkan 900 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kajian “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” dari tim peneliti Harvard University dan Columbia University mengungkap, jika pengendalian karhutla masih berjalan apa adanya (business as usual) maka angka kematian dini akan mampu mencapai 36 ribu jiwa di seluruh wilayah terdampak, untuk periode 2020 hingga 2030.

Penelitian ini memperkirakan, dari total angka kematian dini akibat korban paparan asap itu, 92 persen akan terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura. Demikian pula dari sisi ekonomi, karhutla menyebabkan kerugian besar. Kajian Bank Dunia menyebut Indonesia mengalami kerugian dari karhutla sebesar USD5,2 milyar (Rp72,9 trilyun) setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum termasuk korbanan non materi yang tidak dapat dihitung, seperti hilangnya opportunity time ratusan ribu anak-anak yang terganggu sekolahnya dan menikmati kehidupan yang sehat.

Pentingnya Membenahi Tata Kelola

Menurut hemat penulis persoalan karhutla tidak bisa dilihat dari persoalan teknis pemadaman api semata. Ia mencakup persoalan yang lebih luas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan tata kelola adalah dalang dari karhutla. Ia mencakup, mulai dari persoalan transparansi data, anggaran, dan penegakan hukum para pelaku karhutla. Buruknya kejadian karhutla pun mengindikasikan buruknya tata kelola hulu ke hilir. Membenahinya tentunya menjadi tantangan tersendiri, -sulit, tapi bukannya tidak mungkin.

Penulis akan menjelaskan pokok-pokok persoalan tata kelola yang perlu menjadi perhatian khusus, seperti diuraikan di bagian berikut: 

Pertama, transparansi data dan informasi karhutla. Kemudahan masyarakat dalam mengakses data karhutla adalah hak dasar yang harus disediakan oleh pemerintah. Patut diapresiasi bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyediakan SiPongi sebagai portal penyedia data karhutla. Namun, selanjutnya masih butuh kolaborasi dari media massa dan para pihak agar informasi yang disampaikan itu tepat dan akurat, tidak simpang siur, yang dapat memunculkan bias perbedaan data.

Untuk hal ini, perkembangan pesat teknologi citra satelit harus terus dipakai secara kontinyu untuk monitoring kemunculan lokasi titik api atau area potensi terbakar secara akurat. Secara khusus pemantauan harus terus difokuskan pada area yang memiliki sejarah rawan karhutla di masa silam, termasuk area-area konsesi dan lahan masyarakat yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Kedua, partisipasi dan kolaborasi. Permasalahan karhutla tersebar pada banyak sektor yang saling bergantung satu sama lain. Untuk itu, partisipasi dan kolaborasi dari banyak pihak adalah sebuah keniscayaan. Termasuk di dalamnya, sinergitas para petugas pemadam api yang mencakup para pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah, hingga level tapak, harus satu visi, misi, dan strategi.

Ketiga, persoalan pengukuran kinerja. Salah satu regulasi yang harus dirombak adalah tentang indikator keberhasilan penanganan karthula. Seharusnya indikasi keberhasilan penanganan karhutla bukan lagi berpedoman pada serapan alokasi anggaran karhutla. Namun pada kinerja dan prestasi pemadaman api. Pun, pada penyiapan struktur masyarakat dan peralatan sebelum karhutla terjadi.

Suatu instansi maupun lembaga saat ini akan dicap tidak bekerja dengan baik apabila serapan anggaran penanganan karhutla menurun. Alhasil, semua instansi saling berpacu dalam menghabiskan  anggaran, bukan lagi mengacu pada efektivitas penanganan karthutla. Sungguh, mekanisme seperti ini sudah tidak relevan dan harusnya diganti.

Keempat, pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa karhutla sering kerap terjadi di lahan dan konsesi. Hal ini tak lepas dari paradigma sebagian pengusaha untuk terus mencari keuntungan dengan korbanan paling minimal. Opsi membakar lahan pun lalu menjadi pilihan. Pada saat ketahuan, mereka berkelit saat ditindak, dan menimpakan detik kesalahan pada pihak lain.

Pengawasan dan penegakan hukum yang tajam dan tanpa pandang bulu tentu menjadi kunci untuk mengatasi ini. Saat area terbakar, sedini mungkin investigasi kasus dan pemberian sanksi, -baik administratif dan hukum, harusnya dapat segera dimulai.

Kejahatan karhutla harus ditempatkan dalam konteks kejahatan kepada kemanusian. Ia bukan hanya kejahatan sektoral. Untuk memberi efek jera maka sanksi hukum maksimal perlu diberlakukan, termasuk kepada korporasi pelanggar. Tidak saja pada pelanggar di tingkat perorangan.

Kita harus tetap menjaga momentum bahwa Indonesia menjadi negara yang mampu mengurangi laju deforestasi (dan juga karhutla). Bukan saja untuk menjadi baik di mata dunia, tetapi terlebih penting adalah untuk menjaga keselamatan bangsa kita sendiri.

Oleh: Delly Ferdian

Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat oleh portal Mongabay Indonesia pada 21 September 2020.

Related Article

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 20 September 2020] September 2020, Kebijakan Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, atau yang dikenal dengan inpres moratorium sawit telah memasuki usia dua tahun pasca diterbitkan. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah perlu ‘tancap gas’ untuk menyelesaikan berbagai mandat Inpres moratorium sawit dalam memperbaiki tata kelola sawit Indonesia agar dapat menyelesaikan 1053 konflik di perkebunan sawit    serta berkontribusi optimal untuk pemulihan ekonomi nasional.

Dalam konteks terkini, pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi bersama sedikit banyak menjadi faktor eksternal yang berpengaruh terhadap proses pengimplementasian kebijakan. Dengan fokusnya pemerintah pusat dan daerah dalam hal menangani pandemi, maka proses pengimplementasian kebijakan ini agak sedikit tertunda. Harapannya pemerintah dapat menemukan mekanisme kerja implementasi yang lebih adaptif terhadap kondisi pandemi sehingga situasi ini tidak menjadi penghambat yang berarti.

Selama kurun waktu dua tahun, dinamika perkembangan dan capaian yang dilakukan dari Kementerian dan atau Lembaga di pemerintah pusat sampai pemerintah daerah belum memuaskan karena tiadanya capaian-capaian yang signifikan. Di tingkat nasional, pemerintah pusat yang digawangi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah membentuk tim kerja moratorium sawit yang beranggotakan perwakilan antar-kementerian. Tim ini diketahui telah menyelesaikan tutupan luasan sawit di Indonesia yang tertuang dalam Kepmentan No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yakni luas tutupan perkebunan sawit adalah 16,38 juta hektar. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah melakukan validasi data Hak Guna Usaha (HGU) di Kaltim, Kalteng, Sulbar, Papua dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan kawasan/tukar menukar kawasan hutan, telah menetapkan kebun-kebun sawit illegal dalam kawasan hutan serta menyusun rancangan perpres berkenaan dengan tipologi penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan.

Sementara di tingkat Provinsi dan Kabupaten, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara telah merespon kebijakan ini dengan menurunkannya ke dalam aturan di tingkat lokal dalam bentuk Surat Edaran (SE) maupun Peraturan Bupati (Perbup). Sementara daerah yang memiliki komitmen positif terhadap inpres ini terdapat lima Provinsi (Kaltim, Kalbar, Riau, Papua Barat dan Kepulauan Riau) dan enam Kota/Kabupaten (Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin). 

Sejumlah capaian baik ini tidak terlepas dari hambatan dan tantangan pengimplementasian yang perlu diperbaiki ke depan. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa hal diantaranya, Pertama, minimnya sosialisasi kebijakan. Beberapa kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum mengetahui terkait kebijakan ini. Hal ini menunjukkan proses sosialisasi yang kurang baik. Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah yang tidak tersinkronisasi. Pola kerja dalam inpres ini adalah dari daerah ke nasional artinya hasil temuan pemerintah daerah yang nantinya akan dibahas di tim kerja nasional untuk tindaklanjuti. Hal ini yang tidak terjadi. Pemerintah pusat hanya berfokus melakukan penyusunan tutupan luasan sawit. Bahkan strategi implementasi inpres tim kerja nasional dengan menetapkan tujuh provinsi prioritas (Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) tidak sejalan dengan inpres, karena didalam inpres tidak mengamanatkan hal demikian. 

Ketiga, belum adanya peta jalan pengimplementasian inpres moratorium sawit. Beberapa daerah yang semangat menjalankan inpres terkendala soal tidak adanya dokumen rujukan yang dapat menjadi acuan pengimplementasian inpres ini. Sehingga diperlukan hal semacam peta jalan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), termasuk alokasi anggaran yang tidak disebutkan dalam inpres ini.

Keempat, tidak mengedepankan prinsip keterbukaan data. Laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden sangat sulit untuk diakses kelompok masyarakat sipil. Walau tidak ada kewajiban untuk membuka dokumen ini ke publik tapi akan sangat baik jika hal tersebut dilakukan, agar kita dapat melihat proses secara utuh dan memberikan masukan-masukan yang sesuai. Selain itu, tidak adanya update yang diterima masyarakat sipil terkait perpindahan Deputi di Kemenko Perekonomian yang menangani Inpres ini juga sangat disayangkan. Padahal proses transparansi adalah faktor yang penting untuk mengetahui lubang yang selama ini ada dan bersama-sama menambalnya.

Hal lainnya, terkait tutupan luasan perkebunan sawit di Indonesia yang telah dirilis juga tidak menyampaikan detail terkait berapa dan dimana lokasi sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Padahal jika hal ini tertuang dalam tutupan tersebut maka akan sangat memudahkan bagi tim kerja melakukan evaluasi. Sehingga wajar saja, hingga saat ini belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyatakan bahwa terdapat 3,4 juta ha perkebunan sawit didalam kawasan hutan, namun faktanya hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait penyataan tersebut perihal dimana lokasinya, dimiliki oleh siapa apa dan bagaimana proses tindaklanjutnya.

Kelima, pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Artinya pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut. Dalam kacamata pemerintah peningkatan produktivitas hanya terbatas pada Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semata dengan memanfaatkan dana BPDP-KS. Yang mana realisasinya program ini masih minim, pada 2020 hanya seluas 20.469 ha atau 11,37% dari target yang telah ditetapkan.

Selain itu di sisi ekonomi, kontribusi sawit terhadap daerah masih dirasa kurang berdampak. Hal ini dikarenakan belum adanya skema bagi hasil yang berimbang antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat. Sistem pembagian hasil seperti ini tidak setara dengan dampak dari pengelolaan perkebunan sawit seperti kerusakan infrastruktur akibat pengangkutan CPO hingga kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air, tanah, dan udara, serta Karhutla.

Sejumlah catatan kritis di atas diharapkan dapat menjadi perhatian para penerima mandat dalam inpres ini.  Kami dari koalisi masyarakat sipil merekomendasikan beberapa hal diantaranya :

  1. Respon positif pemerintah daerah baik di tingkat provinsi/kabupaten/kota perlu disambut baik oleh pemerintah pusat dengan mensinergikan kerja-kerja serta memfasilitasi dengan menyiapkan aturan teknis implementasi inpres (juklak atau juknis)termasuk alokasi anggaran.
  2. Adanya target dan program peningkatan produktivitas oleh pemerintah yang lebih jelas dan terukur serta memiliki waktu dan lokasi (kabupaten/kota) pencapaian target tersebut.
  3. Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan perkebunan sawit.
  4. Melibatkan lintas stakeholder untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, seperti organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas keagamaan.
  5. Adanya skema dana bagi hasil yang berkeadilan antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat agar daerah memiliki dorongan untuk mengawasi dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan.
  6. Membuat peta jalan (road map) satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Hal ini diperlukan untuk mengefektikan proses moratorium sawit sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran.
  7. Pembahasan RUU Cipta Kerja semestinya tidak menjadi alasan bagi Pemerintah untuk menunda pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Penyelesaian moratorium dengan fokus terhadap konsolidasi data dan review perizinan harus menjadi langkah awal untuk menuntaskan permasalahan tata kelola perkebunan.
  8. Tidak memprioritaskan wilayah tertentu dalam pengimplementasian kebijakan inpres moratorium sawit, melainkan seluruh wilayah di Indonesia yang memiliki sawit.

Jika pemerintah masih menggunakan pendekatan dan strategi yang sama dalam menjalankan tugas dan amanah didalam inpres ini, maka perbaikan tata kelola sawit yang di impikan selama ini akan sangat sulit tercapai di waktu yang sempit ini. Koalisi Masyarakat Sipil melihat perpanjangan inpres moratorium sawit untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit Indonesia adalah sesuatu hal relevan dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dengan catatan harus memiliki capaian-capaian yang terukur dalam segala aspek serta turut mensinkronisasikan dan mengkonsolidasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan perbaikan tata kelola sawit, seperti misalnya dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN PSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal review perizinan serta bersama dengan ISPO dan RSPO dalam hal peningkatan produktivitas dan standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui mekanisme sertifikasi.

###

Atas Nama Koalisi Masyarakat Sipil :

Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan,

Forest Watch Indonesia dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

 

Narahubung :

Abu Meridian_Direktur Eksekutif Kaoem Telapak (082311600535 / abu.meridian@kaoemtelapak.org

Adrianus Eryan_Indonesian Center For Environmental Law (081386299786 / adrianuseryan@gmail.com)

Agung Ady Setiyawan_Perkampanye Forest Watch Indonesia (085783517913 / agung_ady@fwi.or.id )

Inda Fatinaware_Direktur Eksekutif Sawit Watch (0811448677 / inda@sawitwatch.or.id)

Teguh Surya_Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan (081294801453 / teguh@madaniberkelanjuan.id)

Related Article

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa berencana menaikkan target pemangkasan emisi karbonnya dari 40% menjadi 55% di 2030. Target ini untuk mencapai tujuan utamanya yaitu nol emisi pada 2050, dan memperkuat statusnya sebagai pemimpin global dalam mencegah perubahan iklim.

Target ini masih dalam pembicaraan dan dapat berubah. Rencana ini membutuhkan persetujuan dari pemerintah negara-negara dan parlemen Uni Eropa. Pemotongan emisi dapat terjadi jika semua negara sepakat untuk memotong emisi karbon dioksida dari sektor industri dan pembangkit listrik. 

Di saat yang sama, Jerman akan menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung. Tahun depan Jerman akan menghentikan secara bertahap energi nuklir dan batu bara, sambil meningkatkan investasi energi terbarukan. Tahun lalu Jerman telah menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung menjadi 25 euro per ton. Langkah tersebut dilakukan setelah Partai Hijau mengkritik harga awalnya yang hanya 10 euro terlalu murah. 

Dampak Harga Karbon Terhadap Emisi Laporan World Economic Forum pada 4 September 2020 menunjukkan hubungan penetapan harga karbon terhadap emisi. Dengan menaikkan harga karbon 1 euro per ton maka terjadi penurunan emisi sebesar 0,3%. Negara-negara yang memakai harga emisi karbon memiliki laju pertumbuhan emisi tahunan 2 poin lebih rendah dibandingkan yang tanpa harga karbon. Tingkat pertumbuhan emisi tahunan rata-rata untuk 142 negara adalah 2%. Rata-rata emisi CO2 turun 2% per tahun selama 2007 sampai 2017 di negara yang memiliki harga karbon. Di negara yang tanpa harga tersebut terjadi peningkatan emisi sebesar 3% per tahun. Perbedaan antara kenaikan 3% dan penurunan 2% per tahun adalah lima poin secara persentase. 

Studi World Economic Forum menemukan sekitar dua poin persentase itu disebabkan oleh harga karbon.  Indonesia mengantongi dana US$ 103,8 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dari Green Climate Fund karena mampu mengurangi emisi gas hingga 20,3 juta ton pada periode 2014 sampai 2016. Dana ini berasal dari skema pembayaran berdasarkan hasil (RBP) dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dana ini nilainya paling besar dibandingkan dengan negara lain dalam skema serupa.

Pemberian dana bagi Kolombia dan Ekuador tercatat paling rendah. Keduanya baru mengurangi emisi gas masing-masing 7 juta ton dan 3,6 juta ton. Negara ini berpotensi memperoleh tambahan dana US$ 160 juta untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund Berdasarkan data KLHK, capaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2017 mencapai 24,7%. Sesuai arahan Presiden, dana-dana REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. 

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh materi yang terlampir di bawah ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

RUU Masyarakat Adat Menyatukan Keberagaman, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Memperkuat Prinsip-prinsip Kebangsaan

RUU Masyarakat Adat Menyatukan Keberagaman, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Memperkuat Prinsip-prinsip Kebangsaan

[Jakarta, 9 September 2020] Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta agar Pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Perwakilan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian ATR/BPN RI, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan mendukung percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam paparannya pada Talkshow RUU Masyarakat Adat dengan tema #SahkanRUUMasyarakatAdat yang dilaksanakan pada 9 September 2020.

Rukka Sombolinggi,Sekretaris Jenderal AMAN menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat dimaksudkan untuk menjembatani hubungan antara Masyarakat Adat dan negara agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Effendy Buhing di Laman Kinipan Lamandau karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya.

Apalagi saat pandemi ini membuktikan bahwa masyarakat adat mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan,” kata Rukka.

Namun Draft RUU Masyarakat Adat ini masih jauh dari harapan, karena masih belum mampu menjawab permasalahan terkait Masyarakat Adat. “Perlu untuk menambahkan klausul restitusi dan rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen,” tambah Rukka. “Serta penting untuk memastikan bahwa dalam RUU ini perlu mengatur perlindungan terhadap perempuan adat.”

Pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat.

Demikian pula pemerintah harus mencegah pengusiran Masyarakat Adat atas ruang hidupnya, melindungi Masyarakat Adat dari perampasan tanah oleh korporasi dan kebijakan pemerintah, dan memberikan pengakuan atas keberadaan beserta hak-haknya.

Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah. Pengakuan harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN menekankan perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi Masyarakat Adat menjadi jelas. “Selain itu, penting juga menambahkan hak kolektif perempuan adat secara spesifik diatur dalam UU Masyarakat Adat,” ungkap Devi.

Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan Huma meminta pemerintah agar melihat kembali TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang memandatkan penyelesaian konflik agraria termasuk di wilayah Masyarakat Adat.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyatakan bahwa Permendagri No. 52 Tahun 2014 adalah hasil kesepakatan lintas kementerian dan lembaga yang prosesnya difasilitasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu. “Permendagri ini adalah kesepakatan untuk menerobos biaya yang sangat besar dan proses politik yang rumit di tingkat daerah, dengan cukup lewat SK Bupati atau SK Gubernur untuk penetapan keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya. Maka seharusnya KLHK mengikuti kesepakatan itu,” kata Abdon.

Selain itu, One Map Policy harusnya memasukkan peta wilayah adat bersama peta-peta lainnya. Dengan One Map Policy, seharusnya seluruh tumpang tindih akan terlihat. Namun sayangnya One Map Policy sendiri saat ini menjadi tertutup, dan hanya bisa diakses oleh pejabat-pejabat pemerintah. Demikian pula Wali Data untuk wilayah adat sampai hari ini belum ada kejelasan. Karena itu, lewat Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini bisa memperjelas bagaimana mekanisme penyediaan peta dan Wali Datanya,” tambah Abdon.

Hingga saat ini, sudah terpetakan wilayah adat yang dikonsolidasikan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) seluas 11,1 juta Ha dan sudah diserahkan kepada walidata di Kementerian terkait. Peta-peta dan data tersebut merupakan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun lokal.

Ini membuktikan bahwa Masyarakat Adat sungguh-sungguh mendorong Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) sebagai dasar untuk menata ulang pembangunan nasional yang selama ini penuh konflik, tumpang tindih ruang maupun kerusakan lingkungan” ujar Deny Rahadian, Koordinator Nasional JKPP.

Untuk itu, Koalisi juga menuntut agar Kementerian ATR/BPN mengedepankan prinsip transparansi dengan membuka data HGU dalam penyelesaian konflik agraria di wilayah adat, serta mengembalikan tanah-tanah adat yang dirampas oleh korporasi,” kata Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik WALHI.

Demi terwujudnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta seluruh hak konstitusionalnya, penyusunan RUU Masyarakat Adat bersama masyarakat menjadi prioritas DPR RI saat ini. RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat bukan saja membantu DPR RI dalam proses penyusunan, melainkan proses membangun demokratisasi rakyat dalam pembentukan perundang-undangan yang lebih baik.

Menunda-nunda pengesahan RUU Masyarakat Adat berarti negara telah gagal melindungi masyarakat adat. Pemerintah harus tahu adat dalam bernegara.” kata Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. [ ]

oooOOOooo

Koalisi KOALISI CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari 30 koalisi yang terdiri dari AMAN, BRWA, Debtwatch Indonesia, Epistema, Forum Masyarakat Adat Pesisir dan pulau-pulau kecil, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, Kemitraan, Koalisi Perempuan Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Lakpesdam, Yayasan Madani Berkelanjutan, Lokataru, merDesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia (YPII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, RMI, Sawit Watch, Satu Nama, Walhi, Yayasan Jurnal Perempuan, YLBHI, BPAN, Kaoem Telapak, KP-KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan EcoNusa.

Kontak Media:

Luluk Uliyah, 0815 1986 8887

Muntaza 0822 1325 6387

Edo Rahman, 0813-5620-8763

Related Article

Panja DPR Sepakat RUU Masyarakat Adat Jadi Usul Inisiatif DPR

Panja DPR Sepakat RUU Masyarakat Adat Jadi Usul Inisiatif DPR

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan sebanyak 8 dari 9 fraksi di DPR RI menyatakan sepakat RUU Masyarakat Adat menjadi usul inisiatif DPR.

Kesepakatan itu diambil dalam rapat Pleno Panja RUU tentang Masyarakat Adat yang dilaksanakan di kompleks DPR RI di Jakarta, Jumat. Dari 9 fraksi yang ada di DPR RI, hanya Fraksi Partai Golkar yang belum bersikap atas RUU Masyarakat Adat tersebut.

Sebelum disahkan pada rapat pleno di Badan Legislasi, Panja RUU Masyarakat Adat telah melakukan seluruh prosedur pembahasan. Prosedur tersebut mulai dari harmonisasi, pembulatan, sampai pemantapan konsepsi yang dilakukan secara intensif dan mendalam dalam rapat-rapat secara fisik maupun virtual mulai 16 April, 22 April, dan 6 Juli 2020.

Ada 14 hal pokok yang mengemuka dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU ini seperti pengaturan norma, penambahan substansi dan penambahan bab baru. RUU tersebut akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. 

Setelah itu DPR akan mengirimkan surat kepada pemerintah agar Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Masyarakat Hukum Adat segera diserahkan ke DPR. RUU Masyarakat Hukum Adat terdiri dari 17 BAB dan 58 pasal dan telah masuk RUU Prolegnas prioritas 2020 serta diusulkan Fraksi Partai NasDem.

Dapatkan pemberitaan media edisi 31 Agustus sampai 6 September 2020 dengan mengunduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

[Jakarta, 07 September 2020] Di tengah krisis multidimensi ini, KPU seharusnya melakukan upaya lebih untuk mendorong masyarakat memilih kandidat kepala daerah yang bersih dari rekam jejak kasus korupsi – termasuk korupsi terkait sumber daya alam – serta kandidat yang memiliki komitmen kuat untuk tidak terlibat dalam pusaran politik uang seperti praktik perburuan rente dan obral perizinan sebelum hingga pasca Pilkada berlangsung. Selain itu, KPU selayaknya membuka dan mempublikasikan rekam jejak para kandidat secara transparan dan menyeluruh.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi perhelatan akbar kontestasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Saat ini Pilkada Serentak 2020 memasuki tahapan penting, yaitu pendaftaran calon Kepala Daerah. Dan pada 23 September 2020 adalah penetapan pasangan calon kepala daerah.

Dalam situasi Pandemi ini, pilkada harus menjadi momentum lahirnya pemimpin yang tangguh yang pro-lingkungan. Terutama tangguh dalam membawa daerah yang dipimpinnya dalam menghadapi krisis saat ini dan yang mungkin akan datang di kemudian hari. Memilih kandidat yang berwawasan lingkungan (baca; menjalankan amanat konstitusi) adalah keniscayaan untuk saat ini,” tegasnya.

Tidak dapat dimungkiri, pada tahapan ini, peran partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memilih dan menyaring kandidat terbaik begitu sentral dan menjadi sorotan. Masyarakat menginginkan partai politik dan KPU memilih orang-orang terbaik yang tidak hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintah, tapi juga memiliki wawasan dan komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan.

Sudah saatnya di tengah krisis multidimensi yakni krisis kesehatan akibat pandemi Covid19 yang diikuti oleh krisis ekonomi serta krisis lingkungan yang sedang di depan mata, partai politik memerankan fungsi rekrutmennya dengan baik,” ujar Teguh.

Tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah pada 4-6 September telah dilalui dengan baik, kita patut apresiasi. Namun, di tengah krisis seperti saat ini, pilkada haruslah menjadi jawaban bukan malah menjadi beban. Jawaban tersebut tentu salah satunya dimulai dari sikap partai politik yang melabuhkan pilihannya terhadap orang-orang terbaik yang siap untuk bertarung dalam kontestasi demi melakukan lompatan di kemudian hari,” tambahnya.

Teguh Surya juga menyebut bahwa pilkada tahun ini sangat berbeda dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya. Pandemi telah mengubah segalanya dan partai politik wajib memperhatikan hal tersebut. “Pilkada tahun ini haruslah menghasilkan para pemimpin yang punya visi besar dalam membangun daerahnya dalam masa pemulihan dan juga punya wawasan serta komitmen yang kuat untuk menyelesaikan permasalah lingkungan yang hampir tak terbendung,” tambahnya.

Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Arief Virgy mengatakan bahwa saat ini telah terjadi kerusakan lingkungan yang cukup mengkhawatirkan, di antaranya penyusutan luasan tutupan hutan Indonesia.

Kita sangat tahu bahwa hutan alam Indonesia memiliki berbagai fungsi baik fungsi ekologis maupun ekonomi. Sungguh sangat disayangkan jika hutan semakin tergerus yang artinya masa depan yang lebih baik semakin memudar,” sebut Virgy.

Virgy juga mengungkap fakta lainnya yakni makin maraknya ekspansi perkebunan sawit menyebabkan ruang hidup masyarakat semakin terdesak yang berujung pada maraknya konflik agraria. Ekspansi perkebunan sawit juga tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan daerah yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Desa Membangun beberapa daerah sentra sawit yang masih rendah.

Belajar dari pilkada serentak 2018, analisis Madani menunjukkan bahwa dari 17 pemenang pilkada provinsi, hanya 3 kepala daerah yang menyebutkan masalah lingkungan spesifik yang akan diatasi sementara sisanya hanya menyebutkan isu pelestarian lingkungan tanpa program khusus. Lebih memprihatinkan lagi, hampir tidak ada Gubernur-Wakil Gubernur terpilih yang memiliki platform khusus untuk mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat di daerah mereka termasuk di wilayah yang memiliki jumlah masyarakat adat yang besar.

Madani telah bersurat kepada 8 pimpinan partai politik besar yang akan bertarung dalam Pilkada 2020 agar mereka memberikan rekomendasi kepada kandidat berwawasan lingkungan, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Hasilnya belum bisa dipastikan, namun sorotan publik saat ini berada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan melakukan verifikasi terhadap calon kandidat. [ ]

Catatan Editor:

Laporan terdahulu MADANI terkait dengan Pilkada dan Hutan Indonesia dapat diunduh di link berikut:

 

Kontak Media:

  • Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453
  • M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0877 0899 4241
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

id_IDID