Madani

Tentang Kami

Analisis Dokumen Visi & Misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 2019-2024

Analisis Dokumen Visi & Misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 2019-2024

Pada awal Oktober 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada publik. Sebagai perwakilan masyarakat sipil, Yayasan Madani Berkelanjutan yang fokus menjembatani antarpihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk memperbaiki keadaan hutan dan gambut Indonesia, telah menyoroti dokumen visi dan misi keduanya secara kritis untuk memahami perspektif dan komitmen calon pemimpin bagi lingkungan hidup. Apa saja persoalan lingkungan yang telah maupun belum diakomodasi pada visi dan misi keduanya, serta komitmen seperti apa yang mesti mereka miliki untuk perbaikan kondisi lingkungan dan masyarakat secara menyeluruh?

Kajian ini memaparkan analisis terhadap dokumen visi dan misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait lingkungan hidup dengan fokus pada lima isu utama, yaitu pengelolaan hutan dan gambut secara berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum, perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, serta energi baru terbarukan (EBT). . Studi ini mengidentifikasi poin-poin program aksi yang ditemukan dalam visi dan misi Prabowo-Sandi yang berkaitan dengan isu-isu tersebut.

Simak laporan selengkapnya dengan mengunduh di bawah ini.

Related Article

COP 24 Katowice: Tingkatkan Ambisi, Hentikan Deforestasi dalam NDC

COP 24 Katowice: Tingkatkan Ambisi, Hentikan Deforestasi dalam NDC

SIARAN PERS
Katowice, Polandia 5 Desember 2018
Dapat disiarkan segera

Yayasan EcoNusa Indonesia, Yayasan Madani Berkelanjutan dan KKI-Warsi menilai tujuan dari Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim yang dirumuskan pada 2015 lalu terancam gagal. Deforestasi yang terus terjadi tiap tahun dan diperkirakan akan terus berlangsung hingga 2030 menjadi salah satu penyebabnya.

Sayangnya, negara-negara pemilik tutupan hutan alam yang luas, seperti Indonesia, Brasil, Republik Demokratik Kongo, Peru, Kolombia, dan Myanmar tidak memiliki rencana untuk sepenuhnya menghentikan deforestasi dan degradasi hutan dalam NDC (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional) mereka. Rencana pengurangan emisi yang tercantum dalam NDC keenam negara tersebut pada kenyataanya masih mengandung deforestasi terencana yang tinggi. Di beberapa negara, tingkat deforestasi bahkan direncanakan akan terus meningkat hingga 2030.

Hal ini terungkap dalam kajian terbaru yang dilakukan oleh Rainforest Foundation Norway (RFN) beserta mitranya di keenam negara tersebut. Dalam kajian tersebut, NDC Indonesia dipandang sebagai yang paling jelas dibandingkan kelima negara lainnya karena telah memuat target spesifik yang terkuantifikasi terkait pengurangan emisi dari deforestasi. Meskipun demikian, NDC Indonesia masih memuat deforestasi terencana seluas Belgia pada peride 2021 hingga 2030 atau mencapai 3,25 juta hektare.

“Kami meminta agar dilakukan pengkajian kembali terhadap dokumen NDC Indonesia, terutama terkait sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF). Pembiaran terhadap masih adanya deforestasi bukan hanya berdampak pada upaya global menahan laju perubahan iklim, tapi juga pada ekosistem hutan yang mengandung keanekaragaman hayati yang kaya di dalamnya,” ucap Direktur Yayasan EcoNusa Melda Wita Sitompul dari kawasan penyelenggaran COP 24 di Katowice, Polandia, Selasa (4/12) waktu setempat.

Yayasan EcoNusa memandang penting adanya upaya menahan laju pengurangan tutupan hutan, terutama di wilayah Papua yang saat ini menjadi benteng terakhir hutan alam Indonesia yang menduduki posisi hutan terluas ketiga di dunia. Senada dengan semangat menjadikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi dengan pembangunan berkelanjutan, Yayasan EcoNusa meminta keterlibatan seluruh pihak dalam mewujudkan Indonesia bebas dari deforestasi yang sekarang mengarah ke Tanah Papua.

“Mengacu pada semangat Deklarasi Manokwari, tanggung jawab ini bukan hanya ada di pundak Pemerintah saja. Diperlukan kerja sama dari seluruh pihak, akademisi, sektor swasta hingga negara-negara Donor untuk menciptakan sistem pembiayaan/insentif untuk para pihak yang menjaga hutan mereka,” tambah dia.

Upaya mengurangi deforestasi dan menghentikan degradasi sebetulnya menjadi salah satu tujuan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2020. Selain itu, The New York Declaration on Forests (NYDF) yang turut ditandatangani Pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan deforestasi hingga separuhnya pada 2020 dan menghentikannya sepenuhnya pada 2030. Inisiatif Bonn Challenge juga berambisi untuk melakukan restorasi pada 150 juta hektare kawasan terdegradasi dunia pada 2020 dan 350 juta hektare pada 2030, namun Pemerintah Indonesia tidak menjadi salah satu penandatangan.

Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-WARSI, mendesak pemerintah Indonesia agar menjadikan perlindungan hak-hak masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan sebagaistrategi utama dalam pengurangan emisi di Indonesia. Program pemberdayaan dan pendanaan kepada masyarakat menjadi suatu hal yang penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar mampu mengelola hutan secara berkelanjutan sekaligus mencegah deforestasi.

“Pencegahan deforestasi juga bisa dilakukan melalui percepatan perhutanan sosial, memperkuat komitmen moratorium izin baru, dan juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh perizinan ekstraktif terkait kawasan hutan dan yang berkonflik dengan wilayah masyarakat adat dan lokal, termasuk di lahan gambut yang merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar di sektor lahan,” ujar Emmy.

“Untuk mencapai target NDC, berbagai langkah korektif yang telah diinisiasi pemerintah harus dilaksanakan secara lebih serius dan tidak boleh hanya menjadi crowd-pleaser atau upaya menyenangkan publik belaka,” ujar Anggalia Putri, Manajer Program Yayasan Madani Berkelanjutan.

Beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memperkuat upaya penurunan emisi di sektor hutan dan lahan adalah memenuhi komitmen transparansi terkait perizinan, memperkuat sinergi pemerintah dan masyarakat sipil dalam memberantas korupsi sumber daya alam, meningkatkan rasa kepemilikan pemerintah daerah dengan meningkatkan insentif finansial, dan meninjau kembali target-target sektoral yang beresiko membalik arah penurunan emisi, salah satunya alokasi 5 juta hektar kawasan hutan untuk ekspansi konsesi hutan skala besar yang juga berpotensi meningkatkan konflik dengan komunitas.

RFN beserta mitra-mitranya meminta keenam negara yang dikaji untuk meninjau ulang NDC mereka dan menggunakan kesempatan dari saat ini hingga 2020 untuk memperjelas ambisi untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu, penting bagi tiap pemerintah untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sebelum 2030. Pemerintah juga diminta agar mencantumkan restorasi hutan dan ekosistem sebagai bagian dari upaya mitigasi dan menjaga keanekaragaman hayati.

Di sisi lain, negara-negara maju didesak untuk segera meningkatkan pendanaan iklim mereka secara signifikan untuk membantu upaya mitigasi dan adaptasi negara-negara hutan tropis, termasuk transparan dalam memberikan informasi mengenai pendanaan di muka. “Tanpa pendanaan yang memadai, transparan, dan dapat diprediksi, sulit bagi negara-negara hutan tropis untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi dari hutan dan lahan mereka,” tutup Anggalia Putri.

***

Narahubung:
Melda Wita Sitompul, Direktur Yayasan EcoNusa
+6281384668817
melda@econusa.id

Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-Warsi
+628117453700
emmy.than@gmail.com

Anggalia Putri, Manajer Program Pengelolaan Pengetahuan, Yayasan Madani Berkelanjutan
+628562118997
anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id

Related Article

id_IDID