Madani

Tentang Kami

PANGGILAN ALAM – JELAJAHI UJUNG KULON BERSAMA MADANI BERKELANJUTAN

PANGGILAN ALAM – JELAJAHI UJUNG KULON BERSAMA MADANI BERKELANJUTAN

Mau Ikut Jelajah Alam bersama Madani Berkelanjutan di Ujung Kulon? Gratis, Lho!

Madani Berkelanjutan mengajak orang-orang muda yang peduli terhadap lingkungan untuk ikut kegiatan jelajah alam bernama “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” ke Taman Nasional Ujung Kulon pada 16-23 Juli 2023.

Selain gratis, para peserta juga tentunya bisa memperkaya pengetahuan tentang perubahan iklim, krisis iklim, dan hubungannya dengan masyarakat lokal LANGSUNG dari masyarakat Ujung Kulon. 

Peserta juga akan diajak berpetualang ke berbagai lokasi indah dan must-visit di Taman Nasional Ujung Kulon, termasuk pantai & hutan 😍 

Kegiatan ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan diri, memperluas relasi, dan membangun jiwa kepemimpinan. Tentunya, kalian juga akan menjadi bagian dari #SobatMadani yang dekat dengan kami! 

Yuk, daftarkan dirimu segera untuk ikut dalam “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” dan mari jelajahi Ujung Kulon! Daftarkan dirimu sebelum 3 Juli 2023, ya!

Isi survey ini terlebih dahulu lalu daftarkan dirimu sekarang juga melalui https://forms.gle/sYSnoDx4oJpzXJEN7

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

Perlindungan lingkungan hidup dalam rangka menanggulangi krisis iklim, termasuk perlindungan hutan serta lahan dan hak-hak masyarakat adat serta kelompok rentan, harus menjadi perhatian dalam momen politik 2024. Komitmen politik para calon legislatif dan eksekutif perlu tercermin tidak hanya selama periode pencalonan, tetapi harus berlanjut pasca pemilihan. Pemerintah saat ini juga perlu berkomitmen tinggi untuk mencegah “obral” izin pembukaan lahan yang kerap terjadi pada tahun-tahun politik sebelumnya.

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

MENEROPONG KEBIJAKAN IKLIM DALAM TAHUN POLITIK

MENEROPONG KEBIJAKAN IKLIM DALAM TAHUN POLITIK

Sepanjang 2022, terdapat banyak perkembangan berarti terkait agenda perubahan iklim. Berbagai kesepakatan global yang memuat agenda perubahan iklim pada Konferensi Tingkat Tinggi G20, COP27 UNFCCC, dan COP15 UNCBD harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmen, kebijakan, dan aksi iklim di dalam negeri.

Pemerintah Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca melalui
Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Namun, masih terdapat banyak catatan pada kebijakan-kebijakan sektoral untuk mencapai target tersebut, terutama pada sektor Kehutanan dan Lahan (Forest and Other Land Uses/FOLU) dan Energi yang menjadi dua sektor kunci.

Pada sektor energi, beberapa kebijakan yang masih banyak menghadapi tantangan dalam konteks penurunan emisi adalah penghentian bertahap penggunaan batubara, kontroversi kebijakan bioenergi, serta lika-liku pengesahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

Untuk sektor FOLU, berbagai kebijakan pembangunan yang digenjot pasca Undang-Undang Cipta Kerja seperti Proyek Strategis Nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional berpotensi berbenturan dengan rencana ambisius Indonesia dalam perlindungan hutan alam tersisa.

Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan pendukung untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC), yaitu Nilai Ekonomi Karbon. Namun, masih banyak catatan terhadap rencana implementasinya, terutama terhadap mekanisme perdagangan karbon; kurangnya pelibatan masyarakat, hak atas karbon komunitas, pelaksanaan rambu pengaman sosial dan lingkungan, dan risiko pelemahan ambisi karena diperbolehkannya offset emisi
adalah beberapa di antaranya.

Dalam geliat tahun politik, ada tiga hal krusial yang harus diantisipasi. Pertama, potensi meningkatnya pemberian izin usaha eksploitatif yang dapat merusak hutan alam menjelang dan setelah masa pemilihan. Kedua, menyempitnya ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan selama beberapa tahun ke belakang yang menjadikan kebijakan yang di Indonesia masih abai terhadap hak-hak masyarakat. Ketiga, kontinuitas kebijakan iklim dalam periode pemerintahan selanjutnya. Harus dipastikan bahwa berbagai kebijakan penurunan emisi, perlindungan hutan alam, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal terus dijalankan dan diperkuat pada periode pemerintahan berikutnya, siapapun yang akan terpilih.

Baca selengkapnya dengan unduh publikasi di bawah.

Related Article

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

In this paper, Madani compares the definitions of forest, deforestation, degradation, methodologies of calculating deforestation, and finally, deforestation figures from the following institutions: the Food and Agriculture Organization (FAO), the Ministry of Environment and Forestry (MoEF), and several Civil Society Organizations (CSO) while highlighting points of contentions among these institutions.

In defining forests, one of the main points of contention is the minimum limit of tree cover to be called forest, namely between 10 to 30%.

Another point of contention is the categorization of timber plantation as forest. CSOs in this study argue that timber plantation should not be included in the forest land class/category because they are monoculture and more akin to a plantation rather than biodiverse forest. CSOs fear that the inclusion of timber plantations to forest land class will conceal destruction of natural forests to make way to timber plantations, especially Industrial Timber Plantation, which is one of the main drivers of the natural forests’ loss in Indonesia.

Another point of contention is the dichotomy of natural forests into primary and secondary forests, in which the protection of secondary forests is weaker than primary natural forests. CSOs in this study are pushing for indiscriminate protection of natural forests without dichotomizing them into primary and secondary natural forests, especially in the context of halting new permits permanently.

The next point of contention highlighted in this study pertains to different definitions of primary forest used by the MoEF (Ministry of Environment and Forestry) and GFW (Global Forest Watch). GFW uses a broader definition for primary forests with deforestation values close to the overall value of natural forest deforestation coming from the MoEF.

When defining deforestation, some CSOs oppose the use of ‘net deforestation’ that has been used and highlighted by the government of Indonesia in their official public communications. Aside from the fact that the loss of forests in one area cannot be replaced by forest replanting in other areas due to the functions they serve, CSOs fear that this definition will conceal the destruction of natural forests converted into timber plantations, especially Industrial Timber plantations.

READ ALSO: Madani Insight Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Related to deforestation figures, the number of natural forest loss between 2006-2018 published by the MoEF is much lower than the number published by FWI (Forest Watch Indonesia). The MoEF data show a declining trend in terms of gross deforestation and the loss of natural forest in the period of 2006-2018. In contrast, FWI data show an increasing trend in the rate of natural forest loss in the same period.

For 3 periods (2011-2012, 2012-2013, and 2013-2014), the rate of natural forest loss published by the MoEF was close to the primary forest loss figures published by GFW. Both data sets from MoEF and GFW show a declining trend in terms of natural forest loss during the 2006-2018 period. However, while MoEF shows a declining trend in terms of gross deforestation in 2006-2018, the Tree Cover Loss data from GFW shows an opposing trend in the 2006-2018 period, keeping in mind that the definition of ‘Tree Cover Loss’ and ‘deforestation’ are not interchangeable.

When cross-examining spatial and statistical data published by MoEF, Madani’s analysis confirmed the MoEF’s data consistency in terms of gross deforestation. However, the consistency of natural forest loss and net deforestation data could not be confirmed due to limited access of natural forest loss and reforestation data.

Lastly, there are unanswered questions about the different definition of natural forest loss used by the MoEF in the Deforestation Book and in constructing FREL for REDD+. The study found that the rates of natural forest loss used in FREL construction are higher than the ones cited in the Deforestation Book for the following periods: 2006-2009, 2009-2011, and 2011-2012 where data were available.

To navigate the deforestation maze, different institutions that possess and produce different data and conclusions regarding the number and trends of deforestation need to sit together and publicly expose their methodology and sources to provide clearer information for the public regarding the current status and condition of Indonesia’s forests and to put more objectivity in assessing Indonesia’s success in reducing deforestation.

Get more about Madani Insight “Navigating The Deforestation Maze Comparison of Various Definitions And Figures Relating to Deforestation In Indonesia” by downloading the available report. 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

Pada Maret 2021, Pemerintah Indonesia merilis angka deforestasi Indonesia terbaru (2019-2020) dan mengumumkan penurunan deforestasi terbesar sepanjang sejarah sebesar 75%. Tentu, penurunan deforestasi yang signifikan ini, mendapatkan apresiasi internasional karena merupakan tren positif di tengah naiknya angka hilangnya hutan secara global.

Terkait dengan angka deforestasi tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tersebut merilis Madani Insight edisi April yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman publik terkait angka deforestasi Indonesia yang baru-baru ini diumumkan pemerintah dan maknanya bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia (NDC) serta target Persetujuan Paris untuk menahan kenaikan temperatur bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius.

Untuk mempermudah dalam memahami kajian ini, Madani Insight disajikan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama mengupas angka deforestasi Indonesia dan di mana deforestasi paling banyak terjadi, termasuk di dalam wilayah izin atau konsesi. Bagian kedua mengupas luas hutan alam Indonesia yang belum terproteksi dan oleh karenanya rentan terdeforestasi. Bagian ketiga mengupas makna penurunan deforestasi Indonesia dari kacamata pencapaian komitmen iklim dan target Persetujuan Paris. 

BACA JUGA: Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial Dalam Menjaga Iklim Bumi

Kemudian, untuk memahami makna angka deforestasi Indonesia, penting terlebih dahulu memahami berbagai definisi deforestasi yang berbeda yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

  • Deforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). 
  • Hutan: Kondisi penutupan lahan berupa hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan tanaman. 
  • Non Hutan: Bentuk penutupan lahan berupa semak/belukar, belukar rawa, savana/padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, rawa dan pelabuhan udara/laut. 
  • Deforestasi Netto: Perubahan/pengurangan luas penutupan lahan dengan kategori berhutan pada kurun waktu tertentu yang diperoleh dari perhitungan luas deforestasi bruto dikurangi dengan luas reforestasi.
  • Reforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan).
  • Deforestasi Bruto: perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan), tanpa memperhitungkan adanya reforestasi yang terjadi.
  • Deforestasi Hutan Alam/Deforestasi Gross: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (hanya) Alam menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). Deforestasi Bruto Hutan Alam dipakai untuk memisahkan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan Hutan menjadi kelas penutupan lahan Non Hutan, yang terjadi tidak sebagai akibat pemanenan hutan tanaman (harvesting). 

Kajian ini pun akan berfokus pada deforestasi gross atau deforestasi hutan alam yang sangat penting untuk menjaga kestabilan iklim global, menjaga keanekaragaman hayati, serta paling relevan dengan upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Dapatkan Madani’s Insight: Mengupas Fakta di Balik Deforestasi Indonesia 2019-2020 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

DINAMIKA DISKURSUS BAHAN BAKAR NABATI (BBN) DI INDONESIA DALAM KONTEKS EKOLOGIS, EKONOMI, DAN SOSIAL

DINAMIKA DISKURSUS BAHAN BAKAR NABATI (BBN) DI INDONESIA DALAM KONTEKS EKOLOGIS, EKONOMI, DAN SOSIAL

Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 2006. Saat itu, dorongan utama pengembangan BBN antara lain untuk mencapai kedaulatan energi, meningkatkan ekonomi, dan yang paling utama untuk melepaskan negara dari ketergantungan akan bahan bakar minyak (BBM). Untuk mencapai tujuan tersebut pengembangan BBN diartikulasikan melalui Blueprint 2006-2025 tentang percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dalam Blueprint tersebut, pemerintah menyebutkan berbagai hasil perkebunan di indonesia seperti sawit, jarak pagar, kemiri sunan, singkong, tebu, dan lain sebagainya sebagai bahan baku BBN.

Dalam perkembangannya, BBN tidak hanya dipandang sebagai kebijakan kemandirian energi. Pada 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komitmen iklim pertamanya yang mana menjadikan BBN sebagai salah satu strateginya. Setelah itu, BBN juga muncul kembali dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional/Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi sebesar 11%-15,5% dari skenario Business as Usual pada 2030 di sektor energi dan mencapai emisi nol-bersih (net zero emissions) pada 2060 atau lebih cepat.

Sebagai strategi pengentasan kemiskinan dan penurunan emisi, BBN diharapkan menjadi energi yang berkelanjutan baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Sayangnya, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, literatur-literatur menunjukan tidak hanya peluang namun juga berbagai tantangan yang dihadapi oleh industri BBN baik pada sektor-sektor tersebut.

Dari sisi ekologi, kebijakan BBN dapat dikatakan berhasil apabila dapat menurunkan emisi guna mendukung komitmen iklim Indonesia. Terkait hal tersebut, walaupun BBN menghasilkan lebih sedikit emisi dari pembakaran mesin, emisi dari keseluruhan proses produksi BBN perlu menjadi perhatian. Produksi biodiesel berbahan dasar sawit, yang merupakan produk utama industri BBN di Indonesia menghasilkan 83-95% lebih besar emisi akibat pembukaan lahan dan produksi limbah cair oleh pabrik. Lebih jauh lagi, ditanamnya 40% sawit di lahan gambut dalam di Kalimantan Tengah berpotensi memicu dikeluarkannya emisi CO2 sebesar 133,31 hingga 310,02 MtCO2e akibat proses oksidasi gambut yang disebabkan oleh drainase perkebunan kelapa sawit selama 25 tahun pertama siklus perkebunan.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, tujuan industri BBN yang seharusnya menjadi program pengentasan kemiskinan seolah bergeser menjadi pasar bagi oversupply sawit di Indonesia. Pandangan tersebut muncul dari mengerucutnya pengembangan BBN menjadi biodiesel berbahan dasar sawit yang mana baurannya meningkat drastis dari 10% hingga 30% sejak 2013. Kenaikan bauran tersebut dianggap menjadi mekanisme penyerapan sawit yang mengalami peningkatan dari 27,78 juta ton pada tahun 2013 menjadi 51,58 juta ton pada tahun 2020. 

Industri BBN juga masih memiliki banyak ‘pekerjaan rumah’ dari sisi sosial. Belum diterapkannya prinsip ketelusuran membuka peluang bagi industri BBN untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari perkebunan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM seperti terlanggarnya hak-hak pekerja, proses akuisisi lahan yang tidak sesuai dengan kaidah Free Prior Informed Consent (FPIC), mempekerjakan pekerja di bawah umur, dan sebagainya.

Untuk menjawab beberapa persoalan diatas, Pemerintah perlu merumuskan kembali peta jalan implementasi kebijakan BBN yang saat ini belum diperbarui sejak Peta Jalan yang pertama diluncurkan pada tahun 2006. Hal ini penting untuk memperjelas arah kebijakan BBN Indonesia, termasuk sebagai langkah strategi dalam menjawab tantangan-tantangan tata kelola BBN Indonesia baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial.

Related Article

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

Pada 6 Desember 2022, Parlemen dan Dewan Uni Eropa menyepakati aturan terkait produk-produk bebas deforestasi sebagai bentuk kontribusi negara-negara Eropa dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia dan mengendalikan perubahan iklim.

Aturan ini mewajibkan beberapa komoditas seperti cokelat, kopi, karet, kedelai, kayu, daging sapi, hingga sawit yang menjadi salah satu unggulan ekspor Indonesia, harus lulus beberapa persyaratan seperti harus berasal dari lahan yang bebas dari deforestasi, kejelasan legalitas, sampai dengan ketertelusuran hingga ke kebun, sebelum masuk ke pasar Eropa.

Aturan ini mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Di satu sisi, regulasi ini dinilai positif lantaran dibuat dengan alasan upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia. Di sisi lain, regulasi ini dinilai tidak bersahabat karena dianggap akan memberikan dampak buruk secara ekonomi, apalagi dibuat di tengah ketidakpastian ekonomi bahkan resesi yang mengancam banyak negara. 

Sebelum regulasi ini diresmikan, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah menggelar diskusi terfokus multipihak pada Selasa dan Rabu, 8-9 November 2022 di Jakarta untuk menanggapi rencana Uni Eropa atas kebijakan ini dengan mengusung tema “Menuju Keberterimaan Sawit Berkelanjutan di Pasar Eropa: Menakar Kesiapan Para Pihak Menghadapi Aturan Uji Tuntas Uni Eropa terkait Produk-Produk Bebas Deforestasi”.

Pandangan Para Pihak

Dalam diskusi multipihak tersebut, beberapa pandangan, baik positif maupun negatif mengapung ke permukaan. Dari sisi positif, peserta diskusi menganggap bahwa regulasi ini memiliki peluang berupa insentif maupun harga yang tinggi dari pasar Uni Eropa untuk para pelaku pasarnya. Kemudian, regulasi ini juga dinilai dapat mendukung upaya perlindungan hutan, adanya peluang kemitraan untuk mendukung petani, meningkatkan serta memperkuat upaya membangun tata kelola sawit yang berkelanjutan melalui penguatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), membantu Indonesia dalam membangun sistem ketertelusuran nasional, dan mempercepat perjanjian bilateral. 

Di sisi lain, regulasi ini dinilai dapat membatasi akses pasar Indonesia. Kemudian, motif regulasi yang tidak murni untuk melindungi hutan, kemungkinan dampak buruk bagi petani swadaya dan pendapatan daerah, bahkan dapat menciptakan keresahan sosial. Tidak hanya itu, perbedaan definisi deforestasi dan petani sawit swadaya juga menjadi pertanyaan, ditambah lagi dengan kemungkinan biaya yang besar untuk memenuhi persyaratan uji tuntas. Bahkan, dalam diskusi juga terkemuka pandangan untuk mempertimbangan pasar lain selain Eropa.

Pentingnya Keberpihakan Kepada Pekebun Swadaya

Studi Madani di 4 kabupaten penghasil sawit menemukan bahwa petani atau pekebun swadaya masih menghadapi tantangan untuk memenuhi syarat legalitas dan ketertelusuran  atau traceability. Dari lebih dari 500 pekebun swadaya yang disurvei, indeks kesiapan mereka dalam memenuhi rencana aturan ini berada dalam rentang 40,4-50,5% yang berarti “kurang siap” hingga “cukup siap.” 

Pekebun swadaya masih kesulitan untuk memenuhi persyaratan legalitas usaha, yakni Surat Tanda Daftar Budidaya atau STD-B dan surat pemantauan dan pengelolaan lingkungan atau SPPL. Selain itu, pekebun juga menghadapi tantangan memenuhi legalitas lahan dalam bentuk Surat Hak Milik (SHM) yang disyaratkan dalam sertifikasi ISPO. 

Pekebun swadaya juga menghadapi tantangan dalam ketertelusuran karena rantai pasok yang panjang dan banyaknya pekebun yang belum melakukan pencatatan saat melakukan transaksi. Di empat kabupaten yang di studi, hanya 0,17% responden yang memiliki akses penjualan TBS langsung ke perusahaan (PKS) maupun melalui koperasi. Panjangnya rantai pasok TBS ini juga mengurangi keuntungan pekebun. Selain itu, hanya 12,82% responden yang memiliki catatan penjualan di setiap transaksi. 

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten.

Selain itu, dari diskusi ini juga mengemuka beberapa pendapat terkait dengan kebutuhan, baik dari sisi pekebun maupun pemerintah daerah untuk dapat mengikuti aturan ini. Bagi pekebun sendiri sebagai pihak yang dianggap paling terdampak, hal yang paling dibutuhkan adalah insentif pasar maupun harga jual komoditas yang terbaik. Hal ini tentu berkait dengan sulitnya bagi pekebun untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. 

Kemudian, penting bagi pekebun untuk mendapatkan dukungan untuk memenuhi persyaratan seperti legalitas termasuk juga untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dukungan untuk praktik perkebunan yang baik, penguatan kelembagaan, bantuan operasional untuk mendukung ketertelusuran yang baik, dan mendorong kemitraan yang adil dengan perusahaan sebagai kunci membenahi ketertelusuran. 

Sementara itu, pemerintah daerah membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memahami regulasi ini. Pemerintah daerah juga perlu dukungan untuk memitigasi risiko terhadap pendapatan daerah, memberikan dukungan kepada petani untuk mencegah keresahan sosial, membantu masyarakat untuk mencari mata pencaharian alternatif saat ekspansi tidak diperbolehkan, serta untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan terkait, baik dalam hal pemahaman, anggaran, maupun sumber daya manusia. 

Mengapa Kemitraan yang Inklusif Penting 

Dengan adanya banyak kebutuhan untuk memenuhi regulasi bebas deforestasi ini, pihak Uni Eropa sebagai pembuat kebijakan harus mengedepankan prinsip kemitraan yang inklusif dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan di negara produsen sehingga kedua belah pihak, baik Uni Eropa sendiri maupun negara produsen, sama-sama diuntungkan. 

Tidak semata-mata upaya membersihkan rantai pasok Uni Eropa dari deforestasi, kebijakan ini juga seharusnya diartikan sebagai sebuah stimulus yang mampu mendongkrak perbaikan dalam negeri bagi negara-negara yang terdampak kebijakan ini. 

Pemerintah Indonesia telah menginisiasi beberapa inisiatif yang perlu didukung untuk mengurangi deforestasi dan mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan, antara lain Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang mencakup penguatan data perkebunan sawit, peningkatan kapasitas pekebun, pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian konflik, dan percepatan ISPO serta peningkatan akses pasar. 

Pemerintah juga telah menyatakan target mencapai net sink di sektor hutan dan lahan pada 2030 (Indonesia Net Sink FOLU) yang dapat mengurangi deforestasi lebih jauh melalui implementasi Rencana Operasionalnya. Penguatan standar ISPO dan sistem ketertelusuran sawit nasional pun sangat perlu didukung.  

Tanpa adanya perbaikan tata kelola dalam negeri yang didukung kemitraan, produk-produk terkait deforestasi memang tidak akan masuk ke pasar Eropa, namun, dapat berpindah ke pasar yang lain. Ini jelas bukan solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi lahan di dunia.

Penulis: Delly Ferdian

Editor: Anggalia Putri

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten di sini.

Related Article

LEMBAR FAKTA FOLU NET SINK 2030

LEMBAR FAKTA FOLU NET SINK 2030

Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022, Indonesia memperkuat target pengurangan emisi GRK-nya menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional. Indonesia juga berambisi untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tertera dalam Strategi Jangka Panjang menuju Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTSLCCR). Salah satu strategi Indonesia untuk mencapai net zero emission adalah Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, kebijakan publik untuk mewujudkan sektor hutan dan lahan Indonesia yang menyerap lebih banyak emisi daripada yang dikeluarkan.

Pelajari tentang cara Indonesia mencapai FOLU Net Sink 2030 dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemenuhannya dengan mengunduh dokumen di bawah ini.

Related Article

SUMATERA DAN KALIMANTAN DOMINASI AREA SAWIT TERLUAS DI INDONESIA

SUMATERA DAN KALIMANTAN DOMINASI AREA SAWIT TERLUAS DI INDONESIA

                                            Luas Area Sawit 2011-2020

Secara rata-rata nasional, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 53,09% dalam kurun waktu 2011-2020. Luas lahan tertinggi dicapai pada tahun 2020, yakni sebesar 14.586.599 Juta ha

Berdasarkan data area sawit (2011-2020) yang diolah Yayasan Madani Berkelanjutan, dapat dikatakan bahwa pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi sentra sawit terbesar di Indonesia. Sumatera tercatat sebagai pulau dengan area sawit tertanam terluas dengan 7.907.812 ha. Kemudian, disusul Kalimantan yang memiliki area sawit tertanam seluas 5.990.789 ha.

Walaupun Sumatera memiliki area sawit lebih luas dibandingkan Kalimantan, kenaikan luasan area sawit di Sumatera tidak seluas Kalimantan. Pada 2011, Sumatera tercatat memiliki luas sawit 5.736.729 ha. Artinya hanya mengalami kenaikan area sawit seluas 2.171.083 ha hingga 2020.

Sementara itu, Kalimantan memiliki tren kenaikan yang positif tiap tahunnya. Pada 2011, Kalimantan tercatat memiliki area sawit seluas 2.782.929 ha yang artinya mengalami kenaikan area sawit seluas 3.207.860 ha.

Meskipun angkanya masih kecil, luas area sawit di pulau lainnya seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua juga meningkat. Di Sulawesi, sejak 2011 hingga 2020 terjadi penambahan luas area sawit seluas 158.670 ha dari 257.955 ha pada 2011 menjadi 416.625 ha pada 2020. Pada 2017, terjadi peningkatan pesat luas area sawit menjadi 530.087 ha.

Kenaikan luas area sawit juga terjadi di Maluku dan Papua seluas 179.314 ha. Kenaikan lebih dari dua kali lipat ini berawal dari area sawit seluas 59.077 ha di 2011 menjadi 238.391 ha di 2020.

Related Article

id_IDID