Madani

Tentang Kami

[1000 gagasan] PROGRAM ECO-WOMAN DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS KEPEDULIAN TERHADAP LINGKUNGAN

[1000 gagasan] PROGRAM ECO-WOMAN DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS KEPEDULIAN TERHADAP LINGKUNGAN

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2019, terdapat peningkatan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia yaitu mencapai 38%. Sedangkan untuk indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%. Menurut Bank Dunia, inklusi keuangan merupakan individu atau kelompok bisnis yang memiliki akses yang cukup untuk mengadakan atau membeli barang dan jasa secara berkelanjutan. Secara praktis, inklusi keuangan merujuk pada keadaan masyarakat yang menggunakan produk layanan jasa keuangan seperti asuransi, teknologi finansial, perbankan, dan produk keuangan lainnya.

Untuk dapat menaikkan tingkat inklusi keuangan maka khususnya masyarakat harus dapat memahami dengan baik produk dan jasa layanan keuangan sehingga masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang skeptis. Inklusi keuangan juga dapat mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat karena akses layanan keuangan secara merata. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Masyarakat akan yakin menggunakan suatu produk ataupun jasa layanan keuangan jika mereka memahami manfaat, regulasi ataupun sistem dari produk layanan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat literasi keuangan seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi akan memudahkan individu tersebut  memahami jika terlibat dalam aktivitas layanan keuangan yang mungkin saja dapat merugikan. Dengan tingkat literasi keuangan yang tinggi, maka sektor jasa keuangan juga akan mendapat keuntungan yaitu dengan banyaknya masyarakat yang memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan.

Pemerintah dan lembaga keuangan telah menerapkan beberapa strategi dalam meningkatkan inklusi keuangan, misalnya dengan program edukasi keuangan, memberikan fasilitas keuangan publik, pemanfaatan teknologi keuangan sampai perlindungan konsumen. Namun di sisi lain, jika kita melihat pembangunan ekonomi nasional, masih banyak pihak-pihak ataupun program-program pembangunan yang dirasakan merugikan atau kurang memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan khususnya dampaknya terhadap lingkungan.

Kembali berbicara mengenai inklusi keuangan, terdapat hal penting juga yang harus diperhatikan yaitu khususnya bagi kaum perempuan. Tanpa adanya perempuan, roda perekonomian tidak akan pernah maju tentunya. Kebanyakan kaum perempuan bekerja pada sektor informal di mana ruang-ruang pemberdayaan terhadap ekonomi masih sangat rendah, misalnya saja pasar tradisional yang tidak dilibatkan dalam kebijakan ekonomi. Begitu juga tidak adanya asuransi kesehatan, maupun jaminan keselamatan kerja.

Perempuan merupakan pelaku ekonomi yang potensial namun kesulitan mendapatkan akses modal maupun dianggap tidak memiliki skill bahkan kadang tidak dihargai. Beberapa jenis layanan keuangan seperti kredit misalnya, dipersyaratkan hanya untuk perempuan yang memiliki gaji atau sebagai karyawan, sedangkan kaum perempuan yang tingkat pendidikannya rendah ataupun berperan sebagai ibu rumah tangga tidak memiliki akses layanan jasa keuangan seperti itu. Kaum perempuan merupakan kelompok yang rentan, baik sebagai tenaga kerja, pelaku usaha maupun sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada kepala keluarga. Memberdayakan ekonomi perempuan sebenarnya juga memberdayakan ekonomi keluarga. Hal ini secara tidak langsung juga akan mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih sejahtera dengan kaum perempuan yang berdaya dan mandiri secara ekonomi.

Inklusi keuangan diharapkan tidak hanya mempermudah akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan seperti menabung, menggunakan asuransi, investasi, melainkan juga dapat menurunkan kesenjangan ekonomi yang ada dengan menggerakan roda perekonomian. Model inklusi keuangan yang tepat dan menguntungkan kaum perempuan diharapkan dapat memberdayakan ekonomi perempuan secara mandiri. 

BACA JUGA: Blue Economy Sebagai Model Pembangunan Wilayah Pesisir 

Dalam pandangan kami, model inklusi keuangan yang tepat untuk perempuan harus dibuat program agar mampu meningkatkan literasi keuangan yang baik serta menyediakan suatu terobosan atau inovasi yang bermula dari pemikiran Ekofeminisme, yaitu paham di mana perempuan merupakan pelaku utama terhadap keberlangsungan suatu lingkungan. Program ini kami susun dalam rangka mewujudkan pemberdayaan ekonomi perempuan di Indonesia yang dinamakan dengan Program Eco-Woman.

Program Eco-Woman merupakan ide atau gagasan dari kami yang menitikberatkan pada peningkatan literasi keuangan bagi kaum perempuan dan terbukanya peluang usaha bagi kaum perempuan. Peluang usaha yang akan dilakukan yaitu usaha berbasis lingkungan. Misalnya, pengolahan sampah organik dan anorganik, penjualan barang-barang ramah lingkungan (eco-lifestyle), dan sebagainya. Dari program Eco-Woman ini juga diharapkan akan tercipta model inklusi yang tepat dalam pemberdayaan ekonomi perempuan.

Dapatkan gagasan selengkapnya dari Tina Monroe berjudul “Program Eco-Woman Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kepedulian Terhadap Lingkungan” dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Oleh: Tina Monroe

Guru SMK Tunas Markatin

Related Article

[1000 gagasan] SAMPAH ELEKTRONIK: JADI ANCAMAN JIKA KITA LUPAKAN

[1000 gagasan] SAMPAH ELEKTRONIK: JADI ANCAMAN JIKA KITA LUPAKAN

Pada era digital ini, kemajuan teknologi berkembang dengan sangat pesat. Aktivitas manusia pada saat ini tidak dapat lepas dari peralatan elektronik. Semakin banyak produk-produk elektronik yang dihasilkan dengan fitur yang lengkap dan harga yang cukup terjangkau. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan produksi industri komputer, barang elektronika dan optik terutama mikro dan kecil sebesar 22,03% (BPS, 2019). Perkembangan kemajuan teknologi tentunya semakin memudahkan konsumen dalam beraktivitas. Namun demikian, kemajuan teknologi tersebut juga berdampak negatif terhadap pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif. Sebagai contoh, godaan untuk selalu membeli model telepon baru karena memiliki fitur yang lebih canggih atau karena yang lama rusak. Dengan demikian, telepon genggam yang sudah tidak terpakai tersebut menjadi sampah elektronik. 

Sampah elektronik adalah peralatan elektronik yang sudah tidak dapat digunakan, tidak terpakai atau tidak diminati lagi dan menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak. Sampah elektronik ini dapat berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, dan barang-barang elektronik lainnya yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020, timbulan sampah elektronik selama tahun 2019 mencapai 53,6 juta ton. Dari 53,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh seluruh dunia, Asia (termasuk Indonesia) menyumbang sampah paling tinggi, yaitu sebesar 24,9 juta ton. Bahkan, Indonesia menjadi penyumbang sampah elektronik tertinggi di Asia Tenggara. Untuk kasus Indonesia, dilansir dari Greenpeace, negara ini menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 (Forti et al., 2020), menyebutkan bahwa di tahun 2019 Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik. Peningkatan timbulan sampah elektronik ini cukup signifikan, dimana hanya dalam kurun waktu 5 tahun sampah elektronik yang dihasilkan meningkat dua kali lipat. 

BACA JUGA: Program Eco-Woman Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kepedulian Terhadap Lingkungan

Selain pola hidup masyarakat yang konsumtif, peningkatan timbulan sampah elektronik juga disebabkan dari sisi produksi, dimana di Indonesia masih belum fokus untuk membuat desain produk elektronik yang tahan lama dan mudah diperbaiki dengan komponen-komponen yang mudah dicari. Terlebih di Indonesia mayoritas hanya berupa distributor sehingga tidak membuat produknya sendiri, terutama untuk smartphone dan device untuk Internet of Things (Ramdhini, 2019), dimana jenis elektronik ini justru yang paling banyak diminati dan dibeli.

Selain itu, sistem pengelolaan sampah elektronik di Indonesia juga masih belum mumpuni padahal sampah elektronik tergolong sebagai sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Setelah menunggu 12 tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan payung hukum pengelolaan sampah elektronik. Dalam jangka waktu tersebut, selain peningkatan kesadaran masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan beberapa instansi Pemerintah Daerah, upaya konkrit pengelolaan sampah elektronik di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Pedoman untuk pengelolaan sampah elektronik di rumah tangga dan sumber lainnya masih belum tersedia. Pengumpulan sampah elektronik oleh Pemerintah Daerah masih sangat minim, walaupun perlu diingat bahwa upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengelola sampah elektronik melalui program “Penjemputan Limbah Elektronik” yang diinisiasi pada tahun 2017 (DLH DKI Jakarta, 2017) dan penyebaran beberapa wadah khusus atau dropbox untuk sampah elektronik di tempat umum patut diberi apresiasi. Belum lagi isu tentang dorongan Pemerintah kepada para produsen dan distributor produk elektronik untuk mengembangkan skema take-back dalam model bisnis mereka untuk mengakomodir pengembalian produk-produk yang sudah lewat masa guna untuk memastikan pengelolaan sampah elektronik yang bertanggung jawab. 

Pengelolaan sampah elektronik seharusnya dilakukan dengan benar-benar cermat serta tepat. Sampah elektronik tidak dapat diperlakukan sama halnya dengan sampah organik atau sampah lainnya. Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dimana sampah elektronik termasuk di dalamnya, pengelolaannya harus secara khusus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki izin. Walaupun saat ini sudah ada beberapa perusahaan pengolah sampah elektronik yang tersertifikasi di Indonesia, jumlahnya masih tergolong sedikit. Recycling rate dari sampah elektronik tersebut pun masih cukup kecil, sebagai contoh di Jakarta sebagai ibukota negara masih sebesar 2% saja (Siringo, 2019). Pengelolaan sampah elektronik di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yaitu para pemulung atau tukang loak. 

Komunitas EwasteRJ membuktikan bahwa dominasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia oleh sektor informal melalui kuisioner yang disebar pada pertengahan tahun 2020. Hasil survei mendapati bahwa sebanyak 14,84% masyarakat memberikan sampah elektroniknya kepada pemulung atau tukang loak, selain dibuang dan bercampur dengan sampah jenis lainnya atau hanya disimpan di rumah. Keberadaan sektor informal memang sangat membantu mengurangi sampah elektronik namun tidak dapat menjamin apakah sampah elektronik tersebut terdaur-ulang dengan baik. Proses pengumpulan dan pengolahan sampah elektronik yang mereka lakukan seringkali tidak menggunakan alat pelindung diri dan hanya mengambil material yang bernilai jual tinggi saja, sementara sisanya dibuang kembali atau bahkan dibakar. Dengan demikian, akan tetap ada pencemaran dari proses pengolahan sampah elektronik tersebut. 

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus kita capai bersama-sama pada tahun 2030, terdapat salah satu goal yang sangat erat kaitannya dengan sampah elektronik, yaitu memastikan adanya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Indikatornya adalah adanya pemanfaatan kembali, pengurangan dan pendauran ulang dari sampah termasuk sampah elektronik sebagai bagian dari sampah bahan berbahaya dan beracun. 

BACA JUGA: Green Millennialnomic: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Komunitas EwasteRJ hadir dengan gerakan EwasteRJdropzone di mana kami mendorong masyarakat untuk memperlakukan sampah elektroniknya dengan tepat melalui dropbox yang sudah kami sediakan di beberapa titik yang tersebar di beberapa kota. Setelah sampah elektronik terkumpul, EwasteRJ akan menyerahkan kepada perusahaan pendaur-ulang sampah elektronik untuk diolah lebih lanjut. Proses pendauran-ulang dimulai dari dismantling hingga pemilahan dan pengolahan setiap jenis material untuk menjadi raw material kembali. Sebagai contoh, tembaga dari PCB yang dilebur untuk menjadi tembaga batangan kembali. Sedangkan untuk limbah B3 akan diproses melalui proses stabilisasi-solidifikasi (untuk mengurangi kandungan logam berat) dan landfill atau thermal treatment.  

Namun, sebelum masuk ke tahapan pemanfaatan kembali dan pendauran ulang tentunya harus dimulai dari mengurangi kemungkinan timbulnya sampah elektronik terlebih dahulu. Untuk itu, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan: desain dan manufaktur produk, serta pembentukan gaya hidup. Tahap perencanaan dan desain produk elektronik yang dilakukan oleh para produsen merupakan garda terdepan dalam pengelolaan sampah elektronik. Alangkah baiknya jika produk tersebut didesain agar mempunyai durabilitas yang tinggi dan juga spare part komponen yang disediakan secara merata agar proses reparasi dapat dilakukan dengan mudah oleh konsumen. Manufaktur produk elektronik juga dapat menggunakan material dari hasil proses daur ulang produk lainnya agar dapat mengurangi ekstraksi sumber daya alam yang semakin terbatas dan terkadang mengorbankan hak-hak komunitas tertentu.

Pendekatan dari pembentukan gaya hidup dengan pola pikir konsumsi teknologi yang berkelanjutan di Indonesia juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Konsumen diharapkan dapat semakin bijak dalam membeli dan menggunakan barang elektronik yang dimiliki serta bijak memperlakukan barang elektronik yang sudah menjadi sampah elektronik.  

Menjadi konsumen yang bijak yang disinergikan dengan peran serta produsen dan pemerintah, akan menjadi solusi bagi permasalahan sampah elektronik di Indonesia. Keterlibatan semua pihak dapat mengurangi timbulan sampah, memperbaiki pengelolaan sampah, meningkatkan tingkat recycling di Indonesia, dan tentunya dapat meminimalisir pencemaran dari bahaya dan sampah elektronik terhadap kesehatan manusia.

Oleh: Pranandya Wijayanti, Martina Solya, Indah Anandya, Yorkie Sutaryo

Komunitas EwasteRJ

Related Article

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang lebih dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) kini memasuki periode Dekade Aksi (Decade of Action) pada 2020-2030 sehingga sudah saatnya bagi seluruh negara di dunia terutama negara berkembang (developing countries) dan negara berkembang cepat (emerging markets) untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang mampu mengakomodir 3 prinsip dan kepentingan utama yaitu lingkungan hidup (planet), sosial (people), dan ekonomi (prosperity). Ini menjadi hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi mengingat dinamika global kontemporer yang terjadi memerlukan shifting atau perubahan dalam rangka menciptakan dunia yang lebih baik.  

Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi pembangunan ekonomi dari yang hanya berbasiskan pada aspek eksploitasi sumber daya alam, industri berkapasitas rendah-menengah, dan sektor ekonomi tradisional menuju pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, industri berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, serta ekonomi digital atau elektronik. Tiga hal tersebut menjadi sorotan mengingat status Indonesia yang masih menjadi negara ambang industri, namun memiliki kapasitas ekonomi yang besar dan sangat potensial. Kunci utamanya terletak pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan norma dan prinsip yang mengacu pada perlindungan lingkungan hidup dan ekosistem sehingga menghasilkan ekonomi nasional yang berkelanjutan di mana ekonomi sirkular menjadi salah satu pilar utamanya. 

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Terkait ekonomi sirkular, tiga kutub ekonomi dunia sudah memiliki kebijakannya masing-masing yakni Eropa dengan Green Deal untuk tingkat kawasan (regional), Cina dengan Circular Economy Promotion Law untuk tingkat negara (nasional), dan Amerika Serikat yang menyerahkan kebijakannya di tingkat yang lebih spesifik yakni kota. Hal ini perlu dicermati oleh Indonesia karena penyusunan dan penerapan kebijakan circular economy harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nasionalnya sehingga bersifat holistik, efisien, dan berdampak positif langsung untuk sektor usaha dan masyarakat luas. 

Berdasarkan analisis yang ada saat ini, maka kebijakan di tingkat kota/kabupaten seperti di Amerika Serikat yang lebih tepat karena proses pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian menjadi lebih cepat dan terarah. Terlebih desentralisasi yang terus berkembang semakin memampukan kota/kabupaten untuk memiliki inisiatif-inisiatif kebijakan pembangunan yang lebih progresif dan solutif yang tentunya harus mengadopsi pendekatan banyak pemangku kepentingan (multi-stakeholders approach) sehingga akan lebih komprehensif sekaligus inklusif. Ruang kebijakan yang lebih bebas di tingkat kota/kabupaten akan memacu akselerasi dalam implementasi ekonomi sirkular yang tentunya dapat disinergikan dan diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah. 

Kebijakan ekonomi sirkular yang berorientasi efisiensi sumber daya alam dan minimalisasi sampah sangatlah vital bagi akselerasi pembangunan Indonesia dan membutuhkan banyak dukungan dari sektor usaha (untuk permodalan dan teknis pelaksanaan), organisasi non-pemerintah/masyarakat sipil (untuk sosialisasi, kampanye, dan edukasi publik), akademisi (untuk kepakaran dan pengembangan iptek), filantropi (untuk jejaring dan tanggung jawab sosial), dan akhirnya generasi muda yang potensial untuk berkiprah dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kebudayaan, kewirausahaan, hingga penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.   

Selain potensi ekonomi sirkular yang besar, Indonesia kini juga sedang menyambut fenomena bonus demografi di mana jumlah populasi muda akan mencapai klimaks pada 2030 mendatang sesuai statistik piramida penduduk. Saat ini, satu dari empat orang Indonesia adalah pemuda (berusia 15-30 tahun) di mana dari jumlah populasi sekitar 270 juta jiwa, lebih dari 65 juta jiwa adalah pemuda. Pemanfaatan bonus demografi ini tentu harus diintegrasikan ke dalam berbagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah, hingga lokal sehingga generasi muda mampu mengembangkan potensinya dan berkontribusi untuk pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan global Youth 2030 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di mana berbagai agensi PBB didorong untuk mengadopsi pendekatan merangkul pemuda dalam berbagai kebijakan dan programnya di seluruh dunia terutama di kawasan Asia Pasifik (khususnya Asia Tenggara dan Asia Selatan) serta Afrika yang sedang mengalami ledakan populasi muda. 

BACA JUGA: Green Millennialnomi: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Berkaitan dengan optimalisasi ekonomi sirkular dan bonus demografi, maka perlu dilakukan perbaikan hal-hal fundamental sebagai berikut:

  • Dalam bidang pendidikan (Goal 4 SDGs), sinergitas mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dan Ekonomi Kewirausahaan di tingkat SMP dan SMA atau sederajat sangatlah diperlukan, sehingga generasi muda menjadi lebih peka dan sadar akan potensi ekonomi sirkular lebih dini dan mampu mempraktikkannya di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun dengan proporsi praktik lebih banyak daripada teori dan mengedepankan sistem belajar secara lokakarya (workshop) daripada pengajaran (lecturing).  

  • Dalam bidang kewirausahaan (Goal 8 SDGs), perlu adanya kebijakan dukungan administratif dan suntikan modal bagi rintisan usaha/start-up (baik yang beraksi nyata langsung di lapangan maupun melalui dunia digital) yang khususnya bergerak dalam manajemen sampah yang profesional, efektif, dan berkelanjutan. Dukungan tersebut tentu tidak hanya diberikan oleh pemerintah saja, namun juga melalui kemitraan dengan swasta (sebagai investor atau donor) sehingga akan lebih aplikatif.

  • Dalam bidang ekonomi industri (Goal 9 & 12 SDGs), perlu ditinjau ulang untuk strategi produksi, distribusi, dan konsumsi bagi sektor-sektor yang potensial dan mampu menerapkan ekonomi sirkular seperti tekstil, produk pangan, otomotif, elektronik, dan pariwisata demi efisiensi sumber daya dan minimalisasi sampah. Insentif dari pemerintah seperti keringanan pajak, kemudahan berusaha, serta dukungan promosi dan pemasaran tentu akan mendorong sektor industri yang terlibat ekonomi sirkular lebih bergairah terlebih jika didukung oleh sumber daya manusia muda dan berkualitas.  

  • Dalam bidang lingkungan hidup (Goal 1, 11 & 13 SDGs), terutama manajemen sampah, mobilisasi terstruktur untuk para pengumpul sampah dan pemulung sampah dalam rangka pemberdayaan mereka sebagai salah satu aktor utama dalam pondasi praktis ekonomi sirkular. Ini tentu juga akan berdampak untuk pengurangan kemiskinan ekstrem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan sangat rendah terutama di wilayah perkotaan.

  • Dalam bidang ekonomi pembangunan dan politik luar negeri (Goal 17 SDGs), perlu disusun sistem database dan data centre baik secara lokal di tingkat kabupaten/kota yang mampu menghimpun dan mengukur berbagai target, indikator dan variabel pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian dari penerapan ekonomi sirkular. Akumulasi data dari tingkat kabupaten/kota akan dilanjutkan ke national data centre for circular economy di mana penggunaan data tersebut dapat dioptimalkan untuk posisi Indonesia yang lebih kredibel di dunia internasional melalui bermacam ragam pertemuan resmi dan ajang diplomasi. Dalam hal ini, lulusan SMK bidang teknologi informasi dan lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) dapat dioptimalkan perannya untuk pendirian dan operasional data centre tersebut.

Pada kesimpulannya, mengacu pada potensi ekonomi sirkular dan bonus demografi yang dimiliki, maka optimisme untuk menjadikan Indonesia lebih berkelanjutan pada 2030 bukanlah mimpi belaka. Tidak hanya sekedar political will namun juga policy consistency sehingga pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia karena mampu bersinergi dengan pencapaian sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang relevan secara simultan.  

Oleh: Stevie Leonard Harison

Founder Inspirator Muda Nusantara

Related Article

Pilkada 2020 Pertempuran Antara Melindungi Hutan dan Menggunduli Hutan

Pilkada 2020 Pertempuran Antara Melindungi Hutan dan Menggunduli Hutan

[MadaniNews, 27 November 2020] Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 kian dekat. Hal ini berarti nasib hutan dan gambut kian dipertaruhkan. Pilkada tahun ini adalah sebuah pertempuran yang begitu sakral, bukan hanya soal pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan tapi juga pertempuran antara melindungi hutan dan menggunduli hutan. Hal tersebut disampaikan Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual Nasib Hutan di Tengah Pilkada pada Kamis, 26 November 2020.

Teguh Surya juga mengatakan Pilkada 2020 kali ini adalah pilkada yang begitu spesial, pertama karena dalam suasana pandemi covid-19, kemudian, pimpinan daerah terpilih adalah generasi pertama yang akan menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja yang penuh kontroversi yang juga dapat dikatakan tantangan baru bagi lingkungan hidup. 

Bukan hanya itu, daerah-daerah yang akan pilkada kali ini memiliki kekhasan ekologi yang berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia. Dari 9 provinsi, 3 provinsi memiliki hutan alam terluas: Kalteng, Kaltara, Sulteng. Yang menarik – rekam jejak deforestasi juga tinggi di 3 provinsi tersebut. Rekam jejak ini mengkhawatirkan jika Pilkada tidak mengusung komitmen perlindungan hutan dan lingkungan,” pungkas Teguh Surya.

Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Provinsi Kalteng, Kaltara, dan Sulteng adalah provinsi yang paling rawan deforestasi dan degradasi pasca pilkada. Sedangkan Kabupaten Malinau, Boven Digoel, Merauke, Pegunungan Bintang, Berau, Kapuas Hulu, Mahakam, Mahakam Hulu merupakan kabupaten yang paling rawan deforestasi dan degradasi.  Madani juga mengkategorikan hutan alam di provinsi dan kabupaten yang akan Pilkada ke dalam 4 level ancaman yakni Berisiko (43x Pulau Bali), Terancam (6x Pulau Bali), Sangat Terancam (3x Bali), Paling Terancam (9x Pulau Bali).

Dalam diskusi virtual ini, hadir sebagai narasumber yakni Direktur Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Wardiana, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Suwanto.

Wawan Wardiana mengatakan bahwa KPK pernah menemukan 82% calon kepala daerah didanai sponsor yang berkaitan dengan pemberian izin dan konsesi ketika menjabat.  “Dalam survei KPK, banyak calon kepala daerah tidak memiliki harta yang cukup untuk membiayai pilkada yakni sekitar 5 sampai 10 miliar, sedangkan idealnya 65 miliar. Sebanyak 82,3% kandidat menyatakan mereka dibantu donatur atau disponsori, tidak terbatas pada masa kampanye tapi juga sebelum kampanye”, ujar Wawan Wardiana.

Wawan juga menyebut bahwa adanya indikasi kerentanan terjadinya tindak pidana korupsi akibat hal tersebut. “Dalam kajian KPK, ada tiga aspek yang menjadi celah korupsi yakni, perencanaan hutan, perizinan, dan potensi kehilangan penerimaan negara”, tambah Wawan.

Sementara itu, Sri Suwanto menegaskan bahwa provinsi tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin final. “Pemprov sampai saat ini tidak punya kewenangan untuk memberikan izin yang final. Pemberian perizinan final ada di tangan pemerintah pusat. Sebagai Kepala Dinas Kehutanan, saya hanya memberikan pertimbangan teknis apabila ada permohonan izin yang masuk khususnya usaha perkebunan atau usaha yang berada di dalam kawasan hutan. Kita harus welcome juga investasi”, ujar Sri Suwanto.

Menutup diskusi, Teguh Surya menyampaikan tiga rekomendasi penting terhadap daerah pelaksana pilkada yakni perlunya memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah dengan menerapkan prinsip pembangunan ekonomi tanpa merusak alam sebagai pilar utama, memperkukuh dan mengutamakan strategi perlindungan hutan dan ekosistem gambut sebagai garda terdepan pembangunan ekonomi daerah dan, menjadikan publik khususnya masyarakat adat di sekitar investasi sebagai mitra utama pembangunan yang didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil. 

Teguh Surya menyampaikan bahwa kewenangan Pemda sebagai pelindung hutan di wilayahnya harus dijalankan dengan lebih tegas karena ketika hutan rusak dan bencana meningkat, yang terdampak langsung adalah masyarakat dan pemerintah di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pilkada haruslah menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga dapat berkontribusi dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia.  

Dapatkan materi presentasi narasumber dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Pilkada 2020 Momentum Perlindungan Hutan dan Gambut untuk Mencapai Komitmen Iklim

Pilkada 2020 Momentum Perlindungan Hutan dan Gambut untuk Mencapai Komitmen Iklim

[Jakarta, 26 November 2020] – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang diselenggarakan di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota di Indonesia merupakan momentum untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya pada tahun 2030. Pesta demokrasi daerah ini sangat penting bagi lingkungan karena 67,72% atau 60,5 juta hektare hutan alam Indonesia dan 64,33% atau 13,9 juta hektare ekosistem gambut Indonesia berada di provinsi dan kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 tersebut.

Jika berhasil melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang sangat luas di daerahnya, Kepala Daerah terpilih dapat mengakses berbagai inovasi pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan, misalnya Transfer Anggaran ke Daerah dan Dana Desa, Hibah Dalam dan Luar Negeri terkait REDD+, Skema Keuangan dan Investasi Hijau, Instrumen Nilai Ekonomi Karbon, dan berbagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup lain yang salah satu bentuknya adalah imbal jasa lingkungan,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Sebaliknya, lanjut Teguh, jika tidak dilindungi dengan baik, hutan alam dan ekosistem gambut yang luas dapat menjadi pembawa risiko dan meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana yang dapat mengganggu pembangunan ekonomi daerah, khususnya bencana banjir, longsor, dan Karhutla.

Berdasarkan kajian Madani, hutan alam di 9 provinsi dan 10 kabupaten penyelenggara Pilkada Serentak 2020 menghadapi 4 kategori ancaman yang levelnya semakin meningkat, yaitu berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Ancaman tersebut semakin besar jika berbagai klausul yang melemahkan perlindungan hutan alam dalam RPP tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kehutanan tidak segera diperbaiki.

Di antara 9 provinsi penyelenggara Pilkada Serentak 2020, provinsi yang paling rawan deforestasi dan degradasi hutan adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah sementara di tingkat kabupaten, yang paling rawan adalah Kabupaten Merauke dan Malinau,” ujar Fadli A. Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Di 9 provinsi tersebut, hutan alam seluas 12,5 juta hektare atau 22 kali luas Pulau Bali berisiko deforestasi dan degradasi hutan, kemudian 2,6 juta hektare atau setara 4 kali luas Pulau Bali terancam deforestasi dan degradasi hutan, 1,2 juta hektare atau 2 kali luas Pulau Bali sangat terancam deforestasi, dan 2,6 juta hektare atau 4 kali luas Pulau Bali paling terancam deforestasi.

Di antara 10 kabupaten penyelenggara Pilkada 2020 dengan hutan alam terluas, hutan alam seluas 11,9 juta hektare atau 21 kali luas Pulau Bali berisiko deforestasi dan degradasi, 1,23 juta hektare atau 2 kali luas Pulau Bali terancam deforestasi dan degradasi, 521 ribu hektare atau hampir seluas Pulau Bali sangat terancam deforestasi, dan 3 juta hektare atau 5 kali luas Pulau Bali paling terancam deforestasi.

UU Cipta Kerja memangkas beberapa kewenangan Pemerintah Daerah dan cenderung memperkukuh kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam,” ujar M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan.

Setidaknya ada lima kewenangan Pemerintah Daerah yang dihapus oleh UU Cipta Kerja. “Yaitu kewenangan terkait penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis, kewenangan untuk menetapkan kebijakan Amdal dan UKL-UPL, kewenangan untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL, kewenangan untuk membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu Komisi Penilai Amdal, dan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Selain itu, meskipun Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan terkait perencanaan ruang di wilayahnya, rencana tata ruang daerah dapat diabaikan untuk memberi jalan bagi kepentingan Proyek Strategis Nasional atau jika ada perubahan kebijakan nasional yang strategis,” tambahnya.  

Terlepas dari hal tersebut, Pemerintah Daerah tetap memiliki beberapa kewenangan yang penting untuk melindungi hutan alam dan ekosistem gambut. Kewenangan terpenting Pemerintah Provinsi di antaranya adalah kewenangan untuk mengajukan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang; Perlindungan dan pengelolaan hutan alam di Area Penggunaan Lain dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi; memberikan Perizinan Berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan; kewenangan terkait pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); dan kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat serta mendorong percepatan Perhutanan Sosial di wilayahnya.

Pemerintah Kabupaten dan Kota juga memiliki beberapa kewenangan penting, di antaranya adalah: Pengajuan usulan perubahan status kawasan hutan kepada Gubernur; Perlindungan dan pengelolaan hutan alam di Area Penggunaan Lain dalam RTRW Kabupaten dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR); Pemberian Perizinan Berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan; serta kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat di wilayahnya.

Sementara Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana menyoroti gap antara biaya pilkada dan kemampuan finansial calon yang berisiko memunculkan benturan kepentingan. Berdasarkan hasil survei KPK ditemukan mayoritas calon kepala daerah dibiayai sponsor. “Jadi ada 82,3 persen pada tahun 2018 itu yang menyatakan bahwa, karena dana yang mereka miliki relatif kecil dibanding biaya yang mereka keluarkan, jadi mereka menyatakan mereka dibantu oleh donatur atau sponsor,” kata Wawan. Bantuan yang diberikan tidak terbatas pada masa kampanye tapi sejak sebelum kampanye.

Berdasarkan survei tersebut juga ditanyakan apakah para donatur dan sponsor mengharapkan balasan jika calon yang didanai terpilih. Jawabannya, berdasarkan temuan dalam pilkada 2018, sebanyak 76,3% para penyokong dana tersebut mengharapkan mendapatkan balasan. Separuh lebih dari penyokong dana menyampaikan keinginan tersebut secara eksplisit baik tertulis maupun lisan. “Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah kalau mereka melakukan perizinan, apakah termasuk kehutanan atau perizinan yang lain, lalu kemudahan untuk ikut serta dalam tender nanti, kemudian yang ketiga mereka ingin jaminan keamanan pada saat menjalankan bisnis mereka,” papar Wawan. Parahnya, 83,80% calon kepala daerah yang dibantu menyatakan kesanggupan memenuhi harapan penyokong dana. “Hampir 84% mereka menjawab ya, akan memenuhi permintaan para sponsor tadi,”.

Wawan menambahkan sejak 2010 KPK berusaha mencegah dan memberantas korupsi dakam tata kelola kehutanan, sejak perencanaan. Salahsatunya,menyangkut perizinan. KPK menemukan adanya kasus-kasus upaya suap. “Ternyata mereka harus mengeluarkan 600 juta hingga 22 miliar per tahun untuk mendapatkan konsesi, uang yang beredar pun sangat besar,” tambahnya.

Menjawab kemungkinan adanya benturan kepentingan dalam perizinan sebagai akibat dari sponsor dalam pilkada, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Sri Suwanto mengatakan pemerintah provinsi tidak memliki kewenangan izin yang final. “Artinya pemberian perizinan itu berada dalam pemerintah pusat, sehingga kami sebagai Kepala Dinas Kehutanan hanya memberikan pertimbangan apabila ada permohonan-permohonan yang masuk dalam izin usaha, khususnya usaha perkebunan atau usaha dalam kawasan hutan,” jelasnya.  Perizinan kata Sri dilakukan secara elektronik atau sistem OSS. Sedangkan pertimbangan menurut Sri diberikan dengan disertai hasil kajian teknis. “Perizinan yang ada saat ini adalah proses perizinan lama, artinya karena mungkin dulu ada perekebunan yang berada dalam kawasan hutan, ada yang melalui skema-skema, ada skema pelepasan kawasan yang muaranya berada di kementerian, sehingga mau tidak mau melanjutkan proses perizinan tersebut,” tambahnya.

Selain itu perizinan di lapangan kata Sri berada di Kabupaten Kota yang memiliki wilayah. “Kita sifatnya hanya pengawasan dan pembinaan, ketika kita memberi katakanlah wow ini tidak pantas dan sebagainya kita hanya memberi surat kepada bupati untuk meninjau kembali perizinan yang berada di kabupaten,” tambahnya. Menurutnya Bupati bukan berada di bawah komando Bapak Gubernur langsung, “Sehingga kita tidak bisa memerintahkan itu harus dicabut, itu agak kesulitan bagi pemerintah provinsi,” lanjutnya.

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan hutan terluas yaitu 12,3 juta hektar atau 79,75 persen wilayah propinsi. Saat ini ada 57 perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam, 33 IUPHHK Hutan Tanaman Industri, dan 5 perizinan lainnya. “Jadi total kesemuanya yang berada di dalam perizinan adalah 95 perizinan dengan luas kurang lebih 5 juta hektar,” tambah Sri. Sri menambahkan di Kalimantan Tengah terdapat areal perkebunan kelapa sawit seluas 1,465 juta hektar.

 

Pilkada Serentak 2020 selayaknya menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia, terdapat tiga langkah yang perlu diambil oleh Kepala Daerah terpilih, yaitu memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah dengan menerapkan prinsip pembangunan ekonomi tanpa merusak alam, memperkukuh dan mengutamakan strategi perlindungan hutan dan ekosistem gambut sebagai garda terdepan pembangunan ekonomi daerah, dan menjadikan publik – khususnya masyarakat adat dan masyarakat di sekitar investasi – sebagai mitra utama pembangunan yang didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil.

 

 

Kontak Media:

  1. M. Teguh Surya. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. HP. 0812 9480 1453. Email: teguh@madaniberkelanjutan.id
  2. M. Arief Virgy. Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan. HP. 0877 0899 4241. Email: virgy@madaniberkelanjutan.id
  3. Fadli Ahmad Naufal. GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. HP 0813 1916 1932. Email: fadli@madaniberkelanjutan.id
  4. Luluk Uliyah. Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan. HP. 0815 1986 8887. Email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

[Jakarta, 24 November 2020] Beberapa saat lalu, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2020, Green Climate Fund (GCF) atau dikenal juga sebagai Dana Iklim Hijau menyetujui proposal pemerintah Indonesia untuk mengakses dana pembayaran berbasis hasil untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) sebesar 103,8 juta dollar AS atau setara dengan 1,54 triliun rupiah. 

Dana ini diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta tCO2e. Keberhasilan Indonesia dalam mengakses dana ini adalah indikator awal kepercayaan dunia terhadap Indonesia saat ini. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, ikut memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia atas pencapain Indonesia dalam menurunkan angka deforestasi telepas dari perdebatan banyak pihak terkait angkat tersebut. Apresiasi ini disampaikan Teguh Surya dalam diskusi virtual talkshop “Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Selasa, 24 November 2020. 

Harapan kita pada pendanaan dari Green Climate Fund ini tentu sangat besar, dana yang besar ini harus kita manfaatkan sebesar mungkin, kita juga berharap masyarakat dapat mengakses dan akhirnya dana yang besar dapat efektif”, ujar Teguh. 

Dalam diskusi terbatas ini, Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Dewa Ekayana menjadi pemateri kunci yang menjelaskan tentang Green Climate Fund sampai dengan berbagai cara untuk mengakses pendanaan ini. 

Dewa Ekayana menjelaskan bahwa GCF adalah amanat dari The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk membantu negara-negara berkembang mencapai komitmen iklimnya dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “GCF sendiri adalah sumber pendanaan terbesar yang ada saat ini untuk melawan dampak perubahan iklim global”, ujar Dewa Ekayana.

Analis Kebijakan ini juga menyebut bahwa semua pihak dapat mengakses pendanaan ini dengan berkolaborasi bersama lembaga yang sudah terakreditasi. Ia juga mendorong bagi semua pelaku maupun pegiat perlindungan lingkungan, hutan, dan alam, untuk bersama-sama mengajukan proposal demi alam Indonesia yang lebih baik. 

Dapatkan materi diskusi Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia dengan mengunduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Pilkada dan Perlindungan Hutan Alam

Pilkada dan Perlindungan Hutan Alam

9 provinsi dan 10 kabupaten dengan hutan alam terluas turut menyelenggarakan pilkada 2020.

Berdasar kajian Madani Berkelanjutan, sembilan provinsi yang menyelenggarakan pemilihan gubernur memiliki hutan alam mencapai 21, juta hektare (ha). Sementara 10 kabupaten pelaksana pemilihan bupati, tercatat lebih dari 20 juta ha hutan alam di wilayah mereka. Dari luasan hutan alam secara total, Madani lantas membagi empat tingkatan risiko deforestasi dan degradasi untuk daerah-daerah tersebut. Daerah berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam.

Hasil perhitungan menunjukkan, dari sembilan provinsi ada 12,5 juta ha di tingkat berisiko; 2,6 juta ha di tingkat terancam; dan 1,2 juta di tingkat sangat terancam. Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara menjadi provinsi penyumbang terbesar. Sementara kategori paling terancam seluas 2,6 juta ha juga terdapat di Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan.

Di tingkat kabupaten, 10 kabupaten penyelenggara Pilkada 2020 dengan hutan alam terluas menyumbang 11,9 juta ha hutan alam berisiko, 1,23 juta ha hutan alam terancam, 521 ribu ha hutan alam sangat terancam, dan 3 juta ha hutan alam paling terancam.

Pilkada 2020 bisa menjadi momentum bagi para calon pemimpin daerah untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut. Ini dilakukan agar berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim di Indonesia di sektor kehutanan.

Riset ini telah tayang di Katadata.co.id.

Related Article

Masukan Masyarakat Sipil Tantangan Implementasi dan Kegiatan Prioritas untuk Pendanaan RBP REDD+ dari Green Climate Fund

Masukan Masyarakat Sipil Tantangan Implementasi dan Kegiatan Prioritas untuk Pendanaan RBP REDD+ dari Green Climate Fund

Yayasan Madani Berkelanjutan bersama beberapa organisasi masyarakat sipil yang bekerja dalam isu perlindungan hutan alam dan gambut, pencapaian komitmen iklim, dan pengakuan hak masyarakat adat dan lokal menghimpun masukan untuk implementasi penyaluran dana RBP REDD+ dari GCF. Masukan ini meliputi berbagai aspek yang dirasakan akan menjadi tantangan implementasi di lapangan serta usulan kegiatan prioritas untuk didanai.

Masukan dari beberapa organisasi masyarakat sipil tersebut dihimpun ke dalam 11 aspek penting yang meliputi, 1) Realisasi perhutanan sosial dalam aspek ketersediaan ruang, 2) Pendampingan Perhutanan Sosial pra- dan pasca-izin, 3) Proses pemberian izin/hak Perhutanan Sosial, 4) Kelembagaan pengelola Perhutanan Sosial, 5) Singkronisasi Perhutanan Sosial dalam perencanaan pembangunan desa, 6) Peraturan dan kelembagaan, 8) Hak masyarakat adat, 9) KPH dan Gender, 10) Pelibatan dan Partisipasi dalam proyek, 11) Akses dana lembaga non pemerintah yang mendorong enabling condition, 12) Tata kelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) (beyond proyek) dan, 13) Perbaikan Kerangka Hukum dan Peraturan (beyond proyek).

Untuk mengetahui lebih lengkap tentang masukan masyarakat sipil terkait dengan tantangan implementasi dan kegiatan prioritas untuk pendanaan RBP REDD+ dari Green Climate Fund, silakan unduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Kewenangan Pemda Menjaga Hutan Alam dan Melestarikan Lingkungan

Kewenangan Pemda Menjaga Hutan Alam dan Melestarikan Lingkungan

Undang-Undang Cipta Kerja memangkas berbagai kewenangan pemerintah daerah. Dengan kewenangan yang tersisa, pemerintah daerah perlu melindungi hutan alam dan lingkungan.

Di level provinsi, ada enam kewenangan yang masih melekat. Pemprov bisa mengajukan perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui revisi tata ruang, memberikan perizinan berusaha non-kehutanan yang mengubah tutupan hutan, dan mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terkait pengelolaan hutan di tingkat tapak.

Selain itu, pemprov juga bisa mengakui Masyarakat Adat melalui peraturan daerah dan memasukkan Perhutanan Sosial dalam rencana pembangunan dan anggaran daerah. Terakhir, melindungi dan mengelola hutan alam di area Area Penggunaan Lain (APL) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Sementara di tingkat kabupaten, ada empat kewenangan yang bisa dimaksimalkan untuk menjaga hutan alam dan melestarikan lingkungan. Mengajukan usulan perubahan status kawasan hutan kepada gubernur, mengakui Masyarakat Adat melalui peraturan daerah, memberikan perizinan berusaha non-kehutanan yang mengubah tutupan hutan, serta melindungi dan mengelola hutan alam di area APL dalam RTRW.

Apabila kewenangan yang ada bisa dimaksimalkan, pemerintah daerah berpeluang mendapatkan transfer anggaran ke daerah berdasarkan kinerja ekologis dan hibah dalam dan luar negeri terkait skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+). Skema keuangan dan investasi hijau, instrumen nilai ekonomi karbon, dan kompensasi jasa lingkungan hidup.

Agar bisa memaksimalkan kewenangan yang masih ada, Madani Berkelanjutan merekomendasikan empat hal untuk pemerintah daerah. Memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah yang tidak merusak alam, mengutamakan perlindungan hutan dan ekosistem gambut dalam pembangunan ekonomi daerah, menjadikan masyarakat di sekitar wilayah investasi sebagai mitra utama, dan pelibatan masyarakat didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil.

Data ini sudah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

Nasib Hutan dan Gambut Indonesia di Tengah Pusaran Pilkada Serentak 2020

Nasib Hutan dan Gambut Indonesia di Tengah Pusaran Pilkada Serentak 2020

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang akan dilaksanakan di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota merupakan salah satu momentum politik yang dapat mempengaruhi perlindungan hutan tersisa dan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Pasalnya, deforestasi (penggundulan hutan) dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seringkali meningkat di tahun-tahun sebelum, saat, dan setelah pemilihan kepala daerah.

Selain menjadi momentum yang perlu diwaspadai, Pilkada Serentak 2020 juga merupakan peluang bagi Pemerintah Daerah untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Pasalnya, daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 memiliki luasan hutan alam yang signifikan dengan total mencapai 60,05 juta hektare atau 67,72% dari keseluruhan total hutan alam Indonesia di tahun 2019 serta ekosistem gambut seluas 13,89 juta hektare atau 64,23% dari keseluruhan total fungsi ekosistem gambut Indonesia di tahun 2019.

Agar Pilkada Serentak 2020 dapat menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas di daerah dan berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia, diperlukan pemimpin daerah yang dapat menjadikan hutan alam dan ekosistem gambut yang luas di daerah sebagai aset (pembawa peluang) dan bukan liabilitas (pembawa risiko). Caranya adalah dengan menaruh perhatian lebih pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, khususnya perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut.

Jika dilindungi dan dikelola dengan baik, luasnya hutan alam dan ekosistem gambut di daerah dapat membuka peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengakses berbagai inovasi pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan, baik yang telah tersedia maupun yang sedang dikembangkan, antara lain Transfer Anggaran ke Daerah dan Dana Desa, Hibah Dalam dan Luar Negeri terkait skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation atau REDD+, Skema Keuangan dan Investasi Hijau, Instrumen Nilai Ekonomi Karbon – yang mekanisme implementasinya terdiri dari perdagangan karbon domestik dan internasional, pembayaran berbasis kinerja, dan pajak karbon – serta Kompensasi/Imbal Jasa Lingkungan Hidup sebagai salah satu Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Pemerintah Daerah memiliki modal untuk memanfaatkan berbagai peluang di atas karena memiliki tugas dan wewenang yang cukup signifikan dalam konteks perlindungan dan pengelolaan hutan, ekosistem gambut, dan lingkungan hidup, terlepas dari pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memangkas beberapa kewenangan Pemerintah Daerah dan cenderung memperkukuh kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Setidaknya ada 5 kewenangan Pemerintah Daerah yang dihapus oleh UU Cipta Kerja, yaitu: 1) Kewenangan terkait pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis, termasuk penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis, 2) Kewenangan untuk menetapkan kebijakan Amdal dan UKL-UPL, 3) Kewenangan untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL, 4) Kewenangan untuk membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu Komisi Penilai Amdal, dan 5) Kewenangan pemberian Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. 

Selain itu, meskipun Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan terkait perencanaan ruang di wilayahnya dalam bentuk RTRW Provinsi dan Kabupaten, rencana tata ruang daerah tersebut dapat diabaikan untuk memberi jalan bagi kepentingan Proyek Strategis Nasional atau jika ada perubahan kebijakan nasional yang strategis.

Dapatkan Madani Insight Nasib Hutan dan Gambut Indonesia di Tengah Pusaran Pilkada Serentak 2020 November 2020 dengan mengunduh dokumen yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

id_IDID