Madani

Tentang Kami

Kebijakan Land Swap dan Deforestasi Indonesia

Kebijakan Land Swap dan Deforestasi Indonesia

Pemerintah Indonesia tampaknya sedang merencanakan deforestasi (planned deforestation) dengan mengatasnamakan perlindungan gambut. Hal ini terlihat setelah Koalisi Anti Mafia Hutan menganalisis secara mendalam peta alokasi lahan usaha pengganti (land swap) yang dipublikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kebijakan land swap merupakan respon pemerintah terhadap konsesi hutan tanaman (HTI) yang terimbas oleh kebijakan perlindungan gambut demi mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan. Sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.40/2017 Tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, land swap diberikan kepada pemegang izin HTI yang 40 persen atau lebih areal kerjanya ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Dari total 12,94 juta ha areal prioritas restorasi gambut yang diemban oleh Badan Restorasi Gambut (BRG), seluas 2,15 juta ha di antaranya (atau setara 16 persen) berada di konsesi HTI. Sejumlah 216.044 ha wilayah itu mengalami kebakaran luar biasa pada tahun 2015. Koalisi Anti Mafia Hutan berupaya menganalisisnya secara spasial dan menemukan bahwa dari total alokasi 921.230 ha untuk land swap, 362.390 ha atau 40 persen diantaranya merupakan tutupan hutan baik primer maupun hutan sekunder. Alokasi land swap tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar Indonesia kecuali Jawa, yakni terentang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua.

Bagaimana rincian persebarannya? Mengapa ia problematik bagi ketahanan hutan? Dan apa saja rekomendasi bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan ini? Baca selengkapnya dengan mengunduh laporan di bawah ini.Laporan ini disusun bersama oleh Koalisi Anti Mafia Hutan: Auriga, Jerat Papua, Jikalahari, Elsam, WWF-Indonesia, Gemapala, Pantau Gambut Papua, Walhi Kalimantan Tengah, Hutan Kita Institute (HaKI), Pusaka, Papua Forest Watch, Kemitraan, dan SOS untuk Tanah Papua.

Related Article

Laporan Terkini REDD+: Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi Indonesia

Laporan Terkini REDD+: Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi Indonesia

Definisi hutan, deforestasi, serta bagaimana cara menghitungnya masih menjadi perdebatan di antara para pihak yang berkepentingan. Hingga saat ini, belum ada konsensus di tingkat nasional mengenai angka deforestasi Indonesia di luar dari angka yang dipublikasikan oleh pemerintah setiap tahunnya. Padahal, kesepakatan mengenai angka deforestasi yang terjadi dan yang telah berhasil diturunkan adalah salah satu penentu keberhasilan pelaksanaan REDD+. Di samping itu, dialog yang sehat mengenai bagaimana deforestasi didefinisikan, dihitung, serta apa maknanya bagi lingkungan hidup dan masyarakat Indonesia menjadi penting untuk terus dilakukan agar angka-angka deforestasi yang termuat dalam berbagai publikasi resmi dan media massa lebih mencerminkan kondisi yang sesungguhnya ketimbang hanya menjadi guratan di atas kertas.

Tulisan ini mencoba membandingkan angka deforestasi versi pemerintah dengan masyarakat sipil untuk mengetahui letak perbedaan atau kesenjangan, baik dalam definisi yang digunakan, metode penghitungan, maupun hasil akhir. Data yang digunakan adalah data resmi pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dahulu Kementerian Kehutanan) dan Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta data yang dikeluarkan oleh organisasi masyarakat sipil yang memiliki fokus pada pemantauan hutan dan deforestasi. Madani Berkelanjutan berharap ia dapat menjadi bahan untuk mendorong dialog di antara para pihak guna menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga kelak Indonesia memiliki angka deforestasi yang kredibel dengan keterlibatan publik yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Laporan tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Related Article

id_IDID