Madani

Tentang Kami

Catatan Kritis Inpres No. 5 Tahun 2019 Tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Catatan Kritis Inpres No. 5 Tahun 2019 Tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Kebijakan moratorium hutan dianggap penting oleh banyak pihak dalam melindungi hutan Indonesia yang tersisa dan menanggulangi perubahan iklim global. Berdasarkan data pemerintah RI, luas hutan alam tropis Indonesia pada 2017 mencapai 89,4 juta hektare, terbesar ketiga di dunia dan menutupi hampir setengah atau 47,5 persen dari daratan Indonesia. Namun, hutan Indonesia juga menghilang dengan sangat cepat. Menurut FAO, Indonesia adalah negara dengan laju kehilangan hutan tercepat kedua di dunia pada periode 2010-2015 setelah Brasil dengan deforestasi sebanyak 684 ribu hektare per tahun.


Pemerintah Indonesia menekankan efektivitas kebijakan moratorium hutan dalam menurunkan deforestasi. Menurut pemerintah, deforestasi Indonesia menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB. Meskipun demikian, deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di wilayah Nusantara, termasuk di wilayah moratorium. Analisis Greenpeace menyatakan bahwa deforestasi tahunan rata-rata di wilayah moratorium setelah kebijakan ini diberlakukan (periode 2012-2018) lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum kebijakan ini diberlakukan (periode 2005-2011), yakni 137 ribu hektare per tahun berbanding 97 ribu hektare per tahun meskipun pemerintah telah menampik klaim ini.


Dalam kurun waktu delapan tahun sejak moratorium diberlakukan, luasan hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi oleh kebijakan moratorium berkurang 3 juta hektare dari 69 juta hektare pada 2011 menjadi 66 juta hektare pada 2018. Pada 7 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo akhirnya mempermanenkan kebijakan ini melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, 18 hari setelah Inpres sebelumnya berakhir pada 17 Juli 2019.


Catatan Kritis ini mencoba mencermati ruang lingkup perlindungan hutan alam dan gambut yang diberikan oleh Inpres No. 5 Tahun 2019 dengan berbagai pengecualian yang ada di dalamnya serta melihat pelaksanaan kebijakan moratorium selama ini. Catatan Kritis ini mengakhiri temuan dengan pertanyaan-pertanyaan kunci yang kami harap dapat menjadi pemicu dialog konstruktif di antara para pihak untuk meningkatkan perlindungan hutan alam dan gambut Indonesia ke depan, khususnya pada periode pertama komitmen iklim Indonesia (NDC) yang akan dimulai pada Januari 2020.

Related Article

Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru: Butuh Lompatan Besar

Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru: Butuh Lompatan Besar

Jakarta, 22 Agustus 2019
Pemerintah Indonesia mempermanenkan kebijakan penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut menjadi penghentian izin baru melalui Inpres 5/2019. Menurut pemerintah, kebijakan ini adalah kebijakan utama dalam menurunkan deforestasi Indonesia, yang sudah menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, dan 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB.

Penghentian pemberian izin baru adalah sebuah langkah maju. Sayangnya, selama delapan tahun kebijakan ini diberlakukan dari tahun 2011 hingga dipermanenkan pada tahun 2019, belum terlihat penguatan dalam hal cakupan dan tingkat perlindungan terhadap seluruh hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa.

Dibutuhkan lebih dari sekadar baby steps atau langkah-langkah kecil untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana lingkungan hidup dan kemunduran ekonomi akibat kerusakan sumber daya alam dan dampak buruk perubahan iklim. Yang kita butuhkan adalah lompatan besar ke depan, langkah drastis untuk menyelamatkan seluruh hutan alam dan lahan gambut yang tersisa,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kenyataannya, Inpres 5/2019 masih membatasi diri pada hutan alam primer saja. Padahal, untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, sangat penting untuk turut melindungi hutan alam sekunder yang kaya karbon, keanekaragaman hayati, dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan lokal.

Berdasarkan data pemerintah, dari 43,3 juta hektare hutan alam sekunder Indonesia, yang saat ini dilindungi karena berada di Hutan Lindung dan Konservasi hanya 13,1 juta hektare. Sisanya, 30,2 juta hektare, terancam deforestasi akibat pemberian izin baru. Dari jumlah ini, ada 9,2 juta hektare hutan alam Indonesia yang paling terancam karena berada di Hutan Produksi Konversi atau HPK (3,8 juta hektare) dan Area Penggunaan Lain (5,4 juta hektare) yang sewaktu-waktu dapat diberi izin untuk konversi.

Fakta lainnya yang Madani temukan, wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi dalam Peta Indikatif Penghentian Izin Baru atau PIPPIB tidak turut dipermanenkan dikarenakan masih akan direvisi setiap 6 bulan. Wilayah yang dilindungi masih bisa berkurang atau bertambah meski kecenderungan yang ada selama ini adalah berkurang. Selama periode 2011-2018, telah terjadi pengurangan seluas 3 juta hektare tanpa penjelasan secara utuh pada publik. Pengurangan besar-besaran ini masih bisa terjadi ke depan.

Analisis awal Madani memperlihatkan terdapat area perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan PIPPIB Revisi XV di 23 Provinsi, yakni Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat dengan luas 1.001.182 hektare.

Terkait temuan awal ini, Madani berharap pemerintah membuka ruang diskusi untuk sama-sama melakukan pengecekan ulang. “Inpres 5/2019 juga masih mengandung pengecualian-pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan lahan gambut yang justru bertambah banyak jumlah dan jenisnya, dan hanya berlandaskan Inpres. Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak diterapkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pengecualian yang sangat melemahkan komitmen perlindungan hutan alam dan lahan gambut adalah pengecualian terhadap permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dari Menteri Kehutanan sebelumnya yang diberikan sebelum 20 Mei 2011, serta perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada,” tambah Teguh. “Seharusnya klausul persetujuan prinsip ini dihilangkan karena sudah berjalan lebih dari delapan tahun, bukan justru ditambah dengan izin eksplorasi.

Presiden juga belum memberikan instruksi yang jelas dan tegas untuk mengkaji ulang perizinan dan melakukan penegakan hukum. Selama ini, dua hal tersebut tidak pernah tuntas dilakukan sehingga menyebabkan Indonesia merugi hingga triliunan rupiah dari praktik buruk pengelolaan hutan.

Sembilan langkah bijak perlu dilakukan Presiden untuk melanjutkan upaya perlindungan hutan dan gambut. Pertama, segera mengkaji hutan alam sekunder yang paling terancam dan harus dilindungi untuk kemudian dimasukkan ke dalam cakupan perlindungan Inpres 5/2019; Kedua, membangun mekanisme pemantauan kolaboratif terhadap pelaksanaan Inpres 5/2019 di antara pemerintah dan masyarakat sipil , akademisi dan kelompok kepentingan (interest groups) termasuk dalam proses revisi PIPPIB setiap 6 bulan;

Ketiga, segera melakukan kaji ulang/evaluasi perizinan terhadap permohonan lahan yang telah mendapat persetujuan izin prinsip dan izin eksplorasi dari Menteri Kehutanan pada pemerintahan sebelumnya dengan melibatkan KPK dan menghilangkan klausul ini dari daftar pengecualian. Keempat, segera memasukkan diktum yang mengatur kaji ulang/ evaluasi perizinan menyeluruh terhadap semua izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dari aspek kepatuhan terhadap hukum dan aspek persyaratan kelestarian sesuai dengan rekomendasi KPK dalam Laporan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Kelima, memasukkan agenda harmonisasi dan sinkronisasi regulasi hutan dan gambut dengan melibatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai leading sector bersama kementerian-kementerian dan lembaga terkait dengan melibatkan partisipasi efektif masyarakat sipil. Keenam, membangun mekanisme untuk meningkatkan akses data dan informasi bagi publik dan masyarakat sipil agar dapat melakukan pengawasan secara efektif, terutama data spasial yang dapat dianalisis terkait tutupan hutan dan lahan, izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk persetujuan prinsip dan izin eksplorasi yang dikecualikan dari kebijakan ini, serta revisi PIPPIB beserta alasan berkurang/bertambahnya wilayah PIPPIB;

Ketujuh, melibatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pihak yang diinstruksikan dalam Inpres Moratorium Hutan/Lahan; Kedelapan, Presiden agar segera memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk kebijakan ini, apakah dengan menerbitkan kebijakan ini dalam bentuk regulasi (misalnya Peraturan Presiden) atau segera mengintegrasikan wilayah yang dilindungi Inpres No. 5 Tahun 2019 ini ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW);

Kesembilan, memasukkan perhutanan sosial secara eksplisit ke dalam pengecualian kebijakan ini karena perhutanan sosial adalah bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi Presiden Joko Widodo dan tercantum pada regulasi Proyek Strategis Nasional (PSN), serta tercantum dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 sebagai salah satu prioritas dalam pengentasan kemiskinan.[ ]

***
Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan,
teguh@madaniberkelanjutan.id, +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan,
anggi@madaniberkelanjutan.id, +62 856-2118-997

Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan,
luluk@madaniberkelanjutan.id, +628 151-986 -8887

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan, KLHK, dan YMP Sulteng Komitmen Kembangkan Role Model ProKlim Desa Lampo

Yayasan Madani Berkelanjutan, KLHK, dan YMP Sulteng Komitmen Kembangkan Role Model ProKlim Desa Lampo

Jakarta, 22/08/2019, Delly Ferdian

www.madaniberkelanjutan.id : [Jakarta,MadaniNews] Untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia melalui penguatan perhutanan sosial, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Pengendalian Perubahan Iklim dan Direktorat Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berkomitmen untuk mengembangkan role-model Program Kampung Iklim (ProKlim).

Strategic Development Director Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menyebut bahwa role model Proklim akan dimplementasikan di dua desa di Indonesia yakni Desa Lampo yang berada di Kecamatan Banawa Tengah, Donggala, Sulawesi Tengah, dan Nagari Sirukam, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Program ini sejatinya adalah program yang mengawinkan antara perhutanan sosial dan perubahan iklim, sebagai salah satu bentuk kontribusi kita terhadap NDC Indonesia. Kita juga berharap, kesuksesan program ini akan dicontoh oleh banyak desa di Donggala dan juga di Indonesia“. Hal tersebut disampaikan Nadia dalam rapat kordinasi dan persiapan pemetaan kondisi awal berbasis masyarakat yang diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan, KLHK, dan Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, pada 20-21 Agustus 2019.

Rapat kordinasi ini bertujuan untuk mempersiapkan penyusunan profil kerentanan, risiko, dan dampak perubahan iklim di Desa Lampo, persiapan identifikasi sumber emisi dan potensi separan karbon yang ada di lokasi, review Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RPHD) serta mensinergikan kegiatan-kegiatan adaptasi dan perubahan iklim dengan tata kelola perhutanan di LPHD Lampo.

Program Officer Klima Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia mengatakan bahwa program ini akan dilaksanakan secara bertahap. Dan tahun ini, Desa Lampo menjadirole-model ProKlim.

Dengan implementasi di Desa Lampo, ProKlim diharapakan mampu mendorong kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepentingan lingkungan khususnya melalui pemanfaatan perhutanan sosial.

Direktur Kemitraan Lingkungan, Ditjen PSKL, KLHK, Jo Kumala Dewi optimis dengan ProKlim ini. Ia mengatakan bahwa selama ini belum ada percontohan untuk program perhutanan sosial yang terintegrasi dengan program pro iklim.

Selama ini, kita (KLHK) belum memiliki cerita terkaitprogram perhutanan sosial yang bersinergi dengan ProKlim. Saya melihat ini adalah peluang, dan Desa Lampo menjadi contoh. Dan kita perlu terobosan untuk menyukseskan program ini” ujarnya.

Sementara itu,Sir Leyf Evan Cryf, pendamping Desa Lampo di Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah menjelaskan bahwa program ini sangat menarik karena sesuai dengan visi Donggala Hijau. “Program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat, selain bisa meningkatkan ekonomi masyarakat serta peningkatan kapasitas SDM, program ini juga dapat membantu pelestarian lingkungan”, ujar Evan. [ ]

Related Article

Ekonomi Hutan (Hutannomic)

Ekonomi Hutan (Hutannomic)

Banyak pihak yang beranggapan bahwa pembangunan tanpa deforestasi adalah hal yang mustahil. Keyakinan bahwa deforestasi adalah sebuah keniscayaan dalam pembangunan membuat pembangunan yang dilakukan kerap mengesampingkan kepentingan lingkungan, khususnya hutan itu sendiri. Padahal sejatinya, dengan minim atau bahkan tanpa deforestasi pembangunan tetap dapat berjalan dan kinerja ekonomi pun bisa tumbuh dengan penuh gairah.

Deforestasi itu sendiri adalah sebuah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk banyak kepentingan. Mulai dari kepentingan untuk mengambil hasil kayunya atau juga dengan mengalih fungsikan lahan hutan menjadi non-hutan.

Namun langkah untuk menuju nol deforestasi seperti yang didambakan masih harus menemui jalan terjal yang panjang. Benar bahwa dalam hal membangun infrastruktur, banyak yang beranggapan, bahkan membenarkan, pembabatan hutan untuk membangun konektivitas seperti jalan, jembatan, dan bangunan fisik lainnya adalah hal yang lumrah. Hal ini membuat banyak orang memakluminya, sehingga walau harus dengan mengorbankan hutan lindung sekalipun, pembangunan tetap diprioritaskan bahkan harus dikebut.

Dalam konteks ekonomi hijau, semakin kecil deforestasi maka semakin besar pula kualitas pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai. Pasalnya, pembangunan bersamaan dengan deforestasi memiliki efek jangka panjang yang tentu sangat mengkhawatirkan.

Menghilangkan hutan alam juga dapat diartikan bahwa kita sedang memiskinkan diri kita sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas juga mengartikan bahwa kekuatan ekonomi domestik akan lebih kuat, dan tentunya ini akan menjadi salah satu solusi atas rentannya pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan ancaman gejolak ekonomi global.

Banyaknya deforestasi tentu menjadi salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dalam kasus ini, tak sedikit masyarakat yang telah menjadi korban dan telah merasakan efek dari karhutla itu sendiri bersamaan dengan bencana kabut asap yang terus berlangsung hingga kini. Terparah, bencana kabut asap tersebut terjadi pada 2015 silam yang dampaknya begitu pahit bagi masyarakat sekitar.

Mendiang mantan Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah mengungkap fakta bahwa luas area karhutla yang terjadi tahun 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali. Pernyataan tersebut berdasarkan pada data Terra Modis per 20 Oktober 2015 silam, dengan total hutan dan lahan yang terbakar yang mencapai 2.089.911 hektare.

Bukan hanya soal kabut asap, baru-baru ini ibukota juga dihebohkan dengan buruknya kualitas udara. Polusi udara yang begitu mengkhawatirkan, tentu salah satunya disebabkan oleh keberadaan lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai penetralisir emisi gas buang kendaraan, tak begitu diprioritaskan oleh pemerintah. Belum lagi persoalan satwa yang mulai terancam, kemudian ancaman terjadinya bencana alam, dan juga perubahan iklim yang cukup signifikan saat ini.

Hutan dan pembangunan

Ketua Himpunan Pemuda Maskona, Papua Barat, Piter Masakoda membagi pengalamannya bersama Madani Berkelanjutan dan juga menyatakan sikapnya melalui petisi di laman change.org. Dalam petisi tersebut, Piter mengungkapkan, salah satu agenda deforestasi berupa rencana ekspansi korporasi sawit di daerahnya sangat mengancam hutan maupun keberlangsungan hidup masyarakat yang semula ini bergantung pada hutan. Dengan petisi itu, Piter meminta kepada Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam Indonesia, agar hutan di tempatnya sekarang selamat dari deforestasi.

Hal ini tentu bukan hanya dialami Piter seorang diri, melainkan banyak orang yang bernasib sama yang sejak lahir, turun temurun, bergantung hidup pada hutan dan kekayaan di dalamnya di Indonesia.

Ekspansi bisnis maupun pembangunan konektivitas yang semakin masif saat ini, menurut hemat saya, sudah harus berbasis lingkungan. Oleh karena itu, gagasan dalam tulisan ini, saya sebut dengan hutannomic.

Hutannomic itu sendiri adalah sebuah pandangan, persepsi, dan juga cara kerja pembangunan menuju pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan dengan kepentingan hutan dan alam. Berlandaskan konsep tersebut, saya yakin bahwa pembangunan di Indonesia akan lebih sehat dan juga lebih berkualitas.

Sederhananya saja, hutan-hutan lindung atau hutan primer adalah sebuah kekayaan alam yang tentunya memiliki nilai yang tinggi. Pasalnya, hutan beserta isinya yang sudah ada bertahun-tahun lamanya, bahkan telah melalui beberapa dekade, tidak tumbuh kembali dengan cepat ketika telah menjadi korban deforestasi. Dengan membabat hutan primer untuk melakukan pembangunan tanpa pertimbangan yang akurat tentu malah akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, negara-negara yang masuk dalam kategori maju mulai memikirkan lingkungan, karena pada dasarnya, mereka mulai merasakan dampak dari perusakan lingkungan akibat pembangunan yang begitu masif tanpa analisis lingkungan yang mendalam. Oleh karena itu, cukup rasional jika mereka mendukung banyak negara berkembang untuk menjaga lingkungannya. Karena selain untuk mempertahankan bahkan memperbaiki kualitas iklim dunia, mereka juga memberikan sinyal dan pembelajaran bawah banyak negara maju mulai menyesal telah melakukan pembangunan tanpa analisis lingkungan yang mendalam.

Dalam kasus ini, banyak negara berkembang yang salah kaprah dan menganggap bahwa upaya dukungan dari banyak negara maju terkait pelestarian hutan dan alam tersebut adalah sikap egoistis. Dukungan untuk melarang deforestasi nyatanya malah diartikan sebagai salah satu upaya untuk menghambat pembangunan ekonomi negara berkembang yang katanya sudah tertinggal.

Sejatinya upaya nol deforestasi yang selama ini disuarakan bukan berarti tidak ada pembangunan di dalamnya. Melainkan, membangun dengan tetap memikirkan bahkan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi nantinya. Oleh karena itu, analisis dampak lingkungan (amdal) dalam proyek pembangunan adalah bagian terpenting karena menyangkut kepentingan alam itu sendiri, yang artinya juga menyangkut hajat hidup orang banyak.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Tulisan ini telah dimuat di Harian Kontan, 14 Agustus 2019

Related Article

Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?

Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?

Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 22,2 juta hektare (Sawit Watch, 2018) dengan 30% diantaranya dimiliki oleh petani. Industri perkebunan sawit saat ini memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, dengan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil (CPO)) mencapai 12% dari ekspor nasional dengan total produksi pada 2016 mencapai 31 juta ton. Kontribusi ekspor tersebut mencapai US$ 17, 8 Miliar atau senilai dengan Rp231,4 Triliun. Di dalam negeri, penggunaan bahan bakar biosolar yang bersumber dari minyak sawit semakin gencar digalakkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah sendiri menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton/ tahun pada tahun 2020.


Namun demikian, perkebunan sawit di Indonesia mempunyai beragam masalah mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, kondisi buruh yang terabaikan, ancaman terhadap ketersediaan pangan dan lain-lainnya. Sawit Watch (2016) mencatat terdapat 782 komunitas berkonflik dengan perkebunan besar sawit.


Presiden Joko Widodo pada 14 April 2016 menyatakan akan menghentikan sementara (moratorium) perizinan kelapa sawit dan batubara. Komitmen ini akhirnya terealisasi dalam sebuah kebijakan berupa Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.


Lewat kebijakan ini, pemerintah mencoba untuk melakukan peningkatan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), serta untuk peningkatan pembinaan petani sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Related Article

id_IDID