Madani

Tentang Kami

Menyambut Perubahan dari Pertalite ke Pertamax Green 92: Antara Harapan Lingkungan dan Tantangan Berkelanjutan

Menyambut Perubahan dari Pertalite ke Pertamax Green 92: Antara Harapan Lingkungan dan Tantangan Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) mengumumkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menggantikan Pertalite, salah satu jenis bahan bakar yang umum digunakan, dengan Pertamax Green 92. Langkah ini telah menarik perhatian masyarakat dan memunculkan berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.

Tindakan berani yang diambil oleh pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Kebijakan ini muncul setelah adanya kajian yang dikenal sebagai Program Langit Biru Tahap 2, yang bertujuan untuk menggalakkan penggunaan Pertamax Green sebagai pengganti Pertalite, dengan tujuan utama mengurangi dampak lingkungan dari sektor energi. Namun, ketika kita memeriksa lebih rinci, ada sejumlah aspek penting yang perlu diperhatikan lebih mendalam.

Kesenjangan antara Konsep “Green” dan Penurunan Tingkat Polusi

Konsep “green” merujuk pada pendekatan yang berfokus pada perlindungan lingkungan dan keberlanjutan. Ini mencakup praktik, produk, teknologi, dan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat. Di sisi lain, penurunan tingkat polusi berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah polutan yang dibuang ke lingkungan, baik melalui udara, air, atau tanah. Perlu diketahui bahwa kandungan emisi gas buang Pertalite berada lebih rendah dari Premium dan lebih tinggi dari Pertamax yaitu pada putaran mesin 3000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 5.5% dan pada putaran mesin 5000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 4.5%.

Meski Pertamax Green mengklaim dirinya sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan, pertanyaannya adalah sejauh mana “green” dalam produk ini sebanding dengan dampak nyata penurunan polusi? Apakah Pertamax Green hanyalah hasil dari strategi pemasaran yang cerdik, dengan bahan aditif yang ditambahkan sebagai upaya kosmetik tanpa adanya perubahan fundamental dalam komposisi bahan bakar atau teknologi pembakaran? Jika demikian, maka dampaknya terhadap pengurangan emisi polusi akan diragukan. Untuk mencapai penurunan tingkat polusi, diperlukan langkah-langkah yang lebih dalam seperti pengembangan bahan bakar yang lebih bersih atau pengadopsian teknologi pembakaran canggih.

Oleh karena itu, tanggung jawab juga ada pada pemerintah untuk memverifikasi bahwa produk seperti Pertamax Green tidak hanya menggembirakan dari perspektif promosi lingkungan, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam mengurangi jejak karbon dan mengendalikan polusi udara. Dengan memastikan adanya solusi yang lebih substantif, pemerintah bisa memastikan bahwa janji-janji lingkungan tidak hanya sekadar retorika, tetapi juga mendorong perubahan yang positif dalam perjuangan global melawan polusi dan perubahan iklim.

Tata Niaga Biofuel (Ethanol) Harus Dibarengi dengan Perhitungan Matang dari Sisi Feedstock

Pengembangan dan penerapan Biofuel (etanol) untuk Pertamax Green memerlukan pendekatan yang cermat, terutama dalam hal mengelola stok bahan baku yang diperlukan. Peningkatan produksi biofuel yang tidak terencana dapat memiliki konsekuensi yang merugikan, terutama dalam hal persediaan pangan yang dapat berdampak langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan suatu negara.

Ketika mempertimbangkan implementasi massal Biofuel (etanol), pemerintah dan pemangku kepentingan harus menjalankan analisis mendalam tentang ketersediaan bahan baku yang digunakan untuk produksi biofuel tersebut. Melalui penghitungan matang stok bahan baku, implementasi biofuel (etanol) dalam Pertamax Green dapat diarahkan menuju solusi yang berkelanjutan dan efektif. Dengan perencanaan yang cermat dan kolaborasi yang baik, dampak negatif terhadap ketahanan pangan dan lingkungan dapat diminimalkan, sementara manfaat biofuel sebagai sumber energi terbarukan tetap dapat direalisasikan.

Mendesak agar Indonesia Memiliki Dedicated Area untuk Feedstock BBN

Dalam konteks perkembangan Pertamax Green, meningkatnya kebutuhan untuk feedstock Biofuel menjadi semakin penting. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat terhadap penggunaan lahan serta memastikan bahwa perluasan feedstock biofuel tidak mengabaikan sektor lain yang memiliki tingkat kepentingan yang setara. Pendirian dedicated area yang khusus untuk produksi feedstock BBN mungkin dapat menjadi alternatif solusi, namun langkah ini juga harus didukung oleh pertimbangan yang cermat mengenai dampaknya terhadap keselarasan penggunaan lahan dan keberlanjutan lingkungan.

Keberhasilan penerapan dedicated area untuk feedstock BBN akan tergantung pada kualitas perencanaan dan pelaksanaannya. Selain itu, pendekatan ini juga harus mencerminkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk ilmuwan, kelompok petani, organisasi lingkungan, dan sektor swasta. Dengan pendekatan yang matang dan terpadu, Indonesia dapat memastikan bahwa pengembangan feedstock BBN tidak hanya berkontribusi pada tujuan energi terbarukan, tetapi juga terjaga keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Keputusan pemerintah untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 adalah langkah yang signifikan dalam upaya menuju bahan bakar yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan Pertamax Green menjadi angin segar dalam menghadapi tantangan lingkungan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, untuk mencapai perubahan yang nyata dan bermakna, kebijakan ini harus lebih dari sekadar slogan “Green” dan memperhatikan implikasi praktisnya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat secara menyeluruh.

kebijakan ini juga perlu dievaluasi dengan cermat, dan implementasinya harus disertai dengan perencanaan yang matang untuk mengatasi tantangan seperti penurunan polusi yang efektif, pengelolaan stok bahan baku biofuel, dan pengalokasian lahan yang bijak untuk feedstock BBN. Kesadaran dan partisipasi publik juga akan memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan lingkungan.

Related Article

ANCAMAN KARHUTLA DI KALA EL-NINO MENERPA: UPDATE KARHUTLA INDONESIA JANUARI-AGUSTUS 2023

ANCAMAN KARHUTLA DI KALA EL-NINO MENERPA: UPDATE KARHUTLA INDONESIA JANUARI-AGUSTUS 2023

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melanda berbagai daerah di Indonesia sejak beberapa bulan lalu. MADANI Berkelanjutan mengkaji tren-tren karhutla di Indonesia selama Januari—Agustus 2023 dan menemukan beberapa temuan kunci berikut:

  1. Akumulasi angka Area Indikatif Terbakar di Indonesia selama Januari—21 Agustus  2023 telah mencapai 262 ribu ha. Angka ini sudah melampaui luas lahan terbakar tahun lalu, yakni 204 ribu ha. Karena El-Nino diprediksi BMKG akan mencapai puncaknya pada Agustus—September, angka karhutla dikhawatirkan masih akan meningkat tajam apabila upaya penanggulangan karhutla kurang intensif.

  2. Kenaikan luas Area Indikatif Terbakar yang cukup ekstrem terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dengan kenaikan 30 kali lipat pada Agustus 2023 dibandingkan Juni 2023. Sementara itu, dua (2) dari sepuluh (10) provinsi dengan total Area Indikatif Terbakar terluas, yaitu Aceh dan Papua, belum menetapkan status Siaga Darurat Karhutla.

  3. Angka Area Indikatif Terbakar di wilayah izin dan konsesi melejit berkali-kali lipat selama Juni—Agustus. Luas AIT di izin perkebunan sawit naik 24 kali lipat, di PBPH-HA (logging) naik 17 kali lipat, di PBPH-HT (hutan tanaman) dan konsesi minerba masing-masing naik 15 kali lipat, dan di konsesi migas naik 10 kali lipat.

  4. Meskipun turun dibandingkan tahun sebelumnya, masih tingginya Area Indikatif Terbakar di wilayah ekosistem gambut, PIPPIB, dan PIAPS tetap harus menjadi perhatian karena merupakan area prioritas untuk dilindungi.

Baca selengkapnya dengan unduh publikasi di bawah.

Related Article

Perdagangan Karbon Harus Dijalankan Secara Berkeadilan

Perdagangan Karbon Harus Dijalankan Secara Berkeadilan

Perdagangan karbon harus diletakkan dalam upaya mencapai NZE (Net Zero Emission) Indonesia karena pada dasarnya perdagangan karbon hanya satu dari banyak instrumen untuk membantu penurunan emisi. Hal ini disampaikan oleh Knowledge Management Manager MADANI Berkelanjutan, Anggalia Putri, saat Serial TalkShop Menjaga yang Tersisa: “Menakar Kebijakan Perdagangan Karbon di Indonesia dari Kacamata Keadilan Iklim” pada 1 Agustus 2023 di Jakarta.

Menjelang Bursa Karbon diluncurkan Pemerintah Indonesia pada September 2023, semarak perdagangan karbon tanah air makin meriah. Banyak pihak mulai melihat peluang ganda dari proses ini karena tidak hanya dinilai dapat membantu mengatasi krisis iklim, tetapi juga membantu meraih pendapatan dari pemanfaatan potensi hutan yang ada.

Kendati demikian, publik tidak boleh kehilangan arah karena esensi perdagangan karbon bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Anggalia Putri, biasa dipanggil Anggi, menambahkan bahwa keadilan iklim juga harus menjadi napas perdagangan karbon karena dampak perubahan iklim dirasakan lebih dan semakin berat oleh kelompok-kelompok rentan.

“Sebenarnya, tidak hanya perdagangan karbon, tetapi seluruh aksi penanggulangan perubahan iklim harus adil terutama untuk kelompok masyarakat yang paling rentan”, tegas Anggi.

TalkShop yang kali ini berformat chatham house dihadiri oleh berbagai penanggap yang mewakili pemerintah, akademisi, praktisi, dan pelaku bisnis perdagangan karbon.

Beberapa ahli berpandangan bahwa perdagangan karbon di Indonesia akan berfokus pada pembiayaan untuk menurunkan emisi. Pembiayaan untuk mencapai target NDC hanya bisa ditanggung APBN kurang dari 30%, sehingga perdagangan karbon dibutuhkan untuk menambah pendanaan ini. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dari kelompok pelaku usaha bisa menutup kekurangan dana tersebut.

Salah satu peserta diskusi mengatakan bahwa pasar karbon sendiri diciptakan untuk membuat penurunan emisi menjadi lebih murah, bukan untuk menurunkan emisi secara langsung, sehingga perlu ada kebijakan khusus untuk mendorong penurunan emisi.

Sementara itu, peserta yang lain juga menjelaskan bahwa keadilan dalam proses perdagangan karbon juga patut menjadi perhatian pemerintah. “Ada ketidakadilan berupa perdagangan karbon yang merusak di lokasi yang berbeda dengan lokasi ‘offset’, seharusnya di lokasi yang ada industri ekstraktif juga ada aksi [‘offset’], bukan hanya di luar areanya. Pelaku [emisi] itu harus menanggung beban paling banyak sementara yang paling rentan itu harus dapat manfaat yang paling besar,” jelas salah satu peserta.

Perdagangan karbon memang seharusnya dijalankan secara berkeadilan agar tidak sekadar membantu pengurangan emisi dalam rangka menanggulangi krisis iklim, tetapi juga memberikan rasa adil bagi pihak-pihak yang dirugikan oleh para pengemisi.

Dapatkan materi kegiatan ini lewat tautan di bawah.

Related Article

id_IDID