Madani

Tentang Kami

Terdapat 2,27 Juta Ha Lahan Potensial untuk Pengembangan BBN Selain Sawit

Terdapat 2,27 Juta Ha Lahan Potensial untuk Pengembangan BBN Selain Sawit

[Madani News] Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan sekitar 2,27 juta hektar (ha) lahan yang berpotensi digunakan untuk pengembangan feedstock bahan bakar nabati (BBN) selain sawit. Jumlah ini meliputi 1,55 juta ha areal penggunaan lain (APL), 438,26 ribu ha hutan produksi tetap (HPT), dan 278 ribu ha hutan produksi konversi (HPK).

Hal tersebut disampaikan oleh Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Ahmad Naufal, dalam Workshop dan Fellowship bertajuk “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan bekerjasama dengan Mongabay pada Rabu, 17 November 2021. 

Fadli juga mengatakan, angka tersebut diperoleh usai memperhatikan aspek ekologi, izin eksisting, rencana perlindungan, dan fokus pada tutupan lahan yang mungkin diusahakan.

Lebih lengkap Fadli menjabarkan, lahan seluas 371,92 ribu hektar tersedia di Jambi dan 142,91 ribu ha di Sumatera Selatan. Kemudian, sebesar 286,69 ribu ha berada di Kalimantan Timur, sekitar 267,56 ribu ha di Kalimantan Tengah, serta 104,68 ribu ha di Kalimantan Barat. Selebihnya, 123,81 ribu ha di Nusa Tenggara Timur dan 281,77 ribu ha di Papua.

Dari luasan-luasan ini, kita ingin coba melihat komoditas yang berada di sekitar daerah tersebut yang sedang eksisting berjalan. Tentu jika menetapkan komoditas apa yang cocok itu harus ada penelitian lebih lanjut terkait kesesuaian lahan, kapasitas tanah, dan sebagainya,” Ujar Fadli. 

Berdasarkan perhitungannya, potensi lahan eksisting paling luas berupa kebun kelapa yaitu 969,28 ribu ha. Kemudian, terdapat lahan ubi kayu seluas 913,13 ribu ha, ubi jalar 912,47 ribu ha, jagung 912,23 ribu ha, pinang 574,71 ribu ha, aren 538,82 ribu ha, tebu 172,88 ribu ha, serta jarak 100,75 ribu ha.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber yakni Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Kementerian Pertanian, Prof.Dr.Ir.Budi Leksono,M.P, Peneliti Perubahan Iklim, Energi, dan Rendah Karbon CIFOR, Himlah Barai, dan Direktur Utama PT Clean Power Indonesia, Joyo Wahyono.

Saksikan Workshop dan Fellowship bertajuk “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati di channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan materi presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Mengurangi Ketergantungan BBN terhadap Bahan Baku dari Sawit

Mengurangi Ketergantungan BBN terhadap Bahan Baku dari Sawit

Suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan, salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

Untuk melepaskan diri dari energi fosil dan mendorong bauran energi, pemerintah Indonesia menginisiasi kebijakan bahan bakar nabati (BBN) sejak 2006. Langkah itu kemudian menjadi strategi mencapai target penurunan emisi nasional yang tertuang dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) 2030 dan pencapaian net zero emission di sektor energi. Dengan pencampuran BBN dalam bahan bakar untuk transportasi, diharapkan impor solar menurun dan potensi dalam negeri dapat ditingkatkan (Mongabay.co.id, 2021).

Definisi dan Jenis BBN

Biofuel atau BBN adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan organik lain (Ebtke.Esdm.go.id, 2019). BBN adalah semua bentuk minyak nabati, yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar, baik dalam bentuk esternya (biodiesel) atau anhydrous alkoholnya (bioetanol) maupun minyak nabati murninya (pure plant oil atau PPO). Dengan beberapa persyaratan tertentu, biodiesel dapat menggantikan solar, bioetanol dapat menggantikan premium, sedangkan bio-oil dapat menggantikan minyak tanah (Prastowo, 2007). 

Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati setelah adanya perubahan sifat kimia karena proses transesterifikasi yang memerlukan tambahan metanol. Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi jagung, sorgum, sagu atau nira tebu (tetes) dan sejenisnya. Bio-oil merupakan minyak nabati murni atau dapat disebut minyak murni, tanpa adanya perubahan kimia, dan dapat disebut juga pure plant oil atau straight plant oil, baik yang belum maupun sudah dimurnikan atau  disaring. Bio-oil dapat disebut juga minyak murni (Prastowo, 2007).

Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menetapkan 13 tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biodiesel dan bioetanol, yakni kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, pongamia, karet, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, dan sorgum.  

Dari semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN itu, pemerintah Indonesia baru memanfaatkan sawit. Program mandatori biodiesel sudah mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5% pada 2010. Pada periode 2011 hingga 2015  persentase biodiesel ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya, pada 1 Januari 2016, ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20% (B20). Program Mandatori B20 berjalan baik dengan pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Mulai 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO (Ebtke.Esdm.go.id, 2019).

Pemerintah Indonesia kemudian memberlakukan program B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% solar). Dikutip dari Kominfo.go.id (2019), Presiden Jokowi meluncurkan Program Mandatori B30 di SPBU Pertamina MT Haryono 31.128.02 Jakarta pada 23 Desember 2019. Program itu akan diimplementasikan secara serentak di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2020. Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama yang mengimplementasikan B30 di dunia.

Pemerintah Indonesia juga telah memasukkan sawit ke dalam salah satu dari lima program untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Program itu masuk ke dalam Prioritas Riset Nasional 2020—2024 yang berada di bawah Kemenristek/BRIN (Kompas.com, 2021). Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa target penggunaan BBN dari sawit sebagai BBM ialah menghasilkan bensin, diesel, maupun avtur 100 persen dari bahan baku kelapa sawit sehingga bisa mengurangi impor BBM (Kompas.com, 2021).

BBN yang saat ini mengandalkan sawit digadang-gadang bakal berperan penting dalam mencapai target NDC 2030. Dalam dokumen NDC terbaru yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada PBB Juli lalu, implementasi biofuel di sektor transportasi mesti mencapai 90—100% dengan target sawit sebagai bahan baku utama (Mongabay.co.id, 2021).

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, pengembangan BBN nasional masih banyak tantangan, terutama karena didominasi satu komoditas feedstock, yakni, sawit. Dengan pertimbangan ekonomi yang dilematis, dampak dari single feedstock ini akan mengancam ketersediaan lahan yang berkaitan hutan dan gambut. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, Penurunan emisi jadi tidak terlalu relevan jika dilihat life cycle analysis-nya (Mongabay.co.id, 2021).

Menurut Aksel Tomte dari Universitas Oslo, kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan campuran 30% bahan bakar hayati dalam bensin sejak Januari 2020 untuk meningkatkan jumlah penggunaan biodiesel akan meningkatkan permintaan akan sawit, ekspor pertanian nomor satu bagi Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program tersebut sebagai cara untuk menurunkan impor bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Namun, program itu akan memperparah deforestasi, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan menghilangkan keanekaragaman hayati, serta mengakibatkan konflik agraria (Theconversation.com, 2020).

Kata Tomte  lagi, kalangan industri sawit sering kali berargumen bahwa jika permintaan global untuk minyak nabati mesti terpenuhi dari kedelai, bunga matahari, dan kanola (dan tidak oleh sawit), maka lebih banyak lahan akan dibutuhkan, dan hal itu akan mendorong tingginya deforestasi. Hal itu kontroversial karena tidak semua tanaman tersebut berdampak setara terhadap deforestasi. Laporan dari Uni Eropa menyimpulkan bahwa kelapa sawit terkait dengan tingkat deforestasi yang lebih tinggi dibanding bahan bakar nabati lainnya.

Tomte menambahkan bahwa dengan demikian, kebijakan biodiesel bertujuan untuk menggantikan bahan bakar fosil sehingga perbandingannya harus dengan bahan bakar fosil, bukan jenis minyak nabati lainnya. Banyak studi menemukan bahan bakar minyak dari sawit memproduksi emisi karbon lebih banyak daripada bahan bakar fosil.

Mengenai kebijakan B30, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa permintaan BBN dipengaruhi laju elektrifikasi transportasi. Tanpa kendaraan listrik, katanya, kebijakan B30 hanya menggantikan 7% dari konsumsi bahan bakar pada 2050. Peningkatan kontribusi BBN lebih besar dapat terjadi dengan produksi drop in biofuel (Mongabay.co.id, 2021).

Elektrifikasi moda transportasi, kata Fabby, akan menurunkan kebutuhan minyak sawit untuk produksi BBN. Penggunaan kendaraan listrik di transportasi darat juga dapat menurunkan permintaan BBM. Jika merujuk peta jalan Kementerian Perindustrian, kendaraan listrik dapat membatasi kenaikan konsumsi BBM 40% saat ini.

Dekarbonisasi sistem energi memerlukan bahan bakar rendah karbon dari hasil berkelanjutan serta harga kompetitif dengan teknologi bahan bakar lain. Fabby mengatakan bahwa jika produksi BBN dari CPO (crude palm oil) dengan membuka lahan baru, jelas menyebabkan carbon footprint BBN lebih tinggi dan tidak compatible dengan tujuan transisi energi menuju dekarbonisasi.

Pertimbangan lain, kata Fabby, perlu eksplorasi penggunaan bahan baku BBN lain, generasi kedua dan ketiga sebagai pilihan. CPO yang sustainable tidak cukup memenuhi kebutuhan bahan bakar di masa depan.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Walhi, Yuyun Harmono, mengatakan bahwa konteks kebijakan sawit yang diharapkan sebenarnya bukanlah revisi perpres biofuel, melatinkan moratorium sawit. BBN bukan jadi alternatif bagi bahan bakar fosil itu sendiri kalau dilihat dari persoalan lingkungan hidup dan perubahan iklim (Mongabay.co.id, 2018).

Karena biofuel mampu mengemisi tiga kali lipat, bukan mereduksi emisi. Ia mengacu pada produksi hulu sawit—bahan baku biofuel—yang diperoleh dengan menciptakan berbagai masalah dari deforestasi, kebakaran hutan dan lahan sampai konflik sosial,” ujar Yuyun.

Sumber: 

Praswoto, Bambang. 2007. “Bahan Bakar Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga” dalam Jurnal Perspektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007. 

Buku Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, 2015).

“Apa Itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?” (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

“Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit” (Mongabay.co.id, 13 September 2021).

“Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” (Ebtke.Esdm.go.id, 19 Desember 2019).

“Pertama di Dunia, Indonesia Terapkan Biodiesel 30 Persen (B30)” (Kominfo.go.id, 23 Desember 2019).

“Indonesia menyiapkan biodiesel dari sawit. Ini kemungkinan dampak sosial dan lingkungannya” (Theconversation.com, 30 Oktober 2020)

“Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?” (Mongabay.co.id, 9 Agustus 2018).

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Hasil COP26 tak memuaskan bagi pencapaian target dunia untuk keluar dari Krisis Iklim. Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret yang bisa berkontribusi bagi bumi. Dengan semangat kolaborasi dan pelibatan aktor non pemerintah, langkah konkret akan lebih mudah diimplementasikan. 

Jakarta, 18 November 2021. Conference of the Parties ke-26 (COP26) UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, telah berakhir pada 13 November 2021. Pertemuan itu menghasilkan Pakta Iklim Glasgow, namun belum memuaskan banyak pihak. Usaha untuk menyelamatkan bumi dari Krisis Iklim, perlu melibatkan banyak pihak agar kerja menyelamatkan bumi lebih konkret, bisa dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan. 

COP26 menghasilkan Pakta Iklim Glasgow. Poin-poin penting dari Pakta Iklim Glasgow antara lain, mengakui bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara selama ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet, tidak cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri. Kedua, secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil, utamanya batu bara. Ketiga, penegasan akan perlunya komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim. 

Namun, untuk bisa keluar dari Krisis Iklim dan mencegah dampak yang lebih besar di masa depan, hasil COP26 ini memang masih jauh dari harapan dan dinilai masih mengecewakan. Menurut Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, COP26 memang memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Tapi implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Menurut Dewi, Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim. “Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujarnya. NDC adalah dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. Dalam COP26 ditekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Peran NPS (non-party stakeholders) seperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, swastas, harus dibuka. Agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan. “Kuncinya semua sektor harus dilibatkan,” kata Dewi.  

Utamanya sektor energi.  Salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara. Dalam Pakta iklim Glasgow, gagal menghentikan penggunaan batubara secara penuh. Batu bara selama ini adalah penyebab karbon yang memicu pemanasan global. Pada menit-menit akhir penandatanganan draf kesepakatan, India dan Cina melobi untuk melemahkan penghentian secara penuh itu. Kedua negara itu bersikeras menghapus kata “menghentikan” penggunaan batubara dan menggantinya dengan kata “mengurangi” secara bertahap.

Masalah bantuan dana dari negara-negara maju juga berpengaruh bagi Indonesia. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, secara akumulatif Indonesia butuh dana sebesar Rp3.779,63 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2030. Dari biaya adaptasi iklim sebanyak Rp3.779,63 triliun itu, pos paling besar adalah sektor transportasi dan energi. Porsinya sebesar 92 persen atau sekitar Rp3.500 triliun. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya. 

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Tahun 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton, atau 102 persen dari target. Hal ini menunjukkan, dari sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan. 

Batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Fabby menjelaskan, batu bara kontribusi 40 persen pada emisi global. Indonesia memiliki kemajuan dengan rencana akan mempensiunkan dini beberapa PLTU (pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang memakai batu bara. “Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” kata Fabby. 

Langkah peralihan ini bisa dimulai dengan melakukan disinsentif pada sektor yang bergantung pada energi batu bara. Sektor transportasi juga perlu beranjak dari energi fosil. Agar bumi tak makin kotor karena emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Di sisi lain, Pemerintah perlu  memberikan insentif pada sektor yang menggunakan energi ramah lingkungan. Sehingga, penggunaan energi hijau makin banyak yang batu bara makin dijauhi. 

COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam. “Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Selain itu, Nadia juga mendorong pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa, dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia. Selain itu, penting untuk mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial. Langkah ini mempunyai potensi untuk berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi restorasi gambut, terutama di area izin dan konsesi serta pemulihan mangrove yang menjadi target pemerintah pada 2021-2024.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin, melalui pencegahan karhutla, manajemen gambut, Moratorium Hutan Alam dan Gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum (law enforcement). Untuk mencapai target net sink FOLU 2030, maka dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah, termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan. “Selain itu, Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki safeguards yang kuat agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tambah Nadia Hadad.

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup dan masyarakat Adat Dayak menjelaskan, COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. “Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka,” ujarnya.  

Menurut Belai, partisipasi kaum muda dalam aksi iklim perlu didefinisikan ulang. Apakah hanya sekadar konsultasi atau sampai ikut terlibat dalam kepemimpinan.  Keterlibatan kaum muda perlu dilembagakan secara nasional. Agar masukan dari kaum muda diperhatikan secara nasional. “Dewan nasional ini  perlu agar anak muda memiliki perwakilan suara yang resmi,” kata Belai. Kerja-kerja itu harus diturunkan dalam aksi yang konkret, detail, dan transparan. Agar tak ada lagi isu ketidak percayaan  dalam kerja-kerja aksi iklim. 

Hasil kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow, tentu akan sia-sia jika hanya digubris oleh para pemerhati iklim. Kepedulian sekecil apapun wujudnya, akan turut membantu memperbaiki bumi.  Mulai mengurangi konsumsi energi atau sekadar mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Kini sudah waktunya bagi kita bergerak menyelamatkan bumi #TimeforActionIndonesia

* * *

Tentang Komunitas

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan. 

Kontak yang bisa dihubungi:

Luluk Uliyah (MADANI): email  luluk@madaniberkelanjutan.id kontak: +62 815-1986-8887

Dewi Rizki (KEMITRAAN): 08118453112

 

Related Article

Begini Konsep Biofuel Berkelanjutan

Begini Konsep Biofuel Berkelanjutan

Indonesia sesumbar bahwa pengembangan sektor energinya lebih ambisius ketimbang negara lain di dunia. Pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT Perubahan Iklim COP26 Glasgow mengklaim Indonesia sudah jauh melangkah dalam memanfaatkan energi baru terbarukan.

Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean energy termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, di Kalimantan Utara,” mengutip isi pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT COP26 Glasgow Senin, 1 November 2021. 

Indonesia mendapatkan sumber biofuel dari minyak kelapa sawit. Kebijakan mandatori  biodiesel misalnya, berlangsung progresif di mana sejak 2008 Indonesia menargetkan 20% bauran energi di tahun 2025. Realisasi bauran  minyak sawit 20% (B20) pada 2018 dan B30 di tahun 2020. Melansir siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI dalam “Refleksi Industri Sawit 2020 dan Prospek 2021” menyebut tahun 2020 konsumsi biodiesel naik dari tahun 2019 seiring dengan perubahan kebijakan dari B20 menjadi B30. Total konsumsi tahun 2020 sebesar 17,35 juta ton (merupakan konsumsi domestik) naik 3,6% dari tahun 2019 (16,75 juta ton). 

Bahan bakar nabati ini digadang-gadang mampu memenuhi ambisi target iklim Indonesia.  Dominasi feedstock minyak sawit dianggap bernilai lebih ketimbang sumber feedstock lain. “Ketika kita punya kebijakan biodiesel yang progresif itu akan menekan risiko kebutuhan lahan lebih banyak,” ungkap Kepala kajian ekonomi lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia Dr. Alin Halimatussadiah dalam Workshop Menelaah Potensi Bahan Bakar Nabati Indonesia, Selasa, 16 November 2021. 

Laporan Studi: Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan, LPEM FEB UI 2020 (asumsi tidak ada peremajaan/replanting) menemukan risiko ekspansi lahan dari kebijakan biodiesel (B20, B30, B50) membutuhkan 3% lahan (skenario 1/B20), 39% lahan (skenario 2/B30), dan 70% (skenario 3/B50).  Skenario 3/B50 misalnya, butuh ekspansi lahan seluas 5,19 juta ha (2019); 1,69 juta ha (2020); 1,30 juta ha (2021) dan 1,11 juta ha (2022). 

Proyeksi ekspansi lahan sawit demi realisasi ambisi iklim Indonesia juga disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM Arifin Tasrif. “1 juta barel per hari minyak itu kalau mau ganti ke CPO, kita butuh 15 juta ha kebun CPO baru. Itu hasil kajian dari kita,” ucap Arifin  dalam rapat dengan Komisi VII DPR (bidang energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup), Senin, 23 November 2020.  15 juta ha, fantastis bukan? Seluas tiga pulau di Indonesia (Jawa, Bali, dan Lampung) atau setara dengan 227 luas wilayah ibukota negara!

Indonesia memiliki target sektor energi biofuel 46% di tahun 2050. Kebijakan yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/ LTS LCCR  2050 ini mengutamakan sektor transportasi. 

Karena memang pilihannya itu sulit. Kita mau ga mau pakai biofuel untuk mencapai NZE. Karena electric vehicle/EV tidak bisa digunakan untuk semua jenis transportasi. Risikonya di sektor kehutanan,” ungkap Alin, perempuan penerima gelar doktoral UI bidang ekonomi sumber daya alam dan lingkungan pada 2013 ini. 

Pasok Feedstock Alternatif dari Lahan Tersisa

Sawit bukan satu-satunya sumber bahan bakar nabati/BBN nasional. Yayasan Madani Berkelanjutan misalnya menawarkan untuk mencari bahan baku energi yang tidak hanya rendah karbon tapi juga ramah lingkungan. GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal mengatakan terdapat dua potensi lahan untuk pengembangan feedstock BBN berkelanjutan. Pertama, potensi ketersediaan lahan. Terdapat 2,27 juta ha lahan di luar hutan dan di kawasan hutan (hutan produksi tetap dan hutan produksi yang bisa dikonversi).  

Sederhananya kawasan itu coba kita pilah berdasarkan aspek ekologis (hutan alamnya, gambut, habitat lebih dari 15 flora dan fauna), kita keluarkan juga izin yang konsisting. Coba kita keluarkan dari aspek perlindungan hutan dan lahan yang diusung pemerintah. Terakhir fokus pada tutupan lahan yang memang mungkin diusahakan (pemukiman misalnya). Kami keluarkan dari analisis ini sehingga meliputi tutupan lahan yang mungkin seperti semak, semak belukar, savana, tanah terbuka,” papar Fadli dalam Workshop “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati,” Rabu, 17 November 2021. 

Fadli mengatakan dari pemilahan tersebut tersisa 2.269.318 ha dari luasan yang ada yaitu 138.396.905 ha. Luasan ini tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Papua. Dari akumulasi lahan tersedia di tiap provinsi Jambi memiliki lahan terluas yaitu 371 ribu ha lahan tersedia/tersisa. Ini menjadi acuan Madani untuk menggali komoditas lokal yang ada di wilayah terpantau. 

Dari komoditi eksisting daerah yang dihimpun dari BKPM 2012-2017 dengan produksi di atas 20 ton per tahun terdapat Kelapa (969,278 ha), ubi kayu (913,130 ha), Ubi jalar (912,469 ha), Jagung (912,228 ha), Pinang (574,705 ha), Aren (538,819 ha), Tebu (172,880 ha), Jarak (100,745 ha). Meski begitu, Fadli mengatakan butuh penelitian lebih lanjut terkait dengan kecocokan lahan dengan jenis komoditas eksisting. 

Kedua, optimalisasi lahan di dalam izin sawit. “Melihat izin sawit yang ada saat ini dan bagaimana sisa lahan yang belum menjadi sawit bisa dioptimalkan jika memang pilihannya mengembangkan sawit untuk biodiesel,” kata Fadli. 

Madani mencatat data luas izin/usaha sawit eksisting per 2020 terdapat 22.219.508 ha izin sawit. Dengan menggunakan metodologi serupa maka ditemukan lahan tersisa seluas 1.162.648 ha luas lahan di dalam izin sawit. Temuan ini relatif menyebar. Dari akumulasi lahan tersisa di tiap provinsi, Kalimantan Timur memiliki lahan tersisa paling luas yaitu 470 ribu ha. Dari sisa luasan tersebut terdapat tumpang tindih izin, tertinggi tumpang tindih dengan minerba sebesar 264.591 ha. Dari luasan tumpang tindih perizinan inilah Madani memilah dan menghitung lagi hingga tersisa 613 ribu ha. Angka tersebut meliputi 287,021 ha (belum terdata), 167,434 ha IUP, 85,836 ha HGU, 73,322 ha ILOK, 20 ha hak milik. 

Terdapat potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan feedstock BBN selain sawit. Meskipun memang itu harus kita telaah lebih dalam lagi terkait kecocokan tanah dengan komoditasnya. Pilihan kedua jika memang sawit menjadi pilihan pengembangan feedstock BBN maka tata kelola adalah hal yang paling pertama yang harus kita perhatikan bersama,” pungkas Fadli mengakhiri presentasi.  

Libatkan Pekebun Mandiri, Topang dengan Instruksi Pemerintah

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 menetapkan luas tutupan kelapa sawit Indonesia tahun 2019 adalah 16.381.959 ha. Proporsi kepemilikan tersebut meliputi 41% (6,72 juta ha) perkebunan rakyat, 53% (8,68 juta ha) perusahaan swasta, 6% (0,98 juta ha) milik BUMN/pemerintah. Prosentase tersebut menunjukkan pentingnya peran pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok sawit nasional sebagai penyokong kebijakan biodiesel berkelanjutan. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian juga menunjukkan kontribusi pekebun mandiri kelapa sawit mencapai 2.740.747 KK (2019)

Dalam Working Paper 3-2020 “Rantai Pasok CPO Pekebun Mandiri Dalam Tata Niaga Biodiesel,” Traction Energy Asia mengasumsikan jika setiap rumah tangga pekebun mandiri kelapa sawit mempekerjakan 2 orang, maka kegiatan tersebut berpotensi menyediakan lapangan pekerjaan bagi 5.481.494 orang. Traction Energy Asia juga mendorong transparansi dan keterlacakan  rantai pasok biodiesel yang digunakan dalam bauran energi. Hal ini penting sebagai upaya memastikan bahwa kebijakan biodiesel benar-benar menggunakan feedstock minyak sawit yang rendah emisi. Caranya dengan melibatkan pekebun mandiri kelapa sawit ke dalam rantai pasok biodiesel. 

Studi Traction Asia menemukan karakteristik pekebun mandiri kelapa sawit adalah pekebun yang memiliki lahan kurang atau sama dengan 5 hektare, produktivitas rendah (kurang dari 3 ton per hektare setiap panen), pendidikan maksimal SMA, belum menggunakan bibit bersertifikat, tidak rutin mengelola dan merawat kebun , masih bergantung kepada tengkulak (dalam menjual produk/TDS), memiliki usaha sampingan. 

Langkah kemitraan perusahaan dengan pekebun mandiri kelapa sawit memiliki keuntungan bagi keduanya, termasuk bagi negara. Pekebun mandiri mendapat kepastian pasar, harga jual stabil, dan meningkatkan kesejahteraan. Sebaliknya perusahaan mendapat pasokan bahan baku tanpa harus membuka lahan baru, menjadi portofolio yang menguatkan kredibilitas perusahaan dalam mendukung energi lestari. Selain itu kemitraan ini juga berpeluang menyasar segmen market yang peduli pada isu lingkungan dan kesejahteraan. Apalagi, pasar global saat ini, utamanya Uni Eropa menetapkan batas perdagangan hanya kepada perusahaan yang mendukung kebun sawit berkelanjutan. 

Lantas, apa relevansinya kemitraan tersebut bagi negara? Working paper Traction Energy Asia mengungkap pemerintah bisa menjalankan program sawit dalam kebijakan biodiesel secara inklusif dan rendah emisi. Ini bisa dicapai bila negara berani menerbitkan peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan biodiesel hanya membeli minyak sawitnya dari perusahaan yang bermitra dengan pekebun mandiri kelapa sawit. 

Langkah ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan Pak Jokowi dalam peresmian implementasi program biodiesel 30 persen (B30) di SPBU Pertamina 31 – 128.02 Jalan M.T. Haryono, Jakarta, Senin, 23 Desember 2019, “Penerapan B30 akan menciptakan permintaan domestik CPO yang sangat besar, selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani, pekebun kelapa sawit kita.” 

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan: Perlu Peta Jalan Bahan Bakar Nabati untuk Kurangi Emisi Karbon Indonesia

Yayasan Madani Berkelanjutan: Perlu Peta Jalan Bahan Bakar Nabati untuk Kurangi Emisi Karbon Indonesia

[Madani News] Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indarto mengatakan bahwa untuk membuat bahan bakar nabati (BNN) mampu memenuhi komitmen iklim maka perlu dibuatkan road map (peta jalan) BBN dalam upaya mengurangi emisi karbon. Hal ini diungkapkan Giorgio atau yang akrab disapa Jojo dalam webinar “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia”, pada Selasa, 16 November 2021 yang bekerjasama dengan Mongabay Indonesia.

Madani mengajak semua pihak yang berbicara BBN agar BBN tidak dijadikan alat untuk dikatakan sebagai solusi palsu. Madani ingin mengatakan apapun solusinya selama dapat dipikirkan secara tepat, ia mampu menjadi solusi,” kata Giorgio.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sampai 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai 41 persen dengan dukungan internasional. Untuk itu, menurut Giorgio, Indonesia semestinya tidak hanya bergantung pada BBN yang berbahan dasar minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

BBN tidak hanya biodiesel, kalau hanya biodiesel, makna BBN menjadi sempit, akhirnya BBN sulit menjadi solusi perubahan iklim yang sesungguhnya. Dan agak pilih kasih ketika hanya membicarakan satu komoditas,” katanya. 

Selain bahan baku BBN yang masih berfokus pada CPO, Giorgio juga memandang perluasan penggunaan BBN di dalam negeri masih menghadapi masalah berupa harga yang mahal sehingga belum mampu bersaing dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). 

Kita harus mencari bagaimana BBN bersaing dengan minyak bumi. Sekarang tanpa insentif BBN lebih mahal, orang tidak mau membeli,” kata Giorgio.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber seperti Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI), Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM Universitas Indonesia, dan Sub Koordinator Supervisi Biofuel Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Herbert Hasudungan. 

Saksikan diskusi “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia” channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan bahan presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Krisis Iklim dan Buruknya Tata Kelola Lingkungan

Krisis Iklim dan Buruknya Tata Kelola Lingkungan

Baru-baru ini di media sosial beredar video mengenai banjir bandang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, banjir juga terjadi di Gorontalo, Sulawesi. Di saat yang hampir bersamaan, banjir bandang juga melanda Aceh Utara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menyatakan sebanyak 1.853 jiwa mengungsi di dua titik pengungsian karena banjir melanda daerah itu. Bahkan banjir sudah menjadi ritual tahunan di Ibukota Jakarta.

Pada 2020, banjir yang menenggelamkan Ibukota di awal tahun 2020.  Data Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa hingga 2 Januari 2020 pukul 12.00 WIB, sebanyak 35.557 orang di wilayah Jakarta yang mengungsi. 

Bencana ekologi kini seakan menjadi bagian dari keseharian kita. Banjir, tanah longsor, kabut asap, pencemaran air dan udara sering terjadi di negeri ini. Tak terhitung banyaknya jumlah korban yang berjatuhan akibat bencana ekologi itu.

Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Di Indonesia, bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim. Bencana ekologi itu disebabkan oleh perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari hancurnya daya dukung ekologi di Ibukota. Hancurnya daya dukung ekologi itu adalah dampak dari kebijakan kebijakan pembangunan yang sudah bertahun-tahun. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan oleh maraknya alih fungsi daerah resapan air menjadi kawasan komersial. Hilangnya daerah resapan air ini akan memperbesar volume air larian (run off). Semakin besar volume air larian, akan semakin memperbesar kerentanan kota ini dari banjir. 

Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan setiap 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007).

Pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta. Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Namun, di kawasan itu kini telah muncul  berbagai kawasan komersial. 

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi kawasan komersial. Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.

Kehancuran alam yang menyebabkan bencana ekologi tidak hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis.  Meningkatnya bencana ekologi salah satunya disebabkan karena laju deforestasi di Indonesia mencapai 750.00 hektar per tahun. Namun, kemampuan pemerintah rehabilitasi hutan dan lahan hanya 250.000 hektar per tahun hingga ada kesenjangan angka 500.000 hektar per tahun, yang terus berlipat setiap tahun.

Seperti halnya di Kalimantan, kehancuran hutan di Sumatera juga sangat massif. Di Provinsi Jambi, luas hutan di wilayah yang semula mencapai 2,2 juta hektar kini hanya tersisa sekitar 500.000 hektar. Di Provinsi Lampung, sekitar 65 persen atau 650.000 hektar dari 1,004 juta hektar hutan dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan di Provinsi Aceh juga meningkat. Di provinsi itu, sejak 2006 kerusakan hutan rata-rata 32.200 hektar per tahun.

Menurut data Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, kehancuran hutan Indonesia kira-kira seluas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.

Namun data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) cukup melegakan. Data itu menyebutkan bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha.

Meskipun data dari KLHK menunjukan laju deforestasi mengalami penurunan, Laju deforestasi hutan primer Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Global Forest Watch, laju deforestasi Indonesia masih masuk daftar 10 terbesar di dunia pada tahun 2020. Indonesia menempati posisi keempat, diapit oleh Bolivia dan Peru. Pada tahun 2020, lahan hutan primer Indonesia tercatat berkurang 270 ribu hektare (ha). Bukan sebuah angka kecil bagi upaya menjaga keberlanjutan alam.

Jadi sudah sejak lama pemerintah tutup mata dalam tata kelola lingkungan hidup. Buruknya tata kelola lingkungan hidup yang sudah terjadi sejak lama itu kini berpadu dengan krisis iklim global. Akibatnya sudah bisa ditebak, sebuah bencana ekologi terjadi dengan tak terkendali.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis iklim itu. Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Sebagai warga negara dan juga pembayar pajak kita harus senantiasa mendesak para pemegang kebijakan di negeri ini untuk segera membenahi tata kelola lingkungan hidup yang carut marut. Kita harus menyuarakan ke para pemegang kebijakan itu bahwa, waktu yang penduduk bumi benar-benar makin terbatas untuk mengatasi krisis iklim. Tanpa pembenahan tata kelola lingkungan hidup, bencana ekologi akan menimpa kita semua dengan skala yang masif dan mematikan. 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Gelar Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan: Kita Harus Adil Terhadap Iklim

Gelar Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan: Kita Harus Adil Terhadap Iklim

[Madani News, 02/11/2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menggelar kegiatan Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System pada Kamis sampai Jumat, 28-29 Oktober di Provinsi Kalimantan Barat. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas OPD Provinsi Kalimantan Barat dalam melakukan manajemen penganggaran dan penentuan program prioritas hijau agar daerah dapat berperan dalam memobilisasi sumber-sumber pendanaan baik publik dan non-publik.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan bahwa pelaksanaan kegiatan ini sangat penting sebagai upaya non state aktor untuk berkolaborasi bersama pemerintah dalam mencapai target komitmen iklim Indonesia.

Kolaborasi antar stakeholder sangat penting di tengah kondisi krisis iklim saat ini. Kita harus berlaku adil, tidak hanya adil terhadap diri sendiri, tapi juga terhadap lingkungan dan juga iklim”, ujar Nadia Hadad.

Sependapat dengan hal itu, Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat , Ir.Sukaliman,MT juga menyebut pentingnya keadilan terhadap iklim. 

Sependapat dengan Ibu Nadia Hadad tadi, Kita perlu adil terhadap lingkungan, bukan kepada diri kita sendiri. Karena lingkungan ini bukan hanya milik kita tapi juga milik anak cucu kita nantinya”, ujar Sukaliman. 

Sukaliman juga menyampaikan pentingnya pelatihan Green Budget Tagging dan System Scoring yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan ini. “Sangat urgent kawan-kawan dari sekian OPD ini untuk mengetahui persoalan tagging untuk membiayai apa yang akan kita lakukan”, tambah Sukaliman. 

Diskusi Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Kalimanta Barat

Dalam pelatihan ini, hadir beberapa narasumber seperti Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rico Arya Radestya, S.E., M, Si., Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, dan Doddy Afianto, Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri.

Dalam pelatihan, Joko Tri Haryanto menyampaikan bahwa fungsi budget tagging itu adalah konsolidasi pendanaan. “Perlu kita pahami bahwa dana publik itu tidak cukup. Kalau di daerah menggantungkan dana publik, itu berat. Budget tagging ini juga memberikan perubahan paradigma karena jangan sampai kita menggunakan dana publik yang 30%. Kita harus gunakan dana dari 70% dari non state aktor,” ujar Joko. 

Rico Arya Radestya mengatakan Tugas kita mentagging ini adalah untuk mempertegas komitmen kita dalam peningkatan ekonomi hijau. 

Apa yang kita rencanakan itu harus menjadi dasar perumusan penganggaran. Gak mungkin ingin menurunkan emisi GRK 29% secara mandiri tapi tidak muncul di dokumen perencanaan dan penganggaran,” tegas Rico. [ ] 

Related Article

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

Yayasan Madani Berkelanjutan (Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan) adalah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif lokal dan nasional dalam menyelamatkan hutan untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak lingkungan dengan strategi menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan untuk mencapai solusi invoatif terkait tata kelola hutan dan lahan. 

Indonesia telah berkomitmen dalam penurunan emisi karbon dengan target 29%-41% dari level BAU pada tahun 2030 yang terefleksi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Target ini merupakan capaian Nasional yang tentunya perlu peran serta dari semua pihak termasuk para pemangku kebijakan dan masyarakat pada tingkat sub-nasional. Perlu adanya sinkronisasi metodologi, kelembagaan, dan perencanaan pembangunan antara nasional dan sub-nasional yang mendukung tercapaianya target penurunan emisi karbon di 2030. Hal ini menjadi peluang untuk memfasilitasi dan memobilisasi dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah, NGO dan kelompok muda untuk mengimplementasikan dan/atau mendorong peningkatan ambisi target dan aksi iklim di Indonesia.

Kami membuka kesempatan untuk bergabung dengan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai Program Assistant Perubahan Iklim dan Pembangunan Daerah Berkelanjutan untuk mengelola kegiatan-kegiatan program Yayasan Madani Berkelanjutan yang berkaitan dengan advokasi perubahan iklim secara menyeluruh termasuk namun tidak terbatas pada: 

BACA JUGA: Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Tugas dan Tanggung Jawab: 

1. Melaksanakan aktivitas program, mulai dari persiapan, pengelolaan dan perlibatan sumberdaya hingga pelaporan kegiatan. 

2. Mengelola Database program.

3. Terlibat dalam proses penyusunan proposal dan laporan program. 

4. Memberi masukan pada atasan terkait dengan pelaksanaan program sebagai bahan evaluasi dan perbaikan program ke depannya. 

5. Mengumpulkan data dan riset untuk event/program yang sedang ditangani. 

6. Mengikuti perkembangan kebijakan pemerintah yang terkait dengan program yang tengah ditangani, termasuk jadwal acara Rekan Pemerintah dan CSO yang relevan. 

7. Melakukan penyusunan, pengarsipan, serta diseminasi biweekly update report kepada Mitra dan Jaringan. 

8. Menjalin relasi dan komunikasi dengan Mitra dan Jaringan, termasuk Rekan Pemerintah. 

9. Mengumpulkan data dan informasi untuk membantu penyusunan analisis dan kajian Madani.

10. Meningkatkan kapasitas pribadi secara terus-menerus dan membantu peningkatan kapasitas organisasi.

11. Turut terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Madani dan mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan sesuai dengan perkembangan organisasi.

Kualifikasi

1. S1 semua jurusan, yang relevan dengan program yang ditangani

2. Memiliki pengalaman 2 tahun sebagai Program Assistant di bidang lingkungan khusunya isu terkait

perubahan iklim/kehutanan/lingkungan hidup/geografi

3. Memiliki pengalaman administrasi dan keuangan project

4. Menguasai Microsoft Office

5. Mampu berkomunikasi menggunakan bahasa inggris aktif dan pasif

6. Mampu bekerja dengan baik dalam tim, teliti dan kreatif

Harap kirimkan aplikasi anda dengan melampirkan CV dan Letter of Interest melalui email ke: rekrutmen@madaniberkelanjutan.id paling telat tanggal 12 November 2021 dengan subject: MDN – PA MADANI. 

Kami memberikan kesempatan kepada semua orang yang tertarik dan memenuhi syarat terlepas dari ras, jenis kelamin, disabilitas, agama/kepercayaan dan usia untuk mengirimkan aplikasinya.

 

Related Article

Sulitnya Posisi Delegasi Indonesia dalam COP26

Sulitnya Posisi Delegasi Indonesia dalam COP26

Pemerintah Indonesia mengklaim telah mempersiapkan para delegasi dan negosiator handal dalam perundingan iklim pada COP 26 UNFCCC di Glasgow November mendatang. Bahkan dalam siaran pers yang dipublikasikan dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri LHK, Siti Nurbaya menekankan kepada para Delegasi Indonesia untuk COP 26 agar menunjukkan kepada Dunia Internasional bahwa Indonesia sangat serius dalam penanganan pengendalian perubahan iklim yang terencana dan solid antar sektor.

Pertanyaan mendasarnya adalah benarkah pemerintah selama ini serius dalam pengendalian perubahan iklim? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi penting jika pemerintah ingin posisi tawarnya dalam COP 26 itu menguat. Sebaliknya, bila selama ini pemerintah ternyata tidak serius dalam melakukan pengendalian krisis iklim, posisi tawar para delegasi dalam negosiasi akan lebih sulit, karena para delegasi harus merangkai-rangkai cerita untuk membangun pencitraan seolah-olah pemerintah serius dalam pengendalian krisis iklim.

Salah satu indikasi keseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan mengendalikan laju penggundulan hutan (deforestasi). Hutan memang berpotensi menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Makin luas hutan yang hancur, makin banyak pula emisi GRK yang dilepas di atmosfer. Jika itu yang terjadi, bencana ekologi akibat krisis iklim akan semakin sering menghampiri kita. 

Salah satu kawasan hutan di Indonesia yang tersisa adalah di Papua. Celakanya, di Papua, laju deforestasi juga melonjak tajam. Data deforestasi hutan sejak tahun 1992 hingga tahun 2019 dari Yayasan Auriga Nusantara, seperti ditulis merdeka.com, mengungkapkan bahwa luas hutan alam yang hilang pada 2015-2019 mencapai 2,81 juta hektare. Angka deforestasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992. 

Seperti ditulis CNN Indonesia, KLHK mengakui bahwa pada era Presiden Jokowi menerbitkan 17 Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) pada 2015-2019 dengan luas total lahan 269.132 hektare. Namun, KLHK mengungkapkan bahwa hampir 100 persen deforestasi yang terjadi di 2015 berasal dari luar areal 17 SK PKH yang diterbitkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi selama periode 2015-2019.

Debat antara organisasi lingkungan hidup dan KLHK terkait deforestasi di Papua tidak bisa menghapus fakta bahwa telah terjadi penghancuran hutan besar-besaran di Papua, terlepas itu terjadi karena konsesi yang diterbitkan di era Presiden SBY atau Jokowi. Tugas pemerintah harusnya mencegah semaksimal mungkin terjadinya penghancuran hutan alam Papua yang tersisa itu.

Kurang seriusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan deforestasi ini nampak juga dengan masih seringnya pemerintah ’membunuh’ pembawa pesan pihak-pihak yang melontarkan kritik atas pengelolaan hutan dengan memberikan label tidak nasionalis. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit, yang tak jarang menghancurkan hutan, itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye perubahan iklim, tak lebih sebagai upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pihak-pihak yang mengkampanyekan perubahan iklim pun diberikan label sebagai antek asing.

Pengendalian emisi GRK bukan hanya dari sektor kehutanan namun juga sektor energi. Indonesia tercatat sebagai pengekspor energi fosil, terutama batubara, penyebab krisis iklim. Menurut data dari Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019, pada tahun 2018, total produksi energi primer yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara, dan energi terbarukan mencapai 411,6 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE). Sebesar 64% atau 261,4 MTOE dari total produksi tersebut diekspor terutama batubara dan LNG.  

Meskipun nilai ekspor batubara dari Indonesia naik turun, secara umum ekspor batubara masih dominan. Menurut BPS dalam publikasi analisis komoditas ekspor 2013-2020 tercatat bahwa nilai ekspor sektor pertambangan didominasi dari ekspor pertambangan batubara (83,40%). 

Padahal emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim. 

Seperti ditulis dalam komitmeniklim.id, menjelang COP 26, justru rencana bebas karbon Indonesia dinilai belum jelas. Ketidakjelasan itu terlihat ketika PLN meluncurkan peta jalan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara pada 2060. Langkah ini mundur dari pengumuman sebelumnya yang menjadi netral karbon pada tahun 2050.

Komitmen untuk mengatasi krisis iklim terkait penggunaan energi kotor batubara ini juga terlihat dari dominasi bank-bank BUMN yang masih mendanai proyek-proyek batubara. Laporan urgewald yang berbasis di Jerman, mengungkapkan bahwa bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN termasuk empat dari enam bank di Indonesia yang masih mendanai proyek-proyek energi kotor batubara selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. 

Ketiadaan komitmen bank-bank BUMN untuk menghentikan pendanaan ke proyek-proyek batubara ini semakin menunjukan bahwa pemerintah Indonesia belum begitu serius mengendalikan emisi GRK penyebab krisis iklim. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan emisi GRK ini akan menyulitkan posisi delegasi Indonesia dalam negosiasi di COP 26.  Dengan posisi sulit delegasi Indonesia itu nampaknya, tidak ada hal yang baru terkait pengendalian krisis iklim COP 26.  Tidak adanya hal yang baru itu bukan salah delegasi Indonesia, tapi salah pemerintah yang selama ini kurang serius dalam mengendalikan emisi GRK.

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Sawit untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Sawit untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menetapkan komitmen iklim dalam Updated NDC di mana Indonesia harus menurunkan target deforestasi di bawah 3,25 juta hektare pada periode 2020-2030. Pemerintah juga telah mengumumkan aspirasi untuk mencapai net sink FOLU pada tahun 2030 yang artinya angka deforestasi dan karhutla Indonesia harus ditekan lebih jauh lagi. 

Kebijakan moratorium sawit yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (Inpres 8/2018) dapat mendukung Indonesia untuk mencapai dua tujuan tersebut. Namun, Inpres ini telah berakhir pada 19 September 2021 dan hingga saat ini tidak ada keputusan untuk memperpanjangnya.

Tidak diperpanjangnya Inpres 8/2018 menimbulkan dua kekhawatiran. Pertama, meningkatnya risiko deforestasi dan kerusakan gambut akibat kembali diperbolehkannya pemberian izin perkebunan sawit di Kawasan Hutan. Hal ini berpotensi berdampak pada sekitar 1,73 juta hektare hutan alam di area Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) di luar perlindungan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), di luar Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS), dan di luar izin dan konsesi eksisting.

Kedua, kekhawatiran akan terjadinya pembukaan hutan alam dan ekosistem gambut di dalam izin perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan yang belum terbangun (ditanami sawit), yang berpotensi untuk diputihkan berdasarkan UUCK. Hal ini berpotensi berdampak pada 1,16 juta hektare hutan alam dan 1 juta hektare ekosistem gambut tersisa di dalam land bank izin perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan. Dari luasan tersebut, hingga 0,8 juta hektare hutan alam dan 0,76 juta hektare ekosistem gambut berisiko terdeforestasi karena tidak tumpang tindih dengan izin kehutanan dan berada di Hutan Produksi sehingga dapat dilepaskan dari Kawasan Hutan.

Jika seluruh hutan alam yang berpotensi terdampak di atas hilang, hingga 78% “jatah” deforestasi Indonesia untuk mencapai target Updated NDC pada 2020- 2030 akan habis. Padahal, potensi deforestasi terencana Indonesia ke depan dari sektor lain juga masih tinggi. Luas hutan alam di dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) saja masih mencapai 2,9 juta hektare. Hutan alam yang terdapat di Area of Interest Food Estate yang merupakan Proyek Strategis Nasional mencapai 1,5 juta hektare di 4 provinsi saja. Belum lagi potensi kebutuhan akan lahan dari Kawasan Hutan untuk pemukiman dan lahan pertanian serta risiko deforestasi tidak terencana seperti pembalakan liar, perambahan, dan karhutla yang belum bisa dihilangkan sepenuhnya. Jika deforestasi di atas terjadi, kuota deforestasi Indonesia untuk mencapai komitmen iklim akan terlampaui dan aspirasi net sink FOLU di 2030 akan sulit tercapai.

Pemerintah telah berhasil menurunkan laju deforestasi hutan alam hingga ke titik terendah dalam 10 tahun pada 2019-2020. Memperpanjang Inpres 8/2018 atau kebijakan moratorium sawit dapat membantu Indonesia mempertahankan capaian ini, memenuhi komitmen iklim, sekaligus meningkatkan citra keberlanjutan produk sawit Indonesia di mata internasional. Apabila kebijakan moratorium sawit tidak diperpanjang, Pemerintah perlu mempertegas langkah- langkah untuk mengurangi risiko deforestasi dan kerusakan gambut dari sektor sawit untuk mencapai komitmen iklim Indonesia dan agenda net sink FOLU 2030, yakni dengan:

  1. Menghentikan pemberian izin baru dan perluasan perkebunan sawit ke seluruh wilayah berhutan alam dan ekosistem gambut dan memfokuskan pembangunan industri sawit pada peningkatan produktivitas, terutama produktivitas petani sawit,
  2. Menjalankan safeguards PP 23/2021 untuk tidak melepaskan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang masih produktif (berhutan alam), termasuk untuk perkebunan sawit,
  3. Menuangkan komitmen penghentian pelepasan dan konversi HPK yang masih berhutan alam sebagai bagian dari implementasi agenda net sink  FOLU 2030 ke dalam kebijakan tertulis atau peraturan perundang- undangan yang mengikat.
  4. Menginventarisasi dan mengevaluasi izin usaha perkebunan sawit di Kawasan Hutan yang masih memiliki land bank berupa tutupan hutan alam dan ekosistem gambut; dan
  5. Membatasi penyelesaian keterlanjuran izin perkebunan sawit di Kawasan Hutan hanya pada wilayah-wilayah izin yang sudah ditanami sawit dengan mengecualikan seluruh land bank yang masih bertutupan hutan alam dan ekosistem gambut yang belum ditanami sawit.

Dapatkan Madani Insight Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Sawit untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia dengan mengunduh di tautan ini.

Related Article

id_IDID