Madani

Tentang Kami

Koridor Satwa Diperhitungkan

Koridor Satwa Diperhitungkan

Jakarta, Kompas — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengarahkan agar setiap pemanfaatan kawasan hutan memikirkan dan menyediakan koridor satwa. Langkah itu untuk menjaga populasi berbagai satwa yang bersifat penjelajah dan menekan konflik dengan manusia yang saat ini sering terjadi.

Langkah itu berlaku pula bagi lahan yang akan dilepaskan dari areal hutan. Itu termasuk alokasi 2,1 juta hektar kawasan hutan produksi dapat dikonversi (HPK) yang tak produktif sebagai bagian dari tanah obyek reforma agraria (TORA).

“Ketika kawasan hutan dilepas dan itu range (area jelajah) atau koridor satwa, harus dilihat pemerintah daerah dalam mendesain lahan itu,” kata Bambang Hendroyono, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa (18/4), di Jakarta.

Di sela-sela Pertemuan Ke-2 Perwakilan Pemerintah dari Negara-negara di Asia Pemilik Populasi Gajah Asia (AsERSM), ia mengatakan home range satwa itu akan dikelola di kawasan ekosistem esensial. Area itu berada di luar kawasan hutan, tetapi jadi pendukung kehidupan satwa, termasuk sebagai area jelajah.

Bambang yang juga Sekretaris Jenderal KLHK mengakui, pada masa lalu, ruang jelajah dan koridor satwa seperti gajah dan harimau belum dipertimbangkan dalam pelepasan lahan. “Kini kami punya prinsip satwa harus dijaga meski di luar kawasan hutan,” ucapnya.

Terkait hal itu, pelepasan kawasan hutan bagi TORA seluas 2,1 juta hektar harus diawali kesiapan desain pemakaian lahan dari pemda (Kompas, 18 April 2017). KLHK mewajibkan pemda menyediakan koridor satwa jika lokasinya strategis menghubungkan antarhutan konservasi.

Penyediaan koridor diperlukan sebagai perlintasan satwa antarkawasan hutan konservasi atau lindung ataupun hutan produksi. Itu juga bertujuan menjaga kekayaan genetika dan menghindari perkawinan sedarah yang bisa menurunkan mutu satwa.

Menurut Bambang, rambu-rambu penyediaan koridor satwa di hutan yang dilepaskan diatur di peraturan menteri. Selain itu, KLHK bersama sejumlah kementerian menyiapkan Peraturan Pemerintah Kawasan Ekosistem Esensial dan merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Kritik

Secara terpisah, pegiat Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, dihubungi di Papua, menyayangkan Ketetapan Menteri LHK No 180/2017 yang tidak memasukkan keterlibatan publik. Ketetapan itu berisi Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA.

Menteri LHK menyediakan 4,8 juta ha areal hutan untuk dilepaskan dan 2,1 juta ha di antaranya ialah HPK tak produktif. Itu mewujudkan janji Presiden Joko Widodo untuk memberi reforma agraria 9 juta ha.

“Reforma agraria diapresiasi menjawab ketimpangan pengelolaan dan penguasaan lahan di Indonesia. Namun, penetapan kebijakan berdampak serius secara sosial dan lingkungan sehingga perlu proses inklusif dan akuntabel,” katanya.

Peta indikatif sulit diakses publik demi menghimpun pemantauan publik dan tidak ada klausul peta itu bisa di revisi per periode. Dalam 6 tahun penerapan Instruksi Presiden terkait Moratorium Kehutanan, hanya bisa diakses kelompok tertentu. Area moratorium tetap berpeluang dibuka. (ICH)

Kompas cetak edisi 19 April 2017

Related Article

Indonesia Menolak Tudingan Uni Eropa

Indonesia Menolak Tudingan Uni Eropa

HELSINKI, KOMPAS —Indonesia menolak tudingan Parlemen Eropa yang mengaitkan komoditas sawit dengan isu hak asasi manusia, korupsi, dan sosial budaya. Tudingan tersebut diprotes keras oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Hal itu bermula dari laporan Parlemen Eropa “Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests”. Resolusi itu disampaikan Parlemen Eropa di Starssbourg, Brussel, 4 April 2017. Resolusi non-binding (tidak mengikat) itu akan diserahkan kepada Dewan Uni Eropa untuk ditindaklanjuti.

“Laporan itu mengada-ada. Sama sekali tak berdasar karena mengabaikan segala upaya progresif yang dikerjakan Pemerintah Indonesia,” ujar Siti Nurbaya di Hotel Crowne Plaza, Helsinki, Finlandia, Jumat (7/4), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Nasrullah Nara.

Laporan lembaga legislatif Uni Eropa itu khusus menyebut masalah sawit Indonesia terkait isu, antara lain, korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan penghilangan hak masyarakat adat. “Bagi Indonesia, isu sawit seperti ini sensitif. Dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, saya harus merespons,” kata Siti Nurbaya.

Industri sawit di Indonesia termasuk industri besar yang menyangkut hajat hidup petani, meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta hektar dan 41 persennya dikelola petani kecil. Kebun dan industri itu melibatkan 16 juta petani dan tenaga kerja.

Siti Nurbaya menilai, catatan negatif dalam mosi itu merupakan penghinaan pada Indonesia. “Kita tak bisa menerimanya. Tuduhan keji dan tak relevan sekarang,” ujarnya.

Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, menerapkan praktik pengelolaan berkelanjutan sawit serta industri berbasis lahan. Sejumlah kebijakan mengarah pada peningkatan tata kelola hutan dan lahan, antara lain, moratorium izin baru di lahan gambut dan hutan primer serta pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut beserta aturan pelaksanaannya.

Penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pun intens digarap pemerintah dengan membuka masukan dari publik. Itu meniru Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diakui setara dengan Lisensi FLEGT (Penegakan Hukum, Pemerintahan, dan Perdagangan bidang Kehutanan) milik Uni Eropa.

Terkait hak masyarakat adat, menurut Siti Nurbaya, Pemerintah Indonesia telah dan sedang memberikan pengakuan hutan adat. Lebih dari 13.000 hektar hutan adat diberikan Presiden Joko Widodo kepada sembilan komunitas masyarakat adat.

Deforestasi

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menyatakan, Parlemen Eropa juga menyorot sawit jadi penyebab deforestasi. “Kita punya aturan perundangan tentang pelepasan kawasan hutan (bisa dikonversi) sebagai ruang budidaya dan kebutuhan lain, termasuk kebun sawit,” ucapnya.

Namun, Uni Eropa tetap melihat hal itu sebagai deforestasi (dalam kacamata buruk) meski deforestasi dilakukan secara legal. Terkait sawit ilegal di area hutan yang tercatat 800.000 ha, ia mengatakan semuanya berada di Kalimantan Tengah.

Pembukaan kebun sawit di kawasan hutan itu dilakukan berdasarkan surat Badan Planologi (kini Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK) tahun 2003. Pada 2006, kebijakan ini dicabut namun di lapangan telanjur terjadi pembukaan lahan.

Aktivis Yayasan Madani Berkelanjutan, M Teguh Surya, menilai, pelaporan Parlemen Uni Eropa menunjukkan kegagalan Pemerintah Indonesia meyakinkan pasar terkait komitmen dan penuntasan masalah tata kelola kebun sawit. Itu termasuk isu perlindungan hutan dan gambut, nol deforestasi, korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, dan penghilangan hak masyarakat adat.

“Meski pembangunan berkelanjutan jadi perhatian pemerintah, banyak kebijakan kontradiktif dengan upaya perlindungan lingkungan dan pengakuan hak masyarakat adat,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menentang secara konfrontatif terhadap tudingan Parlemen Uni Eropa itu. “Pemerintah tak bisa berjalan sendiri,” katanya. (ICH)

Kompas cetak edisi 9 April 2017

Related Article

Ketika Parlemen Eropa Keluarkan Resolusi Soal Sawit

Ketika Parlemen Eropa Keluarkan Resolusi Soal Sawit

Resolusi sawit Parlemen Eropa menyebutkan, sawit sebagai penyebab deforestasi sampai pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat/lokal. Foto: Lusia Arumingtyas

Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM. Dalam resolusi yang secara khusus menyebut Indonesia itu, menghasilkan voting 640 anggota parlemen setuju, 18 menolak dan 28 abstain. Laporan sawit bersifat non-binding ini akan diserahkan kepada Komisi dan Presiden Eropa.

Kateřina Konečná, perancang resolusi mengatakan, dalam mengatasi dampak produksi minyak sawit, seperti penggundulan hutan, degradasi habitat, terutama di Asia Tenggara, Uni Eropa, katanya, harus memperkenalkan skema sertifikasi tunggal untuk sawit memasuki pasar Uni Eropa juga menghentikan bertahap penggunaan minyak nabati yang mendorong deforestasi sampai 2020.

“Kami ingin debat terbuka dengan semua pemain hingga kita dapat membuat produksi minyak sawit berkelanjutan, tanpa menebang hutan dan sesuai kondisi hak asasi manusia yang bermartabat,” katanya Selasa lalu dalam siaran pers mereka.

Dikatakan, resolusi sawit ini kali pertama dibuat parlemen dengan tetap menyerahkan keputusan tindakan pada Komisi Eropa. “Tapi kita tak bisa mengabaikan masalah deforestasi, yang mengancam Perjanjian Perubahan Iklim pada COP21 dan pembangunan berkelanjutan PBB,” katanya.

Parlemen Eropa mencatat, 46% dari minyak sawit impor oleh Uni Eropa untuk memproduksi biofuel, membutuhkan penggunaan sekitar satu juta hektar tanah tropis. Selain pendorong deforestasi, Parlemen Eropa menyatakan, sebagian besar produksi global minyak sawit melanggar hak asasi manusia dan standar sosial memadai. Ia sering menggunakan pekerja anak, dan ada banyak konflik lahan antara masyarakat lokal dan adat dan pemegang konsesi.

Untuk itu, mereka memanggil Komisi untuk mengambil langkah-langkah penghentian bertahap dalam penggunaan minyak nabati pendorong deforestasi, termasuk kelapa sawit, sebagai komponen biofuel pada 2020.

Parlemen Eropa mencatat, memang sudah ada berbagai skema sertifikasi sukarela mempromosikan budidaya minyak sawit berkelanjutan. Dalam dokumen resolusi itu beberapa kali menyebut sertifikasi seperti RSPO, dan ISPO.

Sayangnya, standar-standar itu masih mendapatkan banyak kritikan hingga membingungkan konsumen. Mereka pun mengusulkan ada skema sertifikasi tunggal dalam menjamin hanya minyak sawit lestari yang masuk pasar Uni Eropa.

Mereka juga mendesak Uni Eropa memperkenalkan kriteria keberlanjutan untuk minyak sawit dan produk mengandung minyak sawit dalam memasuki pasar Uni Eropa.

“Komisi harus meningkatkan ketertelusuran minyak sawit impor ke Uni Eropa dan harus mempertimbangkan menerapkan berbeda skema bea cukai yang mencerminkan biaya nyata lebih akurat sampai sertifikasi tunggal berlaku,” ucap Konečná.

Indonesiapun bereaksi dengan resolusi ini. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, tampak emosional menanggapi Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests oleh Parlemen Eropa di Starssbourg ini.

Di sela-sela kunjungan ke Helsinki, Siti mengatakan, bagi Indonesia isu sawit seperti ini hal sensitive. Industri sawit di Indonesia, merupakan industri besar menyangkut hajat hidup petani. Areal tanam sawit, katanya, seluas 11,6 juta hektar, dengan 41% petani kecil dan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tak kurang 16 juta orang.

Catatan-catatan negatif dalam mosi itu, kata Siti, merupakan penghinaan kepada Indonesia dan tak dapat diterima. “Tuduhan sawit adalah korupsi, sawit adalah eksploitasi pekerja anak, sawit adalah pelanggaran hak azasi manusia dan sawit menghilangkan hak masyarakat adat, semua itu tuduhan yang keji dan tak relevan sekarang,”katanya dalam rilis kepada media.

Dia bilang, Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sedang menmelaksanakan praktik-praktik berkelanjutan dalam pengelolaan sawit, dan industri-industri berbasis lahan lain.

“Pembangunan berkelanjutan jadi konsen pemerintah kini. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain di dunia. Indonesia termasuk di depan dalam implementasi Perjanjian Paris,” katanya.

Mosi Parlemen Eropa ini, katanya, menyinggung kedaulatan Indonesia, karena menuduh dan mengajak pihak-pihak untuk “boikot “ investasi sawit dan pindah ke bunga matahari dan rapeseed.

“Saya kira ini langkah tak pas. Jika dunia berharap Indonesia sebagai bagian penting dalam lingkungan global dan paru-paru dunia, dunia harus percaya, Indonesia dapat menyelesaikan persoalan dalam negerinya.”

Berbagai persoalan, katanya, sedang diselesaikan dan sudah memberikan hasil. “Kontribusi Indonesia kepada dunia dalam hal lingkungan harus diakui. Upaya-upaya mengatasi kebakaran hutan, menata forest governance, upaya-upaya tata kelola gambut, menjaga keragaman hayati, menjaga habitat orang hutan, harimau, gajah merupakan kontribusi Indonesia terhadap lingkungan global.”

Siti akui, tak mudah menyelesaikan berbagai permasalahan dengan wilayah seluas Indonesia. Apabila melihat Indonesia dan Eropa dari udara dengan jarak ketinggian sama, katanya, rentang wilayah Indonesia itu, kira-kira sama dengan dari Spanyol sampai Rusia, di sekitar negara Azzerbaijan. “Indonesia sangat luas. Jadi upaya dan hasil kerja harus diakui juga dong oleh dunia.”

Kementerian luar negeri juga mengeluarkan tanggapan resmi atas mosi ini. Ada delapan poin, antara lain resolusi itu mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap minyak sawit yang berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade.

Resolusi Parlemen Eropa juga menggunakan data dan informasi tak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak sawit dan manajemen kehutanan di negara–negara produsen termasuk Indonesia. Resolusi juga melalaikan pendekatan multistakeholders.

Kemenlu nyatakan, minyak sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, total 239 juta hektar deforestasi global dalam 20 tahun, 58 juta hektar sektor peternakan, 13 juta hektar kedelai, 8 juta hektar jagung, dan 6 juta hektar minyak sawit.

“Dengan kata lain, total minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih 2,5% terhadap deforestasi global.” (lihat tabel).

Menurut Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani, sampai terbit Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests ini muara dari kegagalan pemerintah dalam meyakinkan pasar terkait komitmen dan progres pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar tata kelola kebun sawit.

“Seperti perlindungan hutan dan gambut dengan nol deforestasi, isu korupsi antara lain temuan KPK, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat dan lain-lain,” katanya.

Saat ini, pemerintah memang banyak menyatakan, konsen dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi banyak kebijakan masih kontradiktif dengan upaya perlindungan lingkungan dan pengakuan hak masyarakat adat.

Dalam menyikapi laporan Parlemen Eropa ini, katanya, pemerintah tak perlu konfrontatif karena bisa diselesaikan dengan cara-cara diplomasi kepada berbagai pihak khusus dalam negeri, tak terkecuali kepada organisasi masyarakat sipil.

Pemerintah, ucap Teguh, tak bisa berjalan sendiri tetapi perlu mengkonsolidasikan dengan para pihak dan dukungan bagi minyak sawit berkelanjutan sejati. “Kita tahu ada persoalan infrastruktur dan kapasitas kelembagaan, dan sistem birokrasi masih buruk.”

center
Kebun sawit di Riau, yang terbakar dan dibuka di lahan gambut dalam. Kala tim Penegakan Hukum KLHK datang mau menyegel malah kena sandera. Kebun sawit ini ditanam dengan sistem ‘bapak angkat’ oleh perusahaan besar. Foto: KLHK

Sejak Maret, di Indonesia dilakukan diskusi-diskusi maupun rilis penelitian yang berisikan sawit bukan penyebab deforestasi. Seperti diskusi akhir Maret di Jakarta, ada Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa bicara soal riset dia pada 2016 di delapan perusahaan sawit besar) dan 16 kebun swadaya di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan dan Siak, Riau.

Mengambil lokasi penelitian di Riau, tetapi Yanto, tak memperhitungkan dalam penelitian soal kawasan-kawasan lindung dan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo maupun Taman Nasional Bukit Betabuh, banyak terjarah sawit.

Dalam penelitian itu, Yanto mengumpulkan kronologi perolehan perizinan, status lahan kebun berdasarkan TGHK 1986, rencana tata ruang Riau 1994 dan 2014, dan kawasan hutan 2014.

Dia mengumpulkan data riwayat penggunaan lahan, kegiatan penggunaan lahan sejak masa penyiapan sampai penanaman dan wawancara dengan berbagai pihak. Yanto bilang, dia mengkofirmsi 91,76% areal penelitian pada perkebunan sawit swadaya (47,5 hektar) status lahan bukan hutan saat wilyah jadi kebun sawit. Sisanya (8.24%), masih kawasan hutan saat pemilik kebun membeli dan pakai lahan untuk kebun sawit.

“Untuk kebun rakyat, dulu membuka karena tak ada izin, 100% tata ruang Riau sudah alokasi penggunaan lain, bukan kawasan hutan,” katanya.

Hasil wawancara dengan masyarakat tak jauh beda. Sebelumnya, ada hutan sekunder, perkebunan karet, semak belukar dan tanah terbuka. Untuk sawit rakyat 100% di areal terbuka. “Hasil citra landsat juga mengkonfirmasi. Kesimpulan status lahan sudah bukan kawasan hutan saat izin ini diterbitkan.”

Pada perkebunan skala besar, riwayat penggunaan lahan tiga tahun sebelum izin usaha sebagian besar sebagai hutan. Sedang, dua dan satu tahun sebelum izin usaha sebagai perkebunan. Lain dengan kebun sawit swadaya sebagian besar lahan tak digunakan pada tig, dua, maupun satu tahun sebelum izin usaha.

“Ini sesuai hasil tutupan lahan perusahaan besar yang dahulu didominasi perkebunan karet dan hutan sekunder. Untuk swadaya, sebagian besar dahulu tanah terbuka.”

Dari seluruh perkebunan besar amatan (46.372,38 hektar), 68,02% lahan dari hutan produksi konversi dan APL, 30,01% dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% hutan produksi.

“Sawit sebenarnya penyelamat ancaman deforestasi dalam konteks yang tak produktif jadi produktif.”

Jadi, katanya, voting anggota parlemen Eropa menyatakan sawit penyebab deforestasi itu keliru.

Yanto juga bilang, ada perbedaan mendasar dalam mendefinisikan deforestasi. Menurut FAO, disebut deforestasi itu konversi hutan jadi lahan lain atau secara jangka panjang pengurangan tutupan tajuk pohon di bawah batas 10%.

Kala merujuk definisi deforestasi menurut UU Kehutanan, disebut deforestasi ialah perubahan permanen areal berhutan jadi tak berhutan oleh kegiatan manusia. Supiandi Sabiham, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB mengatakan, sawit merupakan komoditas strategis dan terus berkembang di Indonesia. Kebutuhan dunia sangat tinggi terhadap minyak sawit.

“Muncul isu apakah sawit penyebab deforestasi dan degradasi? Pemicu deforestasi terjadi jauh sebelum masa kemerdekaan. Sejak zaman Belanda. Dilanjutkan dengan program transmigrasi,” katanya.

Deforestasi, katanya, terjadi pada 1905-1940, masa kolonial Belanda, lanjut program transmigrasi 1969. Sepanjang 1969-2000, sebanyak 3,09 juta keluarga ditempatkan, 8,94 juta hektar dibuka.

Lalu HPH dengan systematic logging mulai awal 1970-an dengan kecepatan deforestasi 0,6 juta hektar per tahun. Selama 1985-1997 deforestasi terjadi di Sumatera 6,7 juta hektar, dan Kalimantan 8,5 juta hektar.

Supiandi pakai istilah perkebunan swasta diundang untuk menyelamatkan hutan-hutan terdegradasi pad 1980-n. Lalu muncul sawit sesudah kerusakan hutan terjadi. Petrus Gunarso, Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), pernah jadi Direktur Keberlanjutan APRIL punya pandangan sama. Dia bilang, Indonesia dan Malaysia pemasok 85% minyak sawit dunia hingga terus ditodong bertanggungajwab dengan isu deforestasi, perubahan iklim, hak assi manusia dan lain-lain.

Penelitian dia, lahan perkebunan sawit Indonesia paling banyak dari konversi bekas perkebunan karet. Konversi itu karena harga jual getah terus merosot, harga tandan sawit naik. Ada juga dari hutan terdegradasi dan APL jadi bukan deforestasi.

Keterangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pun bilang, tak ada sawit di kawasan hutan. Padahal, hasil kerja KLHK sendiri pada beberapa bagian, seperti Direktorat Penegakan Hukum maupun Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, banyak menemukan sawit berada kawasan hutan bahkan, hutan lindung dan konservasi.

Chairil Anwar Siregar dari Litbang KLHK bilang sawit bukan penyebab deforestasi.

“Tak ada sawit dari hutan. Tarohlah kalau ada, paling banyak 4% dari luas hutan Indonesia. Mengapa masih disebut menyebabkan deforestasi? Itukan lucu, terlalu dibesar-besarkan. Mengada-ada,” katanya.


Segel KLHK di Kalteng, kala kebun sawit dibikin di hutan gambut habis terbakar. Foto: Sapariah Saturi

Pandangan para ilmuan itupun terpatahkan oleh ilmuan lain. “Masyarakat harus mencermati (penelitian) dengan baik, membaca laporan hasil penelitian itu lengkap. Apa yang disampaikan Yanto Santosa, hanya didasarkan pada beberapa lokasi. Itupun areal dalam bahan penelitian APL (alokasi penggunaan lain-red). Ya tentu saja kesimpulan demikian,” kata Togu Manurung, sama-sama dari Fakultas Kehutanan IPB.

Dia mengatakan, perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi itu bermain-main dengan definisi hutan berdasarkan FAO. Pernyataan itu, katanya, sangat kontroversial.

Dia bilang, harus melihat fakta, ada pembukaan kebun sawit di kawasan hutan lindung bahkan hutan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Giam Siak Kecil.

“Kita lihat di Taman Nasional Tesso Nilo, misal, 50% tutupan hutan habis oleh sawit. Belum lagi di Giam Siak Kecil. Itu tak terbantahkan, sudah jadi pengetahuan umum. Bagaimana suatu kawasan hutan bahkan hutan konservasi diokupasi ilegal dan dibangun perkebunan sawit,” katanya.

Terlepas dari soal apakah di kawasan hutan atau luar kawasan hutan, katanya, bisa jadi lebih 90% pembangunan sawit di Indonesia dari lahan yang tadinya ada tutupan hutan.

“Mengapa hanya penelitian di lokasi itu, padahal di Riau bisa dilihat juga ada perkebunan sawit dengan cara tebang habis pohon hingga menyebabkan deforestasi,” katanya.

“Jadi jelas tadinya ada tutupan hutan, lalu pada proses pembangunan melalui land clearing tebang habis, lalu ditanam sawit.”

Togu menyebut, di Riau, dia menemukan areal konsesi HPH kini jadi perkebunan sawit, dan berada di kawasan hutan. Fakta ini, katanya, jelas tak terbantahkan kalau perkebunan sawit salah satu penyebab deforestasi.

Masa lalu, katanya, operasi penebangan kayu jelas menyebabkan deforestasi. Tetapi, membangun perkebunan sawit dan hutan tanaman industri dengan cara menghancurkan hutan alam tropika basah dan tebang habis merupakan hal buruk.

“Dari ekosistem hutan tropika basah dengan keragaman hayati tinggi, termasuk jenis-jenis pohon, jika dirusak habis, akan mengakibatkan jasa lingkungan semula bernilai tinggi dan mahal, rusak. Jelas sekali merugikan lingkungan hidup dan berdampak buruk.”

Menurut dia, patut menjadi sorotan sebagai masalah lingkungan kala membuka sawit dengan membuka hutan . “Pertanyaan bersarnya, mengapa pembangunan perkebunan sawit tak dilakukan di lahan terbuka dan tak ada tutupan hutan? Misal eks HPH terdegradasi berat. Atau kawasan kritis seperti semak belukar.” Yang terjadi saat ini, perkebunan sawit banyak di areal hutan dengan tutupan padat dan ada kepentingan bisnis disana.

“Kawasan dicari yang ada hutan. Dengan begitu, mereka akan tebang habis pohon. Para pengusana sawit akan menerima rezeki nomplok. Sebelum sawit beroperasi, mereka bisa panen IPK kayu. Jadi sebelum investasi, mereka sudah untung duluan,” katanya.

Sisi lain, juga banyak pejabat daerah ikut bermain. Di Kalimantan Tengah, misal, sebelum ada aturan yang menarik kewenangan pengelolaan hutan ke provinsi, banyak bupati mendorong pelepasan kawasan hutan.

Belakangan, mereka meminta pemutihan investasi keterlanjuran hingga pengesahan rencana tata ruang tersendat.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut, rentang 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan alam 515.900 hektar akibat pembangunan perkebunan sawit. Sebanyak 63% atau 327.500 hektar terjadi di Kalimantan. Rinciannya, Kalbar 147.600 hektar, Kalteng 114.600 hektar, Kaltim 34.200 hektar dan Riau 32.400 hektar. Lahan-lahan yang digunakan perkebunan sawit ini sebagian besar dari lahan baik APL maupun hutan produksi dapat dikonversi (HPK). Setidaknya dalam 2009-2013, APL dan HPK menyumbang deforestasi 1,1 juta hektar dan 781.000 hektar.

Guru Besar Manajemen Hutan IPB Herry Purnomo juga tak sepakat bahwa perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi. Menurut dia, generalisasi seperti itu tak benar dan merugikan industri sawit itu sendiri.

“Banyak perkebunan sawit dikembangkan secara benar dan di lahan yang memang diperuntukkan untuk perkebunan. Namun banyak juga tidak benar dengan konversi hutan dan lahan secara ilegalyang bertentangan dengan keinginan mengembangkan industri sawit berkelanjutan. Menutup mata sawit yang tak beres akan membuat sawit yang baik akan tercemar,” katanya.

Menurut dia, semua pihak harus mendorong pengembangan sawit dengan benar. Saat sama, pengembangan sawit tak benar dan merusak lingkungan harus dikurangi tahap demi tahap. Keunggulan berkelanjutan, adalah jalan yang harus ditempuh sawit Indonesia. “Itu tugas bersama kita. Saya yakin kita bisa,” katanya. Dia mengatakan, pengembangan sawit di Indonesia mempunyai dua sisi. Pertama, berhasil menumbuhkan ekonomi Indonesia. Luas sawit Indonesia 11, 6 juta hektar, dengan 715 perkebunan dan 106 kilang sawit. Ekspor Indonesia setiap tahun Rp280 triliun.

“Itu nilai sangat besar, signifikan dalam ekonomi Indonesia dan menyerap jutaan tenaga kerja. Kita berkeinginan agar sawit berkelanjutan di Indonesia dan menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia.”

Kedua, kontestasi antar-berbagai penggunaan lahan, hutan dan perkebunan seperti sawit sangat tinggi. Pernyataan resmi pemerintah mengatakan, 2,5 juta hektar sawit di Indonesia terletak pada kawasan hutan.

“Kalau dikatakan hutan primer yang dikonversi hanya 1%, kalaupun itu benar bagaimana dengan hutan sekunder? Apakah hutan sekunder tidak penting?” Deforestasi, katanya, merupakan perubahan hutan jadi bukan hutan seperti kebun sawit. Untuk itu, mesti punya perspektif lebih komprehensif tentang tranformasi bentang alam. “Kita mesti sepakat mana yang bisa dikembangkan menjadi sawit dan mana harus tetap jadi hutan. Hutan dan sawit harus dikembangkan bersama-sama, karena keduanya sangat penting bagi keberlanjutan ekonomi, ekologi dan social.”

Peneliti CIFOR, David Gaveau tahun 2015 dalam publikasi di Nature.com menyatakan, laju konversi hutan (hutan primer dan sekunder) di Kalimantan tetap tinggi walaupun berkurang.

Pada 1990-an, 80% hutan yang dikonversi menjadi sawit dan HTI. Sedangkan pada 2015 berkurang menjadi 50%. Malaysia mempunyai profil lebih buruk dengan lebih tinggi prosentasi konversi hutan untuk pengembangan sawit.

David Gaveau dan peneliti lain dari CIFOR juga membuat Atlas untuk Borneo (Indonesia dan Malaysia) yang menganalisis deforestrasi dan penanaman di berbagai perusahaan baik untuk sawit maupun HTI secara online.

Dalam atlas itu terlihat, di Kalimantan, antara tahun 1973-2015 ada 4,3 juta hutan dikonversi jadi sawit dan HTI.

Herry juga mengutip penelitian lain oleh WB Aryono, mahasiswa pasca sarjana IPB. Dia memetakan perubahan tutupan lahan di Riau selama 25 tahun terakhir. Terlihat hutan berkurang dan sawit bertambah. Contoh, Riau, pada 1990, tutupan hutan sekitar 60%, pada 2016 jadi 25%. Tutupan lahan empat DAS di Riau tahun 1990 dengan 60% berhutan, tahun 2015 tinggal 25%.

Pada saat sama di Riau, sawit pada 1990 hanya 0,5 juta hektar berkembang jadi 2,4 juta hektar pada 2016. Sedangkan ilegal, terletak di kawasan hutan, jumlah ebih dari satu juta hektar.

“Saya berkeliling Taman Nasional Tesso Nilo, Hutan Lindung Bukit Batabuh, beberapa bekas HPH yang harusnya hutan namun sekarang sekitar 40% jadi sawit. Tim KLHK, KPK, kawan-kawan pemerintah daerah dan DPRD tahu ini dan berusaha memerbaiki keadaan. Banyak keterlanjuran-keterlanjuran terjadi puluhan tahun yang harus kita selesaikan,” kata Herry.

Peneliti CIFOR lain, Jelsma dan Idsert melakukan penelitian pada 2016, di Rokan Hulu, Riau, menemukan pekebun kecil dengan lahan kecil lebih banyak terletak di bukan hutan. Sedangkan pekebun kecil dengan areal lebih besar banyak di kawasan hutan.

Related Article

id_IDID