Madani

Tentang Kami

MENJAGA HUTAN PAPUA DARI EKSPANSI SAWIT

MENJAGA HUTAN PAPUA DARI EKSPANSI SAWIT

Papua dan Papua Barat termasuk provinsi dengan tutupan hutan dalam perkebunan sawit terluas di Indonesia.

Moratorium sawit memberi kesempatan untuk mengevaluasi perizinan mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung. Dalam studi kasus Papua Barat, evaluasi perizinan sawit ini berpeluang mendukung target Deklarasi Manokwari demi mewujudkan kawasan hutan lindung sebesar 70 persen dari total wilayah. Pada saat ini, luasan hutan lindung dan konservasi Papua Barat mencapai 34,8 persen dari total wilayah. Dengan evaluasi perizinan, luasan hutan lindung itu dapat ditingkatkan menjadi 62 persen.

BACA JUGA : COP25 ADALAH AKSI KONKRET MENGURANGI EMISI GAS RUMAH KACA DUNIA

Hutan di Tanah Papua penting untuk diselamatkan dari ekspansi sawit. Ini dikarenakan Papua dan Papua Barat termasuk provinsi yang memiliki tutupan hutan dalam perkebunan sawit terluas di Indonesia. Di Papua, terdapat 1,3 juta hektare dan Papua Barat memiliki 404 ribu hektare tutupan hutan dalam perkebunan sawit.

Di sisi lain, izin perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan pesat. Pada 2015, tercatat hanya 5 izin usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua. Namun pada 2017 melonjak menjadi 114 izin usaha. Dengan demikian, moratorium sawit sejatinya dapat menahan laju pemberian izin tersebut dan menyelamatkan kawasan hutan.

Riset ini merupakan hasil kerja sama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini: 

Related Article

Alam dalam Perencanaan Pembangunan Indonesia

Alam dalam Perencanaan Pembangunan Indonesia

Alam selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konteks pembangunan. Hal ini tak mengherankan karena alam dapat menjadi pendukung sekaligus penghambat bagi pembangunan itu sendiri.

Oleh karenanya, pembangunan yang tetap memperhatikan kaidah pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang wajib diperhatikan bagi seluruh negara, termasuk Indonesia yang telah berkomitmen melalui ratifikasi Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.

Berbicara tentang pembangunan, maka tak afdol rasanya jika kita tidak membicarakan perihal perencanaan pembangunan. Dalam konteks Indonesia, kita mengenal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai bentuk dari perencanaan pembangunan Indonesia dalam lima tahun ke depan. RPJMN ini merumuskan peta potensi permasalahan yang akan terjadi serta merumuskan bagaimana solusi untuk permasalahannya.

Pada akhir tahun 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) berencana untuk menerbitkan RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahapan terakhir dari pencapaian visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005- 2025. Sembari menunggu Presiden terpilih dilantik, Kementerian PPN/Bappenas menerbitkan Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 yang nantinya rancangan ini akan disinkronisasikan dengan visi-misi dari Presiden terpilih.

Akan tetapi, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 ini, khususnya dalam konteks kehutanan dan masyarakat adat yang menjadi bagian integral dari alam. Apakah rancangan tersebut sudah cukup inklusif terhadap masyarakat dan perlindungan hutan?

Catatan Penting Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024

Pertama, pemerintah belum secara serius akan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat adat. Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, pemerintah tidak secara eksplisit menargetkan penyelesaian permasalahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat.

Berbeda dengan permasalahan lingkungan hidup – di mana terdapat profil lingkungan yang hendak dicapai, untuk penyelesaian permasalahan masyarakat adat tidak ada angka yang pasti ditargetkan. Hal ini berbeda dengan RPJMN 2015-2019 di mana ada angka yang pasti ditargetkan – semisal pemerintah berkomitmen mengalokasikan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk sejumlah skema perhutanan sosial termasuk hutan adat.

Selain itu, pemerintah tidak menjadikan pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai agenda prioritas dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024. Padahal, RUU Masyarakat Adat merupakan payung hukum bagi masyarakat adat untuk mendapatkan hak-haknya yang belum dijamin oleh pemerintah.

Kedua, pemerintah belum secara konkret mengatur bagaimana langkah untuk menanggulangi permasalahan tiadanya kebijakan atau regulasi yang efektif dalam konteks kehutanan. Berdasarkan analisis tutupan lahan yang tercantum dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, selama tujuh tahun penerapan Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut, sedikitnya tiga juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut atau – kira-kira setara dengan lima kali luas pulau Bali – telah habis dikonversi untuk penggunaan lain.

Dengan melihat fakta tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kebijakan Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut tidak berjalan efektif dikarenakan kebijakan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta adanya pengecualian lahan yang tidak dilindungi oleh kebijakan moratorium. Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 baru sebatas akan melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas regulasi secara umum sehingga hal ini belum secara spesifik menyasar peningkatan kualitas regulasi dan kebijakan terhadap konteks kehutanan yang selama ini kerap menjadi permasalahan.

Ketiga, tidak adanya agenda peninjauan kembali izin-izin lahan yang berpotensi menimbulkan adanya kehilangan hutan primer dan lahan gambut. Dalam temuan Chain Reaction Research, disebutkan bahwa 6,1 juta hektar (ha) hutan primer dan lahan gambut masih tersisa di areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Lahan tersebut dapat dianggap sebagai stranded assets atau aset terlantar lantaran perusahaan yang memiliki izin hak guna usaha (HGU) mematuhi kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE).

Dalam hal ini, perusahaan diperkenankan untuk memanfaatkan lahan tersebut secara legal lantaran sudah mendapatkan izin HGU apabila perusahaan ingin meningkatkan produktivitasnya walaupun melanggar kebijakan NDPE. Jumlah total lahan tersebut tidak dilindungi oleh kebijakan Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut lantaran dalam kebijakan ini disebutkan bahwa lahan pengecualian yang dilindungi oleh Inpres, salah satunya yaitu lahan yang telah mendapatkan izin persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan sebelum Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Terakhir, pemerintah tidak memasukkan bagaimana strategi yang akan ditempuh dalam penyelesaian konflik tenurial. Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan adanya penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan. Namun, dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, tidak dijelaskan bagaimana strategi atau upaya untuk menyelesaikan konflik tenurial dalam kawasan hutan.

Penyelesaian konflik tenurial sendiri memerlukan adanya peran aktif antar stakeholder guna membangun koordinasi, komunikasi, hingga kesetaraan berbagai pihak baik yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam konflik.

Hal yang Perlu Dilakukan

Dari beberapa catatan tersebut, ada beberapa hal perlu diperbaiki oleh pemerintah sebelum menerbitkan RPJMN 2020-2024 pada akhir tahun nanti. Pertama, pemerintah perlu menjadikan pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai agenda prioritas dalam RPJMN 2020-2024 versi final.

Hal ini dapat menjadi langkah konkret dari pemerintah dalam menanggulangi permasalahan masyarakat adat yang selama ini kerap ditemui. Selain itu, pemerintah perlu memiliki angka target secara pasti perihal penyelesaian permasalahan yang menimpa masyarakat adat sehingga pemerintah memiliki benchmark dalam upayanya dalam menanggulangi permasalahan masyarakat adat.

Kedua, untuk mencapai target luas minimal hutan primer dan target luas minimal lahan gambut yang dipertahankan pada RPJMN 2020-2024, serta untuk menanggulangi permasalahan yang selalu ditemukan dalam bidang lingkungan hidup yaitu menyangkut kualitas regulasi dan kebijakan, maka dalam RPJMN 2020-2024 perlu dimasukkan adanya agenda penguatan regulasi dan kebijakan dalam bidang lingkungan hidup secara spesifik – semisal peningkatan status kebijakan dari hanya berbentuk Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut menjadi Regulasi Perpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut.

Ketiga, RPJMN 2020-2024 perlu menetapkan agenda adanya peninjauan kembali izin-izin persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan sebelum Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Hal ini dilakukan guna mencegah hilangnya potensi konversi penggunaan hutan primer dan lahan gambut bagi pembangunan.

Terakhir, RPJMN 2020-2024 perlu mencantumkan agenda strategi kolaborasi antar-stakeholder untuk penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan. Hal ini dilakukan agar mendapatkan suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu konflik tenurial.

Suatu kesepakatan dalam konflik tenurial tidak bisa diintepretasikan atau dirumuskan hanya oleh salah satu pihak. Dengan demikian, kolaborasi menjadi hal yang penting mengingat hukum nasional yang bersifat positivistik sehingga berdampak pada seringnya masyarakat adat sebagai pihak yang paling dirugikan dalam konflik tenurial.

Penulis : Muhammad Arief Virgy
Insight Analyst di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah diangkat Pinter Politik pada 22 November 2019.

Related Article

APA KABAR KOMITMEN IKLIM DUNIA?

APA KABAR KOMITMEN IKLIM DUNIA?

Pekan ini, media semakin santer menyorot isu penanganan krisis iklim menjelang konferensi perubahan iklim COP25 yang akan diadakan di Madrid 2-13 Desember 2019.

Terkait dengan hal ini, Luluk’s Update menemukan pemberitaan mengenai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang akan mendorong peningkatan ambisi negara baik dalam mengisi celah dan pencapaian target di bawah 2 derajat maupun dalam penyediaan dukungan di semua sektor strategis.

Indonesia sendiri memiliki misi di COP25 ini, misi tersebut yakni memperjuangkan kepentingan Indonesia dan berkontribusi pada upaya global, termasuk dalam pembahasan pengaturan rinci Modalities, Procedures and Guidelines (MPGs) untuk pelaksanaan Paris Agreement, dan mendorong perundingan fokus pada penyiapan dan penyampaian modalitas dan bimbingan yang dapat memfasilitasi aksi, serta memastikan bahwa tidak hanya pencapaian target, tetapi juga mempertimbangkan keberagaman dari negara berkembang.

Sementara itu, Amerika Serikat (AS) dan China mulai menjauh dari komitmen iklim dunia. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Hasil penelitian UNEP, Institut Lingkungan Stockholm, Institut Internasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Institut Pengembangan Luar Negeri, dan Pusat CICERO untuk Penelitian Iklim dan Iklim Internasional dan Analisis Iklim menunjukkan China dan AS berencana memproduksi bahan bakar fosil pada 2030 pada tingka antara 50-120 persen di atas target Perjanjian Paris.

Penasaran dengan pemberitaan lainnya? Kalau penasaran, sobat Luluk’s Update dapat mengunduh materi Luluk’s Update pekan ini di tautan di bawah ya. Semoga bermanfaat.

Related Article

Hakikat Hutan

Hakikat Hutan

Izinkan saya memulai tulisan ini dengan mengajak pembaca yang budiman untuk membayangkan sebatang pohon. Beragam jenis pohon pun tentunya masuk ke dalam pikiran kita. Saya yakin semua yang membayangkan pohon selalu memulainya dengan warna hijau, mungkin juga ditambah dengan kerimbunan yang menyejukkan. Ya, begitulah kiranya pohon pada umumnya.

Sekarang coba bayangkan jika pohon tersebut bisa bergerak layaknya seorang manusia. Saya yakin bahwa di antara kita ada yang merasa takut, dan ada juga yang takjub. Kemudian, bayangkan jika pohon tersebut hidup seperti karakter manusia pohon dalam film fiksi berjudul “The Lord of The Rings”.

Dalam salah satu cuplikan film tersebut, tampil sesosok manusia pohon atau dikenal sebagai bangsa “Ent” dan ent yang menjadi sorotan bernama Treebeard. Manusia pohon ini tampil sebagai makhluk yang baik hati, kebaikannya tersebut terlihat ketika dirinya memperlakukan dua orang hobbit yakni Mery dan Pippin dengan begitu ramah. Walaupun pada dasarnya kedua hobbit ini menginginkan Treebeard dan bangsanya untuk menyerang sekumpulan makhluk buruk rupa atau yang dikenal sebagai “Orc”. Treebeard pun selalu mencoba menghindari obrolan mengenai orc. Dalam film ini, digambarkan bahwa bangsa ent ingin hidup damai tanpa peperangan.

Namun Treebeard yang baik hati pun murka karena provokasi kedua hobbit yang memancingnya untuk melewati sebuah jalan menuju ke area hutan yang telah dibabat habis oleh bangsa orc. Melihat kondisi pohon-pohon yang mengenaskan, Treebeard pun kemudian memanggil kelompoknya untuk memberikan pelajaran kepada bangsa orc yang telah melakukan perbuatan buruk kepada hutan.Dari kisah ini, saya pun lantas membayangkan, apa jadinya jika pohon-pohon di sekitar kita hidup layaknya bangsa ent? Lalu, bagaimana nasib manusia yang kerap merusak hutan? Apakah mungkin pohon-pohon tersebut akan marah dan membalaskan dendam rekan-rekannya ketika tahu bahwa banyak hutan telah hilang?

Politik Hutan

Apa yang saya bayangkan tentu adalah imajinasi belaka, karena pada kenyataannya, hutan beserta satwa di dalamnya tidak punya akal sehat layaknya seorang manusia. Oleh karena itu, manusia yang berakal dapat melakukan apa saja, baik itu melindungi ataupun merusak hutan dan seisinya.

Seiring berjalannya waktu, populasi manusia semakin bertambah. Kebutuhan atas lahan pun tidak bisa dihindari. Alhasil, hutan-hutan pun dialihfungsikan untuk menjawab semua kebutuhan manusia. Faktanya, negara-negara maju di dunia telah lama membabat hutannya untuk membangun perekonomian tanpa memikirkan dampak yang terjadi. Setelah dampak dari pembabatan hutan mulai dirasakan, penyesalan pun seolah tidak ada artinya.

Di satu sisi, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seolah terdesak dengan tuntutan global. Jika tidak menebang pohon, ekonomi pun sulit berkembang. Sementara jika pohon-pohon di hutan ditebang (deforestasi), kualitas hidup akan buruk, bukan hanya berdampak di dalam negeri, melainkan juga secara global. Inilah yang disebut kutukan sumber daya alam. Paradoksnya yakni negara-negara yang kaya akan SDA terjerat dalam lambannya pertumbuhan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, banyak negara di dunia telah sepakat untuk berkomitmen menjaga hutan. Kesepakatan tersebut pun salah satunya menghasilkan mekanisme carbon trading atau jual beli karbon. Sederhananya, negara-negara maju harus membeli karbon yang dihasilkan oleh hutan milik negara-negara yang kaya akan SDA karena telah berkomitmen untuk menjaganya.Namun, banyak pihak menilai mekanisme carbon trading tersebut adalah mekanisme yang tidak adil. Mekanisme tersebut seolah menghilangkan tanggungjawab lingkungan negara-negara yang telah merusak hutan.

Logikanya, dengan mekanime ini, negara-negara maju seolah sedang menebus dosa kejahatan mereka atas lingkungan dengan sejumlah uang. Hal ini jelas dianggap tidak ada bagi sebagian pihak. Terkait dengan konteks tersebut, hemat saya, kebijakan politik yang tepat adalah kunci penyelamatan hutan dunia. Pemimpin-pemimpin dunia harus terlebih dahulu memiliki komitmen yang kuat untuk menyelamatkan hutan. Komitmen tersebut terwujud dengan berbagai kebijakan yang adil bagi semua pihak.

Negara maju yang dosa atas kerusakan lingkungannya besar, harus membayar sejumlah uang sebagai upaya mendukung negara-negara yang kaya akan hutan untuk menjaga asetnya tersebut. Hal itu juga harus diimbangi dengan komitmen untuk menjaga hutan yang tersisa dan juga memulihkan hutan-hutan yang telah rusak. Sedangkan negara-negara yang kaya akan SDA, harus menerapkan prinsip membangun dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan, bahkan jika perlu mereka harus mendorong pembangunan tanpa merusak atau tanpa deforestasi. Dalam konteks ekonomi hijau, semakin rendah deforestasi, maka pertumbuhan ekonomi semakin berkualitas.

Sebagai manusia, memanfaatkan hutan untuk kepentingan bersama adalah hal yang wajar. Pohon-pohon yang berkumpul menjadi hutan pada hakikatnya adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dimanfaatkan dengan bijak. Tentu pemanfaatannya harus jelas dan harus sesuai dengan pertimbangan dampak lingkungan yang hadir bersamaan dengan pemanfaatan hutan tersebut. Kini, nasib pohon-pohon di dunia ada di tangan manusia. Mau terbakar, mau digunduli, atau mau dikelola dengan baik, semua keputusan ada di tangan para elite politik. Pemimpin politik yang cerdas tentu akan belajar dari pengalaman banyak negara, bisa jadi dari pengalaman negara-negara yang kini menyesal karena merusak hutannya, atau belajar dari negara-negara yang kini konsisten untuk menjaga hutannya.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 18 November 2019.

Related Article

ISU APA SIH YANG DIANGKAT KLHK UNTUK COP NANTI?

ISU APA SIH YANG DIANGKAT KLHK UNTUK COP NANTI?

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun ini atau lebih dikenal dengan COP (Conference of the parties) sebentar lagi akan di selenggarakan tepatnya pada awal Desember 2019.

Sobat Luluk’s Update sudah pada tahu apa itu COP?

COP sendiri telah diadakan di Paris sejak 30 November sampai 12 Desember 2015. Konferensi ini merupakan konferensi tahunan ke 21 anggota UNFCCC sejak UNFCCC berdiri pada tahun 1992, dan konferensi ke 11 sejak Konferensi Protokol Kyoto 1997. Dari konferensi ini, lahirlah Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang diadopsi secara aklamasi oleh negara anggota.

Persetujuan ini akan mengikat secara hukum jika setidaknya 55 negara yang mewakili 55 persen emisi gas rumah kaca global tahunan meratifikasi Persetujuan Paris atau mendaftarkan diri di New York dari 22 April 2016 hingga 21 April 2017.

Terkait dengan persiapan COP25 yang akan diadakan tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan mengangkat beberapa isu yang menarik. Berdasarkan pantauan Luluk’s Update, KLHK akan mengangkat isu perubahan iklim dan sampah, sirkular ekonomi dan mitigasi deforestasi dan degradasi hutan dan gambut.

Bukan hanya terkait dengan COP25, pada pekan ini, media juga menyoroti rencana Uni Eropa (EU) akan menghentikan pendanaan proyek-proyek berbahan bakar fosil di 2022 sebagai upaya memerangi perubahan iklim.

UE berhenti membiayai bahan bakar fosil dan akan meluncurkan strategi investasi iklim paling ambisius dari lembaga keuangan public. European Investment Bank (EIB) akan menggelontorkan US$ 1,1 triliun untuk investasi ramah lingkungan.  Keputusan ini dilakukan pasca permintaan Presiden Komisi Eropa yang meminta EIB berubah menjadi bank iklim.

Nah, kalau sobat Luluk’ Update pengen tahu lebih banyak pemberitaan pekan ini, langsung aja ya, unduh tautan yang telah tersedia. Semoga bermanfaat.

Related Article

Pergub Diperlukan untuk Menjamin Pembangunan Ekonomi Tanpa Deforestasi

Pergub Diperlukan untuk Menjamin Pembangunan Ekonomi Tanpa Deforestasi

Manokwari, 14 November 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung upaya Pemerintah Provinsi Papua Barat yang berkomitmen untuk memberikan perlindungan wilayah dengan menjadikan 70 persen luas daratannya sebagai kawasan lindung.

Deklarasi Manokwari yang diluncurkan pada 10 Oktober 2018 memuat 14 butir visi bersama Tanah Papua yang salah satunya bertujuan untuk menjadikan 70 persen daratan Papua Barat sebagai kawasan lindung di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Berdasarkan kondisi eksisting tutupan lahan tahun 2018 dan sebaran perizinan, Madani menemukan bahwa Papua Barat memiliki kemampuan untuk melindungi 62 persen daratannya sebagai kawasan lindung dengan catatan pemerintah melakukan review perizinan di seluruh sektor dan melindungi hutan alam tersisa yang belum dibebani izin.” Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani berkelanjutan dalam Workshop Strategi Pembangunan Ekonomi Papua Barat Tanpa Deforestasi di Manokwari, 14 November 2019 yang diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan, Perkumpulan Panah Papua, dan didukung oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Potensi luas daratan yang dapat dijadikan kawasan lindung di Papua Barat mencapai 6.027.877,37 hektare atau 62 persen, terdiri dari 3.285.508,54 hektare area yang sudah dilindungi dalam PIPPIB XV, 2.403.132,26 hektare hutan alam di dalam konsesi, dan 339.236,57 hektare hutan alam yang tidak dibebani izin.

Untuk itu, diperlukan keberanian dari Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk memulai pembangunan Papua dengan cara baru yang lebih menguntungkan dalam jangka panjang,” kata Teguh.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, Prof Charlie Heatubun menjelaskan bahwa strategi pembangunan ekonomi tanpa deforestasi selayaknya diberikan pijakan hukum yang kuat. Dan harapannya Yayasan Madani dapat menindaklanjuti usulan tersebut.

Model pembangunan Papua yang menggunakan pendekatan ekstraktif tidak mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan semakin merusak sumber daya alam. Akan lebih menguntungkan jika menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di tingkat kampung seperti kegiatan ekowisata pengamatan burung pintar di Arfak, mengembangkan budi daya tanaman sagu, dan sebagainya. Pendapatan yang diperoleh akan bisa dinikmati masyarakat kampung dan perekonomian pun akan terus berkembang. Jika pendekatannya adalah ekstraktif, maka uang akan terus keluar dari Papua dan dinikmati bukan oleh Orang Asli Papua”, kata Sulfianto Alias, Ketua Perkumpulan Panah Papua. [ ]

*
Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan , HP. 0819-1519-1979

Sulfianto Alias, Ketua Perkumpulan Panah Papua, HP. 0811-5309-289

 Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815-1986-8887

Related Article

Distribusi Kewenangan Moratorium Sawit

Distribusi Kewenangan Moratorium Sawit

Koordinasi mencakup pengumpulan data, evaluasi perizinan, dan tindak lanjut yang bertujuan untuk perbaikan tata kelola dan peningkatan produktivitas sawit.

Pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 mengenai moratorium sawit melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan. Koordinasi ini mencakup pengumpulan data, evaluasi perizinan, dan tindak lanjut yang bertujuan untuk perbaikan tata kelola dan peningkatan produktivitas sawit.


Inpres moratorium sawit memberikan serangkaian wewenang kepada delapan kementerian/lembaga untuk melakukan pembenahan. Delapan kementerian/lembaga tersebut antara lain Bupati atau Walikota, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Gubernur, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Dalam Negeri, beserta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Adapun wewenang yang diberikan meliputi pemetaan; pengumpulan, penyusunan, dan verifikasi data dan peta; penundaan izin; tindak lanjut; pembinaan dan pengawasan; dan pelaporan ke presiden.

Terdapat dua kategori perizinan yang dalam diatur dalam inpres ini, yakni perizinan yang ditunda dan perizinan yang dievaluasi. Perizinan yang ditunda meliputi rekomendasi izin perkebunan kelapa sawit, Izin Usaha Perkebunan (IUP), izin pembukaan lahan baru, pelepasan atau tukar menukar kawasan, permohonan penanaman modal baru, dan perluasan izin perkebunan yang ada. Sedangkan izin yang dievaluasi adalah pelepasan atau tukar menukar kawasan, Izin Usaha Perkebunan (IUP), Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STDUP), dan pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat.

Setelah evaluasi dilakukan, empat kementerian/lembaga dapat melakukan tindak lanjut atas izin yang bermasalah. Bupati dan gubernur dapat mencabut IUP dan STDUP yang terletak di dalam kawasan hutan. Menteri Agraria dan Tata Ruang dapat menghentikan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) dan mengembalikan kawasan yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat mengembalikan kawasan yang berasal dari pelepasan kawasan hutan dan melakukan tuntutan atau upaya hukum atas penggunaan lahan sawit ilegal. Terakhir, Menteri Pertanian dapat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk IUP dan STDUP.

Riset ini merupakan hasil kerja sama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.

Related Article

TRUMP INGIN TARIK AMERIKA DARI PERJANJIAN PARIS, APA KATA DUNIA?

TRUMP INGIN TARIK AMERIKA DARI PERJANJIAN PARIS, APA KATA DUNIA?

Apa jadinya ya jika Presiden Amerika Donald Trump ingin menarik Amerika dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) ?

Apakah menurut sobat Luluk’s Upadate dampaknya akan signifikan terhadap komitmen iklim secara global?

Pekan ini, Luluk’s Upadate menemukan pemberitaan media yang cukup menarik terkait dengan komitmen negeri Paman Sam terhadap krisis iklim global. Sejatinya, dalam dua tahun terakhir Donald Trump sendiri telah menyatakan bahwa dirinya ingin menarik Amerika dari Perjanjian Iklim Paris. 

Namun, proses untuk mengeluarkan  Amerika dari perjanjian tersebut butuh waktu satu tahun. Oleh karena itu, Amerika sendiri sampai sekarang tidak dapat keluar sampai pemilihan presiden tahun 2020. Perjanjian Paris dapat dikatakan sangat sakral karena ditandatangani hampir 200 negara yang memiliki tujuan untuk mengurangi atau mengendalikan polusi yang mengendap di atmosfir.

Negosiasi perjanjian iklim yang dilakukan pada 2015 itu didorong oleh AS dan China. Perjanjian tersebut mulai berlaku pada 4 November 2016. Salah satu ketetapan dalam perjanjian tersebut mengatakan tidak ada negara yang dapat menarik diri dalam tiga tahun pertama.

Pada pekan ini, Amerikaa baru dapat memulai proses penarikan diri. Prosesnya dimulai dengan mengirimkan surat ke PBB. AS belum resmi keluar satu tahun setelah itu. Artinya satu hari setelah pemilihan presiden tahun depan. Setelah keluar nantinya, Amerika akan menjadi satu-satunya negara yang tidak terikat oleh Perjanjian Paris.

Pasti sobat Luluk’s Update pada penasaran kan dengan bagaimana kelanjutan isu ini, oleh karena itu, materi pekan ini, tersedia dan dapat diunduh dengan cuma-cuma alias gratis tis tis…

Sampai bertemu di Luluk’s Update pekan depan ya.

Related Article

Inpres Moratorium Momentum Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit

Inpres Moratorium Momentum Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit

Penerbitan Inpres ‘moratorium’ ini menjadi peluang pembenahan menuju tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Pada 19 September 2018 lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Kepada lima Menteri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur dan Bupati/Walikota, Presiden memberi waktu tiga tahun untuk menunda dan mengevaluasi perizinan serta menggenjot produktivitas perkebunan kelapa sawit.


Penerbitan Inpres ‘moratorium’ ini menjadi peluang pembenahan menuju tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Setidaknya, terdapat empat peluang perbaikan yang dapat dilakukan. Pertama, melindungi hutan yang tersisa dalam perkebunan sawit. Meskipun sifatnya sementara, kebijakan ini dapat menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan sehingga dapat menekan angka deforestasi.


Berdasarkan statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikutip dalam laporan Madani Berkelanjutan bertajuk Laporan Berkala REDD+ bulan September 2018, disebutkan bahwa paling tidak ada 6,3 juta hektare hutan ( 2,5 juta hektare hutan primer dan 3,8 juta hektare hutan sekunder) yang terlindungi oleh moratorium perkebunan sawit ini.

Kedua, membenahi izin bermasalah. Dalam inpres tersebut disebutkan perlu adanya evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan yang telah diberikan kepada perusahaan skala besar untuk menemukan kawasan yang masih bisa diselamatkan, kawasan yang melanggar hukum, maupun kawasan yang menyalahi peraturan tata ruang. Sebagai tindak lanjut dari evaluasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merekomendasikan kepada gubernur untuk mengembalikan kawasan yang masih memiliki hutan produktif menjadi kawasan hutan.

Ketiga, memperbaiki tata kelola data perkebunan sawit. Dalam masa moratorium, semua perkebunan kelapa sawit milik perusahaan besar maupun petani kecil wajib dipetakan dan diidentifikasi letak kawasannya. Seluruh data termasuk nama pemilik, lokasi, tahun tanam, luas, status, dan kelengkapan izin wajib disetorkan kepada pemerintah untuk diverifikasi.

Keempat, melindungi hak petani dan masyarakat adat. Instruksi Presiden ini mewajibkan dilakukannya pemberdayaan dan percepatan penerbitan sertifikat tanah untuk petani kecil. Inpres juga memerintahkan dilakukan evaluasi atas kewajiban 20 persen alokasi untuk perkebunan rakyat dari luas lahan yang diusahakan oleh perkebunan kelapa sawit skala besar.

Riset ini merupakan kerja sama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.

Related Article

PR Mendesak Presiden dan Kabinet Perkuat Aksi untuk Melawan Krisis Iklim

PR Mendesak Presiden dan Kabinet Perkuat Aksi untuk Melawan Krisis Iklim

Jakarta, 5 November 2019. Di samping berfokus pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui transformasi struktural dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Presiden dan Kabinet Indonesia Maju tidak bijak jika melupakan komitmen iklim Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% hingga 41% pada 2030.

Begitu ditekankan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam acara Rembuk Nasional Pemangku Kepentingan: Bergandengan Tangan Merawat Iklim Bumi untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia di Jakarta pada 5 November 2019.

Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi janji pada masa kampanye untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, antara lain melalui mitigasi perubahan iklim,” ujar Teguh. “Pembangunan rendah karbon yang saat ini sedang digodok melalui RPJMN 2019-2024 sangat sejalan dengan keinginan Presiden untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia akan ekspor bahan mentah, yang membuat perekonomian kita rentan terhadap volatilitas harga komoditas global.”

Sementara itu, Alya Nurshabrina, Miss Indonesia 2018 yang hadir sebagai salah satu pemberi pidato kunci di kegiatan tersebut mengatakan, “Sebagai generasi muda, tentu kami mendukung cita-cita Presiden Joko Widodo untuk memajukan Indonesia melalui peningkatan kualitas SDM dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, semua itu harus dilakukan dalam koridor yang tidak merusak lingkungan dan dapat menjamin keberlangsungan alam. Kita sebagai konsumen juga harus mulai peduli untuk mengkonsumsi produk-produk yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan.”

Dengan kembali terpilihnya petahana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia seharusnya bisa membuat lompatan besar untuk mencapai komitmen iklim di sektor kehutanan yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution atau NDC. Lompatan besar diperlukan karena periode pelaksanaan NDC akan segera dimulai pada 1 Januari 2020.

Asalkan tidak ada pelemahan kebijakan atas nama investasi karena sekarang KLHK berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,” tambah Teguh.

Para pakar sudah memperingatkan bahwa target penurunan emisi Indonesia akan sulit dicapai kecuali ada penguatan kebijakan maupun implementasi dalam hal kebijakan mitigasi.

Salah satu langkah yang urgent diambil Presiden untuk mencapai target penurunan emisi di sektor kehutanan adalah memperluas cakupan hutan alam yang dilindungi dari izin baru,” terang Teguh. ”Temuan awal Madani, terdapat sekitar 8,5 juta hektare hutan alam sekunder di luar wilayah PIPPIB dan izin-izin yang telah ada, yang harus segera dilindungi melalui kebijakan penghentian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.”

Hutan alam seluas 8,5 juta hektare tersebut tersebar di 33 provinsi dengan lima terluas di Papua (1 juta hektare), Maluku (883 ribu hektare), Nusa Tenggara Timur (862 ribu hektare), Kalimantan Tengah (850 ribu hektare), dan Maluku Utara (592 ribu hektare).

Langkah inovatif lain yang dapat diambil pemerintah adalah melindungi tutupan hutan alam yang terlanjur diberikan untuk izin perkebunan dan pertambangan.

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terdapat 1,4 juta hektare hutan alam dalam kondisi baik yang sudah dilepaskan untuk perkebunan sawit. Sementara itu, dari analisis peta tutupan lahan 2018 yang dilakukan Madani, tutupan hutan alam di area perkebunan sawit mencapai 3,4 juta hektare, termasuk di area izin yang masih dalam proses. Penyelamatan hutan alam di area perkebunan sawit ini konsisten dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau moratorium sawit.

Aksi mitigasi lain yang harus diperkuat implementasinya adalah mencegah karhutla secara komprehensif dengan mengakselerasi dan memperluas target restorasi gambut pasca-2020 serta mempercepat realisasi target perhutanan sosial dengan disertai pendampingan yang kuat agar dapat berkontribusi pada pencapaian NDC,” ujar Teguh.

Studi Madani bersama Yayasan Climate & Society terkait Kontribusi Perhutanan Sosial di tiga wilayah Perhutanan Sosial di KPH Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Barat menemukan bahwa persentase penurunan illegal logging di tiga wilayah PS yakni KTH Putra Amdam Dewi, LPHN Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran mencapai 83,68% dengan penurunan emisi sebesar 483.941 tCO2/tahun. Setelah mendapatkan izin Perhutanan Sosial, masyarakat beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata dan oleh karenanya berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi.

Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga PS di KPH Bukit Barisan di atas bisa mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025% dari target NDC. Jika dilakukan percepatan implementasi PS pada wilayah berisiko deforestasi sedang sampai tinggi dan dapat mencegah deforestasi di wilayah tersebut, program PS secara nasional berpotensi untuk berkontribusi sebesar 34,6% dari target NDC.

Studi lain Madani terkait praktik terbaik perhutanan sosial dalam menjaga iklim bumi menunjukkan bahwa pendampingan yang kuat dalam tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan, dan tata kelola usaha adalah kunci sekaligus benang merah dari berbagai kisah sukses PS, baik dalam meningkatkan kesejahteraan maupun mengurangi emisi.

Enam kisah yang diangkat adalah dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kalibiru di Kulonprogo, Yogyakarta, HKm Bleberan Gunung Kidul, Yogyakarta, Hutan Desa Lanskap Padang Tikar, Kubu Raya, Kalbar, Hutan Desa Jorong Simancuang, Sumatera Barat, Hutan Desa Lanskap Bujang Raba, Bungo, Jambi, dan Hutan Adat Marena, Enrekang, Sulawesi Selatan.

Masyarakat mampu menjaga hutan, namun tantangannya memang di pendampingan. Bagi 5.615 unit masyarakat yang telah mendapat SK Perhutanan Sosial pada 13 Mei 2019, baru tersedia 1.215 pendamping atau 21,64%. Masih banyak masyarakat pengelola PS yang belum memiliki pendamping,” ujar Untung Widyanto, peneliti Madani dan penulis praktik terbaik PS di enam wilayah di atas. “LSM tak memiliki banyak dana dan ada tantangan ketika harus keluar dari wilayah yang didampingi. Oleh karenanya pemerintah harus memperhatikan isu pendampingan ini dengan serius.”

Kajian praktik terbaik ini menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat dapat meningkat lewat skema perhutanan sosial. Pada 2016, Wisata Alam Kalibiru yang dikelola oleh KTHm Mandiri mampu mendapatkan pemasukan hingga Rp 5,9 miliar dari 443 ribu turis dalam dan luar negeri. PS lainnya menghasilkan berbagai komoditas mulai dari kopi, kulit manis, karet, kakao, kapulaga, padi organik, palawija, udang vaname, kepiting bakau, madu kelulut, hingga tanaman pokok jati dan sonokeling. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat adalah offtaker atau akses pasar.

Dengan berbagai contoh di atas, upaya mencapai komitmen iklim dan menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan hendaknya menjadi jangkar sekaligus koridor bagi pemerintah ketika berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya ke Indonesia. “Melalui pencapaian komitmen iklim, Indonesia bisa mencegah menipisnya sumber daya alam sekaligus bencana akibat kerusakan lingkungan yang sudah dapat dipastikan akan mengganggu dan mengoreksi pertumbuhan ekonomi,” tutup Teguh.

***

Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

id_IDID