Madani

Tentang Kami

Petani Sawit Belum Sejahtera

Petani Sawit Belum Sejahtera

Dana sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sejak 2015 belum berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. Ini terlihat dari harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang belum dapat terdongkrak naik, yang kemudian berimplikasi pada Nilai Tukar Petani (NTP) yang rendah. Pada 2014—tepat sebelum dana sawit diadakan—harga TBS tercatat Rp 1.826 dengan NTP sebesar 97.

Namun pada 2019, saat dana sawit diterapkan, harga TBS turun menjadi Rp 1.515 dan NTP turut tergelincir menjadi 95,6. Angka-angka tersebut mengkonfirmasi belum signifikannya pengaruh dana sawit pada kesejahteraan petani. Sebab, ketika NTP kurang dari 100, itu berarti pendapatan petani lebih sedikit dibanding biaya yang dikeluarkan untuk produksi.

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, kecilnya harga TBS di tingkat petani dikarenakan penentuan harga TBS yang hanya mempertimbangkan biaya produksi Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Padahal, apabila petani tidak bekerja sama dengan PKS, harga TBS yang diterima biasanya lebih rendah dari yang ditetapkan. Melihat masih banyaknya persoalan, Yayasan Madani Berkelanjutan kemudian mengusulkan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kesejahteraan petani. Antara lain, pada Kementerian Pertanian untuk membuat formula penetapan harga TBS yang lebih berkeadilan. 

Pada pemerintah daerah untuk memprioritaskan dana untuk program peningkatan kesejaheraan petani secara langsung. Dan BPDPKS untuk mengarahkan dana sawit pada kesejahteraan petani.

Related Article

Ancaman Food Estate Terhadap Hutan Alam dan Lahan Gambut

Ancaman Food Estate Terhadap Hutan Alam dan Lahan Gambut

[Madani News, Jakarta,24/02/2021] Kebijakan food estate atau program yang bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri dengan membuka lahan pertanian secara masif perlu mendapatkan perhatian khusus agar kebijakan yang dirancang dengan tujuan baik tersebut malah berdampak buruk khususnya terhadap hutan alam dan lahan gambut.

Knowledge Manager Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri menyebut bahwa kebijakan food estate ini akan aman apabila hutan alam, lahan gambut, dan juga wilayah masyarakat adat dikeluarkan dari area of interest program ini. Hal ini disampaikan Anggi dalam diskusi publik virtual yang mengangkat tema “Menakar Dampak Food Estate Terhadap Hutan Alam dan Lahan Gambut” pada Rabu, 24 Februari 2021. 

Hampir seluruh (92%) area of Interest dari food estate di 4 Provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua berada di kawasan hutan. Alih fungsi lahan dari dampak food estate nantinya tentu akan berdampak buruk bukan hanya pada hutan tapi juga pada komitmen iklim Indonesia yang termanifestasi dalam NDC” ujar Anggi.

Dalam diskusi ini, hadir Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, dan juga Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP), IPB University, Prof. Dr. Rizaldi Boer.

Terkait dengan rencana food estate, Dwi Andreas Santosa mengungkapkan bahwa sejarah implementasi food estate di tanah air terbilang buruk. Andreas menyebut bahwa kegagalan dari food estate yang pernah dijalankan pemerintah Indonesia adalah karena mengingkari kaidah akademis.

Kaidah akademis yang perlu menjadi perhatian, pertama, kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, dan kelayakan sosial dan ekonomi. Tata kelola air menjadi kunci utama dari pengembangan lahan pertanian. Hal ini termasuk ke dalam kelayakan insfrastruktur yang berbiaya tinggi. Semua aspek harus terpenuh, jika tidak maka akan gagal food estate tersebut,” ujar Andreas. 

Andreas juga mengatakan bahwa sebenarnya food estate tidak menjawab persoalan pangan apalagi akan semakin buruk jika dilakukan dengan mengalih fungsikan hutan alam. 

Sementara itu, Rizaldi Boer fokus dalam mengungkapkan dampak food estate terhadap komitmen iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contributions (NDC). 

Rizaldi Boer menyebut jika temuan Madani terkait food estate adalah benar maka food estate benar-benar merupakan karpet merah eksploitasi sumber daya alam dan tentu food estate adalah ancaman. “NDC Sektor kehutanan itu bebannya sampai 17% dan hanya bisa dicapai oleh penurunan deforestasi yang signifikan dan pemulihan gambut. Oleh karena itu, food estate benar-benar merupakan ancaman”, ujar Rizaldi.

 

Rizaldi juga mengatakan dalam pencapaian target NDC diharapkan wilayah yang masih berhutan alam harus dipertahankan. Bahkan menurutnya dengan mempertahankannya pun belum tentu juga dapat mencapai target NDC secara keseluruhan.

Dalam dokumen NDC Indonesia, target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca adalah sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Dapatkan bahan diskusi publik virtual Menakar Dampak Food Estate Terhadap Hutan Alam dan Lahan Gambut dengan mengunduh lampiran di bawah ini.

Related Article

Dana Sawit Belum Berdampak Signifikan Pada Petani Riau

Dana Sawit Belum Berdampak Signifikan Pada Petani Riau

Dana sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mulai diterapkan sejak 2015. Salah satu fungsi BPDPKS adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit. Namun faktanya, keberadaan badan pengelola dana sawit tersebut belum berdampak signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani sawit, khususnya di Provinsi Riau. Hal ini terlihat dari masih terjadinya fluktuasi harga Tandan Buah Segar (TBS) yang cenderung turun yang ditetapkan pemerintah.

Berdasarkan harga TBS acuan dari Pemerintah Provinsi Riau, pada 2014 atau tepat sebelum diberlakukannya dana sawit, harga TBS bisa mencapai Rp 1.826 per kilogram. Namun pada 2015, saat dana sawit mulai ditetapkan, harga TBS malah turun di angka Rp 1.319. Harga TBS mengalami sedikit kenaikan pada 2016 menjadi Rp 1.756 dan naik lagi pada 2017 jadi Rp 1.946. namun di tahun berikutnya yakni 2018, harga TBS turun lagi jadi Rp 1.640, dan Kembali turun pada 2019 sampai di harga Rp 1.515 per kg.

Related Article

Pajak Sawit Belum Optimal

Pajak Sawit Belum Optimal

Potensi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di provinsi kaya perkebunan kelapa sawit mencapai puluhan miliar per tahun. Menurut kajian Yayasan Madani Berkelanjutan, rata-rata PBB per hektare (ha) di Riau mencapai Rp 33.024 dengan lahan sawit seluas 2,3 juta ha. Sehingga, potensi penerimaan PBB di wilayah tersebut sebesar Rp 74,52 miliar per tahunnya.

Selain itu, di Kalimantan Barat penerimaan PBB di lahan sawit seluas 4,5 juta ha mencapai Rp 76,04 miliar per tahun. Adapun rata-rata PBB per ha sebesar Rp 17.036. Meski memiliki potensi pajak yang besar, penerimaan daerah kaya sawit saat ini disinyalir belum optimal karena lemahnya kepatuhan wajib pajak (WP). 

Kajian Madani Berkelanjutan juga mengungkapkan adanya penurunan kepatuhan WP yang semula 70,6 persen di tahun 2011 menjadi 46,3 persen di tahun 2015. Penurunan tersebut disebabkan belum optimalnya jumlah pemeriksaan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu, data izin perkebunan (IUP dan HGU), laporan perkembangan usaha perkebunan dan peta perkembangan juga masih belum optimal. 

Rumitnya sistem administrasi PBB perkebunan maupun lemahnya sistem informasi juga menjadi penyebab turunnya kepatuhan WP. Guna mengoptimalkan PBB perkebunan sawit, Madani Berkelanjutan merekomendasikan perlu adanya kerjasama pertukaran data perizinan antara DJP dan dinas terkait di level kabupaten/kota. 

DJP juga perlu mengirimkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) kepada pemegang izin perkebunan yang belum terdaftar sebagai WP. Selain itu, optimalisasi penerimaan PBB perlu didorong agar masuk dalam agenda perencanaan dan target daerah untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Related Article

Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah

Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah

[Jakarta, 9 Februari 2021] Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (INPRES Moratorium Sawit) yang akan berakhir tahun ini, perlu diperpanjang untuk memberi ruang perbaikan tata kelola guna meningkatkan kesejahteraan petani dan daerah-daerah penghasil sawit.

Masih banyak persoalan tata kelola sawit yang harus dibenahi agar petani dan daerah sejahtera, di antaranya sengkarut perizinan, perkebunan tanpa izin, legalitas lahan dan kebun petani, subsidi yang tidak tepat sasaran, prioritas anggaran bagi kesejahteraan petani yang minim, hingga perimbangan keuangan pusat-daerah yang dirasa belum adil. Oleh karena itu, moratorium sawit selama 3 tahun ini harus diperpanjang agar semua pihak punya waktu cukup untuk berbenah,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sengkarut perizinan sawit membuat pendapatan daerah kurang optimal. Setidaknya Madani mencatat terdapat 11,9 juta izin sawit yang belum ditanami sawit. Area ini perlu mendapat perhatian sebagai prioritas revisi izin yang telah diberikan. Disisi lain terdapat pula 8,4 juta tutupan sawit yang belum terdata izin sawitnya. Tentunya pemerintah pada area ini perlu mencermati dan memastikan status izin yang ada agar dapat mengoptimalkan pendapatan negara.

Trias Fetra menambahkan, “Selain memperpanjang moratorium sawit, Pemerintah juga perlu membuat formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit melalui pengelolaan harga TBS dan dana perkebunan sawit, karena saat ini penggunaan Dana Perkebunan Sawit tidak tepat sasaran, sehingga tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan petani sawit. Selain itu, formula penetapan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani lebih banyak menguntungkan dan mensubsidi pengusaha”.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Madani, dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan perkebunan sawit, seperti program peremajaan sawit rakyat, program pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan sumber daya manusia di sektor perkebunan sawit dan sebagainya, ternyata digunakan untuk program subsidi biodiesel. Berdasarkan data KPK (2017), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO dan produk turunannya sebesar Rp 11 triliun pada 2016. Dari besaran dana yang dihimpun tersebut, BPDPKS mengalokasikan sebesar 81,8% untuk subsidi biodiesel. Ada dua grup usaha, yaitu Wilmar Grup dan Musim Mas Grup yang mendapatkan alokasi terbesar dari subsidi biodiesel tersebut,” ungkap Trias Fetra.

Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Erlangga menambahkan bahwa dalam analisis input-output yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit untuk membiayai subsidi biodiesel tidak memberikan nilai manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibandingkan menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit.

Jika semua penerimaan dana perkebunan sawit digunakan untuk sektor perkebunan sawit maka pertumbuhan output produksi di sektor tersebut meningkat sebesar 6,52% dan juga mempengaruhi output produksi sektor lain, seperti faktor produksi tenaga kerja naik sebesar 0,59%, output faktor produksi rumah tangga juga meningkat sebesar 0,50%. Sedangkan, jika dana tersebut semuanya digunakan untuk subsidi biodiesel, hanya mampu meningkatkan output produksi sektor industri biodiesel sebesar 1,23%. Output produksi tenaga kerja dan output produksi rumah tangga hanya naik sebesar 0,31%,” terang Erlangga.

Selain itu, tujuan dari penghimpunan dana perkebunan sawit untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sesuai dengan mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tidak terealisasi. “Pemerintah mendorong peningkatan harga CPO dengan melakukan pungutan ekspor terhadap ekspor CPO dan produk turunannya. Dimana dana dari hasil pungutan tersebut digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel. Hal tersebut dilakukan agar produksi biodiesel di dalam negeri meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO. Meningkatnya permintaan CPO akan mampu mendongkrak harga CPO dan implikasi lainnya, harga TBS di tingkat petani meningkat. Pada akhirnya, akan meningkatkan nilai tukar petani (NTP) perkebunan rakyat,” kata Intan Elvira, peneliti Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan.

Ternyata hal tersebut tidak terjadi. Harga CPO di dalam negeri tidak mengalami peningkatan signifikan dan cenderung berfluktuasi. Misalnya, pada 2014, rata-rata harga CPO berdasarkan harga acuan Belawan dan Dumai sebesar Rp 9.084/Kg. Harga tersebut sebelumnya pemerintah melakukan pungutan ekspor. Setelah, pungutan ekspor dilakukan pada 2015, harga CPO lebih rendah dibanding harga sebelum pungutan ekspor. Bahkan, pada 2019, harga turun menjadi Rp 6.829/Kg,” tambah Intan Elvira.

Untuk itu, Badan Pengarah BPDPKS perlu mengubah strategi penggunaan dana perkebunan sawit agar fokus pada perbaikan kesejahteraan petani, seperti program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit. Hal ini penting dilakukan agar mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bisa direalisasikan dengan baik. Di mana dalam regulasi tersebut diatur penggunaan dana perkebunan sawit untuk program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit,” kata Trias Fetra.

Selain itu, Badan Pelaksana BPDPKS perlu memperbaiki skema penyaluran dana untuk program peremajaan sawit rakyat yang berbasis pada data yang valid (spasial dan numerik), memangkas proses birokrasi yang panjang, seperti proses rekomendasi teknis yang bertingkat dan verifikasi calon penerima.

Kementerian Pertanian perlu perbaikan terhadap formula penetapan harga TBS di tingkat petani dari hanya menggunakan pendekatan biaya produksi pada level Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menjadi kombinasi antara biaya produksi pada level PKS dan biaya produksi pada level petani.  Serta Kementerian Pertanian perlu menyusun matriks penentuan harga TBS berdasarkan kualitas TBS sebagai referensi resmi yang dikeluarkan melalui revisi Permentan No. 1 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga TBS. Dan perlu menyusun skema khusus lewat Peraturan Menteri yang mengatur ketentuan penetapan harga yang linear antara kenaikan harga CPO dan Indeks K. Pada banyak kasus, kenaikan harga TBS tidak elastis dengan kenaikan harga CPO,” kata Intan Elvira. [ ]

Kontak Media:

Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366

Erlangga, Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0852 0856 8896

Intan Elvira, Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0812 2838 6143

Related Article

Menakar Ancaman terhadap Hutan Alam dan Ekosistem Gambut di Balik Rencana Pengembangan Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan

Menakar Ancaman terhadap Hutan Alam dan Ekosistem Gambut di Balik Rencana Pengembangan Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan

Program Food Estate diajukan pemerintah sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program ini juga masuk ke dalam daftar Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021 sebagai Proyek Prioritas (ProP) di bawah PN 2, yaitu “Membangun Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan.”

Dalam Nota Keuangan APBN 2021, ketahanan pangan – di mana Food Estate disebutkan sebagai salah satu “cara bertindak” – dikukuhkan sebagai prioritas belanja negara di samping bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, pariwisata, dan perlindungan sosial. Anggaran ketahanan pangan – termasuk Food Estate – mencapai 104,2 triliun rupiah pada 2021.

Lokasi pengembangan Food Estate masih berubah-ubah. Menurut Nota Keuangan APBN 2021, pada tahun 2021, pemerintah menargetkan pengembangan Food Estate di 3 provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, dan Papua. Namun, dalam Rencana Operasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, disebutkan bahwa Food Estate akan dikembangkan di 4 Provinsi, yakni Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas, Pulau Pisang, Barito Selatan, Katingan, Palangkaraya), Sumatera Selatan (Kabupaten Musi Banyuasin, Pali, Musi Rawas Utara, Muara Enim, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Palembang, OKU Timur, Ogan Komering Ulu, Musi Rawa), Papua (Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel), dan Sumatera Utara (Kabupaten Humbang Hasundutan). 

Sebelumnya, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Pertanian pernah mencantumkan Kalimantan Barat dan Maluku (Kepulauan Aru) sebagai lokasi pengembangan Food Estate tahun 2015-2019 namun dua provinsi ini tidak disebutkan lagi dalam rencana Food Estate 2020-2024. Sementara itu, Kementerian Pertahanan telah melakukan tinjauan lokasi pengembangan Food Estate di beberapa lokasi di Jawa Barat. Kementerian Pertanian bahkan telah meminta setiap provinsi untuk menyiapkan lokasi pengembangan Food Estate.

Pemerintah menyatakan konsep Food Estate sebagai “Kawasan Pangan Modern Terintegrasi dan Berkelanjutan” yang nantinya akan menjadi cadangan logistik strategis ketahanan pangan, baik untuk pertahanan negara maupun sebagai pusat pertanian pangan. Menurut Pemerintah, komoditas pangan yang akan diproduksi di Food Estate antara lain padi, singkong, jagung, serta komoditas-komoditas strategis lainnya, yang menyesuaikan dengan kondisi lahan.

Dapatkan Madani Insight Menakar Ancaman terhadap Hutan Alam dan Ekosistem Gambut di Balik Rencana Pengembangan Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Pandangan Kritis Terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Masa Depan Ekonomi, dan Lingkungan Hidup

Pandangan Kritis Terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Masa Depan Ekonomi, dan Lingkungan Hidup

Entah apa alasannya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah untuk mendukung investasi justru menggunakan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ketetapan MPR XVI/MPR/1998 tentang Demokrasi Ekonomi sebagai konsideran mengingatnya. Seolah hanya memperlakukannya sebagai kemasan, melalui 186 rumusan pasal, UU 11/2020 mengubah, menghapus, dan menyisipkan berbagai ketentuan yang ada di dalam setidaknya 89 undang-undang dari berbagai bidang sektor, termasuk yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, justru lebih banyak disebutsebut berlawanan dengan prinsip dan substansi yang ada di dalam kedua TAP MPR itu. 

 

Kajian yang dipublikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional mencatat minimnya berbagai pelaksanaan prinsip-prinsip yang ada di dalam TAP MPR IX/2001 khususnya pada prinsip yang berkaitan dengan demokrasi, keberlanjutan, dan keadilan. Pada prinsip demokrasi regulasi sumber daya alam dan lingkungan yang ada minim memastikan terjadinya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Sehingga tidak heran apabila beragam kebijakan abai terhadap dampak sosial ekonomi bagi kepentingan publik, dan alih-alih menyejahterakan justru menimbulkan ruang konflik. Sementara itu prinsip keadilan banyak disimpangi, meski prinsipnya selalu disebutkan di muka batang tubuh setiap undang-undang terkait sumber daya alam, penjabarannya tidak banyak terlihat, sehingga lebih banyak tunduk pada doktrin efisiensi dan keekonomian bisnis ekstraktif skala besar. 

Ketimbang memberikan akses yang sama dan menjamin hak publik atas SDA, prinsip keadilan direduksi menjadi pembatasan tingkat persaingan usaha, seperti pembatasan luas lahan, dan sebagainya. Persoalan-persoalan itu terlihat tidak banyak disentuh oleh UU 11/2020, sementara pasal-pasal yang tersedia justru semakin mereduksi prinsip-prinsip pengelolaan agraria tersebut.

Selain dengan bungkusan TAP MPR IX/2001, penyusun regulasi tidak terlalu banyak berusaha menutupi watak asli UU 11/2020 yang memandang semua hal dalam logika biner, menghambat atau mendukung investasi. Sehingga, tanpa melakukan analisis terlalu mendakik, sebenarnya dapat dibayangkan bahwa upaya untuk meningkatkan investasi yang dijadikan basis keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan mengarahkan pada pelemahan upaya perlindungan lingkungan hidup. Bahkan penyusun undang-undang juga tidak berupaya untuk menguji asumsi yang melatarbelakangi buruknya kinerja investasi di Indonesia. Berulang kali disebutkan dalam naskah akademik, penyusun langsung menerima bahwa selain mekanisme perizinan yang terlalu dalam menyentuh aspek usaha – menjadi katalis terjadinya korupsi, ruang lingkup instrumen perlindungan lingkungan (termasuk kriminalisasinya) dan prasyarat penguasaan lahan, birokrasi yang tidak responsif dan lamban seringkali dipandang sebagai persoalan yang menghambat kegiatan usaha. 

Rasionalitas dari perubahan segerombolan (omnibus) norma tersebut disandarkan pada tujuan untuk meningkatkan investasi yang dipandang berkorelasi pada penciptaan lapangan kerja. Tidak ada upaya untuk melakukan evaluasi terhadap upaya pembenahan yang telah berjalan selama ini, baik itu pembelajaran maupun tantangannya. Sehingga apapun bentuknya yang terpikirkan untuk memperbaiki peringkat investasi di dunia internasional seolah menjadi sah dilakukan, termasuk mengatur kewajiban penyederhanaan perizinan, penerapan perizinan berbasis risiko, memberi ruang yang lebih luas pada diskresi, mengatur pengecualian pada proyek strategis nasional, penghapusan instrumen lingkungan hidup, penghapusan pidana administratif, dan penghapusan prasyarat dan batasan tata ruang, hingga penyelesaian terhadap penggunaan kawasan hutan yang selama ini dilakukan secara ilegal. Padahal beragam kajian dan pandangan mengenai makro ekonomi Indonesia menyebutkan bahwa persoalan dalam tingkat persaingan investasi di Indonesia bukan hanya terkait beban birokrasi (waktu untuk mengurus perizinan), tetapi berkaitan dengan transparansi, ketidakpastian administrasi lahan, dan minimnya penyediaan akses terhadap infrastruktur dasar seperti transportasi dan komunikasi (World Economic Forum, 2019).

Publikasi lain menyebutkan justru kegagalan penciptaan lapangan kerja justru berkaitan dengan sistem pendidikan yang tidak efektif dan buruknya ketahanan lingkungan yang dibarengi dengan ketidaksiapan kelembagaan penanganan bencana (OECD, 2020). Memukul rata bahwa pemotongan instrumen untuk melindungi kepentingan sosial dan lingkungan akan meningkatkan upaya penciptaan kerja, jelas telah melompati logika berpikir. Pun, apabila logika berpikir itu diikuti, sudah banyak catatan yang membuktikan bahwa peningkatan investasi tanpa jaminan perlindungan hak asasi manusia tidak akan mampu menjadi pilar untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat, bahkan lebih banyak menyebabkan krisis dan kerawanan multidimensi termasuk pangan (Madani, 2020). 

Catatan ini mencoba menyisir berbagai perubahan berbagai undang-undang di bidang sumber daya alam yang dilakukan oleh UU 11/2020, meski dengan risiko mengulang hal yang sudah banyak dilakukan, yaitu memberikan catatan sektoral terhadap perubahan tekstual yang ada di dalam UU 11/2020. Di antaranya yang paling sering dibahas, yaitu di bidang lingkungan hidup, ketenagakerjaan, maupun pertanahan. Namun, untuk menghindarinya ditempatkan sebagai catatan penebal dari sejumlah ragam catatan yang telah ada selama ini oleh berbagai kelompok masyarakat, uraian ini akan mencoba menyentuh dampak dari rumusan pasal termasuk yang diatur langsung dalam undang-undang di bidang sumber daya alam, maupun pengaturan lain yang diatur dalam undang-undang lainnya yang juga punya potensi memperkuat dampak tersebut. 

Dapatkan Pandangan Kritis Terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Masa Depan Ekonomi, dan Lingkungan Hidup dengan mengunduh dokumen yang tersedia di bawah ini.

Related Article

[1000 gagasan] PERTUMBUHAN EKONOMI, KETAHANAN PANGAN, DAN KESEIMBANGAN EKOSISTEM

[1000 gagasan] PERTUMBUHAN EKONOMI, KETAHANAN PANGAN, DAN KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Produktivitas lahan pertanian dan perkebunan Indonesia tidak meningkat signifikan dan cenderung turun, kecuali kelapa sawit. Padahal, subsidi pupuk merupakan subsidi terbesar kedua di Indonesia, yang menghabiskan sekitar Rp. 30 triliun setiap tahunnya. Selain permasalahan pada pendistribusian subsidi pupuk, ada permasalahan lain di luar pupuk yang menyebabkan produktivitas rendah. Di antaranya menurunnya kualitas irigasi, degradasi kualitas tanah, dan cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan kekeringan. Data BNPB menunjukkan bahwa peristiwa bencana seperti banjir dan kekeringan telah meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 1.967 kasus di tahun 2014 menjadi 3.721 kasus di tahun 2019. Pada tahun 2019, tercatat 31.000 hektare ladang gagal panen karena kekeringan, dan 10.000 hektare gagal karena banjir. Dua kondisi ekstrem yang berbeda, di saat yang sama. 

Selain permasalahan produktivitas, ada juga permasalahan sosio-politik yang mengancam sektor pertanian Indonesia, yaitu tenaga kerja sektor pertanian semakin menurun, dan di saat yang sama Indonesia semakin banyak mengimpor berbagai bahan pangan yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri, seperti beras, bawang putih, dan kedelai, karena produksi dalam negeri lebih mahal harga jualnya. 

Ketahanan Pangan = Pertanian Skala Besar?

Pemerintah berupaya menangani permasalahan-permasalahan ini dengan berbagai cara, utamanya dengan membuat lumbung pangan atau food estate. Alokasi lahan yang tidak aktif untuk food estate tercantum dalam UU Cipta Kerja, dan direncanakan bahwa luas lahan yang akan digarap adalah 164.598 hektare, dengan pengerjaan awal seluas 10.000 hektare di Kabupaten Pulang Pisau, 20.000 hektare di Kabupaten Kapuas, 30.000 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan, dan daerah-daerah lain termasuk Papua. Lumbung pangan diharapkan berskala besar, dengan memanfaatkan lahan terdegradasi, lahan rawa dan gambut. Diharapkan dengan produksi skala besar ini, harga produk pangan Indonesia akan turun dan kompetitif dengan produk pangan impor. 

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Berkelanjutan

Namun demikian, lumbung pangan sudah pernah dilakukan di era Presiden Soeharto, dan juga di era Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Mega Rice Project. Artinya, ekspansi lahan pertanian dalam skala besar, sudah pernah dan sudah sering dilakukan, dengan berbagai tantangannya sendiri. Namun, tingkat konversi lahan pertanian komoditas pangan untuk penggunaan lain (seperti dijadikan kebun kelapa sawit, atau pemukiman, perkotaan dan sebagainya) juga sangat tinggi. Bahkan, tingkat konversi lahan pertanian ke penggunaan lain lebih cepat daripada lahan yang dialihfungsikan menjadi food estate. Sementara itu, populasi Indonesia terus meningkat per tahun, yang akan menyebabkan terus meningkatnya kebutuhan pangan. Apabila ekspansi lahan dijadikan program unggulan untuk mencapai ketahanan pangan, maka solusi tersebut hanya akan bersifat sementara, dan dalam tempo singkat akan menjadi tidak efektif. Ketahanan pangan tidak bisa dicapai hanya dengan mendorong ketersediaan lahan.  

Faktanya, Indonesia sebenarnya sudah mencapai swasembada pangan secara nasional, namun terdapat wilayah-wilayah yang masih kekurangan pangan.  Terdapat 88 kabupaten di Indonesia yang masih mengalami kekurangan pangan, dan per 2019 hampir 30% anak di Indonesia mengalami stunting akibat malnutrisi. Di awal 2020, terhitung ada 8 juta hektare lahan perkebunan / pertanian di Indonesia, dibandingkan dengan 16 juta hektare lahan kelapa sawit. Studi CPI di Berau, Kalimantan Timur mendapati bahwa kelapa sawit mendominasi 90% total lahan perkebunan. Produksi kelapa sawit menunjukkan tren yang meningkat, sedangkan tanaman lain seperti padi, jagung, dan kakao menunjukkan tren turun.  

Diversifikasi Pertanian, Keanekaragaman Hayati 

Ekspansi perkebunan demi mencapai skala besar, efisiensi dan laba telah menyebabkan deforestasi dan konversi lahan pangan menjadi lahan komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit digadang-gadang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani kecil. Hampir setengah (40%) lahan kelapa sawit di Indonesia digarap oleh petani kecil dan angka ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan permintaan kelapa sawit yang tinggi. Namun, ternyata tingkat penghasilan dari kelapa sawit bagi petani kecil tidak seberapa. 

Berdasarkan sebuah riset yang dilakukan Climate Policy Initiative, ketergantungan pada komoditas perkebunan tunggal atau monokrop menggeser lahan pangan dan meningkatkan risiko kekurangan pangan. Selain itu, penerimaan petani dari kelapa sawit tidak signifikan. Di Berau, Kalimantan Timur, penerimaan petani yang menggarap lahan 2 hektare tidak mencapai upah minimum regional. 

Sebaliknya, ketika dilakukan pemodelan untuk memproyeksikan penerimaan petani yang tidak hanya menanam kelapa sawit tetapi juga menanam tanaman pangan seperti jagung, kakao, atau lada, maka ditemukan bahwa penerimaan petani bisa lebih besar, tanpa ekspansi lahan. Bahkan pada beberapa skenario tertentu, penerimaan petani bisa mencapai 800% (sembilan kali lipat) penerimaan yang diterimanya dari kelapa sawit saja. 

Selain penerimaan yang lebih tinggi, petani juga memperoleh berbagai keunggulan lainnya ketika melakukan diversifikasi pertanian. Pertama, risiko gagal panen keseluruhan lahan berkurang. Kedua, meningkatnya pendapatan dan arus kas dapat mempermudah akses keuangan bagi petani. Selain manfaat bagi petani, diversifikasi juga membawa manfaat bagi daerah. Diversifikasi membuka peluang bagi tanaman endemik wilayah tersebut untuk tetap dibudidayakan demi menjaga keanekaragaman hayati. 

Sistem Ekonomi Ideal: Ketahanan Pangan yang tercapai karena Ketahanan Ekosistem 

Fokus pada diversifikasi lahan pangan membawa peluang menggeser narasi penggunaan lahan. Yang tadinya penggunaan lahan digambarkan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membawa keuntungan bagi perusahaan perkebunan, bergeser menjadi penggunaan lahan terbatas dengan menjaga keanekaragaman hayati dan ketahanan ekosistem. Fokus pembangunan dapat bergeser dari yang tadinya lebih fokus pada saluran irigasi dan subsidi pupuk, menjadi pembangunan yang menjaga sumber mata air dan kualitas tanah (topsoil). Pengembangan lahan pertanian dan perkebunan pun dapat bergeser dari paradigma semula yang cenderung membangun sentra-sentra pertanian atau “lumbung pangan” di lahan-lahan berskala besar, menjadi pengembangan pertanian dan perkebunan skala kecil secara terdesentralisasi dengan tanaman yang beragam (tidak monokrop). 

Tanaman yang dipilih pun tidak berdasarkan penentuan strategis dari pemerintah pusat, namun berdasarkan tanaman yang endemik dan dikenal oleh masyarakat lokal, sehingga menjaga keanekaragaman hayati setempat.  Pemerintah dapat mendukung ini bukan dengan menentukan luasan lahan, harga atau jenis tanaman yang harus ditanam, namun dengan menjamin kepemilikan lahan bagi komunitas setempat dan masyarakat adat, membantu akses ke pasar, dan membangun sentra-sentra pemasaran hasil tanam di setiap wilayah. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Saat ini aliran dana untuk mendukung pengembangan sektor pertanian dan perkebunan skala kecil sangat minim. Dari total dana global yang mengalir untuk mengatasi isu perubahan iklim, hanya 3% yang ditujukan untuk sektor perkebunan, kehutanan dan lahan, dan dari 3% tersebut hanya 40% yang ditujukan untuk perkebunan skala kecil dan pendukungnya. Untuk itu, pemerintah juga perlu lebih cermat dalam menggelontorkan dana publik untuk sektor pertanian/perkebunan. 

Subsidi pupuk dapat ditelaah kembali dan sebagian bisa dialirkan untuk mendukung konservasi sumber daya air, penyehatan tanah, pemasaran dan rantai pasok hasil tanam yang beragam dari setiap wilayah. Subsidi kredit perkebunan dapat dibuat bersyarat, yaitu dengan mensyaratkan penggunaan teknik pertanian yang irit air dan tidak merusak kualitas tanah. Transfer fiskal ke daerah bisa menggunakan skema insentif (ecological fiscal transfer) sehingga memberi penghargaan moneter bagi wilayah yang berhasil menjaga ketahanan ekosistemnya, yang dapat diwujudkan dengan indikator tutupan wilayah hijau, diversifikasi tanaman, penggunaan energi terbarukan, dan sebagainya. 

Semua wilayah dapat memiliki kegiatan ekonomi yang berbeda-beda, iklim, topografi, sosio-budaya dan karakteristik yang berbeda-beda, namun keseimbangan ekosistem menjadi hal mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Keseimbangan ekosistem memberikan komoditas yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu pangan, air dan udara bersih. Sudah saatnya prioritas tersebut terwujud dalam sistem ekonomi kita. 

Oleh: Tiza Mafira

Associate Director, Climate Policy Initiative 

Referensi:

1.Mecca et. al., Fostering Economic Resilience in Berau through Smallholder Crop Diversification, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/fostering-economic-resilience-in-berau-through-smallholder-crop-diversification/

2.Chiriac, Naran, & Falconer, Examining the Climate Finance Gap for Small-Scale Agriculture, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/climate-finance-small-scale-agriculture/

3.Mecca et. al., Indeks Desa Membangun Plus (IDM+): Enhancing Direct Incentives for Sustainable Land Use in Indonesian Villages, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/indeks-desa-membangun-plus-idm-enhancing-direct-incentives-for-sustainable-land-use-in-indonesian-villages/

Related Article

id_IDID