Madani

Tentang Kami

[1000 gagasan] MENDORONG EKOSISTEM PASAR KARBON NUSANTARA

[1000 gagasan] MENDORONG EKOSISTEM PASAR KARBON NUSANTARA

Jika tak ada aral melintang, pemerintah segera membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Institusi pemerintah ini amanat langsung dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) sekaligus diatur secara khusus di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (PDLH). Di dalam salah satu pasalnya, disebutkan demi pengelolaan dana lingkungan hidup di Indonesia, akan dibentuk unit organisasi non-eselon dengan menggunakan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU). Dalam implementasinya, BLU ini dapat menunjuk dan menetapkan Bank Kustodian sebagai wali amanat (trustee). Kegiatan dari wali amanat ini diantaranya menilai kekayaan emiten, agen pembayaran, mengawasi perkembangan emiten dan juga memberikan nasehat kepada para investor segala sesuatu yang terkait emiten.

BPDLH akan menandai era baru pengelolaan dana lingkungan hidup di Indonesia. Sebagai fund manager, BPDLH akan berfungsi sebagai pool of funds dari berbagai dana lingkungan hidup yang selama ini datang dari banyak sumber baik dana publik, swasta dan internasional. Pemerintah selalu berupaya agar seluruh dana-dana tersebut dicatatkan dan dilaporkan (on budget-on treasury) ke dalam sistem penganggaran pemerintah (APBN). Namun tidak dipungkiri mungkin saja masih terdapat beberapa rembesan dana yang tidak tercatatkan dengan baik. Untuk itu ke depannya rembesan akan diminimalkan via BPDLH.

Era baru juga diwarnai dari sisi fleksibilitas penggunaan dana. Sistem penganggaran APBN terkadang memilki pakem dan birokrasi yang tidak mendukung penganggaran model swasta karena memang rejim yang dianut berbeda. Ambil contoh misalnya kesulitan yang dialami oleh skema APBN ketika harus memberikan mekanisme subsidi input bagi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) kepada pengembang swasta. Secara regulasi, definisi subsidi APBN hanya diperbolehkan kepada konsumen akhir bukan kepada pengusaha. Tak heran jika subsidi EBT akhirnya selalu terkendala. 

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Berbagai pembaruan ini dimungkinkan sesuai dengan filosofi PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Di dalam PP tersebut disebutkan pola pengelolaan BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

Berdasarkan Perpres, BPDLH dapat menghimpun dana yang berasal dari APBN/APBD, sumber lain yang sah secara regulasi, pungutan pajak dan retribusi lingkungan hidup serta hibah maupun donasi internasional. Setelah dana dihimpun dan dipupuk selanjutnya disalurkan melalui skema pinjaman, hibah, subsidi, perdagangan karbon dan sistem lainnya. Semua jenis pengelolaan dana didasarkan atas kontrak/perjanjian yang memuat paling sedikit identitas para pihak, peruntukan penggunaan dana, jenis kegiatan yang akan dilakukan, besaran dana, jangka waktu pelaksanaan kegiatan serta jenis instrumen investasi yang dikehendaki.

BPDLH juga akan membentuk akun tersendiri untuk masing-masing jenis perikatan yang dihasilkan. Nomenklatur akun tersebut disesuaikan dengan window sektoral yang nantinya akan diciptakan. Beberapa window sektoral yang sudah disiapkan diantaranya window mitigasi perubahan iklim (MPI), adaptasi perubahan iklim (API), investasi lingkungan dan juga renewable energy (RE). Masing-masing window akan bertanggung jawab atas pemanfaatan dana mulai dari sisi perencanaan awal hingga penyusunan output/outcome serta monitoring dan evaluasi program.

Ekosistem pasar karbon 

Jumlah pengelolaan bisnis model BLU oleh pemerintah saat ini sudah banyak. Meski berstatus BLU dan tidak mementingkan keuntungan, nyatanya pendapatannya justru meroket. Hingga akhir tahun lalu, total pendapatan BLU yang tercatat masuk ke dalam pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp53,4 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 13,35% dibandingkan realisasi yang sama tahun 2017 dengan 74% dari total BLU mampu melampaui pendapatan.

BPDLH nantinya menawarkan keunikan tersendiri terkait dengan fasilitas perdagangan karbon jika dibandingkan BLU sebelumnya. Meski masih awam, pemerintah sudah memilki sejumlah infrastruktur dalam membangun pasar karbon nusantara. Kelengkapan regulasi dan komitmen politik sangat mendukung pembentukan ekosistem pasar karbon itu sendiri. Secara nasional, pemerintah memiliki janji penurunan emisi melalui Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Target tersebut kemudian dilengkapi dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan pendanaan APBN/APBD dan 41% di tahun 2030 jika mendapatkan tambahan alokasi dana internasional.

Beberapa pengamat juga meyakinkan bahwa ekosistem pasar karbon ke depannya akan memegang peran yang vital dalam mendukung upaya pencapaian target NDC pemerintah. Perlu diingat bahwa kapasitas pendanaan publik melalui APBN/APBD memiliki banyak keterbatasan. Permasalahan prioritas anggaran sektoral memaksa kemampuan pendanaan publik tak lebih dari 20% dari total kebutuhan. Karenanya diperlukan adanya terobosan mekanisme pendanaan inovatif. Dan pasar karbon dapat menjadi solusi terdepan menjawab kebutuhan ini.

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa Musti Menang ?

Dalam pembukaan EBTKE Connect tahun 2019 kemarin, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) pun menyampaikan hal yang sama bahwa salah satu cita-cita utama Beliau adalah menjadikan pasar karbon sebagai bisnis lingkungan hidup masa depan yang memberikan banyak manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana cara menciptakan harapan tersebut ? Pertama, BPDLH harus mampu menjadi stand by buyer bagi perdagangan karbon nusantara. Idealnya, seluruh pengembang pasar karbon secara voluntary diperbolehkan menjual karbon ke pasar domestik maupun internasional. Pemerintah tidak perlu mewajibkan untuk menjual ke pasar domestik saja karena dikhawatirkan justru akan meimbulkan distorsi market.

Tugas dan kewajiban negara adalah menciptakan pasar yang kompetitif dan memberikan kepastian regulasi bagi para pelaku pasar nantinya. Ketika harga yang diperoleh tidak kompetitif dibandingkan biaya administrasi, pihak tersebut dapat menjual karbonnya ke BPDLH yang kemudian akan membeli dikisaran harga dasar (floor price). Ketika konsep ini dilakukan berulang-ulang, penulis yakin bahwa pasar karbon nusantara akan terbentuk dengan sendirinya via pembentukan demand di pasar domestik.

Ketika stok karbon yang dicatatkan BPDLH sudah memenuhi target pemenuhan NDC, maka BPDLH kemudian layak memperdagangkan karbon di pasar internasional maupun domestik dengan tetap mengedepankan aspek yuridiksi. Pendekatan yang digunakan adalah yurisdiction approach dengan meneguhkan batas-batas wilayah administrasi sektoral. Ketika mencapai tahapan ini, BPDLH mulai memperhitungkan selisih harga beli dan harga jual (trading) demi memupuk laba yang dikembalikan sebagai operasional membesarkan bisnis BPDLH sekaligus memperbaiki harga dasar pembelian karbon. Manajemen BPDLH juga wajib mengupdate harga rujukan harga karbon ini setiap periode tertentu.

Alternatif metode lainnya adalah mekanisme cap and trade yang akan dilakukan BPDLH dengan melihat potensi berbagai sektor yang sekiranya siap menjalankan perdagangan ini. Sektor industri baja dan semen, sektor penerbangan, food and beverage dan fast moving goods dipercaya sebagai sektor-sektor unggulan yang siap menjadi pionir implementasi. Seluruh sektor tersebut akan difasilitasi oleh BPDLH yang sudah memiliki etalase karbon.

Sebagai penguatan, pemerintah juga dapat menciptakan demand karbon melalui konektivitas skema pembayaran pinjaman usaha yang dipakai untuk bisnis yang bersifat green. Dapat pula dimunculkan ide menjadikan karbon sebagai pengurang kewajiban pajak ke depannya. Jika semua hal tersebut dapat diwujudkan, secara perlahan namun pasti ekosistem pasar karbon nusantara akan segera terbangun dan Indonesia dapat memainkan peran terdepan dalam perdagangan karbon global.  

Oleh: Joko Tri Haryanto

Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.

 

Related Article

[1000 gagasan] PELUANG INDUSTRI SYARIAH HIJAU

[1000 gagasan] PELUANG INDUSTRI SYARIAH HIJAU

Meningkatnya isu pemanasan global, sekiranya memiliki dampak positif bagi Indonesia jika dikaitkan dengan upaya menjaga kesinambungan berbagai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah baik migas, mineral/ non-mineral maupun logam lainnya. Terlebih di era saat ini, pemerintah juga terus berupaya untuk mengurangi ketergantungan APBN terhadap penerimaan berbasis SDA melalui pengembangan berbagai industri jasa, pariwisata serta perdagangan dan manufaktur.

Selain ratifikasi tujuan pembangunan berkelanjutan global (SDG), komitmen pemerintah dalam mengatasi dampak pemanasan global diregulasikan secara nasional melalui penerbitan Perpres terkait Rencana Aksi Nasional Mitigasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) di tahun 2011 serta RAN Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (API) di tahun 2014. Di dalam Perpres tersebut dinyatakan target penurunan emisi GRK nasional hingga 26% dengan pendanaan sendiri (APBN/APBD) serta 41% di tahun 2020, jika dibantu pendanaan internasional.

Pada tahun 2016, kerangka regulasi di dalam Perpres tersebut direvisi dalam mekanisme ratifikasi Paris Agreement yang menghasilkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia, dengan menambah target penurunan emisi menjadi 29% dan 41% di tahun 2030. Dan setiap tahun pemerintah kemudian menyampaikan secara resmi laporan kinerja realisasi penurunan emisi GRK kepada lembaga resmi PBB dalam kerangka UNFCCC.

Dibandingkan era pemerintahan sebelumnya, terdapat sedikit perbedaan di dalam strategi implementasinya. Jika di periode sebelumnya visi mengatasi persoalan pemanasan global diatasi dengan pendekatan fungsi lingkungan hidup (LH) secara mandiri, maka di periode saat ini strategi yang dikembangkan juga diselaraskan dengan visi dan misi pembangunan seperti yang tertuang di dalam Nawa Cita (9 agenda prioritas). Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan tidak semata-mata berdasarkan isu LH saja, melainkan diperkuat melalui pendekatan infrastruktur ekonomi seperti misalnya: bagaimana upaya mengintegrasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan tema infrastruktur maupun beberapa isu-isu lainnya seperti tema gender, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan pendekatan ini, pemerintah peyakini bahwa pembangunan dapat berjalan lebih berkesinambungan.

BACA JUGA: Mendorong Ekosistem Pasar Karbon Nusantara

Untuk memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah juga berupaya untuk memastikan adanya governance yang kuat. Sebagai catatan, saat ini penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan merupakan kontributor utama atas tingkat emisi Indonesia. Untuk itu pemerintah telah mempersiapkan seperangkat alat pencegahan awal melalui kewajiban penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di daerah untuk memastikan bahwa eksternalitas yang dihasilkan dapat diatasi.

Di sisi lain, dengan tetap memprioritaskan upaya konservasi terhadap area hutan lindung, lahan gambut, area hutan bakau, dan beberapa area lain dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, pemerintah juga telah mengeluarkan larangan atas kegiatan pembukaan hutan primer serta larangan untuk mengkonversi lahan gambut.

Sayangnya, masalah pendanaan masih selalu menjadi persoalan klasik. Banyak pihak baik di level pemerintah pusat maupun daerah selalu merasa bahwa komitmen masih terganjal kepada kebutuhan pendanaan yang masih kerap terjadi konflik maupun tidak tepat sasaran. Akibatnya beberapa pihak menganggap komitmen pemerintah masih terbatas di atas dokumen, belum sampai menyentuh aspek implementasi di lapangan. Meskipun sejujurnya semua langkah dan kebijakan juga sudah diselaraskan mulai dari upaya memasukkan isu keberlanjutan dan dukungan terhadap pelestarian lingkungan hidup dan SDA di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), penguatan alokasi belanja pemerintah hingga penyelarasan alokasi belanja Transfer ke Daerah.

Berbagai skema pendanaan inovatif juga dilirik melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH). Di dalam regulasi tersebut diatur segala hal yang terkait skema green banking, green sukuk, green bond, green tax, green insurance, ecological fiscal transfer (EFT), payment ecosystem services (PES) dan juga dana wali amanat lingkungan hidup. Dana on call pemerintah sebagai jaminan pemulihan lingkungan hidup juga dijelaskan secara mendetail di dalam PP tersebut.

Dari aspek akuntabilitas dan transparansi alokasi anggaran terkait lingkungan hidup, sejak tahun 2015 pemerintah sudah menerapkan mekanisme penelusuran anggaran (budget tagging) di level nasional. Dengan budget tagging tersebut, realisasi belanja pemerintah terkait lingkungan hidup dapat ditelusuri apakah memiliki keterkaitan langsung atau cuma bersifat pendukung di dalam upaya menurunkan emisi GRK. Pemerintah juga dipaksa untuk mulai memikirkan bagaimana menyusun perencanaan penganggaran dengan lebih simple dan cerdas di dalam menyelaraskan input, program, kegiatan, output dan outcome. Dengan demikian ke depannya pola perencanaan penganggaran di sektor lingkungan hidup pemerintah betul-betul mencerminkan aspek performance based budgeting.  

Sejak tahun 2015, budget tagging mulai diwajibkan untuk aspek mitigasi perubahan iklim di 6 Kementerian/Lembaga (KL) yang ditunjuk yaitu KLHK, Kementan, Kemen ESDM, Kemenperin, Kemen PUPERA dan Kemenhub. Di tahun 2018 ini, kewajiban budget tagging kemudian diperluas ke dalam aspek adaptasi perubahan iklim yang menyangkut kewenangan 17 KL lainnya. Ke depannya, kewajiban tersebut akan terus diperluas untuk tematik anggaran lainnya yang memiliki sharing kewenangan lebih luas misalnya tematik gender, infrastruktur, kemiskinan dan kerjasama selatan-selatan. 

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa Musti Menang ?

Setelah reformasi penganggaran melalui mekanisme budget tagging berhasil dijalankan, pemerintah merasa memiliki level of confidence yang relatif tinggi untuk kemudian secara resmi menerbitkan the 1st Sovereign Green Sukuk di dunia dengan nilai transaksi mencapai USD1,250 mm untuk tenor 5 tahun dan USD1,750 mm untuk tenor 10 tahun. Green sukuk yang lebih dikenal dengan sukuk hijau pemerintah ini, menggunakan joint lead managers Abu Dhabi Islamic Bank, CIMB, Citibank, Dubai Islamic Bank serta HSBC yang sudah memiliki reputasi internasional dalam industri syariah hijau ini.

Mengapa disebut the first issuer di dunia? Karena memang belum ada negara di dunia yang menerbitkan sukuk hijau pemerintah sebelumnya. Pemerintah Perancis, Fiji dan Polandia memang tercatat sudah menerbitkan surat utang hijau, namun berbentuk sukuk konvensional (green bond).

Sebelum menerbitkan sukuk hijau, pemerintah menyusun green framework terlebih dahulu. Green framework Indonesia sendiri mendapatkan review dari CICERO (Center for Climate International Research) yang berbasis di Oslo, Norwegia. CICERO sendiri di tahun 2017  tercatat sebagai the best external reviewer untuk penerbitan Green Bond dan Sukuk negara. Secara keseluruhan, CICERO memberikan penilaian medium green atas green framework Indonesia. Penilaian medium green ini didefinisikan sebagai pengakuan atas komitmen yang baik dari pemerintah ke depannya meskipun saat ini aktivitas yang dilakukan belum optimal. 

Sukuk hijau Indonesia, disusun berdasarkan komitmen pemerintah terkait dengan upaya mengatasi dampak perubahan iklim secara global. Dimulai sejak tahun 2009, ketika Presiden SBY mengeluarkan janji penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2020 sebesar 26% dengan pendanaan internal dan 41% jika mendapatkan bantuan dari internasional. Janji tersebut kemudian diregulasikan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) Nomor 61 Tahun 2011 yang direvisi oleh pemerintahan Jokowi dengan menaikkan target penurunan emisi menjadi 29% dan 41% hingga tahun 2030.

Perpres RAN GRK ini kemudian menjadi dasar pengaturan aksi mitigasi terkait perubahan iklim di Indonesia. Sementara, untuk pengaturan aksi adaptasi perubahan iklim pemerintah mengeluarkan ketetapan dalam bentuk Rencana Aksi Adaptasi Nasional (RAN-API) serta Indonesian Biodiversity Action Plan (IBSAP) untuk sektor keanekaragaman hayati (biodiversity). Khusus untuk RAN API dan IBSAP, pemerintah tidak mengatur secara khusus seperti halnya RAN GRK, namun di-meanstreaming-kan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional.   

Berbagai regulasi yang sudah dihasilkan tersebut kemudian menjadi rujukan bagi sektor-sektor hijau (green eligible sector) yang nantinya didanai dari sukuk hijau pemerintah. Ada sekitar sembilan sektor hijau yang mendapatkan alokasi yaitu sektor renewable energy, energy efficiency, disaster risk reduction, sustainable transport, waste to energy and waste to management, sustainable management natural resources, green tourism, green building dan sustainable agriculture.

Struktur sukuk yang dipilih adalah wakala yang mendefinisikan adanya kepemilikan atas proyek/aktivitas yang dikelola oleh manajer investasi. Dari sisi alokasi permintaan, sebesar 32% diperdagangkan di negara-negara Islam, 25% di Asia, 15% di Eropa, 18% di Amerika dan 10% dialokasikan di domestik. Menariknya, dilihat dari tipe alokasi sebagian besar masih dibeli oleh konsumen lama seperti asset manager, pension fund, dan juga private bank. Namun demikian, sukuk hijau pemerintah ini juga menimbulkan demand baru dari golongan konsumen green sebesar 29%.

Fenomena inilah sebetulnya yang harus ditangkap oleh industri pasar obligasi ke depannya. Proses memadukan green dengan bisnis syariah ternyata justru menimbulkan pangsa pasar baru dengan captive market yang membesar, karena konsumen potensial yang nantinya dapat membeli terdiri dari konsumen konvensional, syariah dan sekaligus konsumen green. Kondisi ini memang yang diharapkan akan muncul ketika pemerintah Indonesia akhirnya memberanikan diri menerbitkan sukuk hijau pertama di dunia.

Harapannya berbagai perusahaan swasta dan juga BUMN dapat segera mengikuti proses yang sama dan sudah dirintis sebelumnya oleh pemerintah, minimal memulai untuk masuk ke dalam pasar domestik. Dengan demikian proses pendalaman pasar akan segera terjadi dan imbasnya portofolio investasi akan semakin berkembang. Hal inis ekiranya penting mengingat pasar obligasi Indonesia sendiri masih relatif kecil dengan kontribusi yang belum signifikan. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 29 Maret 2018 saja, pasar obligasi Indonesia hanya tercatat sebesar Rp2.566 triliun atau naik sedikit dibandingkan posisi akhir tahun 2017 yang mencapai Rp2.487 triliun, dengan komposisi mayoritas obligasi pemerintah.

OJK sendiri juga sudah mengeluarkan regulasi mengenai Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond) yang menjadi acuan untuk swasta dan BUMN. Dengan segala kesiapan yang sudah berjalan, menurut penulis sudah selayaknya pemerintah ke depannya juga menjadikan industri syariah hijau ini sebagai ujung tombak pembiayaan, khususnya dalam mencapai beberapa isu tematik utama yang menjadi agenda prioritas nasional. Dalam perspektif yang lebih besar, bisnis syariah hijau ke depannya juga harus dapat dimanfaatkan untuk pencapaian isu pembangunan berkelanjutan global (SDG) yang sudah ada di depan mata.

Oleh: Joko Tri Haryanto

Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

Related Article

[1000 gagasan] MEMBERI RUANG PRAKTIK EKONOMI PROKONSERVASI

[1000 gagasan] MEMBERI RUANG PRAKTIK EKONOMI PROKONSERVASI

Kota London dibelah oleh sebuah sungai bersejarah,  yang sudah lebih setengah abad menjadi sungai yang sangat layak untuk mendukung kehidupan dan penghidupan masyarakat Kota London, terutama dari perspektif ekonomi berkelanjutan.  Kondisi hari ini tak lahir begitu saja,  tapi buah dari usaha yang panjang dan bauran kebijakan prokonservasi yang konsisten.  Inggris mengeluarkan anggaran yang besar untuk mengembalikan kondisi Sungai Thames sebagaimana kondisi awalnya.  Karena pada era awal revolusi industri, sungai Thames sempat menjadi bulan-bulanan limbah industri.

Lalu  pada perang dunia kedua,  bom-bom Reich Ketiga (Rezim Hitler), berupa roket varian V3 besutan Von Braun,  ikut merusak sebagian Kta London.  Walhasil,  saluran kotoran rumah-rumah dan perkantoran bocor dan mengalir ke Sungai Thames. Sampai-sampai ketika itu,  para peneliti lingkungan menyebutnya dengan sebutan “sungai saluran kotoran”.  Butuh puluhan tahun pascaperang dunia kedua,  bagi sungai ini untuk kembali membaik sebagaimana hari ini,  kembali seperti kejernihan Sungai Thames era Raja Hendry VIII,  yang punya 6 istri dan banyak selir.  Ketika itu,  sekira 500 tahun lalu,  kebijakan prokonservasi pertama untuk Sungai Thames dilahirkan, yakni kebijakan pelarangan penangkapan beberapa jenis ikan dan belut untuk menjaga keberlanjutan beberapa jenis biodata Sungai.

Pun di Wimbeldon,  saat suatu waktu beberapa tahun lalu saya iseng menikmati sungai Wandle (berlabuh di sungai thames) ,  seorang kawan dari salah satu kampus di sana juga bercerita bahwa beberapa dekade sebelum hari ini,  banyak kincir air ukuran sedang dan kecil yang “nyempil” di sungai tersebut, berjejer di sisi sungai yang membuat sesak pemandangan dan menghadiahi Sungai Wandle dengan limbah-limbah home industri saban waktu. Industri sedang dan kecil mengambil energi dari sungai,  sembari membuang limbah ke dalamnya. 

Dan saat  saya di sana, menatap Sungai Wandle sembari menyeruput kopi,  kondisi sudah jauh berbeda. Tak ada kincir air,  sisi-sisi sungai terlihat bersih, pun airnya juga terbilang sangat jernih. Kebijakan penertipan dilakukan secara ketat dan konsisten oleh otoritas lokal atas nama kelestarian sungai dan habitat biota yang ada di dalamnya.  Hari ini,  Sungai Wandle dan Thames sudah menjadi bagian dari destinasi wisata kota London. Bahkan,  tak kurang dari 700-800 singa laut berlabuh di mulut singai Thames,  setiap musim panas,  karena kondisinya yang sudah sangat bersahabat dengan hewan.  Sungai Thames menjadi objek wisata unik tersendiri,  yang membuat orang semakin ramai datang ke London. Begitulah Green dan Eco-Tourism dijalankan secara konsisten di salah satu kota terbesar di dunia tersebut.

Namun berbeda kondisinya dengan di Jakarta,  atau di kota-kota besar lainya di Indonesia.  Sungai-sungai dengan santai mengalirkan sampah,  kotoran,  limbah,  dan rongsokan, ke lautan. Penataan selokan-selokan air diletakan dalam daftar terbawah dalam pebangunan fisik kota.  Lalu saat curah hujan meninggi,  banjir datang,  semua pihak saling adu teori soal siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab. Penguasa terpilih di kota-kota besar selalu sulit tidur saat musim hujan datang,  karena bisa berimbas pada “kenyamanan kursi” mereka di Balai Kota. Saat air mulai kembali ke tarian normalnya,  orang-orang justru mencari konsep-konsep drama politik picisan lainya untuk diributkan, sampai tarian air episode selanjutnya datang. Hasilnya,  bencana banjir tetap memiliki slot tayang di ruang publik kita karena persoalan utamanya tak pernah diselesaikan. Air dan banjir diperlakukan sebagai persoalan politik picisan,   tak pernah diperlakukan sebagaimana semestinya air dalam kadar naturalnya. 

Begitu pula dengan lautan. Sampah-sampah dari sungai berlabuh ke lautan. Aneka rupa plastik ikut berenang bersama ikan-ikan laut.  Di sisi lain,  reklamasi lebih menarik dibahas sebagai solusi ekonomi atas berbagai persoalan yang muncul akibat masalah ekonomi di daratan. Laut dipermak menjadi pulau-pulau buatan di mana ribuan orang akan berpesta di dalam bangunan-bangunan modern di atasnya. Naasnya,  bersebalahan dengan lokasi tersebut,  nelayan pelan-pelan tapi pasti mulai putus asa dengan profesinya.

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Ikan-ikan mulai menjauhi para nelayan. Salah satu sumber nutrisi dari lautan tersebut semakin sulit didapatkan.  Kehidupan mulai tak berpihak kepada para nelayan, ekonomi makin sulit, dan masa depan anak-anak mereka mulai dipertaruhkan, tapi belum jelas siapa yang siap untuk bertanggung jawab.  Seiring dengan berbagai ketimpangan yang mulai muncul,  kampung-kampung mereka mulai bertekuk lutut kalah. Sejengkal demi sejengkal dijajah oleh modernitas.  Sampai akhirnya tertimpa bangunan berupa apartemen, perumahan tepi pantai mewah,  resort kelas atas,  atau Marina tempat kapal-kapal pesiar berlabuh.

Bandingkan dengan Kota Besar seperti New York di Negeri Paman Sam sana.  Kalau anda pernah jalan-jalan ke pulau-pulau di sekitaran kota tersebut,  anda akan menemukan pemandangan yang sangat berbeda di sana.  Lautanya bersih,  biota lautnya terlihat cukup terjaga,  oleh karena itu,  tak butuh lama kail pancing anda disambar oleh ikan. Mengapa?  Karena pemerintahan negara bagian New York punya kebijakan prokonservasi yang layak diacungi jempol.  Salah satunya dengan menjadikan Governor Island (Pulau Gubernur),  sebagai pusat pembibitan dan pelestarian tiram. Setiap tahun,  jutaan tiram dilepas ke lautan. Hewan ini menjadi hewan pembersih lautan dan instrumen pelestarian biota lautan New York di satu sisi,  tapi juga menjadi awal dari sumbar penghidupan para nelayan di lautan Negara Bagian New York di sisi lain.  Mengapa?  Sederhana saja, di mana ada tiram,  di situlah ikan-ikan nyaman untuk tinggal dan berkembang biak karena ekosistemnya sangat bersahabat.

Selain soal Tiram,  Amerika juga punya kebijakan prokonservasi lain yang juga sangat layak diacungi jempol,  yakni pembatasan penagkapan Ikan Tuna Sirip Biru karena populasinya yang sudah mulai sedikit.  Dengan kebijakan itu,  supply dan demand Tuna disesuaikan,  tidak boleh menangkap lebih dari quota nasional yang ditetapkan setiap tahunnya.  Akibatnya,  secara teknis,  para nelayan tuna hanya boleh menangkap satu ekor ikan tuna (sirip biru ) dalam sehari. Edukasi dan sosialisasi berlangsung secara baik dan konsisten sampai menjadi konsensus publik bahwa populasi Tuna Sirip Biru memang harus dikendalikan secara baik. Bahkan  nelayan pun sangat mendukung karena sekalipun hidup mereka tergantung pada tangkapan Tuna Sirip Biru,  tapi sustainability dan regenerasi ikan tuna sirip biru dianggap jauh lebih signifikan ketimbang pertimbangan teknis ekonomi semata. 

Akhirnya,  keputusan teknis nelayan adalah bahwa setiap hari mereka harus mendapatkan satu ikan tuna dengan ukuran yang cukup besar,  kisaran 200-500 pon (1 pon harganya kisaran 10-20 USD,  tergantung kondisi daging dan lemak,  di uji langsung di pelabuhan),  agar tetap bisa bertahan di lautan untuk hari-hari selanjutnya  di satu sisi dan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup di sisi lain. Hasilnya untuk biaya BBM kapal agar tetap bisa melaut lagi dan untuk pendapatan pemilik kapal dan kru,  setiap hari. 

Otomatis,  untuk mendapat tangkapan ukuran kakap,  kapalnya harus kapal modern,  dilengkapi dengan teknologi radar ikan dan alat pancing yang mumpuni.  Artinya,  pemerintah harus mendukung dan mendorong lahirnya inovasi teknologi kelautan yang ramah lingkungan, inovasi pembiayaan untuk nelayan agar bisa mendapatkan kapal-kapal modern tersebut,  dan inovasi supply dan demand agar pembatasan tangkapan Tuna Sirip Biru tetap layak secara ekonomi bagi kehidupan nelayan.  Dengan asumsi sehari dapat satu ekor dengan berat median 250 pon dan harga median 15 USD,  maka hasil yang akan didapat bisa sekitar 3750 USD (dengan rate Rp 13500 /USD,  hasilnya sekitar Rp. 50 juta). Di negara yang taraf hidup dan pendapatan perkapita tinggi seperti Amerika,  angka tersebut terbilang cukup baik, yang berarti kehidupan nelayan di sana juga sangat baik.  Begitulah kompromi antara konservasi dan kepentingan ekonomi terjadi.

Di Indonesia, kontroversi ekspor benih lobster sempat terjadi mengiringi masa awal pemerintahan Jokowi tahap kedua. Pertimbangan ekonomi untuk menyelamatkan mata pencarian nelayan lobster menjadi dalih utama pembukaan wacana ekspor tersebut. Tak butuh waktu lama bagi ruang publik kita untuk mentransformasi kontroversi tersebut menjadi perseteruan dua kubu antara mantan Menteri KKP dan Menteri KKP yang baru. Keduanya sama-sama punya dalih masing-masing. Sang Mantan Menteri yang kadung tenar di mata awak media, cukup dengan sekali dua kali cuitan di media sosial, untuk menentang rencana kebijakan ekspor benih lobster, yang sebelumnya sempat beliau larang.

Namun kebijakan lama tersebut bukanlah kebijakan sempurna. Nelayan memang tercekik karenanya, lobster di bawah 200 gram bukan saja dilarang diperdagangkan (diekspor), tapi juga dilarang dibudidayakan. Jelas saja mencekik, karena jelas-jelas tidak mempertimbangkan aspek penghidupan para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada benih lobster. Risikonya, untuk tetap bertahan hidup, mau tak mau, mereka harus menjualnya kepada penyelundup. Benihnya diperdagangkan di Singapura, untuk kemudian sebagian besar dijual kembali ke Vietnam, di mana nilai tambahnya ditancapkan. Syukurlah akhirnya Menteri KKP yang baru cepat mempelajari situasi. Rencana kebijakan budidaya dalam negeri pun disiapkan, agar nelayan benih lobster tetap bisa melanjutkan hidup, keberlanjutan dan regenerasi lobster-lobster bisa pula tetap dijaga, dan pendapatan negara dari komoditas lobster juga tetap bisa didapatkan.

BACA JUGA: Disrupsi Perencanaan Energi Dalam Mendukung Pembangunan Rendah Karbon

Sementara itu dari sektor perkebunan, Indonesia jelas-jelas jauh tertinggal dari negara-negara di Eropa, Australia dan New Zealand. Ketika Orde Baru sempat jaya dengan era booming oil, era SBY pun sempat punya sumber pembiayaan yang tak kalah menjanjikan, yakni booming komoditas, dengan kelapa sawit sebagai salah satu andalannya, selain ekspoitasi besar-besar batu baru di sector pertambangan. Walhasil, banyak lahan baru yang dibuka, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, bahkan dikabarkan sudah mulai menjalar ke Papua. Tak pelak, mendadak CPO menjadi kontributor utama devisa nasional dan Indonesia menjadi produsen tersbesar CPO di dunia.

Namun nasibnya tentu sudah bisa ditebak, seperti era minyak Orde Baru. Harga komoditas dunia mulai melandai, oversupply, tak terkecuali CPO. Pendapatan negara dari komoditas ini ikut tergerus. Seiring dengan itu, kebakaran hutan mulai sering menyambangi daerah-daerah penghasil kepala sawit. Pembukaan lahan yang jauh dari standar pelestarian lingkungan semakin marak. Demi keuntungan besar dan sesaat, lahan hutan dibakar begitu saja,agar harganya melambung tinggi untuk investor-investor perkebunan, karena lahannya sudah siap tanam. Tak terelakan, asap-asap pembakaran lahan berubah menjadi bercana kebakaran hutan. Asap menyesaki udara, bahkan sampai ke negara tetangga. Asap berubah menjadi bencana nasional, sekolah diliburkan, transportasi udara dihentikan sementara, barang-barang kebutuhan tertunda berpindah, kelangkaan terjadi, dan harga-harga merayap naik.

Setali tiga uang dengan itu, sector pertambangan juga merana. Batu bara dieksploitasi untuk kebutuhan ekspor dan sumber energi listrik dalam negeri. Sayangnya, energi dari batu bara adalah energi kotor dengan tingkat emisi yang jauh di luar batas toleransi. Sampai hari ini, pembangkit listrik kita masih tetap didominasi oleh energi buruk, yakni energi primer fosil. Pada 2017, tercatat  kapasitas pembangkit tenaga listrik  yang menggunakan energi fosil sebesar 85%, utamanya batu bara. Beberapa pembangkit baru yang dalam tahap pembangunan adalah seperti proyek PLTU Batubara Indramayu #2, mendapatkan dukungan dana dari ODA (Official Development Assistance) Jepang. Pada 2025 energi primer kelistrikan diproyeksikan sebesar 102,6 MTOE, porsi terbesar batu bara 59%, disusul EBT 27% dan gas 14,1%. Porsi batu bara pada tahun 2050 diproyeksikan berkurang menjadi 52%.

Tak bisa dipungkiri, kebutuhan kilang minyak domestik (termasuk perluasan dan pembangunan kilang baru), masih memerlukan pasokan minyak mentah, baik melalui produksi domestik ataupun impor, yang harus digerakan dengan energi buruk tadi. Demikian juga roda perekonomian dan keuangan negara, termasuk kestabilan fiskal dari dana bagi hasil yang menopang anggaran daerah, masih signifikan bertumpu pada energi fosil. Jadi memang tidak mudah melakukan penyesuaian secara radikal, namun tetap diperlukan upaya ke arah sana, agar di masa depan kita tidak tertinggal dari negara-negara lain dan tidak terjebak di dalam kondisi kelangkaan energi di saat semua yang telah kita kuras dari alam menipis, bahkan habis.

Sehubungan dengan konstelasi di atas, beberapa strategi perlu dilakukan pemerintah. Misalnya, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan pemerintah negara lain yang memiliki persoalan yang sama, melakukan instrumen diplomasi bersama yang efektif kepada negara-negara maju OECD agar objektif mempertimbangkan kondisi di masing-masing negara. Kemudain, bekerja sama secara sistematis dan berkelanjutan dengan negara-negara maju untuk meningkatkan teknologi penggunaan dan pemanfaatan energi primer yang efisien, bersih, dan harganya terjangkau.

Lalu secara terstruktur, terpola dan terpadu mentransformasi paradigma energi primer sebagai sumber pendapatan. Energi harus digunakan sebagai modal pembangunan, meningkatkan nilai tambah energi fosil dengan mendorong pengolahan lanjutan dan hilirisasi. Hal ini harus menjadi pola pikir dalam kebijakan umum penyusunan anggaran belanja negara. Dengan demikian, Indonesia tetap mengambil peran dan tanggung jawabnya untuk menjaga iklim, seraya memperkuat bangunan struktur perekonomian negara yang berbasis nilai tambah hilirisasi energi primer.

Sementara itu, dari sisi kelistrikan dan penggunaan batu bara, dibutuhkan beberapa program dan regulasi yang mengarah kepada rencana strategis di atas. Pertama, sinkronisasi dan reorientasi target bauran energi kelistrikan di Indonesia. Ini terkait rencana bauran energi kelistrikan Indonesia pada rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) dan target dinamis bauran listrik rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL). Kedua, kepastian peraturan terkait energi terbarukan. Di Indonesia, peraturan terkait energi terbarukan berubah dua kali pada 2017 dengan Permen No 12/2017 dan Permen 50/2017.

Regulasi built own operate transfer (BOOT) untuk pembangkit listrik air dan panas bumi menimbulkan risiko baru bagi kelayakan proyek. Perubahan peraturan, konon, akan membuat pelaku industri energi terbarukan kesulitan membuat proyeksi jangka panjang. Terutama terkait masalah harga kepemilikan dan skema penanggungan risiko keadaan luar biasa (force majeure). Oleh karena itu, kepastian regulasi yang jelas tak bisa tidak adalah kebutuhan yang urgen dalam rencana strategis jangka panjang

BACA JUGA: Mendorong Pasar Karbon Nusantara

Ketiga, kesehatan PLN. Kerugian PLN yang besar dan arus kas negatif terus menerus membuat perusahaan negara ini mengalami masalah memenuhi kewajiban operasional. Tarif energi terbarukan dinilai tinggi. Guna mendorong tarif pembangkit listrik berbasis terbarukan kompetitif, mau tak mau, pemerintah perlu membuat harga energi hijau jadi lebih menarik, terutama bagi pelaku investasi di sektor energi. Secara ideal, setidaknya hingga harga keekonomian energi terbarukan turun di bawah harga keekoniman bahan bakar fosil.

Isu keekonomian penting lainya adalah jaminan kepastian harga dalam power purchase agreement (PPA) untuk pembangkit terbarukan. Kalau perubahan tarif cukup signifikan, diperkirakan, dapat mempengaruhi keputusan investasi karena investor perlu waktu cukup panjang dari masa persiapan usaha sampai dapat PPA. Mengingat wilayah yang memerlukan  listrik banyak di daerah berkepadatan penduduk tinggi, sedangkan potensi energi terbarukan berada  di wilayah jarang penduduk, bagaimanapun, diperlukan investasi untuk jaringan interkoneksi sebagai resikonya. Semoga ke depan pemerintah akan lebih sensitive terhadap energi terbarukan ini dan semakin konsisten dalam merealisasikannya di tahun-tahun mendatang.

Dan persoalan-persoalan mematikan di balik kerakusan modernitas, kaganasan kapitalisme, atau imoralitas kekuasan semacam ini, yang menggerogoti masa depan kelestarian alam di negeri ini, adalah persoalan-persoalan yang harus secara terus-menerus diulas secara apik, spesifik, dan analitis di ruang publik. Dengan bauran berbagai keilmuan, baik hukum lingkungan, ilmu lingkungan, tata kota, kependudukan, ekonomi, dan kajian strategis, dan perspektif empiris atau pengalaman lapangan, akan membuat isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan menjadi semakin menarik untuk diperhatikan. 

Pendeknya, jika kita terlalu rakus melahap hari ini sembari mengorupsi masa depan miliaran masa depan generasi yang akan datang tanpa rasa bersalah sedikitpun, jika kita tak pernah ambil pusing dengan segala tetek bengek kelestarian alam dan kelangsungan alamiah dari bumi ini, maka jangan salahkan siapa-siapa jika kemudian sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, semeter demi semester, lalu satu dua tiga mil dan seterusnya, pelan-pelan alam mulai mengusir dan menyingkirkan kita.

Oleh: Ronny P.Sasmita

Direktur Eksekutif Economic Action (EconAct) Indonesia

Related Article

THE PALM MYTH AND PUBLIC WELFARE

THE PALM MYTH AND PUBLIC WELFARE

In the midst of the increasingly troubling Covid-19 pandemic, WHO (World Health Organization) in the Eastern Mediterranean and Europe instead made it uneasy by saying that unprocessed palm oil products were consumed. Through an online campaign, WHO published articles related to palm oil, each entitled was “Nutrition Advice for Adults during Co-19” and “Food and Nutrition Tips During Self Quarantine”.

Both articles contain health information and tips on eating food during the Covid-19 pandemic. In an article titled “Nutrition Advice for Adults during Covid-19“, WHO recommends that during the Covid-19 pandemic to consume unsaturated fats (such as those found in fish, avocados, nuts, olive oil, soybeans, canola, flower oil sun, corn) compared to consuming saturated fats (such as meat, butter, coconut oil, palm oil, cream, cheese, ghee, and lard).

Meanwhile, the article entitled “Food and Nutrition Tips During Self Quarantine” contains a call to reduce consumption of foods such as red and fatty meat, butter, fatty milk products, palm oil, coconut oil, coconut oil, and lard.

READ ALSO: Job Creation Bill, Covid-19, and Indonesia’s Climate Commitment 

Because of this, Indonesia was also inflamed, through the Indonesian Deputy Foreign Minister, Mahendra Siregar, Indonesia formally submitted the objection letter to WHO Indonesia representatives. For Indonesia itself, the campaign will certainly have a negative impact on the economy because palm oil is the queen of the economy itself.

Palm Economy

It cannot be denied that palm oil is one of the pillars of the national economy. Palm itself is the biggest foreign exchange supply commodity for the country so far. The contribution of foreign exchange palm exports even had reached a record high in 2017 which reached USD 22.9 billion or around Rp320 trillion. The value of Indonesia’s palm oil foreign exchange contribution during 2018 also reached US $ 20.54 billion or equivalent to Rp 289 trillion.

Based on this value, it is certain that palm oil plays an important role in supporting the national economy. Not only about foreign exchange, the potential tax revenue from the palm oil industry is estimated to reach Rp 45-50 trillion per year.

Because palm oil is a contributor to the rupiah coffers with fantastic value, it is natural that this commodity gets the red carpet. In fact, until now palm cannot be separated from a myriad of complex problems.

The Community Economy in Palm Area

However, the assumption that palm oil is prosperous, seems to need to be reviewed more comprehensively. The reason, the notion that palm oil is no more than a mere myth. Related to this, in research conducted by Madani Bekelanjutan in two provinces that are rich in palm oil, namely the Provinces of West Kalimantan and Riau, it was found that there is a sharp inequality. In fact, the massive expansion rate of palm oil is not directly proportional to the improvement in the welfare of the village community. In fact, there is no place other than the village that can accommodate palm oil to grow and produce. Then, why the village is not prosperous?

Based on Village Development Index (Indeks Desa Membangun/IDM) of the Ministry of Villages, the Development of Disadvantaged Areas and Transmigration (Kemendes PDTT) and the existence of palm oil plantations in the village, Madani Berkelanjutan found that only 3 percent of villages were classified as independent villages in West Kalimantan. Then, 6 percent is classified as a developed village and 31 percent is in the developing category. While 48 percent of villages occupied by oil palm plantations are classified as underdeveloped villages and 11 percent are even classified as villages that are very underdeveloped.

Meanwhile, only 1 percent of villages in Riau are classified as independent villages. Then, about 6 percent of villages are classified as developed villages, 64 percent as developing villages. While villages that are classified as disadvantaged villages are as much as 27 percent and 3 percent are classified as villages that are very underdeveloped.

This fact is certainly very ironic. In the midst of the pride of many parties for such a large palm oil, it turns out the results are not as big as what is imagined. In fact, palm oil does not really provide welfare for the public. Whereas all this time, palm oil has been cultivated as an excellent commodity for the country’s economy.

READ ALSO: SVLK, Job Creation Bill, and Revision of Mineral and Coal Law Madani’s Update Report, April- May 2020 Edition 

The low welfare of the public in terrain areas with palm is also allegedly due to the large ownership of oil palm from private companies. In fact, of the 14.3 million hectares of palm oil plantations in Indonesia, the majority is controlled by private palm oil companies. Noted, an area of 7.7 million hectares (ha) or 54% of the total area of palm oil land in Indonesia is controlled by private companies. Then, palm oil land owned by the state through State-Owned Enterprises (BUMN) reached 715 thousand ha or 5%. The remaining area of smallholder plantations reaches 5.8 million ha or 41% of the total area.

Judging from the performance of produced palm oil, private companies are arguably the most resilient in production, with a capability of 26.5 million tons or 51%, state plantations of 2.5 million tons or 6%. While community plantations contributed 14 million tons of CPO or 33%.

With this relatively large number, it is natural that the government and many parties provide extra support to the palm oil industry in the country. Even the government is ready to put on a body when palm oil gets negative sentiment from the European market. It is also not wrong if many say that the government’s attitude towards palm oil commodities is interpreted as a form of gratitude for the Indonesian government to business people who are involved in the national palm oil industry. Obviously, all of that is because oil is so profitable.

With the largest land tenure and production capability, private companies are clearly the biggest beneficiaries of palm oil. Meanwhile, the size of the people’s ownership of the palm oil did not contribute greatly to the prosperity of the village because it could be that the oil palm owned by the smallholders was sold at a low price to middlemen or many other causes.

The low level of welfare of oil palm farmers can also be caused by the amount of farmers spending in the production process is greater than the income received from the selling price of production. This means that the addition of planting areas is not an absolute requirement in an effort to improve the welfare of the palm oil farmers.

In fact, differences in ability and market access make palm oil tend to be enjoyed by a small number of people. Therefore, it is natural that there is no correlation between the increasingly widespread and the size of the palm oil industry with the welfare of the community. It is appropriate that the welfare of the people from palm oil is just a myth.

By: Delly Ferdian

Researcher in Madani Berkelanjutan


This article was published in the June 12, 2020 Independent Observer.

Related Article

Madani Monthly Political Updates: Pencairan Dana Norway, Pembangunan Rendah Karbon, PP Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Skema Pemulihan Ekonomi Nasional, dan 89 Proyek Strategis Nasional

Madani Monthly Political Updates: Pencairan Dana Norway, Pembangunan Rendah Karbon, PP Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Skema Pemulihan Ekonomi Nasional, dan 89 Proyek Strategis Nasional

Dinamika konstelasi politik merupakan salah satu hal yang patut ditinjau oleh para penggiat sosial lingkungan hidup mengingat politik merupakan alat konfigurasi distribusi sumber daya serta perilaku publik. Oleh karenanya, Madani secara berkala membuat update dan analisis terkait dinamika politik lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang diterbitkan setiap bulannya.

Dalam Monthly Political Updates edisi Juni 2020, terdapat beberapa peristiwa politik yang patut menjadi perhatian. Peristiwa politik yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Dana Insentif REDD+ Norwegia Cair. Setelah 10 tahun terakhir Indonesia menjalin kerjasama dengan Norwegia melalui Letter of Intent on Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Indonesia akan mendapatkan pembayaran hasil kerangka kerjasama penurunan emisi gas rumah kaca sebesar Rp 840 miliar atau US$ 56 juta dari Norwegia pada Juni 2020. Sebelumnya, dalam nota kesepahaman tersebut pemerintah Norwegia menjanjikan dukungan pendanaan hingga US$ 1 Miliar yang dibayarkan berdasarkan hasil pengurangan emisi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut Indonesia.

2. Pembangunan Rendah Karbon di Fase New Normal. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mendorong pembangunan rendah karbon (Low Carbon Development Initiative/LCDI) dalam fase new normal dikarenakan pentingnya meningkatkan ketangguhan terhadap dampak perubahan iklim di masa mendatang. Selain itu, momentum new normal menjadi waktu yang tepat untuk mengarustamakan pembangunan rendah karbon mengingat salah satu tantangan yang ditemui ketika pemulihan ekonomi pasca Covid-19 adalah kenaikan emisi gas rumah kaca jika melihat histori kenaikan emisi gas rumah kaca sebesar 5,9% pasca krisis ekonomi 2008-2009.

3. Presiden Teken PP perihal Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Presiden Joko Widodo mendandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang menggantikan PP No. 76 Tahun 2008 dan ditandatangani pada 20 Mei 2020. Latar belakang PP ini dibentuk adalah karena PP yang lalu dianggap belum menampung perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.

4. Skema Pemulihan Ekonomi Nasional. Pemerintah akan menjalankan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) guna merespon dampak pelemahan ekonomi yang berlanjut hingga saat ini karena Covid-19 dengan anggaran sebesar Rp 641,17 triliun dan dialokasikan untuk sebelas langkah pemulihan ekonomi nasional melalui Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2020. Salah satu sektor yang tercakup dalam program PEN adalah subsidi B30 sebesar Rp 2,78 Triliun.

5. Pemerintah Mengusulkan 89 Proyek Strategis Nasional. Pemerintah mengusulkan 89 Proyek Strategis Nasional baru 2020-2024 dengan total investasi senilai Rp 1.422 Triliun. Perihal dengan Proyek Strategis Nasional yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, salah satu proyek yang diusulkan adalah Pembangunan Bahan Bakar Hijau Nasional yang diusulkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Selain itu, hal yang perlu menjadi catatan adalah klausul Proyek Strategis Nasional berbentuk proyek infrastruktur yang termasuk ke dalam objek pengecualian Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Klausul ini kemungkinan berpotensi menambah pelemahan perlindungan hutan alam dan lahan gambut jika tidak disertai pengawasan yang ketat dan safeguards yang memadai.

Related Article

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN EKONOMI VERSUS LINGKUNGAN: SIAPA YANG MESTI MENANG?

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN EKONOMI VERSUS LINGKUNGAN: SIAPA YANG MESTI MENANG?

Hikayat pembangunan negeri ini – juga dunia – penuh dengan cerita tentang rusaknya hutan dan lingkungan hidup (Ekologi) ketika harus bertarung melawan kepentingan dan kekuatan Ekonomi. Pada setiap kontestasi pilihan antara pembangunan ekonomi atau pelestarian hutan, faktor ekonomi hampir selalu berhasil menang atau dimenangkan. Sementara ekologi dan lingkungan hanya menjadi pilihan ke-2, ke-4 bahkan seringkali yang terakhir.  Karena itu dalam setiap proses pembangunan, faktor ekologi selalu kalah, atau harus “mengalah”, demi pembangunan ekonomi. Mengapa bisa begitu? 

Masalah “kekalahan” ekologi oleh kekuatan ekonomi ini awal mulanya muncul karena negara perlu melakukan apa yang disebut “pembangunan”. Gagasan pembangunan itu sendiri timbul setelah Perang Dunia ke-2 berakhir pada Januari 1949.  Amerika Serikat keluar sebagai pemenang perang, dan menjadi pusat baru kekuatan Dunia. Negara-negara yang kalah perang, dan juga semua negara yang baru merdeka lepas dari penjajahan –termasuk Indonesia – ingin membangun negeri dan mensejahterakan rakyatnya yang masih miskin, melalui “pembangunan”. Maka tahun sekitar 1945 – 1960 mulai populer istilah “pembangunan (development)” untuk “the under-developed countries”, untuk negara-negara yang “belum/ sedang berkembang”.  Dalam kacamata AS dan Eropa Barat,  “underdevelopment” adalah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan secara ekonomi. Karena itu para Ekonom dari Barat mengatakan bahwa agar bisa keluar dari kondisi “keterbelakangan-nya”, negara sedang berkembang perlu melakukan “pembangunan ekonomi”. 

Empat Dasawarsa “Pembangunan Ekonomi” 

Sejak itu negara-negara sedang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin mendambakan “pembangunan” sebagai usaha membangun ekonomi masyarakat yang sebagian besar masih miskin alias berpenghasilan sangat rendah. Maka pertumbuhan ekonomi ibarat mantra baru yang menjanjikan “obat paling mujarab” untuk semua jenis penyakit negara-negara miskin dan terbelakang. “Pembangunan ekonomi” juga menjadi mercusuar harapan dunia ketiga untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan keterbelakangan sosial-ekonomi. Kemajuan suatu bangsa dinilai dari keberhasilan pembangunan ekonominya, yang diukur dari “pendapatan rata-rata penduduk” dan “Produk Nasional Bruto (GNP)”, yaitu jumlah produksi nasional barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam setahun. Pengertian “pembangunan” dipersempit, direduksi hanya mencakup satu aspek tunggal : “pertumbuhan ekonomi” saja.  Berbagai aspek lain seperti keadilan sosial, unsur HAM, faktor ekologi – daya dukung alam dan lingkungan, dianggap seperti tidak ada. Tidak masuk  dalam model dan tujuan pembangunan seperti itu. 

Bagi mayoritas negara-negara berkembang yang baru merdeka dan tergolong berpenghasilan rendah,  tentu isu “pembangunan ekonomi” menjadi agenda penting dan menarik dalam setiap sidang umum PBB.  Maka ketika pada 1961 Presiden AS John F. Kennedy  memprakarsai perlunya PBB menetapkan dekade 1960-an sebagai “dasawarsa pembangunan”, usulan tsb langsung mendapat sambutan hangat dari seluruh dunia. Negara-negara berkembang didorong dan bersemangat melakukan akselerasi pembangunan ekonomi, berlomba menaikkan pendapatan nasionalnya agar mencapai target pertumbuhan sekurangnya 5 persen per tahun pada 1970.  Untuk itu, PBB mendorong mengalirnya dana-dana bantuan internasional dan modal swasta dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dalam skala besar-besaran, dalam tempo singkat. Pada waktu itulah lahir program  “bantuan pembangunan (development aid)” yang disebut “ODA (Overseas Development Assistance)” dari negara-negara industri maju kepada negara-negara berkembang.  “Bantuan” itu untuk meningkatkan pendapatan nasional negara berkembang agar bisa menjadi mitra dagang dan pasar yang menarik bagi investasi modal negara-negara kaya.  Era “Dasawarsa Pembangunan Pertama (1960-1970)” dianggap sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi Dunia Ketiga.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktek-Prakter Ekonomi Prokonservasi

Namun kesuksesan Dasawarsa Pembangunan Pertama itu harus dibayar mahal sekali oleh Dunia Ketiga. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu membawa petaka dan berbagai masalah baru bagi banyak negara sedang berkembang. Karena ternyata tidak dibarengi pemerataan penghasilan, bahkan menimbulkan banyak pengangguran, kesenjangan ekonomi, serta masalah keadilan sosial dan konflik sosial-politik di kalangan masyarakat. Selain itu pembangunan yang terjadi justru menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di mana-mana. Karena itu tema “Dasawarsa Pembangunan Kedua” pada dekade 1970-an kemudian bergeser dari “pertumbuhan ekonomi (economic growth)” menjadi “pemerataan pembangunan (redistribution of growth)” serta upaya pemenuhan “kebutuhan pokok (basic needs)” rakyat.  Indonesia pun mulai mengadopsi strategi pembangunan dengan tiga sasaran tsb pada Repelita Kedua. 

Ketika memasuki tahun 1980-an, dekade pembangunan ketiga itu pun kemudian dianggap sebagai “dasawarsa pembangunan yang hilang” (the lost development decade)”. Khususnya bagi Afrika Sahara, Amerika Latin dan sebagian Asia, pada periode itu banyak sekali negara-negara berkembang di kawasan tsb yang hampir tenggelam karena memikul beban berat utang luar-negeri. Untuk bisa keluar dari jerat beban utang dan defisit anggaran pembangunannya, banyak negara berkembang  berpaling ke IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia guna minta “bantuan” pinjaman. Tentu dukungan dana IMF dan Bank Dunia itu bukannya tanpa pamrih.  Dengan persyaratan utang sangat ketat dan sanksi berat, bantuan utang itu praktis berubah menjadi “political conditionality” bagi sang pemilik modal untuk mendiktekan kepentingan ekonomi dan politiknya kepada negara yang tercekik utang itu. Dengan dalih demi “proses stabilisasi keuangan” diikuti kebijakan ekonomi-makro “structural adjustment”, mereka bisa merubah struktur perekonomian suatu negara agar lebih “sehat” sesuai kriteria si pemberi utang. Pada periode itulah dimulainya proses “liberalisasi” perekonomian, investasi dan perdagangan di berbagai negara di dunia ketiga. Peran negara ditekan sekecil mungkin, dan peran ekonomi pasar dikembangkan semaksimal mungkin. Besarnya kekuatan modal dan ekonomi pasar mengalahkan semua faktor dan aspek pembangunan lainnya. 

Begitulah, selama Dasawarsa Pembangunan Ketiga (1980-1990) dan juga dekade selanjutnya, peran negara khususnya Pemerintah negara berkembang tidak bebas lagi, termasuk dalam menentukan arah dan prioritas pembangunan nasional. Pemerintah harus ekstra hati-hati dalam hal pengeluaran anggaran belanja untuk pembangunan.  Semua bentuk anggaran yang dianggap membebani keuangan negara, harus dipotong habis. Termasuk anggaran pembangunan di  sektor kesejahteraan rakyat.  Maka alokasi dana Pemerintah untuk pembangunan di sektor-sektor non-ekonomi, seperti kesehatan, pendidikan,  kesempatan kerja dan lingkungan hidup, termasuk yang pertama dan terbanyak dikurangi dan diturunkan anggarannya. Karena itu masalah kemiskinan, kebutuhan pokok rakyat dan pemulihan kerusakan SDA dan lingkungan hidup semakin terabaikan. Sehingga deforestasi, meningkatnya kerusakan alam dan bencana lingkungan juga makin tak terelakkan.

 

Empat dasawarsa perjalanan pembangunan Dunia Ketiga membuktikan bahwa “pembangunan” bukan jalan tunggal dan lurus menuju kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa. Bahwa pembangunan jauh lebih luas, lebih kompleks, dan lebih dalam dari urusan ekonomi, keuangan dan infrastruktur fisik. Setelah setengah abad menempuh jalur “pembangunan ekonomi”, ternyata itu bukan jalur dan  resep mujarab untuk mengobati semua “penyakit” kemiskinan, ketimpangan sosial dan “keterbelakangan” negara-negara berkembang. Adanya supremasi faktor ekonomi sebagai “mercusuar” dari tujuan dan proses pembangunan, bukan hanya gagal mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan, bahkan menimbulkan banyak masalah kerusakan aset-aset alam dan bencana lingkungan yang justru menggerogoti hasil-hasil pembangunan ekonomi itu sendiri.      

Supremasi Pembangunan Ekonomi atas Alam

Air, udara, tanah, hutan, sungai, tumbuhan, laut, semuanya adalah kekayaan atau faktor alam yang dapat diakses oleh semua warga masyarakat. Kekayaan yang sumbernya dari alam itu milik bersama dan untuk kepentingan bersama. Ia disebut “the Commons”, hak milik bersama, karena punya fungsi publik. Yakni untuk hajat hidup orang banyak. Jadi sumber daya alam itu bukan milik pribadi, dan tak bisa dikuasai, apalagi hanya dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan individu, perusahaan atau kelompok tertentu saja. Maka itu bila berada didalam atau merupakan bagian dari suatu negara, sumber daya alam perlu dikuasai dan dikelola oleh negara untuk dan atas nama publik. Atau karunia alam milik bersama tersebut bisa juga menjadi praktik sosial kolektif mengatur sumber daya alam secara arif dan lestari bukan oleh negara atau swasta, tapi oleh komunitas penduduk asli atau masyarakat adat setempat. 

Kekayaan berupa hutan, mata-air, udara bersih, dan lain-lain sumber daya alami itu merupakan unsur ekologi dari lingkungan alam yang selalu bisa dan mampu memperbaharui dirinya. Mampu tumbuh dan berkembang kreatif dengan kapasitasnya sendiri, tanpa harus menunggu bantuan pihak lain. Karena itu kekayaan alam tsb disebut “renewable resources”, sumberdaya terbaharui. Sumberdaya itu bisa dikeruk, ditebang dan diambil  untuk apa saja, tapi akan bisa tumbuh kembali.  Namun kapasitas alam dan lingkungan hidup juga ada ambang batasnya. Ada batas daya dukung dari lingkungan yang alami. Apabila sumberdaya itu dieksploitasi, dikuras terus-menerus melampaui ambang batas daya dukungnya, maka ekosistem alami yang mendukungnya akan runtuh. Kemampuan alam memperbarui diri itu tercabut akarnya. Sehingga ekosistem alam yang runtuh itu kehilangan daya, tak mampu tumbuh kembali. Hutan jadi gundul, sumber mata air hilang, sungai dan sawah mengering, tanah jadi gersang hilang kesuburannya. Maka deforestasi dan semua kerusakan alam itu membawa dampak kekeringan, banjir, tanah longsor, pencemaran sungai, dan rangkaian bencana alam lainnya sehingga dirasakan sebagai malapetaka lingkungan yang kian menyengsarakan kehidupan manusia dan masyarakat umumnya. 

Masalahnya, para perencana pembangunan ekonomi seperti tidak melihat apa lagi merasakan sifat dan fenomena alam serta dampak lingkungannya seperti tersebut diatas. Memang,  para ekonom dan penganut konsep pembangunan yang konvensional sekalipun menganggap sumberdaya alam itu mutlak diperlukan untuk pembangunan. Akan tetapi cara pandang dan perlakuan mereka terhadap sumber daya alam itu berbeda. Ekolog dan pencinta lingkungan melihat sumberdaya alam sebagai bagian dari “sistem kehidupan” di bumi. Sedangkan Ekonom melihat dan menganggap sumber daya alam – terutama tanah, tumbuhan, air dan bahan tambang – tak lebih dari sekedar “faktor produksi”. Dalam ilmu ekonomi, faktor produksi adalah sumber daya yang digunakan oleh pabrik atau perusahaan dalam proses pembuatan (produksi) barang dan jasa. Sekurangnya ada empat faktor produksi yang diperlukan, yaitu modal (capital), tenaga kerja (labor), sumberdaya alam (natural resources) dan kewirausahaan (entrepreneurship). Jadi jelas, dalam ilmu ekonomi, faktor alam diperlukan  sekedar sebagai bahan baku, salah satu faktor produksi yang hanya berfungsi untuk memproduksi barang dan jasa. Dengan demikian, sebagai faktor/unsur kekuatan yang kreatif dalam kehidupan di bumi, sifat dan keberadaan sumberdaya alam itu telah “dilucuti” karena  kemuliaan fungsi dan manfaat kekayaan alam “didegradasi” menjadi sekedar “bahan baku” untuk dieksploitasi buat memproduksi komoditas, barang dagangan. 

Adanya persepsi, cara pandang dan pola pikir mengenai “sumberdaya alam” dalam konteks pemaknaan arti “pembangunan” yang sangat berbeda bahkan saling bertolak belakang itulah yang menyebabkan terjadinya kontestasi  antara kebijakan “pembangunan ekonomi” dengan “pelestarian alam dan lingkungan”. Kontestasi antara dua kebijakan dan program yang selalu saling bertentangan itu membuat arena pembangunan di tingkat nasional maupun di daerah seolah-olah merupakan ajang pertarungan yang tidak seimbang antara unsur yang “Kuat berkuasa” melawan unsur yang “Lemah tak berdaya”. Ibarat menghadapi medan perang, “pembangunan ekonomi” sudah punya semua perangkat pasukan terlatih, senjata canggih, cukup amunisi, pengalaman panjang dan dukungan logistik yang kuat, berupa konsep, teori, sistem, regulasi, kebijakan, anggaran dan kelembagaan yang serba lengkap dan teruji. Karena itu pembangunan ekonomi punya begitu banyak keunggulan yang membuatnya memegang peran “supremasi” atas sektor-sektor lainnya sehingga bisa menentukan posisi dan prioritas kebijakan pembangunan nasional maupun daerah.   

Sementara masalah dan faktor kelestarian alam dan lingkungan baru muncul belakangan baik dalam kebijakan maupun proses pembangunan nasional. Sesudah 5 Repelita di era Orde Baru dan lebih 45 tahun keberadaan Kementerian Lingkungan Hidup plus Kehutanan di era Reformasi, kebijakan dan program Lingkungan Hidup tak pernah bisa masuk dalam prioritas program pembangunan nasional. Sektor Lingkungan juga belum pernah memperoleh alokasi anggaran yang memadai. Bahkan tidak sampai 15% anggaran Sektor Perekonomian. Dari segi SDM dan sistem kelembagaan, selain tak cukup punya SDM berkualitas juga tak terlihat ada peran dan pengaruh signifikan dari program dan instansi terkait soal sumberdaya alam dan lingkungan di tingkat sektor dan daerah-daerah. Sementara dari segi koordinasi kebijakan, belum pernah ada Menteri Koordinator  yang membidangi Pengelolaan SDA dan Perlindungan Lingkungan. 

Trade-off  atau Sinergi? 

Prinsip dasar ekonomi adalah upaya memaksimalkan keuntungan (profit) dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dan meminimalkan kerugian (loss) dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.  

Dalam setiap kegiatan ekonomi, manusia harus bisa mencapai perbandingan rasional antara pengorbanan yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Ketika seseorang harus memilih sesuatu, maka pasti ada sesuatu hal lain yang harus dikorbankan dan dibayar. Masalahnya, manusia mempunyai keinginan yang tak terbatas, sedangkan alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia itu terbatas adanya. Karena adanya keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan yang tak terbatas itu, maka harus ada keinginan yang harus “dikorbankan”. 

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Konsep ekonomi menyebut masalah pilihan dalam kondisi keterbatasan itu sebagai prinsip “trade off”. Secara harfiah, trade off  berarti “pertukaran”,  dimana sesuatu yang kita pilih harus ditukar dan diganti dengan sesuatu hal lain yang kita korbankan. Kerelaan kita mengorbankan “sesuatu hal yang lain” itu dalam prinsip ekonomi disebut sebagai “opportunity cost”, yang artinya “biaya kesempatan” yang hilang dan harus dibayar, karena sudah memilih kesempatan atau peluang yang lain. Tentu kesempatan yang dipilih itu mempunyai nilai dan manfaat yang sebanding, bahkan dianggap punya manfaat lebih banyak, lebih besar daripada kesempatan yang dikorbankan. 

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, masalah trade off  muncul pada area kebijakan dimana ada masalah konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Karena menurut konsep ekonomi, tujuan utama pembangunan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sumber Daya alam diperlukan sebagai bahan baku, sebagai salah satu sarana  untuk meningkatkan produksi nasional. Karena hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan pembangunan, dalam hal terjadi pertentangan antara kepentingan “pembangunan” dengan “kelestarian alam dan lingkungan” maka kelestarian sumberdaya alam termasuk yang harus “dikorbankan”. Sumber Daya alam itu justru dieksploitasi dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk akumulasi modal dan demi pertumbuhan ekonomi. Kelestarian sumberdaya alam merupakan trade off  dari pembangunan ekonomi. Bahwa eksploitasi dan pemanfaatan kekayaan alam itu menimbulkan dampak kerusakan ekosistem dan bencana lingkungan, hal itu dianggap konsekuensi masalah yang tidak bisa dihindari. Kerusakan lingkungan dianggap sebagai “biaya” yang harus dibayar untuk “manfaat” pembangunan ekonomi yang diperoleh masyarakat. Prinsip trade off  ini menegaskan perlunya memilih hanya salah satu kebijakan saja : “pembangunan ekonomi” atau ”lingkungan”. Tidak bisa dua-duanya, karena pilihan yang satu bisa menghapus manfaat pilihan yang lain. 

Konsep tentang perlunya faktor non-ekonomi – khususnya faktor sosial dan lingkungan – dalam pembangunan baru dianggap penting untuk diperhatikan setelah konsep “pembangunan berkelanjutan (sustainable development)” ramai menjadi wacana global. Sebagai antithesis dari konsep “pembangunan ekonomi” (menilai pembangunan dari pertumbuhan ekonomi semata)  yang menimbulkan berbagai masalah keadilan sosial dan bencana lingkungan itu, konsep “pembangunan berkelanjutan” menolak prinsip trade off  dan menawarkan prinsip “sinergi” dalam proses dan pola pembangunan yang kompleks dan multidimensional.  

Dalam pola “pembangunan berkelanjutan”,  negara harus menjalankan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang, simultan, selaras dan berlanjutan dalam jangka panjang. Tidak ada trade off antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan ataupun dengan keadilan sosial.    

Semuanya merupakan unsur dan faktor yang penting dan diperlukan dalam pembangunan. Meskipun masing-masing unsur  ekonomi, sosial dan lingkungan mempunyai fungsi dan kontribusi yang berbeda-beda, tapi karena sama-sama diperlukan untuk mencapai tujuan bersama, maka perlu ada “sinergi” dari ketiga unsur tsb sehingga bisa terjadi proses pembangunan yang bersifat saling mengisi dan saling menunjang. Bukan berkompetisi untuk saling meniadakan fungsi dan manfaat masing-masing unsurnya. Sinergi merupakan bentuk dari proses atau interaksi beberapa pihak untuk bekerjasama secara produktif dan membangun kemitraan yang harmonis untuk menghasilkan suatu karya pembangunan yang optimum dan bermanfaat bagi publik. 

Karena itu sejak awal tahun 2000 Indonesia menerapkan prinsip sinergi itu dengan mengadopsi “Millenium Development Goals (MDGs)” sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari tujuan pembangunan nasional.  Kemudian prinsip dan pola pembangunan tsb ditingkatkan menjadi “Sustainable Development Goals (SDGs)” sebagai agenda pembangunan global untuk mencapai “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” pada tahun 2030 yang telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia periode 2015 – 2019.    

Tantangan Pembangunan Tanpa Deforestasi

 

Indonesia mengadopsi SDGs dalam RPJM-N karena prinsip sinergi: adanya keseimbangan dan keselarasan antara ekonomi, sosial dan lingkungan – tiga pilar pembangunan berkelanjutan – yang sudah merupakan amanat konstitusi. Setelah menjalani empat dekade pembangunan ekonomi global dan sesudah Indonesia lebih dari 70 tahun merdeka, “keseimbangan” tersebut belum juga terwujudkan. 

Pembangunan memang berhasil menaikkan status Indonesia dari negara berpendapatan rendah ke pendapatan menengah (middle-income country) berkat keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sekitar 5,2% per tahun. Juga kemiskinan ekstrim berhasil kita turunkan dari sekitar 70% (1984) menjadi tinggal 7% di tahun 2016. Tapi coba lihat mengapa masih ada begitu banyak kantong-kantong kemiskinan di lokasi-lokasi yang tak jauh dari kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi tinggi? Laporan Bank Dunia (2018) menunjukkan bahwa hanya 32% rakyat Indonesia masuk kategori “sejahtera”, sementara mayoritasnya (68%) justru masuk kategori miskin dan rentan. Selain itu, sejak tahun 2000 tingkat ketimpangan pendapatan antara rakyat yang kaya dengan yang miskin, mengalami kenaikan ketimpangan yang cukup tinggi. Ketika sebagian besar negara di dunia tingkat ketimpangannya menurun atau stabil, Indonesia justru mengalami kenaikan ketimpangan lebih dari 30%. Angka rasio pengukur tingkat ketimpangan penghasilan penduduk menunjukkan bahwa rasio Gini Indonesia berada pada kisaran 0.46 – 0.48 yang menempatkan Indonesia kedalam kelompok 25% negara-negara dengan tingkat ketimpangan yang tertinggi di dunia.

Yang lebih memprihatinkan adalah kinerja kita di sektor energi, kehutanan dan lingkungan. Walaupun sejak era 1990-an ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap minyak dan gas bumi (migas) berkurang, tapi pemanfaatan energi bersumber fossil untuk pembangunan ekonomi itu justru meningkat karena kian membesarnya penggunaan batubara. Sebagai bahan energi, batubara lebih buruk dari migas dalam hal pencemaran lingkungan dan emisi gas-gas karbon yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global. Kondisi lingkungan ini semakin parah karena pertumbuhan ekonomi kita berbasis ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) berupa bahan tambang dan hasil hutan yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga-harga komoditas SDA di pasar internasional. Pesatnya kenaikan harga dan permintaan pasar akan komoditas kayu, hasil hutan, hasil tambang dan SDA lainnya, telah mendorong terjadinya deforestasi, pembabatan dan penggundulan hutan secara massal di Indonesia.  Deforestasi  bukan hanya menyumbang emisi karbon yang menimbulkan krisis iklim global, juga dampak negatifnya harus dibayar dengan penderitaan masyarakat oleh bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, gagal-panen dan berbagai bencana alam dan lingkungan lainnya. 

BACA JUGA: Mendorong Ekosistem Pasar Karbon Nusantara

Pertanyaannya: apakah bisa kita melakukan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi ? Jawabannya: ya, pasti bisa, kalau pertama, tidak terjadi benturan atau konflik antara agenda pertumbuhan ekonomi dengan agenda pengelolaan SDA dan lingkungan. Atau kalau konflik antara kedua agenda itu terjadi, maka konflik tsb tak boleh dibiarkan dan dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar dan alamiah. Konflik itu harus dicegah sehingga bisa dihindari terjadinya kebijakan trade off  antara pembangunan ekonomi dengan SDA dan lingkungan. Itu berarti perlu ada komitmen politik dan kebijakan ekonomi untuk menjamin bahwa tutupan hutan Indonesia tidak berkurang. Hutan tak boleh dikorbankan demi pembangunan ekonomi. 

Yang kedua, kalau pembangunan nasional dan daerah mampu melaksanakan pola pembangunan berkelanjutan sesuai dengan tujuan SDGs, dengan menerapkan prinsip sinergi secara konsisten. Yaitu menjaga dan mewujudkan adanya keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian alam dan lingkungan. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan itu sama pentingnya dan harus dijalankan secara sinergis dan seimbang, dengan semangat “win-win”. Sehingga tidak ada yang mesti kalah atau menang. Untuk itu RPJM-N perlu dilengkapi dengan suatu policy framework yang menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial akan dicapai dengan memperhitungkan dengan benar dan seksama daya-dukung SDA dan lingkungan, terutama melalui sistem pencegahan deforestasi dan upaya reforestasi hutan. Agar kita bisa tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, tanpa harus mengorbankan hutan dan lingkungan.    

Ketiga, kalau sistem perekonomian dan kebijakan keuangan tidak memperlakukan hutan dan SDA hanya sebagai faktor produksi dan bahan baku untuk dieksploitasi semata, tapi sebagai sumberdaya dengan potensi nilai ekonomi tinggi dan berharga bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Jadi hutan dan SDA tidak dianggap sebagai beban biaya (cost centre), melainkan sumberdaya yang berpotensi menghasilkan pendapatan (revenue) bagi pembangunan dan negara. Hutan dan alam merupakan modal untuk pertumbuhan ekonomi, dan terjadinya deforestasi dan kerusakan lingkungan akan berdampak negatif terhadap kemampuan perekonomian untuk tumbuh berkembang. Urusan pengelolaan hutan dan SDA jangan terlepas dan seyogianya merupakan bagi dari kebijakan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Karena kalau terpisah tanpa ada sinergi atau integrasi antara keduanya, maka akan terjadi trade off, dimana aktivitas pembangunan ekonomi dan fisik akan bisa merusak hutan dan ekosistemnya, sementara kerusakan ekosistem hutan akan menurunkan daya dukung lingkungan yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Dan keempat, kalau BAPPENAS dan Menko Perekonomian mempunyai platform kebijakan baru yang dengan jelas merumuskan dan tegas menjalankan tujuan pembangunan kita untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan rendah karbon (development with low carbon emission) yang meminimalkan ekstraksi dan eksploitasi kekayaan alam khususnya sumberdaya hutan, dan mengutamakan penggunaan sumber energi baru dan terbarukan (new and renewable energy resources). Fokus platform dan strategi baru ini adalah pada upaya pencegahan deforestasi dan meningkatkan reforestasi ; memperbaiki kualitas lingkungan, baik air maupun udara ; peningkatan energi terbarukan terutama tenaga hidro, tenaga surya dan biomassa; serta memperbaiki produktivitas pertanian pangan tanpa perluasan lahan. Untuk itu Pemerintah perlu menerapkan pola pendekatan yang bersifat inklusif, transparan dan partisipatif kepada semua pihak dan pelaku pembangunan yang terkait.

Strategi “Pembangunan Rendah Karbon” atau disebut juga “Pembangunan Hijau” ini harus menjadi mainstream Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024, dimana Indonesia menghadapi semakin besarnya tantangan krisis perubahan iklim, pemanasan global serta semakin luasnya kerusakan dan dampak bencana lingkungan di seluruh tanah-air.  Karenanya pelaksanaan strategi baru ini tidak mungkin lagi dilakukan dengan cara-cara “business as usual” –termasuk pendekatan melalui mekanisme ekonomi pasar – sehingga perlu ada komitmen politik dari DPR dan Pemerintah untuk bertindak melaksanakan pembangunan tanpa deforestasi ini juga tanpa kompromi, demi masa depan anak-cucu kita, menyelamatkan planet bumi dari keruntuhan dini.

Oleh: Ismid Hadad

Ketua Dewan Pembina Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)

Related Article

[1000 gagasan] TRANSFER ANGGARAN PROVINSI BERBASIS EKOLOGI (TAPE) DAN UPAYA MENCIPTAKAN KEADILAN LINGKUNGAN

[1000 gagasan] TRANSFER ANGGARAN PROVINSI BERBASIS EKOLOGI (TAPE) DAN UPAYA MENCIPTAKAN KEADILAN LINGKUNGAN

Laporan panel ahli Intergovernmental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) memperingatkan bahwa laju kepunahan keanekaragaman hayati (kehati) telah berdampak pada keberlangsungan hidup seluruh makhluk di bumi. Disimpulkan juga bahwa keanekaragaman hayati dunia menyusut secara cepat hingga mengkhawatirkan di banyak negara akibat ulah manusia. Secara mendalam, laporan mengulas bahwa kelimpahan spesies asli di sebagian besar habitat di daratan, air tawar dan lautan telah turun paling sedikit 25% sejak tahun 1990 dan laju degradasinya melonjak dalam 40 tahun terakhir. Deretan spesies yang terancam punah juga makin panjang diantaranya: 680 spesies vertebrata terancam hilang karena ulah manusia sejak abad ke-16, lebih dari 6 spesies mamalia berkuku terancam hilang, sekitar 1000 jenis mamalia terindikasikan punah sejak 2016.

Kondisi ini jelas membutuhkan sebuah tindakan kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk segera mungkin menghentikan lanjutan kepunahan demi menjaga kelangsungan hidup generasi berikutnya. Peran negara dalam kondisi ini menjadi sangat ideal mengingat negara memiliki perangkat hukum dan regulasi turunan yang dapat digunakan sebagai mekanisme safeguard berdasarkan skema polluter pay principles (siapa yang merusak harus membayar kompensasinya). Regulasi dan perangkat hukum tersebut membuat negara mampu mengambil segenap tindakan tegas atas setiap kegiatan yang diindikasikan merusak keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. 

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan kehati yang luar biasa diharapkan lebih aktif dalam memposisikan dirinya. Untungnya, dalam beberapa dekade terakhir, harapan tersebut mulai berjalan. Pemerintah baru saja memenangkan gugatan terhadap PT Waringin Argo Jaya (WAJ) yang dianggap beranggungjawab atas kebakaran hutan atas lahan perseroan di wilayah Sumatera Selatan pada tahun 2015 silam. Sebagai ganti rugi atas biaya pemulihan lingkungan, PT WAJ diwajibkan membayar lebih dari Rp466 miliar, masih lebih kecil dibandingkan tuntutan Rp754 miliar. Dalam gugatannya, pemerintah yang diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan pasal 88 dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Pasal 88 tersebut merupakan bentuk pasal Strick Liability yang berbunyi Setiap orang yang tindakannya, usahanya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.   

Menghukum perusak lingkungan

Meski ada beberapa pihak yang kemudian mencoba membawa Pasal 88 tersebut dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), namun tak sedikit yang mengapresiasi putusan tersebut. MA bahkan diyakini sudah mulai berjalan di arah kebenaran, meskipun sejujurnya nilai denda yang dikenakan masih jauh dari tingkat kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkan. Putusan tersebut juga tercatat sebagai salah satu milestone dalam peradilan lingkungan di Indonesia, karena terlalu banyaknya bandit-bandit dan maling-maling perusak lingkungan yang masih bebas tak tersentuh hukum di Indonesia. 

Dalam kacamata penulis, sekecil apapun prestasi yang ditorehkan para Hakim Agung dalam kasus ini, dampak psikologis yang dihasilkan harusnya lebih besar, khususnya bagi para perusak lingkungan. Meskipun belum ada jaminan konsistensi putusan, secercah harapan akan adanya keadilan di Indonesia diharapkan muncul. Ke depannya, pemerintah diharapkan menjadi lebih aktif dan agresif dalam menggugat berbagai sengketa lingkungan demi terciptanya aspek pembangunan berkelanjutan yang lintas generasi.

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa yang Mesti Menang?

Hal ini juga selaras dengan perkembangan pola pembangunan yang mulai meninggalkan paradigma ego-sentris menuju arah pembangunan eko-sentris. Jika dalam pola pembangunan ego-sentris, manusia diletakkan sebagai yang utama dengan prinsip mengeksploitasi lingkungan, eko-sentris justru menempatkan kepentingan ekologi sebagai yang utama. Dan peran negara sangatlah sentral dalam mewujudkan ide eko-sentris ini. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya sekiranya mampu dan memiliki kapasitas berlebih untuk menjadi pengawal terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antar generasi.

Terlebih, sejak tahun lalu pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) sebagai pengganti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU P3H ini disusun dengan pertimbangan utama hutan sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan. Dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum. Regulasi yang ada sekarang dianggap belum mampu dan tidak memenuhi upaya dalam menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi sehingga pemerintah dianggap perlu membentuk UU P3H.

Berkaca kepada kasus gugatan pemerintah atas perusahaan perusak lingkungan tersebut, ada hal yang cukup menarik jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) yang wajib dibentuk Presiden. Dalam pasal Pasal 54 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, serta terdiri atas unsur KLHK, Kepolisian RI, Kejaksaan RI serta beberapa unsur lain yang terkait dan bertanggung jawab.

Disini tergambar jelas betapa pentingnya peran seorang Presiden dalam kegiatan penyelamatan lingkungan khususnya hutan di Indonesia. Presiden adalah penguasa tertinggi atas kedaulatan hukum di Indonesia, sehingga hanya dengan kepemimpinan seorang Presiden yang betul-betul mau menjalankan perannya, bukan hanya menjadi simbol semata, seluruh upaya pengelamatan lingkungan dapat ditegakkan. Namun demikian UU P3H juga memberikan ruang yang besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya mencegah dan memberantas perusakan hutan. Kondisi tersebut didasarkan fakta bahwa masyarakat berhak atas: lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan oleh hutan, pemanfaatan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, upaya pemberdayaan masyarakat serta penyuluhan tentang pentingnya kelestarian hutan dan dampak negatif perusakan hutan.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktek-Praktek Ekonomi Konservasi

Atas semua kondisi yang sudah dijabarkan dalam regulasi tersebut, seyogyanya sudah tidak ada lagi ruang yang tersisa bagi kegiatan perusakan hutan dan lingkungan di Indonesia. Namun diatas itu semua, prasyarat fundamental yang dibutuhkan adalah adanya kemauan dan keinginan dari pemerintah untuk menjunjung tinggi peraturan di atas segalanya, demi tercapainya tujuan Indonesia yang asri dan lestari, berkelanjutan baik untuk generasi masa kini maupun mendatang. 

Anggaran provinsi

Kompleksitas permasalahan juga menuntut kehadiran dan peran dari pemerintah dalam hal pendanaan untuk menjaga kelestarian hutan dan menciptakan keadilan lingkungan. Karenanya, penulis mewacanakan perlunya skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) khususnya dari provinsi ke kabupaten/kota. Penelitian mengenai mekanisme EFT di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh peneliti. Ditemukan fakta bahwa sebuah wilayah konservasi lingkungan di daerah yang menghasilkan banyak manfaat ekologi, biasanya memiliki kebutuhan fiskal yang relatif lebih tinggi karena menanggung biaya konservasi lingkungan.

Demi mengakomodasi hal tersebut, ada sejumlah pilihan kebijakan yang dapat digunakan misalnya melalui sistem transfer fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Beberapa contoh negara yang sukses mengimplementasikan diantaranya Brasil dan Portugal yang secara eksplisit memasukkan indikator ekologi di dalam perhitungan distribusi transfer fiskal ke daerah. Beberapa negara lain seperti Jerman, Swiss dan India, juga memakai metode EFT ini sebagai instrumen yang cocok untuk memperhitungkan biaya lokal dan manfaat spillover dari konservasi keanekaragaman hayati.

Terkait dengan kasus di Indonesia, penulis justru yakin konsep EFT yang lebih mudah dijalankan adalah konsep EFT dari provinsi ke kabupaten/kota dengan sebutan Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE). Kondisi ini didasari fakta bahwa setiap tahunnya, pemerintah provinsi mengalokasikan dana fiskal ke kabupaten/kota melalui Bantuan Keuangan (Bankeu), Bantuan Sosial (Bansos), Hibah dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah. Sayangnya, keseluruhan mekanisme tersebut belum menggunakan indikator kinerja sebagai dasar pembagian alokasi dana.

Padahal dengan menggunakan skema TAPE sebagai bentuk alokasi Bankeu/Hibah, ke depannya akan memberikan banyak manfaat kepada provinsi dan kabupaten/kota khususnya terkait dengan koordinasi pencapaian target-target pembangunan daerah. TAPE akan didasarkan kepada sebuah formulasi menggunakan indikator capaian kinerja utama tertentu baik luas tutupan hutan (forest cover), penurunan tingkat kebakaran hutan ataupun indikator terpilih lainnya. Kabupaten/kota yang berkontribusi signifikan dalam pencapaian indikator tersebut akan mendapatkan alokasi Bankeu/Hibah lebih besar dibandingkan kabupaten/kota lainnya yang tidak berkinerja.

Dalam periode waktu tertentu, TAPE wajib terus dievaluasi demi menjaga aspek transparansi dan akuntabilitas publik. Begitupun aspek metodologi dan akurasi indikator juga wajib disempurnakan. Tema pembangunan yang di lombakan juga dapat diubah jika dirasakan sudah memenuhi ekspektasi. Misalnya dalam kurun lima tahun pertama menggunakan tema ekologi sebagai isu utama. Kemudian lima tahun berikutnya menggunakan isu ekologi dan pendidikan atau sektoral lainnya. Yang terpenting ke depannya, provinsi akan memiliki formula cara terbaik dalam mengalokasikan Bankeu/Hibah nya dengan lebih berbasis kinerja.

Oleh: Joko Tri Haryanto

Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.


*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

Related Article

[1000 gagasan] DISRUPSI PERENCANAAN ENERGI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN RENDAH KARBON

[1000 gagasan] DISRUPSI PERENCANAAN ENERGI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN RENDAH KARBON

Tidak berlebihan kiranya bagi bangsa besar seperti Bangsa Indonesia untuk membayangkan dan bercita-cita menjadi 5 besar dunia pada 100 tahun kemerdekaannya, 2045. Pada saat itu Produk Domesti Bruto (PDB) perkapita kita diharapkan bisa mencapai lebih besar dari USD 23.000. Infrastruktur yang menjangkau seluruh pelosok indonesia, tercapainya ketahanan pangan, ketahanan energi yang berbasis energi terbarukan, serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul adalah kondisi yang dicita-citakan. Tidak mudah untuk mencapai kondisi tersebut. Diperlukan setidaknya pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% per tahun. Di sisi lain lingkungan harus di jaga, pemanfaatan energi harus minimalkan dampak lingkungan yang dihasilkan. Hutan harus dijaga agar tetap dapat menyediakan layanan-layanan lingkungan seperti pengendali banjir, pencegah erosi, pengatur iklim, sumber makanan dan obat-obatan. Jika fungsi ini terganggu, pada akhirnya akan berdampak pula kepada pencapaian pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

BACA JUGA: Mendorong Ekosistem Pasar Karbon Nusantara

Tantangan ini sejatinya telah disadari oleh pemerintah, dalam kesempatan Annual Meeting of IMF-World Bank Group di Bali yang diselenggarakan pada 8-14 Oktober 2018, secara resmi Bappenas menyampaikan strategi Low Carbon Development Iniatitive di hadapan masyarakat Indonesia dan internasional untuk pertama kalinya. Pembangunan Rendah Karbon (PRK) adalah platform baru pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan beremisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah dan meminimalkan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Pendekatan pembangunan tidak dapat lagi dilaksanakan secara silo atau sektoral melainkan harus secara integral yang mengintergrasikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Ini adalah upaya untuk mendekatkan kedua kelompok ekstrim (satu kelompok bersifat sangat progresif dalam konteks menjaga lingkungan dan sebaliknya kelompok lainnya sangat liberal dalam mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi tanpa antisipasi keberlanjutan cadangan SDA sama sekali). Konsep PRK inilah yang menjadi arus utama dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah di keluarkan oleh Bappenas pada bulan Juli 2019.

Disrupsi Perencanaan Energi

Kondisi di atas adalah kondisi ideal atau yang dicita-citakan. Pada kenyatannya, sudah menjadi fakta umum bahwa perencanaan di Indonesia baik pusat maupun daerah dilaksanakan secara silo atau sektoral. Hal ini juga yang terjadi di sektor energi. Energi adalah penggerak kegiatan ekonomi. Perencanaan sektor energi pasti ber-irisan dengan perencanaan sektor-sektor yang lain. Idealnya perencanaan-perencanaan sektor tersebut selaras satu dengan yang lainnya. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang di turunkan ke tingkat provinsi menjadi Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (RUED-P) seharusnya menjadi “payung” bagi perencaan terkait energi yang lain. Kenyataan berkata lain, asumsi paling dasar misalnya pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk pada RUED-P sering sekali berbeda dengan asumsi pada perencanaan-perencanaan terkait energi lainnya misalnya Rencana Umum Ketenaga Listrikan Daerah (RUKD) dan Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang selanjutnya akan bertransformasi menjadi Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRKD), dan Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (RAD-TPB).

Kondisi tersebut tidak boleh terjadi lagi di masa yang akan datang. Disrupsi teknologi terutama tentang konektivitas dan digitalisasi seharusnya tidak hanya menjangkau e-commerce dan industri saja. Disrupsi pola pikir (mindset) dan teknologi juga harus menyentuh proses manajemen dalam pemerintahan. Dimulai dari proses yang paling awal yaitu perencanaan. Harus ada platform yang dapat mengakomodasikan proses penyusunan evidence base policy yang menjamin keterlibatan para pemangku kepentingan dan transparansi data. Salah satu penerapan disrupsi pada proses penrencanaan energi adalah pemanfatan data geospasial. Dengan memanfatkan data geospasial banyak informasi-informasi baru yang didapatkan dari hasil analisis misalnya dengan mengetahui data geospasial sebaran penduduk, potensi energi terbarukan, dan jaringan 20 kV suatu wilayah, maka rencana strategi elektrifikasi wilayah tersebut dpat di susun dengan lebih efisien. Pilihan strategi elektrifikasi misalnya: koneksi ke jaringan PLN, Solar Home System (SHS), atau sistem kluster dapat ditentukan untuk mencari biaya terendah. Disrupsi pemanfaatan teknologi juga dapat diterapkan dalam hal transparansi data. Listrik yang di produksi oleh suatu pembangkit dapat dilaporkan dengan mengunggah bukti secara real-time.

Perlunya Platform Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan

Sering sekali apa yang tertulis di dalam perencanaan berbeda jauh dengan implementasi di lapangan. Ada dua hal yang dapat menjadi penyebabnya: 1) rencana yang tidak konsisten dan realistis, serta 2) implementasi rencana yang lamban dan tidak tepat sasaran. Sering terjadi ketidakkonsistenan di dalam satu dokumen perencanaan misalnya antara target dan program/kegiatan untuk mencapai target tersebut. Misalnya di suatu dokumen rencana energi daerah terdapat kegiatan pembangunan PLTMH pada tahun tertentu, pada dukumen yang sama tidak terdapat kegiatan yang mendukung tercapainya kegiatan tersebut misalnya Feseability Study (FS) untuk kegiatan pembangunan PLTMH tersebut pada tahun-tahun sebelumnya. Sering juga tidak ada kegiatan untuk keberlangsungan PLTMH tersebut misalnya capacity building kepada masyarakat penerima manfaat untuk peningkatan kegiatan ekonomi serta kegiatan konservasi hutan untuk menjamin bahwa hutan di hulu PLTMH akan tetap memberikan layanan lingkungan berupa tersedianya air untuk PLTMH tersebut.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktek-Praktek Ekonomi Prokonservasi

Tidak adanya kewajiban untuk memonitor, mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan juga dapat menjadi alasan terdapat perbedaan yang jauh antara target dan realisasi. Perbedaan tersebut bisa jadi semata-mata karena perkembangan capaian tidak termonitor dan dilaporkan dengan baik. Capaian ini tentunya juga dapat digunakan sebagai umpan balik untuk perbaikan perencanaan pada putaran berikutnya. Oleh karena itu di perlukan suatu platform Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) perencanaan energi untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya target dalam perencanaan. PEP harus memberikan kemudahan dan memberikan manfaat bagi pembuat kebijakan baik di pusat maupun daerah. Bukan hanya sekedar memberikan beban tambahan kepada pemerintah daerah.

Common Reporting Format (CRF) Sebagai ‘Jembatan’

Keterbatasan jumlah personel sarta kapasitas yang dimilikinya sering menjadi alasan dari banyaknya keluhan dari dinas-dinas tingkat provinsi terkait kewajiban pelaporan implementasi kebijakan beserta kegiatan-kegiatan terkait lainnya. Setiap kementerian/lembaga bisa saja mempunyai produk perencanaan yang harus dimonitor dan dievaluasi implemantasinya. Di sektor energi misalnya, berapa perencaan yang terkait energi misalnya RUED-P, RUKD, RAD-GRK, dan RAD-TPB. Sebuah kegiatan, misalnya pembangunan PLTMH disebuah provinsi, pada dasarnya kegiatannya hanya satu tetapi dilaporkan ke banyak sistem perencanaan. Hal inilah yang menjadi masalah dan harus di cari jalan keluarnya. Common Reporting Format (CRF) dipandang sebagai sebagai solusi yang dapat ditawarkan. Dengan mengisi satu form yang telah disepakati isinya, staf pada dinas-dinas terkait di provinsi dapat melaporkan sebuah kegiatan secara serentak untuk masing-masing sistem PEP perencanaan. Untuk mewujudkan hal ini tentunya diperlukan koordinasi setiap kementerian/lembaga dalam mempersiapkan sistem PEP perencanaan masing-masing. Setidaknya ada fasilitas export-import CRF pada setiap PEP. Dengan adanya CRF maka akan mengurangi kemungkinan terlewatkannya kegiatan untuk tidak dilaporkan atau tumpang-tindihnya pelaporan.

Oleh: Hakimul Batih

Direktur Eksekutif Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi (IIEE)

 

Related Article

Madani’s Update Report Edisi Mei 2020: Deforestasi, PIPPIB, Karhutla, Perhutanan Sosial, dan Pembaruan NDC

Madani’s Update Report Edisi Mei 2020: Deforestasi, PIPPIB, Karhutla, Perhutanan Sosial, dan Pembaruan NDC

Pada 23 April, Pemerintah Indonesia mengumumkan angka deforestasi netto Indonesia untuk periode tahun 2018-2019, yakni sebesar 462,4 ribu hektare. Deforestasi terbesar terjadi di hutan alam yang dikategorikan sebagai “hutan sekunder” (162,8 ribu hektare), sebagian besar (55,7 persen atau 90,5 ribu hektare) terjadi di kawasan hutan.

Untuk mencapai target komitmen iklim Indonesia, pemerintah perlu melindungi 9,5 juta hektare hutan alam yang belum dibebani izin dan berada di luar PIAPS dan PIPPIB. Namun, mayoritas hutan alam tersebut dikategorikan sebagai hutan sekunder. Untuk itu pemerintah harus memperluas cakupan kebijakan Penghentian Pemberian Izin Baru hingga mencakup seluruh hutan alam, terutama hutan alam yang paling terancam.

Pada 26 Februari 2020, KLHK mengeluarkan Keputusan Menteri mengenai Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut untuk periode pertama tahun 2020. Wilayah yang dilindungi oleh kebijakan ini bertambah seluas 314,3 ribu hektare sehingga total wilayah yang dilindungi mencapai 66,3 juta hektare.

Karhutla 2019. Menurut analisis Madani, pada tahun 2019 kebakaran di Indonesia menghanguskan 1,6 juta hektare hutan dan lahan, 44 persen di antaranya terjadi di kawasan yang dikategorikan sebagai Ekosistem Gambut. 63 persen atau lebih dari 1 juta hektare kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2019 adalah kebakaran baru, yang pertama kali terbakar pada tahun 2019 sejak tahun 2015. Secara umum, Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan adalah dua provinsi dengan area terbakar terluas pada tahun 2019.

Realisasi Perhutanan Sosial. Hingga 2 Mei 2020, realisasi perhutanan sosial telah mencapai 4.105.268,03 hektare (6548 unit), yang melibatkan lebih dari 830 ribu KK. Namun, jumlah ini mencakup wilayah indikatif atau alokasi hutan adat yang belum resmi ditetapkan, dengan luas mencapai 914 ribu hektare.

Update Nationally Determined Contribution (NDC) 2020. Pemerintah belum mempublikasikan draft final Pembaruan NDC, saat ini masih menunggu persetujuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Presiden sebelum disampaikan ke UNFCCC. Setidaknya ada dua kritik yang mengemuka terkait proses penyusunan NDC yang diperbarui di Indonesia. Yang pertama berkaitan dengan proses penyusunan yang dianggap tidak separtisipatif yang diharapkan. Yang kedua terkait substansi yang kurang merefleksikan masukan dari masyarakat sipil, terutama dalam hal peningkatan ambisi di sektor mitigasi. , koalisi masyarakat sipil menyampaikan masukan untuk meningkatkan ambisi dalam NDC yang diperbarui

Informasi lebih lanjut dapat diunduh di lampiran.

Related Article

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

[Jakarta, 18 Juni 2020] Sudah saatnya pemerintah melakukan koreksi dan mengubah model pembangunan ekonomi yang lebih berketahanan nasional, yaitu dengan tidak merusak lingkungan dan hutan, serta tidak bergantung pada impor. Selain itu, ketahanan pangan nasional juga perlu digantungkan pada komoditas yang lebih beragam dan seimbang antara komoditas pangan dan perkebunan monokultur skala besar. Menggantungkan perekonomian hanya pada industri ekstraktif akan berisiko bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi kesiapan pemerintah Indonesia dalam menjaga ketahanan pangannya saat pandemi Covid 19 dan prediksi kemarau panjang yang akan mengganggu produksi pangan. FAO telah memberikan peringatan akan terjadinya ancaman krisis pangan dunia, dan negara-negara di dunia mulai mengerem ekspor pangannya untuk mengantisipasi ancaman ambruknya ketahanan pangan dunia. Sejumlah negara juga mengimplementasikannya dengan memprioritaskan kebutuhan pangan dalam negeri dan menahan ekspor pangan ke luar negeri.

Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada komoditas unggulan tertentu seperti sawit bukan hal yang bijak untuk dilakukan saat ini dan bahkan dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pemerintah selayaknya memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu daerah sehingga komoditas perkebunan dan pangan lainnya dapat turut bersaing sebagai penyumbang perekonomian sehingga dapat lebih tahan dalam menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak.

Hasil kajian Madani di Kalimantan Barat yang memiliki luas sawit tertanam terbesar ketiga se-Indonesia menunjukkan bahwa Kalimantan Barat ternyata memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. Perluasan perkebunan sawit di sana juga tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Tingkat produktivitasnya rendah dengan peringkat 10 dari 10 provinsi yang memiliki lahan sawit terluas,” kata Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Provinsi Riau yang memiliki sawit tertanam terluas di Indonesia, yaitu 3,4 juta hektare, dari hasil Kajian Madani menunjukkan setidaknya terdapat 7 kabupaten (Bengkalis, Siak, Rohul, Pelelawan, Kampar, Inhil dan Rohil) memiliki ketimpangan yang sangat besar antara luas sawit dan tanaman pangan. Luas lahan yang diperuntukkan untuk tanaman pangan pada 7 kabupaten tersebut tak ada satupun melebihi angka 30% dari luas sawit. Bengkalis hanya memiliki 23,6 ribu ha (11%) luas lahan pangan dibandingkan area tanam sawitnya yang mencapai 187 ribu ha. Kemudian diikuti Siak, 56 ribu ha (14%) dan Rokan Hulu 73 ribu ha (15%) dibandingkan dengan luas sawit di dua kabupaten tersebut. Ketimpangan lahan tersebut berimplikasi pada ketahanan pangan pada kabupaten-kabupaten tersebut. Setidaknya ada 6 kabupaten yang menunjukkan ketahanan pangan rendah (Pelalawan dan Rohil) dan 4 kabupaten yang termasuk rawan pangan (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar),” terang Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Diversifikasi komoditas pangan unggulan dengan tanaman-tanaman lokal seperti sagu dan sorgum perlu untuk diutamakan, sehingga bukan lagi program “berasisasi”. Apalagi rencana cetak sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah yang akan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dapat mengancam keberadaan gambut di wilayah tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya Karhutla dan bencana asap yang akan lebih menyengsarakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 .

Empat puluh empat persen Karhutla 2019 terjadi di Fungsi Ekosistem Gambut. Program cetak sawah pemerintah di lahan gambut yang direncanakan akan membuka rawa gambut berisiko meningkatkan kerawanan terjadinya Karhutla yang selain menyengsarakan rakyat juga akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Keberadaan komoditas pangan lokal seperti sagu dapat menjaga kelestarian ekosistem lahan gambut dan juga dapat menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pangan lokal, sehingga dapat menciptakan ketahanan pangan,” tambah Teguh. “Saatnya Pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan monokultur skala besar seperti HTI dan sawit karena dapat menggerus lahan-lahan produktif untuk pangan.”

Diversifikasi komoditas pangan unggulan lokal adalah kunci ketahanan pangan nasional agar Indonesia terhindar dari kerawanan pangan di masa pemulihan pasca-Covid-19. [ ]

***

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

– Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

id_IDID