Madani

Tentang Kami

Update Ekonomi Politik: Anggaran Perubahan Iklim Turun, Kepuasan Terhadap Pemerintah Juga Turun

Update Ekonomi Politik: Anggaran Perubahan Iklim Turun, Kepuasan Terhadap Pemerintah Juga Turun

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (10 Agustus 2021 – 16 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. Anggaran Perubahan Iklim Menurun

Porsi anggaran perubahan iklim dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN selama kurun waktu tiga tahun terakhir menurun. Pada 2018, anggaran kementerian/lembaga untuk perubahan iklim mencapai Rp 132,4 triliun. Anggaran ini kemudian turun menjadi Rp 97,66 triliun pada 2019 dan Rp 77,81 triliun pada 2020. Rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim dalam APBN 2018-2020 sebesar Rp 102,65 triliun per tahun. Sementara rata-rata anggaran untuk mitigasi Rp 62,7 triliun per tahun dan Rp 40,4 triliun per tahun untuk upaya adaptasi.

Di sisi lain, pembiayaan sektor kawasan pesisir dan kelautan baru mendapat alokasi 0,2 persen dari APBN. Kegiatan ini terpusat untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kegiatan tidak langsung seperti penelitian dan riset masih mendominasi.

BKF juga menyebutkan, 88 persen anggaran perubahan iklim digunakan untuk membiayai infrastruktur hijau. Sementara 12 persen lainnya digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung, seperti regulasi dan kebijakan, riset dan pengembangan, peningkatan kapasitas, serta pemberdayaan masyarakat.

Seiring meningkatnya dampak perubahan iklim yang kian terasa, perlu penguatan komitmen dalam rencana kerja kementerian dan lembaga negara ke depan. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Dian Lestari mengemukakan, upaya menanggulangi perubahan iklim membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim per sektor hingga 2030 mencapai Rp 3.461 triliun.

2. Juli 2021 Bulan Terpanas dalam 142 Tahun Terakhir

Perubahan iklim dan pemanasan global tak membaik. Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI) Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat menyebut, Juli 2021 menjadi bulan terpanas di dunia yang pernah tercatat.

Dalam catatannya, Juli biasanya menjadi waktu terpanas dunia sepanjang tahun. Khusus pada bulan lalu, suhu permukaan global lebih tinggi 0,93 derajat Celcius dari rata-rata abad ke-20 yang mencapai 15,8 derajat Celcius. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk bulan Juli dalam 142 tahun.

Pemanasan permukaan dataran global dipicu menghangatnya daratan bumi belahan utara. Pada bagian jagat ini, suhu bulan Juli tertinggi mencapai 1,54 derajat Celcius di atas rata-rata, melampaui rekor di 2012. Selama bulan tersebut, NCEI mengatakan suhu lebih hangat dari rata-rata pada Amerika Utara, Eropa, bagian utara dan selatan Amerika Selatan, utara Afrika, separuh bagian selatan Asia, Oseania dan sebagian bagian barat dan utara Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia.

Secara regional, NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Eropa mencatat rekor terpanas kedua pada bulan yang sama. Sedangkan Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika dan Oseania semuanya masuk 10 besar dalam rekor. Panas ekstrem yang dirinci dalam laporan bulanan NOAA juga merupakan cerminan dari perubahan iklim jangka panjang yang tercantum pada laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada pekan ini.

3. Sarat Masalah, Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Papua dan Papua Barat Dievaluasi

Dianggap sarat masalah, perizinan perkebunan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat dievaluasi. Hal ini mempertimbangkan, perkebunan kelapa sawit masih menjadi industri yang berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua Barat Freddy Kolintama mengatakan, evaluasi perizinan kelapa sawit memerlukan koordinasi lintas sektor yang melibatkan kementerian dan lembaga serta Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Pelaksanaan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit ini berlandaskan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit.

Dari hasil evaluasi ini, ditemukan sejumlah pelanggaran sebagaimana diungkapkan Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Yacob S Fonataba. Pelanggaran itu di antaranya adalah tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari Dinas Kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, dan belum menyelesaikan kebun inti.

Untuk diketahui, hingga saat ini tercatat 24 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Provinsi Papua Barat dengan total luasan wilayah konsesi yang dievaluasi 681.974 hektar.

Hal serupa dilakukan di Provinsi Papua. Rencana aksi evaluasi HGU di seluruh wilayah Papua mulai Jayapura hingga Merauke ini terus dipantau oleh Kanwil BPN Provinsi Papua melalui kantor-kantor pertanahan setempat. Berdasarkan hasil inventarisasi Kanwil BPN Provinsi Papua, terdapat lahan HGU pertanian dan perkebunan seluas 328.895 hektar. Di antaranya merupakan lahan perkebunan kelapa sawit dengan luas 159.000 hektar pada tahun 2020, yang terdapat di beberapa kabupaten dan kota.

Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra menambahkan, apa yang dilakukan saat ini di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat menjadi contoh dan role model untuk diterapkan pula di berbagai provinsi.

4. Survei: Kepuasan terhadap Pemerintah Turun, Terutama di Papua

Survei Charta Politika menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah turun dari 65,3 persen di Maret 2021 menjadi 62,4 persen.
Survei itu dilakukan secara tatap muka dengan metode multistage random sampling pada periode 12-20 Juli 2021 terhadap 1.200 responden dari seluruh wilayah RI. Margin of error plus minus 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam survei ini, Charta Politika memperoleh hasil 62,4 persen publik puas dan 34,1 persen publik tidak puas atas kinerja pemerintah. Berdasarkan survei Charta Politika, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sedangkan tingkat kepuasan terendah berada di wilayah Maluku dan Papua (45 persen puas, 40 persen tidak puas, 15 persen tidak menjawab), Kalimantan (47,7 persen puas, 49,2 persen tak puas, 3,1 persen tak menjawab), serta Sumatera (55,2 persen puas, 43,2 persen tak puas, 1,6 tak menjawab).

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim Hingga Pinjaman Internasional untuk Penutupan PLTU

Update Ekonomi Politik, dari BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim Hingga Pinjaman Internasional untuk Penutupan PLTU

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (3 Agustus 2021 – 9 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim: Badai Topis-Cairnya Es di Jaya Wijaya

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati membeberkan kemungkinan terburuk akibat perubahan iklim. Mulai dari badai tropis, longsor hingga banjir bandang hingga mencairnya es di puncak Jayawijaya, Papua. Pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim, seperti kejadian badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang dan kekeringan, yang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih kuat, atau pun mencairnya es di puncak Jaya Wijaya, Papua, yang diprediksi oleh BMKG akan punah di tahun 2025 dan naiknya muka air laut.

Dwikorita mendesak pemda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Hal itu untuk mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar. Dwikorita membeberkan sejumlah fakta yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di mana suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat meski terjadi La Nina. Selain itu, temperatur rata-rata global permukaan bumi saat ini sudah mencapai 1,2 derajat celcius lebih tinggi dari pada tahun 1850-an.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan pengamatan BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan. Pengamatan dari 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu rata-rata permukaan pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7°C dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010.

2. Pertumbuhan Ekonomi RI Melesat 7,07 Persen di Kuartal II 2021

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat 7,07 persen pada kuartal II 2021. Perekonomian tanah air akhirnya lepas dari resesi yang menjerat pada beberapa kuartal terakhir akibat dampak pandemi virus corona atau covid-19. Bila dibandingkan secara kuartalan maupun tahunan, pertumbuhan ini lebih tinggi dari minus 0,74 persen pada kuartal I 2021 dan minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Sementara secara akumulatif, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 3,1 persen pada semester I 2021 dari semester I 2020.

Realisasi pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekspor yang meningkat sebesar 10,36 persen dari kuartal I 2021 dan tumbuh 55,89 persen dari kuartal II 2020. Peningkatan ekspor terjadi karena pulihnya perdagangan global dan meningkatnya permintaan dari sejumlah negara mitra dagang. Selain itu juga didukung oleh peningkatan impor yang mengkonfirmasi pertumbuhan industri di dalam negeri, di mana impor naik 50,12 persen dari kuartal II 2020 dan meningkat 9,88 persen dari kuartal I 2021.

Dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh meningkatnya mobilitas masyarakat di kuartal II 2021. Hal ini tercermin dari peningkatan mobilitas masyarakat ke tempat berbelanja hingga ke luar kota yang terpantau melalui perjalanan menggunakan berbagai moda transportasi.

3. Survei LSI: 75 Persen Setuju Pemerintah Dapat Dipercaya Untuk Menjaga Lingkungan

Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas masyarakat menunjukkan sikap positif terhadap pemerintah terkait pengelolaan sumber daya alam. Mayoritas responden menyatakan setuju bahwa pemerintah berupaya menyeimbangkan antara upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan.

Mayoritas responden alias 76 persen menyatakan setuju bahwa pemerintah sedang melakukan yang terbaik untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan. Hanya ada 16 persen yang menyatakan tidak setuju. Sebanyak 75 persen responden juga setuju bahwa pemerintah dapat dipercaya untuk menjaga lingkungan. Sebanyak 17 persen saja yang tidak setuju.

Di sisi lain, sebagian besar responden menilai potensi korupsi cukup luas terjadi di sektor sumber daya alam. bidang-bidang sumber daya alam yang dianggap berpotensi luas terjadi korupsi ialah sektor penangkapan ikan luas terjadi (48 persen), pertambangan yang dikelola oleh perusahaan asing (49 persen), pertambangan yang dikelola oleh BUMN/BUMD (45 persen), perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan asing (44 persen), kemudian perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan Indonesia (40 persen).

LSI mencatat, secara umum responden juga menilai terjadi peningkatan korupsi di Indonesia. Sebanyak 60 persen responden menilai tingkat korupsi di Indonesia naik dalam dua tahun terakhir. Tren meningkatnya persepsi korupsi ini terlihat jelas sejak November 2020. Ketika itu, sebanyak 40 persen responden menilai korupsi meningkat. Angkanya bertambah menjadi 56 persen pada Desember 2020, turun menjadi 53 persen pada sigi Juni 2021, dan menjadi 60 persen dalam survei teranyar ini.

4. Pemerintah Dorong Pemulihan Ekonomi Lewat Perpanjangan Diskon Pajak

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan pemerintah akan tetap memberikan berbagai stimulus di sektor keuangan. Instrumen APBN bakal terus dimanfaatkan untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi. Salah satunya penggunaan APBN untuk membiayai berbagai insentif pajak yang diperpanjang sampai akhir 2021.

Bagi dunia usaha, pemerintah akan memberikan bantuan kepada UMKM dan korporasi. Mulai dari subsidi bunga , penempatan dana, penjaminan kredit hingga bantuan produktif bagi usaha mikro. Peningkatan gerak ekonomi masyarakat diharapkan terus konsisten seiring dengan akselerasi vaksinasi yang dilakukan pemerintah.

5. Indonesia jadi calon penerima pertama skema pinjaman internasional untuk percepat penutupan PLTU

Indonesia dicanangkan menjadi salah satu negara pertama yang menerima skema bantuan internasional untuk mempercepat penutupan pembangkit listrik berbasis batubara. Skema itu digagas lembaga asuransi yang berbasis di Inggris, Prudential. Beberapa lembaga keuangan mendukung usul tersebut, antara lain Bank Pembangunan Asia (ADB), HSBC, dan Citibank.

Pemerintah Indonesia selama ini berjanji mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap hingga 60% sampai tahun 2050. Jika skema ini berjalan, Indonesia akan didorong lebih cepat menutup pembangkit listrik berenergi batu bara. Tujuannya adalah eliminasi emisi karbon di tengah pemanasan global.

ADB berharap usulan ini akan dibahas dalam konferensi iklim COP 26 yang diadakan di Skotlandia, November mendatang. Usulan ini, merujuk kantor berita Reuters yang pertama kali melaporkan ini, akan berbentuk kerjasama pemerintah dan badan usaha (public-private partnership). Modal yang terkumpul dalam kerjasama itu akan digunakan untuk membeli pembangkit listrik tenaga batu bara, lalu menutupnya jauh lebih cepat dari umur operasinya.

Strategi utama dalam inisiatif yang diusulkan ADB ini adalah mengumpulkan pinjaman dari lembaga keuangan untuk membeli pembangkit listrik tenaga batu bara jauh di bawah biaya normal. Utang itu lalu dapat dikembalikan kepada investor dengan suku bunga pinjaman yang lebih rendah dari biasanya.

Namun usulan ini belum tuntas membahas bagaimana meyakinkan pemilik untuk menjual pembangkit listrik bertenaga batubara. Belum jelas juga apa yang harus dilakukan terhadap pembangkit itu setelah ditutup dan bagaimana usulan ini berpengaruh terhadap kredit karbon.

Usulan ADB ini muncul saat banyak lembaga keuangan besar semakin enggan meminjamkan modal untuk proyek pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Mereka disebut tengah berupaya memenuhi target iklim di tengah tantangan pemanasan global.

Related Article

Selamat Hari Masyarakat Adat Internasional, Mari Bahu-Membahu Mempercepat Pengesahaan RUU Masyarakat Adat!

Selamat Hari Masyarakat Adat Internasional, Mari Bahu-Membahu Mempercepat Pengesahaan RUU Masyarakat Adat!

[Madani News, 09/08/2021] Tepat pada 9 Agustus setiap tahunnya, International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia diperingati. Hari ini tentu merupakan bentuk solidaritas atas keberadaan masyarakat adat saat ini serta bentuk perjuangan untuk melawan ketidakadilan yang masih saja menimpa masyarakat adat di dunia termasuk juga di Indonesia tentunya. 

Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menyampaikan bahwa keberadaan masyarakat adat sangat penting, karena masyarakat adat adalah pondasi dari kebinekaan Indonesia. Sehingga menurut Giorgio, kalau masyarakat adat  tidak diurus dan dilindungi secara tepat dan tidak sesegera mungkin untuk diprioritaskan, maka nasib masyarakat saat ini sedang di ujung tanduk.

Kita perlu bicara bahwa ini adalah urgensi yang perlu kita lakukan, narasi yang harus kita pasang adalah masyarakat adat adalah fondasi kebinekaan. Sehingga tidak lagi masyarakat adat dicurigai, urusan politis, separatisme, dan banyak lainnya. Ini adalah lembaran yang harus sudah dibalik. Indonesia adalah masyarakat adat, masyarakat adat adalah Indonesia” ujar Giorgio Budi Indrarto dalam diskusi virtual “Bahu-Membahu Dalam Mempercepat Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Ekologi di Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Jumat, 6 Agustus 2021.

Dalam diskusi ini, hadir sejumlah narasumber seperti Willy Aditya, Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat DPR RI, Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen Bidang Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Prof.Dr.Ir.Agustinus Kastanya, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN, dan Yeryana, Ketua Umum Pengurus Harian Daerah Perempuan Aman Barito Timur. Kemudian, pemapar kajian diskusi disampaikan oleh Arief Virgy dari Yayasan Madani Berkelanjutan juga hadir sebagai penanggap diskusi Bernadinus Steni dari Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam kajian tentang masyarakat adat yang disampaikan Arief Virgy, ditemukan bahwa secara spasial, dari 9,3 juta hektar wilayah adat yang teridentifikasi, terdapat 8,5 juta hektar area yang tumpang-tindih dengan izin atau konsesi dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut.

Tumpang-tindih terluas terjadi antara wilayah adat dengan PIPPIB, yaitu seluas 4,1 juta hektar, disusul izin perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektar, dan konsesi migas seluas 1 juta hektar. Selain itu, terdapat 190 ribu hektar wilayah adat yang tercakup ke dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua), terluas di Papua sebesar 123 ribu hektar, disusul Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektar” ujar Arief Virgy.

Arief Virgy pun menegaskan bahwa mempercepat pengesahaan RUU Masyarakat Adat adalah solusi terbaik untuk mengatasi persoalan yang saat ini sedang menimpa masyarakat adat. “Mempercepat RUU Masyarakat Adat adalah karena adanya tumpang tindih kondisi wilayah masyarakat adat dengan izin/konsesi serta dengan Area of Interest Food Estate. Hal ini jelas membuat masyarakat hukum adat semakin terancam. Kalau kita ingin mencapai komitmen iklim Indonesia, pengesahan RUU MA dapat menjadi salah satu untuk mencapai target tersebut”, Tegas Arief Virgy.

Dengan peringatan hari masyarakat adat internasional, banyak pihak berharap agar momentum ini tidak hanya sebagai peringatan semata, tapi juga sebagai momentum untuk mempercepat pengesahaan RUU Masyarakat Adat. Selamat hari masyarakat adat sedunia. 

Dapatkan materi narasumber dalam diskusi Bahu-Membahu Dalam Mempercepat Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Ekologi di Indonesia dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari Evaluasi Moratorium Sawit Hingga Beban Utang Pemerintah Bisa Capai 55 Persen PDB

Update Ekonomi Politik, dari Evaluasi Moratorium Sawit Hingga Beban Utang Pemerintah Bisa Capai 55 Persen PDB

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (27 Juli 2021 – 2 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. Pemerintah tengah mengevaluasi aturan moratorium perkebunan kelapa sawit

Pemerintah saat ini tengah mengevaluasi Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Musdhalifah Machmud mengatakan, saat ini Kemenko Perekonomian bersama kementerian/lembaga terkait, tengah menyiapkan laporan evaluasi pelaksanaan Inpres tersebut. Nantinya, laporan evaluasi akan disampaikan kepada Presiden.

Musdhalifah mengatakan, pelaksanaan kegiatan yang terdapat dalam Inpres nomor 8 tahun 2018 terbilang cukup baik. Diantaranya tata kelola perkebunan kelapa sawit, kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan. Termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. Serta peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Meski begitu, hingga saat ini belum diputuskan apakah Inpres nomor 8 tahun 2018 akan diperpanjang atau tidak.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, saat ini Inpres 8/2018 tengah dijalankan. Salah satunya evaluasi perizinan dan penyelesaian tumpang tindih aturan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) meminta Presiden Jokowi untuk melanjutkan moratorium sawit. POPSI meminta Presiden Jokowi untuk memperpanjang Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit.

2. Joe Biden Sebut Kota Jakarta bakalan tenggelam 10 tahun lagi

Bahaya pemanasan global menjadi isu utama pidato Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/7/2021). Dalam pidatonya tersebut, dia mengingatkan kembali mengenai perubahan iklim dan pemanasan global yang bisa saja mengubah doktrin strategis nasional.

Ia mengatakan, jika permukaan air laut 2,5 kaki atau 7,6 cm saja, akan ada jutaan orang yang harus pindah dari lokasi yang ditinggali saat ini dan berebut lahan subur. Menurutnya, jika hal itu benar terjadi seperti sesuai proyeksi bahwa Jakarta akan tenggelam pada 10 tahun mendatang. Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah RI saat ini mulai mewujudkan rencana memindahkan ibu kota ke Kalimantan.

Biden pun meminta AS untuk bekerja sama dengan dunia dalam upaya mencegah dampak perubahan iklim lebih jauh. Terpisah, pada 2019 lalu, badan antariksa AS, NASA, juga pernah menyatakan bahwa tanah Jakarta kian tenggelam akibat perubahan iklim dan sejumlah masalah lainnya. NASA juga menyebutkan sejumlah masalah lain yang menjadi faktor penyebab kerusakan alam di Jakarta, di antaranya tingkat urbanisasi tinggi, kesalahan penggunaan lahan, dan peningkatan populasi.

3. Indonesia akan Usung Isu Perubahan Iklim saat Presidensi G20 2022

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia akan mengusung isu perubahan iklim saat menjadi tuan rumah atau presidensi Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) pada 2022. Menkeu menambahkan, dalam forum tersebut juga akan dibentuk kelompok kerja keuangan berkelanjutan atau sustainable finance working group (SFWG).

Kelompok kerja itu akan membahas lima area, yakni penyelarasan arus keuangan, akses terhadap informasi yang andal dan tepat waktu, asesmen pengelolaan risiko iklim dan sustainability, serta mengoptimalkan pendanaan publik dan sistem insentif. Kemudian, isu atau elemen cross-cutting, seperti katalisasi teknologi, inovasi, digitalisasi, dan strategi transisi keuangan.

Menkeu menyatakan, lima domain keuangan tersebut akan diintegrasikan dengan aspek sustainability dan ancaman perubahan iklim dalam tiap pengambilan keputusan. Menurutnya, inisiatif semacam itu perlu disiapkan bukan sekadar menunggu. Harapannya, SFWG dapat menyusun aksi konkret lewat pengembangan lingkungan yang memungkinkan mobilisasi pembiayaan internasional, termasuk komitmen negara-negara maju serta dukungan dari lembaga-lembaga keuangan multilateral.

4. Sukses Terbitkan Green Bond, Sri Mulyani Siapkan SDG’s Bond

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah mempersiapkan Sustainable Development Goals (SDGs) bond. Saat ini sedang dalam tahap review oleh lembaga internasional. Menurutnya, SDGs bond dibentuk oleh pemerintah setelah sukses dengan green bonds atau pembiayaan hijau yang dibentuk pada tahun 2018 lalu.

Adapun SDGs bond ini akan memiliki skema yang sama dengan green bond, yakni digunakan untuk pembangunan berkelanjutan atau proyek-proyek yang ramah lingkungan sesuai dengan standar internasional. Ini sejalan dengan langkah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan ini, ia menuturkan membutuhkan perkiraan anggaran US$ 5-7 triliun. Anggaran yang sangat besar membuat partisipasi swasta dan dana internasional dibutuhkan untuk memenuhinya.

5. Beban utang pemerintah bisa capai 55% PDB pada tahun 2023

Lembaga internasional Moody’s memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 berpotensi membengkak di atas 45% PDB. Besaran ini berarti lebih besar dari target yang disampaikan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang sebesar 43,21% hingga 43,99% PDB di 2023.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan utang pemerintah pada tahun 2023 akan jauh lebih besar dari target pemerintah. Bahkan proyeksinya, bisa lebih dari 55% PDB di tahun 2023. Hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan belanja dan proyeksi rasio penerimaan pajak yang masih rendah.

Namun, bukan berarti tak ada jalan keluar bagi pemerintah untuk mempersempit rasio utang. Salah satunya, adalah pemerintah perlu menghemat belanja yang memang tidak urgen, seperti contohnya memperkecil biaya birokrasi untuk belanja pegawai dan belanja barang.

Pemerintah juga disarankan untuk menunda proyek infrastruktur yang dibiayai lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian, pemerintah bisa melakukan upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan. Dengan cara menambah tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi kaya atau dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar dengan tarif yang lebih tinggi, yaitu 40% hingga 45%.

Pemerintah juga diharapkan mampu mendorong kepatuhan pembayaran dan pelaporan SPT Wajib Pajak Pribadi non karyawan. Berikutnya, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari sinkronisasi data antara eksportir komoditas dengan data di negara tujuan ekspor.

Related Article

Menakar Perkembangan RUU Masyarakat Hukum Adat

Menakar Perkembangan RUU Masyarakat Hukum Adat

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan salah satu RUU yang didorong kuat pengesahannya oleh berbagai pihak sedari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berbagai instrumen hukum nasional dan internasional juga mendorong adanya pengaturan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat ini.

Urgensi pengesahan RUU MHA semakin dirasakan mengingat banyaknya kasus pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat. Analisis spasial Madani menemukan beberapa hal yang dapat menambah potensi pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, di antaranya:

  • Dari 9,3 juta hektare Wilayah Adat yang teridentifikasi, terdapat 8,5 juta hektare area yang tumpang-tindih dengan izin/konsesi dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut;
  • Tumpang-tindih terluas terjadi antara Wilayah Adat dengan PIPPIB seluas 4,1 juta hektare, disusul izin perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektare, dan konsesi Migas seluas 1 juta hektare. 
  • Terdapat 190 ribu hektare Wilayah Adat yang tercakup ke dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua), terluas di Papua sebesar 123 ribu hektare, disusul Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektare.

Selain tumpang-tindih dengan izin/konsesi, Area of Interest (AoI) Food Estate, dan PIPPIB, analisis Madani jugamenemukan bahwa masih banyak hutan alam dan ekosistem gambut di Wilayah Adat, masing-masing seluas 5,6 juta hektare dan 878 ribu hektare. Hal ini dapat menjadi peluang untuk mendukung upaya pemenuhan komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Pasalnya, dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia telah mengakui traditional wisdom (kearifan lokal) sebagai hal yang dapat menjadi bagian dari upaya penurunan emisi. Oleh karena itu, peran masyarakat hukum adat dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga patut mendapatkan perhatian. 

Berbagai dorongan untuk mempercepat pengesahan RUU MHA telah bermunculan, namun prosesnya masih sangat lambat. RUU MHA telah masuk ke dalam Prolegnas (program legislasi nasional) pada tahun 2013, 2017, dan 2020. Namun, pengesahan RUU MHA masih juga ‘tersalip’ oleh RUU lain seperti Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang Minerba. Tahun ini, RUU MHA kembali masuk ke dalam Prolegnas Prioritas dan saat ini masih berada dalam tahapan harmonisasi. Namun, pelibatan

masyarakat dalam pembahasan RUU MHA dirasakan masih minim. Berbagai konsultasi yang dilakukan ke berbagai elemen masyarakat sipil selama ini termasuk selama masa pandemi Covid-19  masih belum dirasakan sebagai konsultasi yang “murni”. Apabila dilihat  dari konsep tingkatan partisipasi publik Sherry Arnstein, partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU MHA dirasa masih bersifat “tokenistik” atau Partisipasi Semu. 

Banyak masukan mendasar dari organisasi masyarakat adat, masyarakat sipil, dan akademisi yang tidak kunjung diakomodasi dalam draft RUU MHA meskipun sudah berkali-kali diajukan.1 Terdapat beberapa perdebatan yang kerap muncul dalam pembahasan substansi RUU MHA, di antaranya perbedaan istilah dan unsur dalam definisi MHA, mekanisme pengakuan MHA yang cenderung politis dan berbelit- belit, serta cakupan perlindungan hak- hak MHA yang terbatas pada MHA yang telah diakui secara formal. Selain itu, masih ada isu-isu penting yang belum masuk ke dalam cakupan pengaturan RUU MHA, di antaranya hak-hak kolektif Perempuan Adat dan mekanisme pemulihan hak-hak MHA.

Di samping berbagai perdebatan ini, terdapat indikasi bahwa lambatnya  pembahasan RUU MHA terjadi akibat besarnya kepentingan ekonomi-politik yang mewarnai prosesnya di mana konflik kepentingan sulit dihindari. Selain itu, terbitnya Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja menambah panjang tantangan yang dihadapi MHA, khususnya dalam harmonisasi substansi RUU.

Disinyalir terdapat dua faktor yang menghambat percepatan pengesahan RUU MHA. Pertama, faktor ekonomi- politik, di mana saat ini mayoritas (55%) anggota DPR RI merupakan pebisnis (318 dari 575). Hal ini memperkuat indikasi terjadinya konflik kepentingan dalam penyusunan undang-undang, termasuk pada penyusunan RUU MHA. Kedua, disahkannya UU Cipta Kerja beserta peraturan-peraturan turunannya berpotensi menambah panjang daftar masalah yang dihadapi MHA sehingga pengakuan terhadap masyarakat adat semakin berjalan di tempat.

Dapatkan Madani’s Insight Juni 2021 “Menakar Perkembangan RUU Masyarakat Hukum Adat” dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

id_IDID