Madani

Tentang Kami

Menilik Hutan dalam Bingkai Bencana Lingkungan

Menilik Hutan dalam Bingkai Bencana Lingkungan

Direktur Eksekutif Yayasan Madani BerkelanjutanKeberadaan Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah tentu tak bisa dilepaskan dari ancaman kerusakan lingkungan hidup sebagai muara dari ekploitasi yang dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, safeguard lingkungan menjadi sesuatu yang sangat krusial di tengah laju pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang mapan. Secara umum safeguards diciptakan untuk melindungi hak asasi manusia dan lingkungan dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh proyek-proyek pembangunan, baik yang didanai oleh pemerintah maupun lembaga keuangan dalam dan luar negeri. Ini bertujuan agar pembangunan yang dijalankan tidak menjadi blunder di masa mendatang akibat nilai kerusakan lingkungan lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang didapat.

Secara sederhana, mari kita lihat laporan Bank Dunia pada bulan Februari 2016 tentang nilai kerugian dari bencana asap akibat dibakarnya hutan dan gambut dalam beberapa bulan sepanjang tahun 2015. Kerugian diperkirakan mencapai angka Rp221 triliun (US$16,1 miliar), sementara pendapatan dari produksi minyak sawit pada tahun 2014 hanya mencapai US$12 miliar. Nilai kerugian tersebut belum menghitung dampak jangka panjang pada orang yang terpapar asap selama periode bencana, termasuk risiko kehilangan jasa layanan ekosistem yang hampir tak terpulihkan.

Bencana kebakaran bukan saja memberikan dampak yang luar biasa secara sosial, ekonomi, dan lingkungan, akan tetapi yang paling penting untuk dilihat bersama adalah dampaknya pada penurunan pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2015 (USAID LESTARI, April 2016).

Merujuk kepada profil sumber daya kesiapsiagaan nasional dalam penanggulangan bencana tahun 2015 yang dikeluarkan oleh BNPB, tegas disebutkan bahwa kejadian bencana di Indonesia cenderung terus meningkat, baik dari segi intensitas, frekuensi, magnitudo, maupun sebarannya. Kebakaran hutan dan lahan merupakan satu dari dua belas jenis ancaman bencana yang berisiko tinggi berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa sebenarnya kesadaran pemerintah untuk memitigasi dan mereduksi bencana dengan menjaga kelestarian hutan telah ada sejak satu dekade terakhir. Hal tersebut juga tercermin dalam 18 Komitmen Jokowi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam yang disampaikan pada Konferensi Lingkungan Hidup Walhi di Jakarta pada 14 Oktober 2014, yang pada poin kelima berkomitmen untuk pemulihan pencemaran dan perusakan hutan, terdiri dari penurunan kebakaran hutan dan lahan secara mendasar.

Namun apa lacur, praktik penggundulan hutan besar-besaran masih terus berlangsung meski telah diketahui ada hubungan erat antara penggundulan hutan dengan meningkatnya intensitas bencana, khususnya pada bencana kebakaran hutan dan lahan. Hal tersebut kembali terungkap dalam laporan organisasi Mighty Asia Tenggara, SKP-Kame Merauke dan Yayasan Pusaka, yang diluncurkan pada 1 September 2016. Laporan berjudul Burning Paradise, The Oil Palm Practices of Korindo in Papua and North Maluku tersebut membongkar penghancuran besar-besaran hutan alam di Papua dan Maluku Utara seluas kota Seoul, Ibu kota Korea Selatan, untuk kepentingan industri minyak sawit. Selain itu turut ditemukan bukti yang cukup kuat antara praktik deforestasi dan pembakaran lahan untuk penyiapan perkebunan sawit sejak tahun 2013, sayangnya publik belum melihat adanya upaya penegakan hukum dan pemulihan lingkungan, bahkan mungkin tidak pernah terdata dalam daftar tersangka baik yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun kepolisian.

Situasi ini telah merobek-robek nurani dan akal sehat kita sebagai bangsa, mengingat jauh sebelumnya, Direktorat Jendral PHKA Kementerian Kehutanan juga pernah menunjukkan adanya dugaan 8,5 juta hektare lahan di kawasan hutan yang digunakan untuk perkebunan secara ilegal dan 8,8 juta hektare lahan di kawasan hutan telah digunakan untuk pertambangan secara ilegal (ICEL 2014). Hal ini diperkuat dengan temuan CIFOR yang mencatat setidaknya 4 juta hektare perkebunan sawit yang masih produktif dibangun melalui deforestasi. Bahkan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam RSPO sedikitnya telah merusak 20 ribu hektare lahan gambut kaya karbon pada tahun 2009.

Keberadaan hutan hujan yang memiliki fungsi sebagai penyeimbang ekosistem, daerah resapan air, penyeimbang siklus air, dan penyuplai oksigen yang turut mengatur iklim bumi karena menyimpan 300 miliar ton karbon, merupakan benteng terakhir dalam mitigasi dan mereduksi bencana. Hal tersebut sejalan dengan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menyatakan bencana ekologis yang tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia sepanjang tahun 2010, diakibatkan oleh terganggunya daur hidrologi dan daur siklus karbon.

Nampaknya, periode pemerintahan Jokowi merupakan masa-masa sulit bagi kelestarian hutan Indonesia. Terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2012, seharusnya tak membuat pemerintah semakin meloggarkan safeguard lingkungan hanya demi mendorong masuknya investasi. Langkah tersebut justru akan semakin menciptakan kerentanan yang bermuara pada peningkatan dan perluasan intensitas bencana. Secara perlahan meniadakan safeguard lingkungan yang salah satunya ditandai dengan kebijakan deregulasi 14 perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada September 2015, tentunya sangat bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi dalam hal perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

Berkaca dari dahsyatnya kejadian bencana yang terjadi, prinsip kehati-hatian mesti terus kita upayakan dan perkuat, khususnya dalam konteks pembangunan berbasis lahan yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam.

Bencana alam maupun bencana lingkungan, jika tidak bisa ditangani dengan benar dan tepat, dapat menghambat pembangunan nasional sebagaimana ditekankan dalam konsideran Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Saya dan seluruh warga negara Indonesia tentunya masih menunggu pemenuhan janji Presiden untuk menghadirkan negara guna menyelesaikan kesulitan bangsa secara berkeadilan dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Oleh Muhammad Teguh Surya

Related Article

Driving Deforestation: dampak meningkatnya permintaan minyak sawit melalui kebijakan biofuel

Driving Deforestation: dampak meningkatnya permintaan minyak sawit melalui kebijakan biofuel

Pada tahun 2015, sekitar 35 miliar liter biofuel (biodiesel dan diesel terbarukan) diproduksi dari lemak dan minyak nabati, terutama untuk konsumsi di Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Indonesia. Ini menciptakan permintaan akan minyak sawit kira-kira sebesar 8,2 juta ton untuk bahan baku biofuel (kebanyakan digunakan di Indonesia dan Uni Eropa) dan permintaan tidak langsung setidaknya sebesar 2,5 juta ton untuk menggantikan bahan baku biodiesel lainnya dalam berbagai penggunaan yang ada saat ini. Secara keseluruhan, 10,7 juta ton minyak sawit tersebut mewakili hampir seperlima dari total produksi minyak sawit dunia, yang menurut laporan FAO mencapai 57 juta ton pada tahun 2014 dan diperkirakan akan mencapai 65 juta ton pada tahun 2017. Secara global, produksi rata-rata minyak sawit selama 20 tahun terakhir kurang lebih stagnan. Dengan demikian, peningkatan produksi yang diperlukan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat ini dihasilkan melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang berdampak sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan simpanan karbon. Meningkatnya permintaan akan minyak sawit menjadi masalah, sebab ekspansi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia saat ini diasosiasikan secara endemik dengan deforestasi dan perusakan gambut. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam hal tata kelola, diperkirakan setidaknya sepertiga dari area perkebunan kelapa sawit yang baru akan dibuka dengan cara mengeringkan gambut, dan setengahnya akan menyebabkan deforestasi.

Untuk membaca selengkapnya, sila unduh laporan di bawah ini.

Related Article

NGASO: Masihkah Kita Punya Hutan di Masa Depan?

NGASO: Masihkah Kita Punya Hutan di Masa Depan?

Tahun 2009-2013, laju deforestasi di Indonesia sudah mencapai 1,13 juta hektare per tahun. Masihkah ada yang tersisa jika kerusakan itu dibiarkan berlanjut? Madani Berkelanjutan dan Forest Watch Indonesia menghadirkan ajang diskusi NGASO bersama narasumber:

1. Soelthon G. Nanggara (FWI)
2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, MSc (IPB)
3. Arief Wijaya (WRI Indonesia)

Mari bergabung pada Jumat 25 Mei 2018 di markas Forest Watch Indonesia, Jalan Sempur Kaler No. 62, Bogor. Pukul 15:00 hingga selesai. Gratis!

Sampaikan kedatanganmu di sini.

Untuk informasi lebih dalam, sila menghubungi Amel (085782419992).

Related Article

Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sawit berkelanjutan untuk kepentingan nasional sejatinya bukan hanya terletak pada nilai ekonomi saja, termasuk daya dukung lingkungan.

Sejumlah lembaga dari Eropa, mengatakan industri sawit telah terbukti berkontribusi terhadap deforestasi. Meskipun begitu, mencari minyak nabati pengganti sawit juga bukan pekerjaan mudah. Hal ini mengemuka dalam Konferensi Internasional tentang Minyak Sawit dan Lingkungan (International Conference on Palm Oil and Environment/ICOPE) 2018 pada Jumat (27/4/18).

Konferensi dua tahunan berlangsung tiga hari ini diadakan lembaga lingkungan WWF Indonesia, perusahaan sawit Sinar Mas Agrobusiness and Food, dan lembaga riset dari Prancis CIRAD di Nusa Dua, Badung, Bali.

James Fry, Ketua LMC Internasional–lembaga konsultasi independen Eropa di bidang ekonomi dan lingkungan terutama di sektor agribisnis–, mengatakan, laporan mereka bersama lembaga 3keel untuk Komisi Eropa, ada bukti perluasan perkebunan sawit menyebabkan deforestasi, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keragaman hayati.

Masalah lain yang terjadi, katanya, karena perluasan kebun sawit adalah masyarakat adat dan warga lokal terpinggir. “Industri ini telah mengeksploitasi tenaga kerja dan penggunaan tenaga kerja anak-anak,” katanya.

Dari sisi deforestasi, katanya, 55% dari total hilangnya tutupan hutan di Indonesia pada kurun waktu 2000-2015 terjadi di hak pengelolaan hutan (konsesi) legal. Dari luas itu, sepertiga di antaranya terjadi karena perkebunan sawit.

Masalah lain juga terjadi di lahan gambut. Menurut laporan LMC International dan 3keel, sekitar 3,1 juta hektar lahan gambut telah dikonversi jadi lahan kebun sawit sampai 2015. Luas itu setara 21% luas lahan gambut di Malaysia dan Indonesia.

Di Indonesia, perkebunan sawit telah memicu kebakaran hutan. Sekitar 19% kebakaran lahan pada 2015 terjadi di perkebunan sawit. Pada dua pulau penghasil sawit Indonesia, Kalimantan dan Sumatera, 16,6% kebakaran terjadi di perkebunan sawit juga.

“Pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, untuk membuka lahan sawit juga jadi penyumbang utama gas rumah kaca,” kata salah satu kesimpulan laporan.

Sisi lain, sawit juga berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani kecil di negara-negara produsen sawit. Terutama, katanya, di dua negara utama penghasil sawit dunia, Malaysia dan Indonesia.

“Ini membuktikan, perkebunan sawit telah menyumbang pembangunan wilayah pedesaan. Manfaat ini, juga harus jadi pertimbangan juga ketika melihat dampak sosial dan lingkungan industri sawit.”

Dari laporan setebal 396 halaman itu, Malaysia dan Indonesia, menghasilkan sekitar 90% minyak sawit dunia. “Karena itu, membahas solusi atas masalah industri sawit tak mungkin bisa dilakukan tanpa melibatkan Indonesia dan Malaysia,” katanya.

Dari sisi pemasaran, Eropa merupakan pasar terbesar konsumen minyak sawit maupun produk turunan. Fray mengatakan, wilayah lain dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan jumlah penduduk besar seperti Tiongkok dan India juga mulai jadi tujuan pemasaran.

Permintaan sawit tinggi, katanya, hingga mustahil negara-negara Eropa menghentikan impor minyak sawit, termasuk mengganti dengan nabati lain, seperti kedelai ataupun kanola. Minyak kedelai, dulu jadi pilihan pertama sebelum tergantikan sawit, pun tak bisa jadi pilihan terbaik. Selain karena memerlukan lahan lebih luas, komoditas ini juga termasuk genetic modified organism (GMO), sesuatu yang lebih dibenci konsumen Eropa dengan alasan lingkungan.

“Konsumen di Eropa, tak akan mengonsumsi minyak kedelai karena produk GMO. Super market harus memasang label GMO di produknya dan konsumen pasti tak akan membeli,” katanya.

Dari sisi penggunaan lahan, sawit juga masih paling kecil dibandingkan minyak nabati lain yaitu kedelai, bunga matahari, dan kanola.

Dia bilang, sertifikasi sawit berkelanjutan bisa menjawab isu-isu negatif karena dampak buruk sawit dari Indonesia dan Malaysia. Beberapa model sertifikasi sawit seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bisa jadi jawaban.

“Indonesia juga sudah mulai serius menangani masalah akibat sawit dengan membuat kebijakan terkait deforestasi, hilangnya keragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca.”

Perlu berimbang

Pendapat serupa datang dari Manajer Program Pembangunan Berkelanjutan European Palm Oil Alliance (EPOA) Eddy Esselink. “Berdasarkan diskusi dua hari ini, terlihat banyak upaya mengatasi masalah dan memperbaiki kondisi,” katanya.

Hal itu, sejalan pula dengan terus meningkatnya permintaan minyak sawit berkelanjutan di pasar Eropa.

Esselink menyebutkan, perhatian negara-negara Eropa terhadap perlunya minyak sawit berkelanjutan mulai 2014. Beberapa negara Eropa, seperti Belanda dan Prancis, menggagas debat soal minyak sawit. Diskusi berlanjut hingga muncul Deklarasi Amsterdam pada 2016 sebagai bentuk komitmen negara-negara Uni Eropa untuk beralih ke minyak sawit berkelanjutan.

“Kami berkomitmen menggunakan 100% minyak sawit berkelanjutan pada 2020,” katanya.

Komitmen ini, disepakati anggota-anggota EPOA yang datang dari beragam latar belakang, terutama sektor industri makanan, konsumen terbesar minyak sawit. Beberapa organisasi non-pemerintah, seperti Greenpeace, Conservation International, dan WWF juga termasuk pendukung inisiatif minyak sawit berkelanjutan.

Menurut dia, rencana memboikot minyak sawit oleh sebagian produsen makanan di Eropa bukanlah jalan keluar yang tepat. Mereka harus melihat sisi lain agar lebih berimbang bahwa minyak sawit berkontribusi menghilangkan kemiskinan, salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Memboikot minyak sawit hanya akan menimbulkan masalah baru bagi negara-negara produsen.

“Sebagaimana teman-teman NGO (lembaga non pemerintah-red) bilang, no palm oil is no solution. Inilah saatnya kita bekerja sama baik dari organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, maupun pemerintah. Mari kita gunakan pendekatan kolaboratif.”

Sawit berkelanjutan, seperti apa?

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan memberikan pandangan. Dia bilang, sawit berkelanjutan untuk kepentingan nasional sejatinya bukan hanya terletak pada nilai ekonomi saja, termasuk daya dukung lingkungan.

Meskipun tak menutup mata sawit memiliki nilai ekonomi tinggi bukan sikap bijak kalau lahan dan hutan tersisa jadi konversi menjadi sawit. Kondisi ini, katanya, malah bisa meningkatkan kerentanan sebagai bangsa.

Seharusnya, kata Teguh, Indonesia bisa belajar kala era keemasan hak pengusahaan hutan (HPH), minyak dan gas. “Sumber daya alam itu habis. Kita gagap mencari penopang ekonomi yang baru, yang tersisa hanya bencana lingkungan yang tidak bisa ditanggulangi bahkan cenderung meningkat seperti longsor, banjir, krisis air bersih, dan lain-lain,” katanya kepada Mongabay, Kamis (10/5/18).

Ada sertifikasi ‘sawit berkelanjutan’ baik wajib dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah itu pertanda bagus. Namun, katanya, kedua sistem sertifikasi itu hanya alat bukan obat mujarab. Tanpa ada komitmen jelas dan disiplin dari pemerintah untuk benar-benar memperbaiki tata kelola industri sawit nasional demi kepentingan bangsa, katanya, sistem apapun tak akan menguntungkan.

Dia bilang, banyak temuan lembaga negara seperti jutaan hektar sawit ilegal, sawit merambah taman nasional, perusahaan sawit tak bayar pajak sampai penggelapan pajak, masyarakat lokal (adat) tergusur, konflik berkepanjangan bahkan tak jarang menimbulkan korban nyawa.

“Ini tindaklanjutnya apa? Alih-alih bersama-sama menyatakan yang mengungkapkan fakta sebagai black campaign. ini kan ngawur…..dan mengindikasikan tak ada niat untuk memperbaiki,” katanya..

Saat ini, katanya, kondisi nyata di lapangan ‘sawit sukses” itu adalah jadikan masyarakat sebagai buruh. “Yang menguasai bisnis ini dan paling untung korporasi kok, sebagian besar asing pulang alias berbendera negara tetangga,” katanya.

Teguh merujuk kajian KPK soal tata kelola sawit 2016. Dalam kajian KPK itu antara lain menyebutkan, luas lahan perkebunan sawit di Indonesia tahun 2015 seluas 15,7 juta hektar. Perkebunan sawit dikelola perusahaan swasta seluas 10,7 juta hektar (68%), BUMN 493,700 hektar (3%) dan perkebunan rakyat 4,4 juta hektar (29%).

“Yayasan Madani percaya, krisis ekologi dapat mengganggu stabilitas ekonomi jangka panjang. Untuk itu, moratorium izin baru sawit, peninjauan kembali izin dan penegakan hukum. “Ini bisa jadi awal yang baik bagi Indonesia bebenah agar sawit menguntungkan, dalam makna sebenarnya, itu benar-benar terjadi.”

Sumber: Mongabay, 10 Mei 2018.

Related Article

id_IDID