Madani

Tentang Kami

Catatan Hutan Indonesia 2019

Catatan Hutan Indonesia 2019

Baik, buruk, terang dan juga gelap kondisi hutan Indonesia saat ini dapat dikatakan tersaji cukup apik sepanjang 2019. Beragam kasus, problematika, dan peristiwa telah terjadi mulai dari kontroversi ekspansi sawit di kawasan hutan yang kian masif, perhutanan sosial, pasar karbon, kemudian hal yang paling mengelus dada tidak lain adalah kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta banyak permasalahan lainnya.


Jika melirik dari tiga bulan tertinggi saja, Madani Berkelanjutan menemukan titik panas (hot spot) sebanyak 13.029 di Agustus 2019, kemudian meningkat signifikan pada September yakni sebanyak 50.267 titik panas, dan kembali mereda di Oktober menjadi 19169. Jika dilakukan deliniasi melalui peta terhadap temuan tersebut, maka pada Agustus tersebut terdapat seluas 1.420.254 ha terbakar, 5.146.046 ha pada September, dan 5.222.911 ha pada Oktober ini. Penyebab luasan lahan terbakar lebih besar pada Oktober 2019, karena titik panas di Oktober tersebut tersebar dengan rentang yang cukup jauh sehingga mencakup kawasan persebaran yang lebih besar.

Fakta menarik lain yang timbul bersamaan dengan karhutla yang masif adalah peningkatan partikel berbahaya yakni PM 2.5 di udara. Bencana asap akibat dari karhutla memang telah usai bersamaan padamnya sejumlah titik api, namun kenyataannya, bencana belum benar-benar berakhir. Peningkatan PM 2.5 menjadi hal serius yang patut dipertimbangkan. Madani Berkelanjutan juga menemukan bahwa 1.253 perusahaan patut bertanggungjawab terhadap gas beracun PM2.5 selama periode Karhutla 2019.  Beragam peristiwa yang menyangkut kepentingan hutan tersebut jelas wajib menjadi patokan, rujukan, dan pembelajaran untuk banyak pihak tanpa terkecuali demi mencapai impian kelestarian hutan di masa yang akan datang. 

Hutan Indonesia

Tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia dapat dikatakan sebagai surga hutan karena luasan kawasan hutan dan tutupan hutan yang cukup besar di dunia. Hal ini tentu membuat posisi Indonesia menjadi penting di kancah internasional, apalagi setelah KTT PBB perubahan iklim yakni The 25th session of the Conference of the Parties (COP25) yang diselenggarakan di Madrid awal Desember yang lalu berakhir mengecewakan.

Namun, dalam hal ini Indonesia sendiri tidak memiliki komitmen yang tinggi untuk melestarikan hutan yang tersisa. Bagaimana mungkin Indonesia akan berkontribusi lebih dengan meningkatkan ambisi iklimnya jika hutan terus mengalami deforestasi. Jika melihat data secara keseluruhan tentang hutan(2018), maka akan terlihat bahwa luasan tutupan hutan alam di Indonesia mencapai 88,7 juta Ha atau setara dengan 46,72 persen terhadap luas administrasi. Terkait dengan hal ini, 5 Provinsi dengan luasan hutan alam terluas di tanah air adalah Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara, dengan indikator bahwa provinsi tersebut memiliki persentase lebih dari 60 persen luasan hutan alam seluruh wilayah Indonesia.

Dari luas tutupan hutan tersebut, Madani Berkelanjutan menganalisis 5 konsesi dan 2 peruntukan lahan yang sudah dialokasikan terdiri dari migas, minerba, sawit, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam hutan tanaman industri (IUPHHK HT), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK HA), Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB), dan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Hasil dari analisis tersebut, Sumatera didominasi oleh migas, Kalimantan didominasi oleh sawit dan HPH, Jawa didominasi oleh migas, Nusa Tenggara didominasi oleh minerba, Papua didominasi oleh minerba, HPH, migas, Sulawesi oleh minerba dan migas, sedangkan Maluku didominasi oleh HPH.

Kemudian, analisis statistik untuk luasan area tumpang tindih dari 5 perizinan dengan luas PIPPIB 2019 (66.087.238,98 Ha) ditemukan tumpang tindih yakni luas PIAPS dalam PIPPIB 2019 seluas 4.775.931,98 Ha dari Total 11.022.312,93 Ha setara dengan 43,33 persen. Dari sebaran konsesi dan peruntukan lahan, tersisa hutan alam belum terbebani Izin, area ini ditemukan seluas 9,5 juta Ha atau setara dengan 10,76 persen terhadap luasan hutan alam nasional.

Dalam kasus ini, Papua menjadi provinsi dengan luas hutan yang terbebani izin paling besar di Indonesia yakni seluas 1,3 juta Ha. Jika kita lihat fungsi kawasan dari 9,5 juta tersebut, hanya 62,8 ribu Ha yang masuk kawasan hutan lindung. Bukan hanya itu, data ketiga data tersebut setidaknya 151 lokasi Proyek strategis Nasional selama 2014-2019, dari data tersebut ada 3 kategori yaitu dinyatakan selesai, drop, atau lanjut. Untuk kategori lanjut akan dilaksanakan pada RPJMN 2020-2024.


Setidaknya ada 39 lokasi dari total 91 lokasi PSN atau setara dengan 42,85 %, lokasi pelaksanaan proyek strategis nasional yang berada di dalam radius 15 Km dari hutan alam. Artinya meski tidak serta merta ada di dalam hutan Alam namun karena berada tidak jauh dari hutan alam sehingga terdapat indikasi kontribusi deforestasi yang akan terjadi pada pelaksanaan PSN. Sehingga perlu dicermati lebih jauh dari pelaksanaan PSN ini sendiri.


Data-data tersebut tentu menunjukkan bahwa ternyata Indonesia masih tidak konsisten dan tidak benar-benar serius dalam menjalankan regulasi khususnya terkait dengan kepentingan hutan. Padahal, hutan adalah bagian penting yang membuat Indonesia punya keunggulan tersendiri dibandingkan banyak negara lain. Tentu kita berharap, pekerjaan rumah ini yang bak benang kusut segera terurai. Ya, begitulah setidaknya resolusi hutan Indonesia untuk 2020 bahkan beberapa tahun yang akan datang.

Penulis : Delly Ferdian

Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini telah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 30 Desember 2019

Related Article

Mendorong Insentif Fiskal Ekologis

Mendorong Insentif Fiskal Ekologis

Tidak dapat dimungkiri alokasi anggaran pusat ke daerah melalui mekanisme transfer pusat  ke daerah merupakan bagian yang teramat penting dalam agenda meruntuhkan kesenjangan antara pusat dan daerah. Tentunya, penggelontoran sejumlah anggaran tersebut diharapkan mampu menjadi stimulus bagi daerah untuk berkembang. Namun, bukan malah menjadi kreatif dan kuat secara domestik, stimulus fiskal tersebut malah membuat candu dan ketergantungan.

Selama ini, daerah khususnya instansi dan lembaga pemerintahannya, berpatokan kepada serapan anggaran belaka. Tiap tahunnya organisasi pemerintahan daerah (OPD) hanya mengajar spending semata. Alhasil, anggaran yang dikucurkan dapat dibilang terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif.  Oleh karena itu, hemat saya, mekanisme transfer fiskal di Indonesia sudah seharusnya berpedoman pada prinsip penyaluran anggaran berbasis kinerja “money follow performance”. 

Harapannya, dengan mekanisme ini daerah akan berpacu untuk memberikan hasil terbaik bukan lagi berpacu dalam menghabiskan uang semata. Prestasi pelayanan publik pun jelas akan dikejar. Tentu anggaran yang dikucurkan akan jauh lebih bermanfaat karena digunakan untuk aktivitas yang produktif. 

Paradoks Hutan

Ketika mekanisme transfer berbasis kinerja diterapkan, daerah pun senantiasa akan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Salah satu potensi yang akan tergarap dengan mekanisme transfer ini adalah potensi pelestarian hutan. 

Sangat kita ketahui, selama ini tidak sedikit pihak yang menganggap bahwa hutan adalah kutukan. Bukan hanya daerah yang sependapat dengan hal ini, dunia pun mengakui bahwa negara yang memiliki sumber daya alam yang besar cenderung sulit untuk berkembang secara ekonomi. Inilah yang disebut sebagai paradoks keberlimpahan (paradox of plenty).

Tentu jika paradoks tersebut menjadi momok yang menakutkan, Indonesia sebagai negara yang berdaulat akan sulit untuk bergerak maju. Namun, sebagai negara yang kuat dan punya visi besar, Indonesia harus berani mengatakan kepada dunia bahwa paradoks tersebut tidak berlaku di Indonesia karena Indonesia punya cara untuk mengelola hutan menjadi aset yang tidak ternilai.

Dalam konteks ekonomi hijau, jika sumber daya alam khususnya hutan dapat dikelola dengan baik, maka pertumbuhan juga akan lebih berkualitas. Semakin rendah tingkat deforestasi di sebuah negara, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas.


Insentif Fiskal

Secara global, Indonesia sendiri memiliki komitmen dalam penyelamatan krisis iklim dunia yang termanifestasi ke dalam Nationally determined contributions (NDC). Terkait dengan hal ini, Indonesia memasang target sebesar 26 persen dengan kemampuan sendiri, dan 41 persen dengan dukungan berbagai pihak. 

Dalam mencapai komitmen NDC tersebut, pemerintah Indonesia bersama banyak stakeholder mendorong banyak alternatif untuk mencapai target NDC, seperti rancangan pembangunan rendah karbon (PRK) yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kemudian peluncuran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dimotori Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Selain itu, belakangan ini muncul wacana inisiatif pemberian insentif fiskal berbasis ekologi. Komitmen pemberian insentif fiskal tersebut diutarakan sendiri oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan insentif kepada daerah melalui skema dana perlindungan lingkungan (DPL).

Sejalan dengan skema tersebut, masyarakat sipil bersama sejumlah praktisi ekonomi dan pemerhati lingkungan mendorong wacana transfer serupa berupa insentif untuk daerah yang menjaga hutan dan alamnya dengan mekanisme transfer anggaran nasional berbasis ekologi (TANE). Wacana ini pun berkembang menjadi mekanisme transfer anggaran provinsi berbasis ekologi (TAPE) untuk alokasi anggaran kepada provinsi dan mekanisme transfer anggaran kabupaten berbasis ekologi (TAKE) untuk alokasi anggaran kepada kabupaten. 

Terkait dengan payung hukumnya, mekanisme TAPE dan TAKE ini pun ditunjang oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.12 tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 45 dan 67 mengenai bantuan keuangan. Khusus untuk TAKE,  PP No.47 Tahun 2015 tentang Perubahan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa ikut memperkuat gagasan ini sehingga wacana ini sangat rasional dan realistis untuk diterapkan.

Kepercayaan bahwa selama ini banyak daerah yang merasa tidak diperhatikan walaupun telah berkomitmen untuk menjaga alamnya terutama hutan yang mereka miliki, menjadi landasan awal wacana ini berkembang. Faktanya, alokasi anggaran pusat selalu saja mengalir kepada daerah yang terjadi kerusakan hutan seperti adanya peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

Dengan apresiasi berupa insentif fiskal, daerah yang menjaga hutannya menjadi lebih percaya diri bahkan akan lebih kreatif untuk menjaga hutannya. Bukan tidak mungkin, hutan yang selama ini dianggap kutukan, akan dianggap sebagai berkah karena memiliki manfaat yang berlimpah.

Dengan hutan, masyarakat dapat mengembangkan perhutanan sosial yang artinya pemerintah mendorong penguatan ekonomi domestik dari dalam. Selain itu kualitas iklim pun ikut tertolong dengan komitmen pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Ibarat kata nawacita Jokowi yakni membangun Indonesia dari pinggiran, maka dengan mekanisme ini pemerintah daerah dan masyarakat dapat membantu membangun Indonesia dari pinggiran tersebut dengan cara membangun Indonesia dari hutan. (*)

Oleh : Delly Ferdian

Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres, edisi 14 Desember 2019.

Related Article

Madani Monthly Updates on Indonesia Political Situation Desember 2019

Madani Monthly Updates on Indonesia Political Situation Desember 2019

Dinamika konstelasi politik merupakan salah satu hal yang patut ditinjau oleh para penggiat sosial lingkungan hidup mengingat politik merupakan alat konfigurasi distribusi sumber daya serta perilaku publik. Oleh karenanya, Madani secara berkala membuat update dan analisis terkait dinamika politik lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang diterbitkan setiap bulannya. 

Dalam Monthly Updates on Indonesia Political Situation edisi November 2019 – Minggu Pertama Desember 2019, terdapat beberapa peristiwa politik yang patut menjadi perhatian. Peristiwa politik yang dimaksud adalah sebagai berikut: 

1. Nasib KPK: Jokowi menahan diri untuk tidak mengeluarkan Perppu untuk memulihkan wewenang KPK. 

Hal ini disinyalir karena faktor struktural Jokowi yang tidak memiliki ‘kendaraan’ infrastruktur politik serta visi Jokowi yang lebih menekankan sisi pembangunan ekonomi sehingga menjadikan dirinya abai terhadap sektor yang lain. Tiadanya upaya untuk mengembalikan otoritas KPK ini menjadikan potensi korupsi pada sektor sumber daya alam menjadi lebih tinggi; 

2. Wacana Pemilukada Tidak Langsung

Wacana ini pertama kali bergulir dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyebut bahwa ongkos politik yang mahal membuat adanya potensi perilaku koruptif dari kepala daerah terpilih untuk mengembalikan ongkos politik yang dikeluarkan pada saat kontestasi. Oleh karenanya kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi berupa praktek perburuan rente. Salah satu sektor yang berpotensi untuk dikorupsi dan kerap dijadikan medium untuk perburuan rente menjelang dan sesudah Pemilukada langsung adalah sektor sumber daya alam; 

3. Wacana Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Hal yang paling disorot dalam wacana amandemen ini adalah perihal berubahnya periodisasi masa jabatan Presiden dan perubahan mekanisme pemilihan Presiden yang dikembalikan lagi kepada MPR. Wacana tersebut dinilai tidak sejalan dengan agenda demokratisasi yang dicanangkan pada saat Reformasi. Selain itu, dari wacana amandemen yang bergulir, tidak ada yang menyasar penguatan posisi isu lingkungan hidup dalam konstitusi; 

4. Wacana Pemekaran Papua

Wacana ini pertama kali bergulir pada saat beberapa tokoh adat bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara awal September 2019 dengan usul 5 pemekaran wilayah sesuai dengan wilayah adat. Ada beberapa hal yang dikhawatirkan apabila pemekaran daerah tersebut diimplementasikan diantaranya; Pertama, dominasi penduduk dari luar dan marginalisasi orang asli Papua; Kedua , beban birokrasi yang berbiaya tinggi dan potensi korupsi; Ketiga , ekspansi korporasi yang dikhawatirkan akan merampas tanah adat, hutan, dan sumber daya alam lainnya; Keempat , potensi makin leluasanya negara dalam melakukan tindakan represif; Kelima , konflik horizontal antar kelompok; Keenam , orang Papua melihat bahwa pemekaran daerah merupakan strategi penaklukan dan penguasaan. 

5. Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020

Usulan ratusan RUU baik usulan Prolegnas jangka menengah maupun usulan Prolegnas Prioritas tahun 2020 yang datang dari parlemen dan pemerintah ini memiliki peluang dan tantangan tersendiri. Terdapat beberapa RUU yang didorong untuk disahkan karena RUU tersebut berpeluang untuk meningkatkan perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat. Tetapi tantangan dari usulan Prolegnas tersebut adalah diusulkannya kembali RUU yang bermasalah dan omnibus law yang berpotensi dapat mendegradasi standarisasi lingkungan hidup serta hak masyarakat adat.

Related Article

Kontribusi Perhutanan Sosial Terhadap Pencapaian NDC Indonesia : Studi Kasus KPH Bukit Barisan

Kontribusi Perhutanan Sosial Terhadap Pencapaian NDC Indonesia : Studi Kasus KPH Bukit Barisan

Perhutanan Sosial merupakan program nasional yang bersifat solutif dalam menjawab ketimpangan dan konflik penguasaan lahan, pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. 

Melalui program ini, hak pengelolaan dan akses masyarakat terhadap hutan diakui secara legal. Sehingga masyarakat turut memiliki andil dan dapat berpartisipasi dalam mitigasi dan pengendalian perubahan iklim khususnya di sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan.

Saat ini sedikitnya pemerintah telah memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat melalui program perhutanan sosial seluas 4,048 juta hektare dari alokasi 12,7 juta hektare. Namun, belum secara signifikan dapat dinilai kontribusinya dalam penurunan emisi GRK.

Melihat potensi ini, Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate and Society telah menyelesaikan studi pemetaan kontribusi perhutanan sosial terhadap pencapaian NDC Indonesia. Studi ini dilakukan di tiga wilayah Perhutanan Sosial dalam Kesatuan Pengusahaan Hutan (KPH) Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Barat.

Untuk mengetahui lebih lengkap terkait dengan kajian ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Perburuan Rente Hantui Pilkada?

Perburuan Rente Hantui Pilkada?

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada tahun 2020 yang akan dilaksanakan serentak di 270 daerah, muncul wacana perubahan mekanisme dari pemilihan langsung oleh rakyat ke pemilihan tidak langsung – menjadikan DPRD wilayah setempat berwenang memilih kepala daerahnya. Wacana tersebut datang mengingat ongkos politik di Indonesia yang sangat mahal.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang menyebutkan bahwa lembaganya pada tahun 2012 melakukan riset yang menunjukkan bahwa calon bupati atau walikota membutuhkan uang sebesar Rp 20-50 miliar untuk berkompetisi dalam Pilkada.

Sementara, penghasilan kepala daerah bila dihitung bersih hanya berkisar Rp 50 juta per bulan atau Rp 3 Miliar selama lima tahun masa jabatan. Oleh karenanya, para calon kepala daerah dinilai mencari cara untuk mendanai ongkos politik yang terlewat mahal tersebut. Salah satu cara yang kerap ditempuh oleh calon kepala daerah adalah melalui praktik perburuan rente (rent-seeking).

Praktik ini berkembang melalui pendanaan kampanye di mana donatur memberikan dana kepada calon kepala daerah dengan syarat bahwa calon kepala daerah tersebut – apabila terpilih – akan memberikan kemudahan perizinan dalam berbisnis hingga kemudahan keterlibatan dalam lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah kepada donator tersebut. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) setidaknya mencatat pada tahun 2017-2018 – atau tepatnya pada saat pelaksanaan Pilkada berlangsung, terdapat 170 izin tambang baru yang dikeluarkan.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015 mencatat bahwa dari 286 calon kepala daerah yang gagal memenangkan kontestasi, 161 di antaranya mengakui bahwa donator yang mendanai pendanaan kampanyenya mengharapkan adanya balasan di kemudian hari.

Mahalnya ongkos politik di Indonesia disinyalir karena calon kepala daerah memerlukan logistik-logistik kampanye untuk menggaet hati para pemilih. Bahkan, menurut survei yang dilakukan oleh Charta Politika pada tahun 2019 di Jakarta menunjukkan bahwa politik uang menjadi hal yang dimaklumi oleh 58,2% dari 2.400 responden.

Artinya, mayoritas masyarakat masih berkutat dengan ekonomi dan hal ini menyebabkan masyarakat memiliki perilaku memilih yang pragmatis alih-alih rasional. Dalam beberapa riset, untuk mencapai demokrasi yang ideal – salah satunya dimanifestasikan oleh rasionalnya perilaku memilih dari masyarakat, dibutuhkan minimal enam ribu dolar Amerika Serikat (AS) (sekitar Rp 84 juta) per kapita berdasarkan daya beli paritas.

Namun, kenyataannya posisi pendapatan per kapita Indonesia berdasarkan daya beli paritas hanya memiliki pendapatan sebesar empat ribu dolar AS (sekitar Rp 56 juta). Tentu, menjadi kerawanan tersendiri apabila melihat kenyataan demikian karena Indonesia belum mencapai ambang batas pendapatan per kapita yang aman untuk mencapai demokrasi yang ideal.

Untuk itu, Pilkada asimetris boleh saja menjadi opsi terbaik yang dapat diterapkan saat ini. Pemilu asimetris merupakan mekanisme pemilihan campuran berdasarkan kemampuan di tiap daerah. Dalam konteks Indonesia, sebenarnya pemilu asimetris sudah dilaksanakan di beberapa daerah, seperti di Aceh, DKI Jakarta, Yogyakarta, hingga Papua. Perbedaan sosial, budaya, geografis, hingga kemampuan ekonomi serta pembangunan sumber daya manusia di tiap daerah menjadi benang merah mengapa Pilkada asimetris menjadi opsi yang patut dicoba.

Selain itu, kebijakan one size fits all tidaklah cocok diterapkan di daerah yang memiliki kemajemukan kondisi. Pemilu asimetris ini sudah mulai dipertimbangkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan diperintahkannya Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri agar membuat indeks kedewasaan demokrasi. Nantinya, indeks kedewasaan demokrasi akan menentukan mana daerah yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung dan mana daerah yang menggunakan mekanisme pemilihan lewat DPRD setempat.

Akan tetapi, ke depannya, pemilihan secara langsung harus tetap dilaksanakan. Hal ini penting mengingat pemilihan secara langsung merupakan salah satu sarana untuk penguatan peran masyarakat dalam konstelasi politik. Selain itu, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi – tepatnya pada Pasal 6A ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terlihat bahwa sistem pemerintahan presidensial merupakan corak yang berusaha dibangun dan diperkuat. Dengan demikian, untuk membangun dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial, kepala daerah sebaiknya juga dipilih langsung oleh rakyat.

Agar dampak negatif dari Pilkada langsung – berupa ongkos politik yang mahal – dapat dicegah, pemerintah perlu menjaga pertumbuhan ekonomi tumbuh secara merata. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% di tengah ketidakpastian global memang patut diapresiasi. Namun, faktanya besaran persentase pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Hal ini terlihat dari peringkat kesenjangan Indonesia yang menempati posisi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.

Bahkan, berdasarkan catatan Lembaga Keuangan Swiss Credit Suisse, satu persen warga Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Untuk itu, program-progra pemberdayaan masyarakat yang konstruktif – seperti program pemberdayaan UMKM yang keluar dari rutinitas atau metode businesss as usual, hingga pemerataan akses pendidikan kepada masyarakat sebagai jalan untuk menghapus kemiskinan struktural – adalah sekelumit cara untuk mengurangi kesenjangan tersebut.

Dengan pemerataan ekonomi yang baik, perilaku memilih dari masyarakat beralih dari sifatnya yang mulanya pragmatis untuk memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi lebih rasional sehingga pemimpin yang terpilih tersebut dipilih berdasarkan kapasitas dan kompetensi. Perubahan perilaku memilih masyarakat yang lebih rasional juga diharapkan akan memangkas ongkos politik yang ada sehingga praktik perburuan rente makin bisa diminimalisir.

Selain pemberdayaan masyarakat secara ekonomi, hal yang patut tetap dijadikan perhatian oleh pemerintah adalah adanya ruang yang tetap terbuka bagi masyarakat untuk turut serta dalam proses kebijakan publik melalui prinsip tata kelola pemerintahan yang bersifat good governance. Prinsip ini menjadikan masyarakat memiliki daya tawar yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik.

Masyarakat tidak lagi hanya dijadikan objek dari kebijakan publik, melainkan juga dijadikan subjek pembuatan kebijakan publik sebagai stakeholder. Selain itu, prinsip ini dapat menjadikan proses checks and balances dari rakyat kepada pemerintah berjalan dengan baik. Hal ini dapat menutup rantai praktik perburuan rente karena masyarakat secara terbuka dan berkala dapat melakukan pengawasan kepada pemerintahan. Berkaitan dengan tata kelola good governance, salah satu hal yang harus dipenuhi adalah aspek akuntabilitas dan transparansi sebagai prasyarat mencapai prinsip tersebut.

Namun, faktanya keterbatasan akses data oleh masyarakat – seperti data Hak Guna Usaha (HGU) lahan – menjadi hal yang kontraproduktif dengan aspek akuntabilitas dan transparansi dalam agenda tata kelola good governance. Untuk itu, demokratisasi data kepada publik penting dilakukan agar membuka ruang bagi masyarakat guna turut serta dalam setiap proses perumusan kebijakan publik.

Ketersediaan data menjadi hal yang penting bagi masyarakat karena basis argumen masyarakat untuk mengusulkan suatu hal dalam proses perumusan kebijakan publik adalah data. Selain itu, data juga menjadi basis bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan sehingga kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tepat guna – sebagai akibat dari praktek perburuan rente – dapat dihindari.

Oleh : M. Arief Virgy

Insight Analyst di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah ditayangkan di laman Pinter Politik pada 11 Desember 2019.

Related Article

Perhutanan Sosial Membantu Memenuhi Komitmen Iklim Indonesia

Perhutanan Sosial Membantu Memenuhi Komitmen Iklim Indonesia

Salah satu program prioritas nasional Pemerintah Indonesia yakni perhutanan sosial memiliki potensi besar untuk membantu Indonesia memenuhi komitmen iklimnya, tentu secara nasional yakni pencapaian komitmen iklim Indonesia melalui NDC.

Target NDC saat ini mengharuskan negara untuk mengurangi emisi di sektor kehutanan oleh 497 Mton CO2e dengan miliknya sendiri upaya hingga 650 Mton CO2e dengan dukungan internasional dari Tingkat BAU pada tahun 2030. Ini berarti bahwa sektor ini memiliki beban tugas mencapai sekitar 60% dari Indonesia tanpa syarat dan emisi bersyarat target pengurangan pada tahun 2030. 

Banyak dari target ini direncanakan dipenuhi dengan mengurangi keduanya yang direncanakan dan deforestasi yang tidak terencana. Untuk memenuhi NDC tanpa syarat target, dari 2018 hingga 2030 Indonesia harus mempertahankannya deforestasi tidak melebihi 3,963 juta hektar dengan hanya 0,845 juta hektar tersisa untuk memenuhi
target bersyarat.

Untuk mengetahui lebih lanjut policy input ini, silakan unduh materi yang tersedia di tautan di bawah. Semoga bermanfaat.

Related Article

Perhutanan Sosial Dapat Berkontribusi Signifikan Untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Perhutanan Sosial Dapat Berkontribusi Signifikan Untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

[Kabar dari Madrid] Nadia Hadad, Strategic Development Director Yayasan Madani Berkelanjutan pada 5 Desember 2019 memaparkan kontribusi Perhutanan Sosial dalam mencapai komitmen iklim Pemerintah Indonesia. Paparan ini disampaikan dalam sesi “Strengthening the Contribution of Non State Actors – including Communities – through Improved Access to Finance” di Paviliun Indonesia pada COP 25 di Madrid, Spanyol

Paparan ini didasarkan pada pembelajaran dari 3 wilayah Perhutanan Sosial di KPH Bukit Barisan di Sumatera Barat, yaitu KTH Putra Amdam Dewi, LPHN Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran yang mengalami penurunan illegal logging sebesar 83,68% dengan penurunan emisi sebesar 483.941 tCO2/tahun. Setelah mendapatkan izin Perhutanan Sosial, masyarakat beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata. Dan karenanya berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi. 

Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga wilayah ini mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025% dari target NDC, dan potensi penurunan emisi dari degradasi sebesar 0.05% (483.941 tCO2/tahun) serta dari rehabilitasi sebesar 0.024% (226.246 tCO2/tahun).

Nadia juga memaparkan tentang praktik terbaik perhutanan sosial dalam menjaga iklim bumi. Seperti di Hutan Desa Lanskap Bujang Raba, Bungo, Jambi yang mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kalibiru di Kulonprogo, Yogyakarta yang mampu melakukan rehabilitasi dan restorasi.


Akselerasi target Perhutanan Sosial pada wilayah-wilayah PIAPS dengan risiko deforestasi sedang sampai tinggi dapat berkontribusi hingga 34,6% terhadap pemenuhan target NDC dari pengurangan deforestasi. Kuncinya adalah pendampingan yang kuat dan manfaat nyata untuk masyarakat.

Selain itu, akses kepada LH-Fund juga diperlukan untuk memperkuat kontribusi masyarakat dalam komitmen iklim Indonesia.

Ini saatnya membuka akses pendanaan untuk seluruh pemangku kepentingan untuk mencapai iklim,” kata Laksmi Dhewanti, Kepala Sekretariat Komite Pengarah BPDLH yang turut menjadi narasumber dalam sesi tersebut. “Aktor non-negara sangat penting untuk pencapaitan komitmen iklim Indonesia. Kami membuka peluang besar bagi aktor non-negara untuk mengakses dana BPDLH,” tambahnya.

Narasumber lain dalam sesi ini adalah Dewi Rizki (Kemitraan/Partnership for Governance Reform) dan Ane Auxiliado Costa Alencar (IPAM Brazil) dan dimoderatori oleh Eka Melisa (Kemitraan/Partnership for Governance Reform).

Related Article

Strategi Pemerintah Tingkatkan Produktivitas Sawit

Strategi Pemerintah Tingkatkan Produktivitas Sawit

Strategi peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat diperkuat dengan Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan (RAN-SB).

Pemerintah menyiapkan lima strategi peningkatkan produktivitas perkebunan sawit rakyat. Strategi ini beriringan dengan Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan (RAN-SB) 2019-2024.


Strategi peningkatan produktivitas tersebut antara lain peremajaan sawit, distribusi bibit unggul, pendampingan petani. Termasuk peningkatan kelembagaan petani, dan percepatan sertifikasi ISPO dan RSPO. Sebanyak 70 persen petani rakyat ditargetkan mendapat sertifikat ISPO pada 2020.


Strategi peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat diperkuat dengan RAN-SB. Rencana aksi yang disahkan Presiden Joko Widodo pada akhir November 2019 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 itu menjadi landasan akselerasi lahan petani rakyat dan meningkatkan akses pendanaan peremajaan sawit.

Selain itu, RAN-SB juga bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bibit unggul berkualitas, penguatan kelembagaan petani, meningkatkan pelatihan praktik pertanian yang baik, dan penguatan kelembagaan dan tata kelola ISPO.

Semua upaya ini dimaksudkan untuk menggenjot produktivitas sawit petani rakyat yang masih di bawah produktivitas perkebunan swasta dan negara. Pada 2017, produktivitas sawit rakyat 25 persen lebih rendah dari perkebunan swasta dan 17 persen lebih rendah dari perkebunan milik negara.

Riset ini merupakan hasil kerja sama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.

Related Article

Elaborasi Perhutanan Sosial

Elaborasi Perhutanan Sosial

Hutan dan desa ibarat dua sisi koin yang saling menyeimbangkan satu sama lain. Hutan sebagai sebuah ekosistem identik dengan area perdesaan dan berlaku sebaliknya. Hal ini jelas, hampir tidak dapat kita jumpai kota-kota besar di Indonesia yang memiliki hutan selayaknya desa umumnya. Oleh karena itu, kemampuan masyarakat desa untuk memaksimalkan potensi hutan adalah indikator penting yang harus didorong untuk mewujudkan kesejahteraan desa itu sendiri.


Sudah bukan rahasia umum bahwa masih banyak hutan di tanah air belum terkelola dengan baik. Ketidakseriusan menggarap potensi ini pun, membuat ekspansi bisnis khususnya perkebunan sawit di kawasan hutan kian masif. Berdasarkan riset Kemen Austin dari RTI International bersama Amanda Schwantes dari Duke University pada Februari 2019, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2001-2016, ekspansi bisnis sawit telah menghilangkan 23 persen tutupan hutan di Indonesia. Ekspansi perkebunan sawit tersebut juga telah menyebabkan deforestasi 130.061 ha per tahunnya. Ekspansi yang masif tersebut membuat Indonesia kehilangan hutan hampir seluas 4 kali lapangan bola setiap 10 menit.

Tidak terlepas dengan kasus tersebut, belum lama ini seorang kakek bernama Suhendri, 78, asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, viral di media sosial lantaran aksinya yang menolak Rp 10 miliar untuk 1,5 hektare hutan yang dimilikinya. Alasannya cukup sederhana yakni sang kakek, hanya mengabdikan diri untuk menyediakan oksigen bagi masyarakat Tenggarong. Tentu hal ini patut diapresiasi, pasalnya, seorang kakek yang terbilang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup memadai, berani menolak tawaran tersebut, hanya karena ingin menyelamatkan hutan agar kehidupan banyak orang juga ikut terselamatkan. Kita juga tentu berharap banyak orang akan sejalan dengan komitmen Suhendri tersebut. Namun, di zaman yang serba sulit ini, saya rasa sangat sulit bagi masyarakat yang hidup di sekitar area hutan memiliki komitmen seperti Kakek Suhendri.


Logikanya, setiap orang akan berpikir untung rugi yang akan didapatnya terlebih dahulu, kemudian dampak yang dihasilkan dari apa yang dilakukannya. Jika kita menginginkan masyarakat untuk menjaga hutannya, tentu kita wajib membuat penawaran terkait keuntungan apa yang didapat secara personal dari si penjaga hutan tersebut. Dalam konteks ini, mekanisme perhutanan sosial adalah kunci untuk menjawab permasalahan ini. Sederhananya, melalui konsep perhutanan sosial, hutan yang dijaga masyarakat untuk kepentingan bersama dapat dimanfaatkan untuk mendorong perekonomian masyarakat di sekitar area hutan tersebut. Masyarakat dapat mengambil hasil hutan yang sudah tersedia, atau juga bercocok tanam di dalamnya tanpa mengurangi nilai hutan yang telah ada. Bukan hanya itu, masyarakat juga dapat mengembangkan ekowisata, tentu ini sangat sejalan dengan peta jalan pariwisata Indonesia untuk menghadirkan spot wisata baru.


Bisnis yang dikembangkan dengan berbasis perhutanan sosial adalah win-win solution yang sangat tepat. Sederhananya, masyarakat yang mengelola mendapat keuntungan secara ekonomi, Indonesia pun mampu mencapai komitmen iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target 26 persen dan mencapai kesejahteraan yang termaktub dalam nawacita yakni membangun Indonesia dari pinggiran. Selama ini ada anggapan bahwa kepemilikan sumber daya alam yang besar salah satunya hutan, berkorelasi terhadap lesunya perekonomian. Paradoks yang dikenal dengan istilah kutukan sumber daya alam ini, menjadi momok yang menakutkan sehingga banyak orang berpikir mustahil membangun perekonomian seiring dengan menjaga kelestarian alam.

Namun, stigma tersebut harus segera kita kubur dalam-dalam. Pasalnya, bisnis berbasis lingkungan akan menjadi tren di masa depan sejalan dengan kesadaran global untuk menjaga lingkungan khususnya untuk mengatasi perubahan iklim dan kesadaran bahwa pembangunan hijau berkelanjutan adalah sebuah keniscayaan. Hemat saya, ada tiga cara jitu untuk mengelaborasi perhutanan sosial agar benar-benar menjadi kunci dari berbagai permasalahan Indonesia saat ini. Pertama, kesadaran akan hutan. Masyarakat terlebih dahulu harus memiliki kesadaran dan pemahaman terkait dengan pentingnya menjaga hutan dan manfaat yang didapatkan dari hutan itu sendiri seperti pada konsep perhutanan sosial.  Kedua, membangun kelembagaan dan rencana bisnis berkelanjutan. Untuk mengelola hutan desa, butuh kelembagaan yang terdiri dari masyarakat desa itu sendiri. Kelembagaan ini harus didampingi agar dapat membentuk manajemen, dan didorong untuk membuat sebuah perencanaan bisnis berkelanjutan. 

Dalam rencana bisnis tersebut, peluang dan tantangan harus menjadi patokan sehingga bisnis yang berkelanjutan juga dapat dihadirkan. Masyarakat dapat mengembangkan sistem badan usaha milik desa (BUMDes) untuk mengelola hasil hutan sehingga terbuka pendanaan dari dana desa yang setiap tahunnya disalurkan pemerintah. Ketiga, kolaborasi. Untuk mendorong agar perhutanan sosial dapat berjalan dengan lancar, masyarakat desa tentu butuh kolaborasi dari banyak pihak, seperti dari perbankan dengan akses permodalan usaha, organisasi masyarakat sipil dengan edukasi dan dukungan program yang inovatif, seperti tentunya dari pemerintah sendiri dengan kebijakan yang adil dan mendukung. Sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, Indonesia tentu seharusnya menjadi salah satu negara yang kuat secara ekonomi. Oleh karena itu, dengan elaborasi perhutanan sosial, selain dapat melestarikan alam Indonesia, pemerintah juga dapat memperkuat ekonomi domestik karena desa yang identik dengan kemiskinannya, mulai terkikis lantaran mampu memanfaatkan hutannya dengan baik.

Penulis : Delly Ferdian

Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini telah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 03 Desember 2019.

Related Article

COP25 Adalah Aksi Konkret Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Dunia

COP25 Adalah Aksi Konkret Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Dunia

Madani Berkelanjutan menyakini bahwa Konferensi Perubahan Iklim di Madrid ini merupakan jalan menuju aksi konkret dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dunia. Hal ini disampaikan, Knowledge Management Manager Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri Permatasari yang hadir dalam COP25.

Waktu kita semakin sempit untuk menghindarkan bencana lingkungan dan sosial global. Negara-negara yang sedang bernegosiasi untuk merampungkan aturan pelaksanaan Paris Agreement harus selalu ingat untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi masing-masing dan meningkatkan kolaborasi semua pihak untuk menjalankan aksi konkret untuk mencapai tujuan Paris“, ujar Anggalia.

Konferensi UNFCCC ke-25 ini merupakan forum penting dan strategis karena dihadiri berbagai kalangan, baik kalangan Menteri, Legislatif, Akademisi, NGO, Korporasi dan Media dari 197 negara yang tergabung. Berbagai presentasi, diskusi panel serta “negotiation session” akan dilakukan selama konferensi yang berlangsung dari tanggal 2-13 Desember 2019.

Dari pertemuan ini, Indonesia sendiri berharap tidak akan mengalami kebuntuan seperti 3 tahun terakhir. Pasalnya penerapan Paris Agrement akan dilakukan pada Januari 2020.

National Focal Point UNFCCC Indonesia, Ruandha Agung Sugardiman, seperti dikutip dalam Media Indonesia (02/12) mengatakan ada sekitar 40-50 negosiator yang diturunkan pada COP25 ini untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia.

Dalam COP 25 ini, Anggalia menyampaikan presentasi terkait transparansi dan ambisi iklim dalam NDC dari sektor lahan yang terjadi di Indonesia dalam diskusi “Transparancy and ambition in NDCs: A view from AFOLU and Bioenergy”. Materi presentasi Anggalia dapat dilihat di file berikut.

Related Article

id_IDID