Madani

Tentang Kami

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Jakarta, 16 Juli 2019 – Presiden Joko Widodo dalam Visi Indonesia telah melupakan 20% janjinya untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam memimpin Indonesia periode 2019-2024. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam visi keempat Pasangan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye pemilihan Presiden 2019 yang belum lama usai.

Visi mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, akan dicapai Jokowi melalui tiga misi yaitu program pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Adapun isu pengelolaan hutan dan gambut mendapat perhatian paling besar, tercermin dalam 13 kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu, sudah selayaknya Jokowi menegaskan kembali visi dan misi terkait lingkungan hidup dalam Visi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam Diskusi Media “Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Harapan masyarakat sangat besar atas kepemimpinan kedua Jokowi, khususnya di sektor lingkungan hidup, mengingat janji beliau saat Pilpres dan terdapat beberapa kebijakan pro-lingkungan telah diterbitkan meskipun beberapa diantaranya akan segera berakhir masa berlakunya,” jelas Teguh. Tak ingin kecolongan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi Eksekutif, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut kembali mengingatkan agar Presiden Joko Widodo meneguhkan komitmennya dan berani untuk menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut setelah berakhirnya masa kerja BRG pada 2020.

Komitmen tersebut dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan gambut yang akan segera dipermanenkan dengan penguatan implementasi restorasi gambut 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan kekuatan hukum perlindungan permanen hutan alam dan gambut dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden. “Peningkatan status kebijakan dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden diperlukan untuk memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan akan menjadi solusi. Apalagi saat ini belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” ujar Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership.

Dalam catatan Pantau Gambut, terjadi pengurangan wilayah moratorium sekitar 2,8 juta hektare pada periode 2011-2019 dan hutan seluas 2.739 hektare telah dilepaskan untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Moratorium hutan primer dan gambut yang sudah ada sebelumnya tidak memandatkan tinjauan perizinan yang sudah ada. Adapun terbitnya PIPPIB tidak berkaitan dengan upaya pemulihan ekosistem gambut. Sementara, lahan gambut sebagian besar sudah terlanjur rusak,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. “Seharusnya pemulihan ekosistem gambut yang bersifat wajib bagi perusahaan terus diawasi dan dipastikan berjalan”, tambahnya.

“Persoalannya, peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK masih saling menegasikan. Dalam PermenLHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut bertentangan dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut yang memperbolehkan pengelolaan puncak kubah gambut. Selain itu, Kepdirjen-PPKL-Nomor-SK.40-2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut yang di dalamnya mengatur soal pemulihan oleh perusahaan, dan juga dokumen seperti HGU hanya diketahui oleh KLHK dan Perusahaan. Jadi tidak ada transparansi,” tambah Inda.

“Perlindungan permanen hutan alam dan gambut diharapkan dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam menata kembali pengelolaan hutan dan gambut. Apalagi, saat ini KLHK telah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut,” tegas Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan bahwa pengaturan moratorium harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah Kelola Rakyat, yang selama ini telah hidup turun temurun selaras dengan alam di kawasan hutan, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem Gambut. Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan masuknya penguasaan korporasi dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai) bisa menjadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat.

Masyarakat sipil turut mendukung upaya pemerintah untuk memberi perlindungan hukum secara permanen terhadap kawasan hutan dan gambut dengan membuat petisi. Adalah Piter Masakoda, Ketua himpunan pemuda Suku Moskona di Papua Barat bersama-sama Yayasan Madani Berkelanjutan meluncurkan petisi tersebut pada tanggal 1 Juli 2019 pada laman Change.org dan per 16 Juli 2019 telah meraih 37.000 pendukung. Dan dukungan ini masih terus bertambah. Bagi Suku Moskona, hutan laksana mama sekaligus sumber penghidupan. “Hutan tiada, maka kehidupan pun hilang”, terang M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan perlindungan permanen hutan alam dan gambut perlu dukungan serius agar dapat memberikan kepastian perlindungan hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 89,4 juta hektare. Lebih jauh, upaya pengaturan “moratorium permanen” seharusnya juga mengatur upaya pemulihan lingkungan, khususnya di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Empat hal strategis yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam satu tahun pertama adalah menerbitkan Perpres penghentian izin baru di hutan alam dan gambut, melanjutkan restorasi gambut pasca 2020, memperkuat komitmen iklim, dan memimpin implementasi moratorium perkebunan sawit.

Kontak Narasumber:

Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership
0821 6512 0204
abimanyu.aji@kemitraan.or.id

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut
0812 6370 9484
iola.abas@pantaugambut.id

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI
0812 8985 0005
zenzi.walhi@gmail.com

Related Article

Benarkah Tahun Ini Musim Kemarau Lebih Kering?

Benarkah Tahun Ini Musim Kemarau Lebih Kering?

Hallo Luluk’s Updaters, Minggu ini, Luluk’s Update menemukan banyak hal menarik. Sudah penasaran pastinya ya.

Mau tahu apa saja yang ditemukan Luluk Update pada pemberitaan media edisi 1-7 Juli 2019 ini ?

Nah, salah satu pemberitaan yang muncul adalah pernyataan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018. Puncak musim kemarau diprediksi pada Agustus mendatang. Cuaca panas juga berpotensi memperburuk kualitas udara di perkotaan.

Musim kemarau 2019 dipengaruhi fenomena el nino, meskipun intensitasnya kecil. BMKG juga menyebut suhu daratan Indonesia akan naik 0,2 derajat hingga 0,3 derajat Celcius pada 2020 – 2030 dibandingkan pada kurun waktu 2005 – 2015. Wilayah yang diperkirakan mengalami kenaikan suhu tertinggi pada 2020 – 2030 adalah Sumatera Selatan, bagian tengah Papua, dan sebagian Papua Barat.

Selain pemberitaan tersebut, Luluk’s Update juga menemukan pernyataan Menko Perekonomian yang menyebut bahwa pemerintah sedang memfinalkan pelepasan hutan seluas 110.000 ha dan telah menerima usulan pelepasan lahan tambahan 200.000 ha. Pemerintah juga berjanji akan berlangsung cepat, sehingga pemberian lahan kepada masyarakat bisa segera terlaksana.

Namun pelaksanaannya tidak bisa serentak karena membutuhkan verifikasi dan perubahan tata batas wilayah Dipastikan ini hanya untuk masyarakat kecil dan tidak untuk pengusaha.

Dalam kasus ini, Menteri LHK mengatakan sebanyak 980.000 ha lahan hutan telah selesai disertifikasi dan akan didistribusikan kepada masyarakat. Lahan tersebut berasal dari kawasan hutan negara yang menganggur. Untuk urusan teknis pendistribusian dan cara mengelola, pemerintah daerah yang akan melaksanakannya. Namun akan dilakukan sosialisasi oleh Menko Perekonomian dan beberapa menteri lain.

Untuk lebih lengkapnya, kamu bisa langsung unggah bahan Luluk Update di bawah ini ya.

Related Article

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Jakarta, 2 Juli 2019 – Pemerintahan Jokowi jilid II harus lebih serius dan tegas dalam menunjukkan kepemimpinan politik untuk memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia, salah satunya dengan memperkuat implementasi restorasi gambut saat ini dan pasca-2020. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kepatuhan korporasi, meningkatkan pengawasan, serta melakukan penegakan hukum yang tegas. Karena Indonesia adalah kunci penyelamatan iklim dunia.

Selain penguatan restorasi gambut, pelaksanaan kebijakan moratorium hutan (yang rencananya akan dipermanenkan), evaluasi perizinan melalui implementasi moratorium sawit, serta perhutanan sosial adalah kunci untuk mencapai komitmen iklim Indonesia di tahun 2030 agar Indonesia bisa kembali memimpin di meja perundingan internasional. Penguatan ini penting mengingat masih terdapat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang ditargetkan oleh Indonesia dengan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Karhutla di Momentum Politik: Saat Ini & Pasca Tahun 2020” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Indonesia membutuhkan penguatan sejumlah kebijakan apabila benar-benar ingin mencapai target penurunan emisi dengan moratorium hutan dan restorasi gambut sebagai kebijakan paling besar dampaknya terhadap penurunan emisi,” sambung Teguh.

Kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi masih menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan komitmen iklim dan sekaligus indikator apakah restorasi gambut telah dilakukan dengan tepat dan masif sebagaimana diperintahkan dalam Perpres No. 1 tahun 2016. Kajian Madani bersama Kelompok Advokasi Riau (KAR) di wilayah Riau pada kurun waktu Januari-Maret 2019 menunjukkan bahwa terdapat 737 hotspot di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Dan diperkirakan area terbakar seluas 5.400 ha di wilayah konsesi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena merujuk pada data KLHK, kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia tahun 2015.

“Secara historis, ada konsesi-konsesi yang terus terbakar setiap tahunnya, setidaknya sejak tahun 2015. Di lokasi ini, kami juga tidak menemukan adanya upaya restorasi sebagaimana yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016,” papar Rahmaidi Azani, GIS Specialist dari Kelompok Advokasi Riau (KAR).

Kajian ini dilakukan dengan melakukan analisis hotspot di Provinsi Riau menggunakan data dengan tingkat kepercayaan tinggi (≥ 80%) dan investigasi lapangan untuk menelisik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode Januari-Maret 2019.

Prof. Bambang Hero, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menegaskan bahwa yang paling penting dilakukan adalah memastikan bahwa korporasi benar-benar telah melakukan upaya restorasi gambut dengan mengikuti standar yang ada. Itu adalah kunci untuk mengawal agar target penurunan emisi 2030 tercapai.

“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya di tahun ke-4 konsesinya sudah direstorasi. Kenyataannya, wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Ini harus segera dicari penyelesaiannya,” tandasnya. “Dalam memastikan kepatuhan korporasi, BRG dan KLHK seharusnya bersinergi seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi.”

Sementara itu, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsesi sawit dan HTI yang kembali terbakar di Riau.

“Titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tapi selalu ada pemicunya, salah satunya adalah konflik. Jika kita mau menyelesaikan karhutla, kita harus menyelesaikan konfliknya juga. Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” ujar Inda.

“Mengingat mandat BRG yang wilayahnya luas, komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, dan jaringan masyarakat di daerah harus dikuatkan. Sinergi agenda BRG dan jaringan masyarakat harus diakselerasi. Selain itu, Nota Kesepahaman dengan RSPO harus ditindaklanjuti karena banyak perusahaan yang punya konsesi di wilayah prioritas restorasi adalah anggota RSPO,” tambahnya.

Pemerintahan Jokowi Jilid II hanya memiliki waktu sekitar satu tahun untuk menyusun strategi penguatan dan akselerasi restorasi gambut pasca-mandat BRG berakhir tahun 2020. Kepemimpinan politik yang tegas dari Presiden, wewenang yang memadai, serta kelembagaan yang kuat adalah syarat mutlak untuk memecahkan permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang sudah terpola selama berpuluh-puluh tahun melalui restorasi gambut.

“Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi Jilid II, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yaitu memperkuat implementasi restorasi gambut sekarang dan pasca2020 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum, menjalankan evaluasi perizinan yang dipertegas melalui implementasi moratorium sawit untuk mencegah hilangnya pendapatan negara, dan mempermanenkan serta memperkuat kebijakan moratorium hutan,” tutup Teguh.

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Rahmaidi Azani, GIS Specialist, Kelompok Advokasi Riau (KAR)
0813 7182 2940
comet.azani@gmail.com

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar bidang Perlindungan Hutan IPB
0816 1948 064
bhherosaharjo@gmail.com

Related Article

Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 : Studi Kasus Provinsi Riau Periode Januari-Maret

Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 : Studi Kasus Provinsi Riau Periode Januari-Maret

Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius yang dihadapi masyarakat Provinsi Riau hampir setiap tahun pada musim kemarau. Memberikan dampak kerugian secara langsung maupaun tidak langsung kepada masyarakat, ekonomi, ekologi terutama kesehatan.

Sebagian besar wilayah di Provinsi Riau lahan gambut yang sejatinya merupakan lahan basah yang sulit untuk terbakar. Namun berbeda pada kenyatannya justru kebakaran yang terjadi hampir di setiap tahun terjadi pada lahan gambut.

Ini menjadi tanggung jawab bersama dalam mengatasi ancaman kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi hampir setiap tahunnya. Dengan demikian, pemantauan ekosistem lahan gambut perlu untuk dilakukan sebagai bahan pertimbangan atas kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan. Penyusunan laporan ini adalah bagian dari rangkaian pelaksanaan studi ini.


Laporan ini disusun dengan mempertimbangkan tujuan, ruang lingkup dan luaran dari studi ini sehingga akhir dari studi ini menghasilkan luaran sebagaimana yang telah diharapkan. Terima kasih kepada semua pihak yang akan mendukung terselenggaranya studi ini. Semoga laporan studi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau Periode 1 Januari – 31 Maret 2019 ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dalam menjawab permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini sehingga dapat tercapai penyelesaian sebagaimana diharapkan.

Related Article

Laporan Terkini Madani: Memahami Makna FREL Subnasional bagi Hutan di Tingkat Provinsi

Laporan Terkini Madani: Memahami Makna FREL Subnasional bagi Hutan di Tingkat Provinsi

Forest Reference Emission Level (FREL) atau Tingkat Emisi Rujukan Indonesia untuk REDD+ adalah 0,568 GtCO2 per tahun. Angka ini dijadikan benchmark untuk mengevaluasi kinerja REDD+ pada periode 2013-2020. Pada Maret 2019, Dirjen PPI KLHK mengalokasikan FREL untuk tingkat subnasional (provinsi), yang berlaku hingga akhir tahun 2020. FREL ini hanya untuk deforestasi dan degradasi hutan dan tidak mencakup dekomposisi gambut. Alokasi ini telah memperhitungkan buffer untuk deforestasi sebesar 45,52 persen dan untuk degradasi sebesar 33,42 persen untuk memastikan emisi dari tingkat subnasional tidak lebih tinggi dari emisi yang telah ditetapkan secara nasional.

Madani Berkelanjutan mencoba menafsirkan makna alokasi Forest Reference Emission Level (FREL) untuk REDD+ di tingkat subnasional (provinsi) bagi hutan Indonesia. Tulisan ini adalah analisis awal berdasarkan diskusi para ahli dalam TalkShop Madani mengenai FREL yang dilaksanakan pada bulan Mei 2019 dan belum diklarifikasi kepada pemerintah.

This update report interprets what Forest Reference Emission Level (FREL) allocated at subnational (provincial) level means for forests in each province. This is a preliminary analysis based on experts’ discussion in Madani’s TalkShop on FREL in May 2019 but the results have not been clarified to the government.

Related Article

id_IDID