Madani

Tentang Kami

Ekonomi Global dan Krisis Iklim

Ekonomi Global dan Krisis Iklim

Untuk saat ini, satu-satunya kepastian dari kondisi ekonomi global adalah ketidakpastian. Oleh karena itu, menjadi wajar jika banyak negara mulai memikirkan kepentingannya sendiri untuk survive melawan ketidakpastian tersebut.

Lantaran sebuah ketidakpastian, banyak pihak mengatakan bahwa di 2020, nilai-nilai kemanusiaan secara global akan terpinggirkan bahkan luntur oleh kepentingan negara masing-masing. Asumsi tersebut muncul setelah konferensi tingkat tinggi PBB yang membahas perubahan iklim yakni The 25th session of the Conference of the Parties (COP25) yang diselenggarakan di Madrid Desember 2019, berakhir mengecewakan. Komitmen iklim dunia yang seharusnya semakin diperkuat lantaran ancaman dari krisis iklim yang semakin nyata, malah berakhir dengan kompromi politik semata.

Kekecewaan dari hasil COP25 tersebut bahkan disampaikan oleh petinggi PBB yakni Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres yang mengatakan bahwa warga dunia telah kehilangan momentum untuk menunjukkan ambisinya dalam hal mitigasi, adaptasi, serta memberikan sumbangan dalam rangka menghambat krisis iklim.

Kenyataannya, banyak negara yang seharusnya menjadi patron untuk memerangi krisis iklim malah bersikap politis karena lebih mementingkan kepentingannya sendiri sehingga mengendurkan komitmen iklim negaranya. 

Ketidakpastian pun berlanjut dengan berbagai ancaman yang mungkin dapat terjadi seperti indikasi meningkatnya tensi antar negara. Sensitifitas antar negara yang semakin tinggi disinyalir mampu memantik agresi militer. Lihat saja, di awal 2020, Presiden Amerika, Donald Trump menggemparkan dunia atas peristiwa pembunuhan Jenderal Militer Iran, Qasem Soleimani. 

Tidak lepas dari peristiwa tersebut, Indonesia pun pada 2020 ini terseret dalam ketegangan antar negara melalui kasus perbedaan pendapat dalam menentukan batas wilayah perairan yakni antara zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan Nine Dash Line.

Kemudian, munculnya kebijakan-kebijakan proteksionisme yang berujung kepada ketidakstabilan perekonomian. Contoh yang paling signifikan yakni perang dagang antar negara seperti perang dagang antara Amerika dan China yang dapat dikatakan sebagai perang dagang yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian.

Terkait dengan perang dagang, Indonesia sendiri kini berhadapan dengan Uni Eropa akibat aksi penahanan keran pasar sawit karena dianggap menghambat tumbuhnya pasar domestik eropa. Jika hal ini terus berlanjut, pemerintah Indonesia pun wajib memutar otak untuk memastikan tersedianya pasar untuk menjamin agar CPO Indonesia tetap survive. Toh, CPO sendiri adalah produk unggulan penghasil devisa terbesar hingga membuat Indonesia ketergantungan. 

Ancaman Iklim

Selain dengan beberapa kemungkinan tersebut, belum lama ini World Economic Forum dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 membeberkan bahwa ekonomi dunia akan terhadap oleh isu-isu lingkungan yang semakin sentral. Riset ini menyebut isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim, mendominasi menjadi lima besar indikator risiko jangka panjang kategori likelihood sebagai penghambat ekonomi secara global. 

Kelima indikator tersebut yakni ; pertama, cuaca ekstrem (extreme weather). Cuaca ekstrim ini sendiri diprediksi akan membuat bumi semakin panas hingga 3 derajat Celcius pada akhir abad ini. Pemanasan global tersebut akan membuat es di kutub mulai mencair sehingga menyebabkan kenaikan permukaan air laut yang cukup mengkhawatirkan. CEO Principles for Responsible Investment (PRI), Fiona Reynolds mengatakan bahwa mustahil pemerintah dapat menurunkan suhu bumi menjadi 2,7 derajat Celcius tanpa dipaksa melakukan tindakan cepat.

Kedua, kegagalan aksi iklim (climate action failure). Dengan gagalnya berbagai kebijakan maupun komitmen iklim yang dibuat untuk memerangi krisis iklim yang sudah di depan mata, maka dampaknya akan terasa bagi generasi di masa yang akan datang. Hal inilah yang memungkinkan perekonomian dunia semakin dalam ketidakpastian. Salah satu bukti akan terjadinya kegagalan dalam aksi iklim adalah mengecewakannya hasil di COP25 yang lalu. 

Ketiga, bencana alam (natural disaster). Dengan semakin tidak menentunya kondisi bumi akibat dari krisis iklim, bencana alam pun seolah tidak bisa dihindari. Ketika bencana terjadi, bukan hanya mengancam korban jiwa, tapi secara lebih besar adalah mengancam masa depan perekonomian. Karena ketika suatu dari terdampak bencana dan sulit untuk melakukan rehabilitas dan rekonstruksi maka perekonomian daerah lain yang saling ketergantungan ikut melamban bahkan bisa jadi lumpuh. Oleh karena itu, sejak lama dunia telah menetapkan prioritas pemulihan pascabencana selain terhadap korban manusia juga terhadap perekonomian di dalam kerangka sendai frame work for disaster risk reduction.

Keempat, hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) memperingatkan bahwa 1 juta spesies dalam risiko kepunahan. IPBES juga memaparkan bahwa sebagian besar target global 2020 untuk perlindungan alam yang diuraikan dalam Rencana Strategis untuk Keanekaragaman Hayati (target keanekaragaman hayati Aichi) tidak akan terpenuhi. Tentu kekayaan alam yang hilang, sama artinya dunia akan kehilangan keseimbangan sehingga ujungnya mengganggu stabilitas ekonomi. 

Kelima, bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters). Dalam kasus ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99 persen kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah ulah dari manusia. Manusia yang serakah, pada kenyataan telah merusak alam untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Padahal merusak alam untuk melakukan ekspansi bisnis juga tidak berarti akan meningkatkan kualitas dari ekonomi itu sendiri. Kerusakan alam justru akan lebih memperburuk perekonomian. 

Ancaman perekonomian dari segi lingkungan tersebut dapat dikatakan sangat realistik, namun masih dianggap sebelah mata karena banyak negara menganggap mampu bertahan dari ancaman tersebut seorang diri. Padahal, ancaman yang begitu besar tersebut tidak akan selesai jika tidak mendapatkan perlawanan bersama, karena yang diancam adalah bumi, dan negara adalah bagian kecil dari penghuni bumi itu sendiri. (*)

Related Article

WE NEED : DIGITAL COMMUNICATION YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN

WE NEED : DIGITAL COMMUNICATION YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN

Karir : Digital Comunication Yayasan Madani Berkelanjutan

Sekarang, informasi apapun yang diinginkan ada dalam genggaman. Masyarakat bebas berselancar untuk menikmati informasi yang diinginkan bahkan saling bertukar informasi tanpa adanya batasan. Jendala informasi yang begitu praktis tersebut tidak lain adalah media sosial.

Media sosial yang begitu banyak manfaatnya, harus dianggap sebagai peluang oleh organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO) untuk membangun branding lembaganya. Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil juga dituntut cerdas dalam memasarkan lembaganya di media sosial dengan konten-konten yang menarik.

Media sosial yang juga begitu digandrungi anak muda, menjadi tantangan tersendiri bagi CSO untuk selalu berbenah diri dalam mengatur strategi agar konten yang dihasilkan sesuai dengan pasar anak muda saat ini.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan (Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan) sebagai lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif nasional dan lokal dalam menyelamatkan hutan Indonesia dengan strategi menjembatani hubungan antara pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil) untuk mencapai solusi inovatif terkait tata kelola hutan dan lahan, membutuhkan personal yang handal dalam mengelola media sosial sebagai Digital Comunication.

Seorang Digital Communication memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:

Tugas dan Tanggung Jawab:

 

1. Bersama dengan tim kreatif Madani, menyusun strategi untuk mengkomunikasikan program dan visi misi Madani melalui media sosial.

2. Bertanggung jawab mengelola channel media sosial dengan cara memperbarui konten media sosial Madani secara regular dengan menampilkan informasi, artikel, foto, video, quotes maupun critical insight di bidang lingkungan yang relevan dengan program dan visi misi Madani.

3. Menjalin komunikasi dan relasi dengan publik (Netizen) serta menjawab pertanyaan maupun permintaan yang muncul dalam korespondensi di media sosial.

4. Melalukan analisis akun media sosial Madani.

5. Mendokumentasikan kegiatan Madani, baik untuk keperluan dokumentasi internal maupun untuk diposting di media sosial.

6. Memastikan artikel, foto dan video yang ditampilkan di media sosial telah sesuai dengan kaidah Jurnalistik.

7. Bertindak sebagai troubleshooter untuk karyawan Madani terkait permasalahan media digital.

Kualifikasi

  1. Komunikatif dan dapat efektif bekerja dalam tim 

  2. Minimum S1 Komunikasi / Jurnalistik atau yang setara / sejenis 

  3. Memiliki pengalaman minimal 1 tahun dalam mengelola media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Spotify, Podcast) 

  4. Menguasai Microsoft Office dan design grafis

  5. Mampu berkomunikasi menggunakan bahasa inggris pasif dan aktif 

  6. Mengenali issue-issue lingkungan, mempunyai pandangan kritis terhadap issue tersebut, sehingga dapat menyimpulkannya ke dalam sebuah tulisan 

  7. Menguasai fitur-fitur untuk melakukan data analitik 

  8. Menguasai Digital Analysis pada platform digital

Harap kirimkan aplikasi anda dengan melampirkan CV dan Letter of Interest melalui email ke: rekrutmen@madaniberkelanjutan.id paling telat tanggal 09 Februari 2020. 

Madani Berkelanjutan memberikan kesempatan kepada semua orang yang tertarik dan memenuhi syarat terlepas dari ras, jenis kelamin, disabilitas, agama/kepercayaan,dan usia untuk mengirimkan aplikasinya.

Related Article

Tinjauan Terhadap Instruksi Presiden No.6 Tahun 2019-2024 Tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Tinjauan Terhadap Instruksi Presiden No.6 Tahun 2019-2024 Tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Kelapa sawit adalah komoditas non-migas yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional dan mendapatkan perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo. 

Selama ini, sektor kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan besar dalam konteks tata kelola, lingkungan hidup, dan dampak sosial yang mempengaruhi citra minyak sawit di dunia internasional. Sebagai salah satu dari tiga aturan baru untuk mendukung perkembangan industri sawit nasional (dua lainnya adalah Pepres ISPO dan PP Perkebunan Nusantara), pada 22 November 2019 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024.

Tujuan Inpres ini cukup luas, mulai dari penyelesaian status lahan perkebunan sawit, pemberdayaan pekebun, pemanfaatan kelapa sawit sebagai energi baru terbarukan, peningkatan diplomasi terkait sawit, hingga percepatan pencapaian perkebunan kelapa sawit
Indonesia yang berkelanjutan.

Secara umum, Inpres ini mencakup lima (5) area mandat untuk 16 Pejabat Negara, yaitu Penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur; Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; Pengelolaan dan pemantauan lingkungan; Tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; serta Percepatan pelaksanaan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan peningkatan akses pasar produk kelapa sawit.

Related Article

GAMBUT BENTENG TERAKHIR PERLINDUNGAN HUTAN

GAMBUT BENTENG TERAKHIR PERLINDUNGAN HUTAN

[MadaniNews, Jakarta 23/01/2019] Gambut adalah benteng terakhir perlindungan hutan. Upaya perlindungan ini membutuhkan dukungan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, korporasi dan masyarakat. Demikian benang merah dari Diskusi Publik : “Empat Tahun Merawat Gambut” yang dilaksanakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada 22 Januari 2020.


Narasumber dalam diskusi ini antara lain Johny Sumbung (Direktur Kesiapsiagaan BNPB), Myrna A Safitri (Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG), Susan Lusiana (Project Coordinator Partner for Resilience Wetlands International Indonesia), M. Teguh Surya (Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan). Turun juga berdiskusi adalah M. Habibi (Manager Program Save Our Borneo) dan Wideni (Ketua MPA Desa Henda, Kalimantan Tengah) yang hadir via telepon.

Diskusi ini juga dihadiri oleh jurnalis, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi anak muda. Pada diskusi ini juga diluncurkan Film Dokumenter “Merawat Hutan Tersisa – Nurturing the Hope”.

Kita patut memberikan apresiasi bahwa pemerintah sedang berupaya keras untuk menggenjot perekonomian Indonesia, namun juga perlu adanya perbaikan, dengan mengakomodir kepentingan lingkungan di dalamnya,”, ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan.

Sementara itu, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri mengatakan jika untuk memulihkan gambut yang rusak, butuh waktu yang tidak sedikit, sedangkan BRG sendiri hanya memiliki waktu tidak lebih dari 5 tahun.

Jika kita bandingkan dengan Jepang, kerusakan gambut di sana 300 hektar dengan masa pemulihan sekitar 10 tahun. Seharusnya Indonesia yang memiliki 2,67 juta hektar gambut yang rusak membutuhkan waktu yang lebih” ujar Myrna.


Terkait dengan kebakaran lahan gambut, Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Johny Sumbung menyampaikan bahwa BNPB melakukan langkah-langkah mitigasi, seperti penaksiran wilayah yang pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla), untuk mencegah kebakaran seperti 2019. “BNPB akan melakukan upaya semaksimal mungkin, namun tetap dukungan dan sinergi dari banyak pihak,” kata Johny. [ ]

Related Article

Melihat Perang Dagang Uni Eropa-Indonesia

Melihat Perang Dagang Uni Eropa-Indonesia

Suatu waktu, tepatnya pada 11 Januari, melalui akun Twitternya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat cuitan yang cukup menarik perhatian. Isi cuitan tersebut seperti dikutip dari akun resmi Presiden Jokowi adalah sebagai berikut:

Pernyataan tersebut datang dari beberapa kebijakan yang diberlakukan oleh Uni Eropa yang salah satunya adalah Renewable Energy Directive II atau RED II yang dituangkan dalam regulasi turunan (Delegated Act).

Dalam regulasi tersebut, terdapat konsep Indirect Land Use Change (ILUC) dimana konsep tersebut menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman yang memiliki risiko tinggi terhadap deforestasi sehingga tidak bisa digunakan untuk biofuel. Alhasil, biofuel yang berasal dari sawit akan dilarang dan pelarangan tersebut dimulai sejak tahun 2024, serta akan berlaku total pada tahun 2030.

Terlepas dari dampak lingkungan yang diakibatkan oleh ekspansi sawit, mungkin pernyataan Presiden Jokowi tersebut – apabila ditilik dari sudut pandang ekonomi-politik – menganggap bahwa Uni Eropa sedang melakukan praktik neo-merkantilis. Sebelum masa perdagangan bebas, tepatnya ketika merkantilisme masih populer, upaya hambatan perdagangan salah satunya dilakukan dengan cara penerapan hambatan tarif.

Penerapan hambatan tarif secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan melindungi industri dalam negeri dari persaingan dengan produk asing serta untuk meningkatkan neraca perdagangan dengan mereduksi impor dan meningkatkan ekspor.

Namun, dikarenakan regulasi tersebut diatur dan dikurangi atau bahkan ditiadakan – karena adanya regulasi yang dibuat oleh World Trade Organization (WTO), maka muncul merkantilisme gaya baru yakni neo-merkantilisme yang mengedepankan cara-cara perlindungan ekonomi melalui penerapan hambatan perdagangan non-tarif.

Dalam konteks sawit Indonesia, adapun hambatan yang dimaksud yaitu diterapkannya standar produk pada komoditas impor minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa melalui kebijakan RED II.

Kebijakan tersebut dalam kacamata neo-merkantilisme merupakan upaya yang alamiah guna memainkan perannya untuk melindungi perekonomian nasional dibalik aturan ataupun kesepakatan yang dicapai melalui praktik perdagangan bebas yang lazim. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Gilpin, bahwa semakin pasar berkembang, maka negara akan semakin mencari peluang untuk mengontrol perdagangan.

Alhasil, Presiden Jokowi mungkin merasa bahwa kebijakan yang dibawa oleh Uni Eropa kontradiktif dengan posisi lembaga supranasional itu sebagai champion of open, rules based free, dan fair trade. Selain itu, cuitan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas minyak nabati yang lebih unggul dibandingkan dengan komoditas minyak nabati diperkuat pula oleh riset.

Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak varian produk turunannya dibandingkan dengan jenis minyak sayur lainnya sehingga nilai utilitasnya sangatlah tinggi. Kelapa sawit apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain juga lebih efisien di mana kelapa sawit hanya membutuhkan 0,3 hektare (ha) untuk menghasilkan 1 ton minyak.

Sementara, kedelai, bunga matahari, dan rapeseed membutuhkan 2,17 ha, 1,52 ha, dan 0,75 ha untuk menghasilkan jumlah yang sama. Oleh karenanya, Presiden Jokowi menarasikan bahwa persoalan kelapa sawit Indonesia dengan Uni Eropa hanyalah perihal perang dagang.

Namun, apa yang dilakukan oleh Uni Eropa seharusnya dapat menjadi refleksi bagi tata kelola sawit Indonesia. Riset dari Kemen G. Austin, Amanda Schwantes, Yaofeng Gu, dan Prasad S Kasibhatla menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dari tahun 2001-2016 menyebabkan hilangnya 23 persen hilangnya tutupan hutan Indonesia. Riset lain yang dilakukan oleh Austin juga menunjukkan dari tahun 1995 hingga 2015, laju deforestasi dari pembukaan kebun kelapa sawit di Indonesia rata-rata 117.000 hektar per tahun.

Fakta lain menunjukkan – walaupun terdapat Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau Inpres Moratorium Sawit – bahwa nyatanya komitmen untuk menjalankan kebijakan tersebut masih dipertanyakan.

Dalam laporan Kemana Arah Implementasi No. 8 Tahun 2018 Berjalan yang dibuat oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang bergerak di bidang lingkungan, ditemukan perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, atas nama PT. Hartati Inti Plantations seluas 9.964 hektare.

Izin tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan nomor Nomor SK.517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018. Seharusnya, hingga tiga tahun ke depan sejak Inpres ini dikeluarkan, perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit tidak diperkenankan sebagaimana diinstruksikan oleh Inpres. KLHK sebagai salah satu lembaga yang diinstruksikan untuk menjalankan kebijakan ini pun telah gagal untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Fakta selanjutnya menunjukkan – berdasarkan penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2018 – bahwa ada sekitar 2,8 juta hektar lahan sawit yang berada di kawasan hutan dan 65 persennya merupakan milik perusahaan. Bahkan, temuan dari Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan bahwa sekitar lebih dari satu juta hektar lebih kawasan hutan primer dan lahan gambut berisi perkebunan kelapa sawit.

Keberadaan lahan kelapa sawit jelas merupakan sebuah pelanggaran hukum karena berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria harus mendapatkan izin Hak Guna Usaha dari Pemerintah dan perkebunan kelapa sawit hanya diizinkan ditanam di wilayah Area Peruntukan Lain (APL) sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentutan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa instruksi untuk melakukan evaluasi terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit yang ada masih belum diimplementasikan dengan baik.

Melihat narasi developmentalism yang selama ini digaungkan oleh Presiden Jokowi dan salah satunya terjawantahkan dalam cuitan tersebut, alangkah lebih baik apabila diimbangi oleh komitmen yang serius terhadap perlindungan lingkungan hidup karena lemahnya komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup akan berdampak pada perkembangan ekonomi.

Dalam laporan World Economic Forum berjudul The Global Risks Report 2020, lebih dari 200 perusahaan besar di dunia memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menelan kerugian total hampir USD 1 triliun (sekitar Rp 13.661 triliun) jika tidak ada rencana aksi yang serius.

Perubahan iklim juga akan memengaruhi perdagangan dengan mendistorsi harga dan mengganggu rantai pasok, serta bank-bank sentral semakin melihat bahwa perubahan iklim muncul sebagai risiko sistemis terhadap konstelasi pasar modal global.

Pada akhirnya, komitmen yang serius terhadap perlindungan lingkungan hidup selain menghindari kerugian ekonomi juga dapat memperkuat legitimasi dari pernyataan pemerintah bahwa apa yang dilakukan oleh Uni Eropa hanyalah perang bisnis dalam konteks industri kelapa sawit Indonesia.

Oleh : M.Arief Virgy

Insight Analyst di Madani Berkelajutan

Artikel ini telah tayang di Pinter Politik pada Rabu, 22 Januari 2020.

Related Article

Dilema Komoditi Sawit

Dilema Komoditi Sawit

Narasi yang menyebut bahwa sawit itu baik kian masif belakangan ini. Hal ini jugalah yang pada akhirnya membuat sawit menjadi komoditas yang begitu cantik di mata publik. Padahal, sawit tidak benar-benar cantik pada kenyataannya.


Sebut saja, karena ekspansi sawit yang kian masif luas tutupan hutan pun berkurang cukup signifikan. Kemen Austin dari RTI International bersama Amanda Schwantes dari Duke University dengan risetnya yang tertuang dalam jurnal Environmental Research Letters pada Februari 2019, menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit dalam kurun waktu 2001-2016 menyebabkan hilangnya 23 persen tutupan hutan Indonesia.


Berkat ekspansi perkebunan sawit selama 2001-2016 tersebut, jika dirata-rata maka ekspansi tersebut telah menyebabkan deforestasi seluas 130.061 ha per tahunnya. Artinya juga bahwa Indonesia telah kehilangan hutan hampir seluas 4 kali lapangan bola setiap 10 menit karena ekspansi perkebunan sawit.

Terkait sawit, berdasarkan data yang telah dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 5.875.585 ha dengan rincian masih berhutan seluas 1.486.452, perkebunan sawit seluas 2.885.817 belum dikerjakan dan, terindikasi tidak sesuai peruntukan seluas 1.503.316 ha.  Sungguh angka yang mengejutkan.

Bukan hanya persoalan hutan yang semakin hilang, akibat dari persaingan bisnis dan ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian, ekonomi Indonesia pun ikut rentan karena terlalu bergantung pada sawit. Menjadi wajar jika sampai saat ini, menggejot pertumbuhan ekonomi terasa begitu sulit karena Indonesia ikut dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Namun, karena begitu cantik menurut pemerintah, sawit pun gencar dipromosikan bak primadona yang begitu nikmat. Presiden Jokowi pun memberikan perhatian lebih kepada sawit melalui investasi dan pengembangan sawit menjadi biodiesel.  

Dari tahun ke tahun, wacana pengembangan biodiesel seperti B10, B20, B30 hingga B100 pun terus diumbar kepada publik sebagai salah satu solusi energi terbarukan yang katanya berkelanjutan. Memang tidak salah dengan agenda ini karena pada dasarnya beralih dari bahan bakar fosil adalah langkah yang tepat. Namun, melakukan ekspansi karena kebutuhan pasar dengan mengorbankan hutan juga tidak benar. 

Tidak dapat dimungkiri bahwa, sawit benar-benar tampil sebagai komoditas yang begitu rupawan karena dianggap sebagai salah satu solusi dari energi terbarukan, apalagi komoditas ini juga dikatakan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian tanah air. Salah satu contohnya, sepanjang 2017, 2018 sampai dengan 2019, sawit masih menjadi penyumbang terbesar devisa negara ini. Tercatat, pada 2017, sumbangan sawit terhadap devisa mencapai rekor tertinggi yaitu USD 22,9 miliar atau sekitar Rp 320 triliun.

Meski sawit mendatangkan keuntungan secara ekonomi yang besar, namun bukan berarti sawit tidak lepas dari beragam permasalahan, misal menyebabkan deforestasi, mengancam wilayah adat, memantik konflik agraria, menjadi dalang dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan tentunya membahayakan ekosistem.

Hak Sawit

Tidak lepas dengan kasus ini, suatu hari saya pernah tertegun dengan pernyataan seorang petani sawit yang mengatakan “jangan jadikan lingkungan sebagai alasan untuk penghambat investasi”. Lantas saya pun berpikir dan bertanya, apakah benar yang selama ini banyak kelompok masyarakat sipil perjuangkan adalah salah? Apakah benar selama ini yang terjadi adalah sawit dikambinghitamkan di negeri sendiri?

Jika kita lihat lebih dalam, secara kasat mata saja, benar bahwa kita dapat melihat banyak petani sawit yang memiliki kemampuan finansial yang memadai, sederhananya sawit juga memberikan manfaat terhadap ekonomi lokal.


Namun, sawit yang begitu baik tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh para petani lokal dengan leluasa karena pada kenyataannya para petani sawit masih seolah menjadi anak tiri di negeri sendiri. Berdasarkan studi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2017 terhadap 10 ribu petani sawit di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara, ditemukan bahwa 71 persen petani belum bergabung dalam kelembagaan petani dan 77 persen produktivitas sawit kurang dari 1 ton per hektare per bulan. Studi tersebut juga mengungkap bahwa 54 persen petani menggunakan bibit tidak bersertifikat, 97 persen petani belum didampingi penyuluh, dan 73 persen petani menjual tandan buah sawit ke tengkulak.


Coba saja bayangkan, kalau petani sawit mendapatkan akses pasar yang lebih baik serta pendampingan yang baik pula, bisa jadi ekonomi Indonesia akan lebih baik karena perekonomian domestik begitu kuat.


Perihal sawit, saya rasa kita semua sepakat bahwa tidak ada yang salah dari sawit, karena jelas sawit merupakan produk unggulan yang bahkan membuat pasar eropa harus membuat regulasi yang menahan sawit menguasai pasar. Narasi sawit itu baik adalah benar jika kita melirik kepada komoditasnya, hanya saja tata kelola sawit itu sendiri yang masih perlu banyak perbaikan. Inilah pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan.


Tidak dapat dipungkiri juga bahwa sawit membuat banyak pihak gelap mata sehingga serakah dan hasilnya melakukan ekspansi dengan membabat hutan yang pada dasarnya adalah penopang dari kehidupan. Fakta ini menjadi semakin buruk karena kenyataannya sebagian besar dari sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar milik asing dan juga milik negara, sehingga petani lokal pun hanya seolah pelengkap penderitaan saja.

Related Article

Komitmen Provinsi Laksanakan Moratorium Sawit

Komitmen Provinsi Laksanakan Moratorium Sawit

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Sawit mengungkapkan, baru enam provinsi di Indonesia yang berkomitmen menerapkan moratorium sawit. Komitmen tersebut berbentuk pernyataan gubernur, pernyataan wakil gubernur dan instruksi gubernur.

Gubernur Kalimantan Timur dan Papua Barat menyatakan akan melakukan moratorium izin baru. Sementara Gubernur Kalimantan Barat dan Wakil Gubernur Kepulauan Riau menyatakan akan melakukan moratorium izin baru dan mengevaluasi izin lama.

Selain itu, Gubernur Riau menyatakan melaksanakan keseluruhan isi moratorium. Terakhir, Gubernur Aceh mengeluarkan Instruksi Gubernur No 04/INSTR/2017 tentang Moratorium Penanaman Modal Asing di Perkebunan Sawit. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia, tiga dari enam provinsi tersebut merupakan provinsi dengan perkebunan sawit terluas.

Perkebunan sawit di Riau seluas 3,39 juta ha, Kalimantan Barat 1,81 juta ha dan Kalimantan Timur 1,29 juta ha. Implementasi moratorium sawit di daerah masih belum optimal. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Sawit Menemukan tiga tantangan yang dialami pemerintah daerah untuk menerapkan moratorium sawit.

Tantangan tersebut berupa belum adanya alokasi anggaran khusus, tidak ada panduan teknis untuk pemerintah daerah, serta belum ada mekanisme komunikasi antara pusat dan daerah.

Riset ini merupakan hasil kerjasama Madani Berkelanjutan bersama Katadata Insight.

Related Article

PENTINGNYA MEMAHAMI PERUBAHAN IKLIM

PENTINGNYA MEMAHAMI PERUBAHAN IKLIM

Transisi pergantian tahun dari 2019 ke 2020 di Indonesia ditandai dengan bencana banjir di berbagai daerah yang cukup membuat memilukan. Selain kegagapan pemerintah dalam menghadapinya, bencana banjir juga disebut sebagai dampak nyata dari krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan.

Hal ini jelas berbanding terbalik dengan hasil perundingan dari konferensi iklim COP25 di Madrid awal Desember 2019 yang dianggap sangat mengecewakan.

Terkait dengan krisis iklim tersebut, pekan ini Luluk’s Update membahas hasil konferensi tingkat tinggi tersebut yang dianggap sangat mengecewakan. Faktanya, konferensi yang begitu ditunggu-tunggu, berakhir tanpa terobosan.

Deklarasi terakhir hanya menyerukan proposal baru tentang janji pengurangan emisi karbon pada COP26 tahun depan. Deklarasi tersebut juga menyerukan lebih banyak ambisi untuk menutup kesenjangan antara janji emisi yang ada dan tujuan dari perjanjian iklim Paris 2015.

Hasil akhir KTT itu hanya berbunyi, “menyatakan keperluan yang mendesak terhadap lahirnya kesepakatan untuk memangkas emisi karbon yang terjadi saat ini dengan tujuan Perjanjian Paris yang menginginkan membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celcius“.

Hasil tersebut jelas dianggap banyak pihak kurang mengikat dan cenderung mengambang terhadap sejumlah negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia untuk memangkas tingkat polusi guna menghambat perubahan iklim.

Tidak ayal pula peristiwa krisis iklim dan kekecewaan dari COP25 menjadi sinyal kepada banyak pihak bahwa memahami perubahan iklim dan segala peristiwanya yang begitu kompleks sudah menjadi sebuah keniscayaan.

Untuk lebih jelasnya tentang hasil pantauan Luluk’s Update pekan ini, sobat sekalian dapat mengunduh bahan Luluk’s Update di bawah ini ya. Semoga bermanfaat.

Related Article

Tiga Kabupaten Penggerak Moratorium Sawit

Tiga Kabupaten Penggerak Moratorium Sawit

Setahun berjalan, respons daerah terhadap Inpres Moratorium Sawit masih terbilang kecil. Meski demikian, terdapat inisiatif di beberapa daerah yang dapat menjadi pembelajaran bagi daerah lain.


Respon pemerintah daerah terhadap Inpres Moratorium Sawit setidaknya terbagi dalam dua bentuk, yakni dalam komitmen kebijakan dan pernyataan publik kepala daerah. Tiga kabupaten yang telah mengeluarkan kebijakan teknis terkait inpres adalah Kabupaten Sanggau, yang telah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Sanggau Nomor 065/3442/HK-B Tanggal 29 November 2018 yang berisi Pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit.


Kabupaten kedua yang membentuk kebijakan serupa, bahkan sebelum inpres moratorium diberlakukan adalah adalah Kabupaten Aceh Utara melalui Instruksi Bupati (Inbup) Nomor 548/INSTR/2016 mengenai Moratorium Izin Perkebunan Sawit Baru di Aceh Utara. Ketiga, Kabupaten Buol melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 8/2019 mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit.

Selain Kabupaten Sanggau, Aceh Utara, dan Buol, komitmen pelaksanaan inpres juga telah ditunjukkan oleh berbagai kepala daerah lain. Beberapa di antaranya adalah Bupati Sintang, Barito Timur, Gorontalo, Banyuasin, dan Lingga. Untuk memperkuat pelaksanaan moratorium sawit, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola Sawit memberi serangkaian rekomendasi, antara lain membangun sarana komunikasi antara pusat dan daerah serta mengedepankan transparansi data perkembangan moratorium.

Koalisi juga mengusulkan untuk diadakannya alokasi anggaran khusus untuk daerah yang memberi komitmen pada pelaksanaan inpres, memprioritaskan wilayah yang memiliki kawasan hutan terluas, dan penyusunan panduan teknis yang akan menjadi rujukan pemerintah daerah.

Riset ini merupakan hasil kerjasama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.

Related Article

Petani Sawit Masih Jadi Anak Tiri

Petani Sawit Masih Jadi Anak Tiri

Sejumlah kebutuhan petani sawit belum jadi prioritas pemerintah. Seperti minimnya pendampingan proses berkebunan yang berkelanjutan hingga peremajaan sawit rakyat atau replanting yang masih jauh dari target.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2017 melakukan studi terhadap 10 ribu petani sawit di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara.

Hasilnya, 71 persen petani belum bergabung dalam kelembagaan petani dan 77 persen produktivitas sawit kurang dari 1 ton per hektare per bulan. Studi itu juga mengungkapkan, 54 persen petani menggunakan bibit tidak bersertifikat, 97 persen petani belum didampingi penyuluh, dan 73 persen petani menjual tandan buah sawit ke tengkulak.

Dari aspek kepemilikan lahan, 79 persen petani masih belum memiliki sertifikat tanah dan hanya delapan persen petani yang memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Untuk Budidaya (STDB). Persoalan lain dari petani sawit adalah peremajaan sawit untuk pohon yang sudah tidak produktif. Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sebetulnya memiliki program peremajaan sawit rakyat. Hanya saja, sampai Oktober 2019 realisasinya baru 29 persen dari target.

Riset ini merupakan hasil kerjasama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.

Related Article

id_IDID