Madani

Tentang Kami

Intensitas Emisi Diproyeksikan Turun 22 Persen dengan Pelaksanaan LCDI

Intensitas Emisi Diproyeksikan Turun 22 Persen dengan Pelaksanaan LCDI

Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan intensitas emisi gas rumah kaca Indonesia dapat turun 22 persen jika menjalankan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (Low Carbon Development Indonesia/LCDI).

Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia dikembangkan berdasarkan kajian berbasis bukti dan diintegrasikan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Berdasarkan kajian di bawah Bappenas, perencanaan pembangunan rendah karbon tersebut dibuat dapat mengakomodasi ekonomi dan sosial, namun tetap mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dalam LCDI, proyeksi pertumbuhan ekonomi cukup baik rata-rata enam persen, begitu pula untuk Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkat dengan baik. Terjadi penurunan tingkat kemiskinan 4,2 persen sebagai dampak positif perbaikan lingkungan.


Dengan LCDI, harapannya target penurunan emisi GRK Indonesia di 2030 untuk memenuhi Paris Agreement terpenuhi dan di saat yang sama intensitas emisi turun 22 persen. Tantangan pembangunan berkelanjutan saat ini banyak, salah satunya pandemi COVID-19, sehingga perlu kebijakan pembangunan yang lebih adaptif dalam LCDI.

Untuk mengetahui pemberitaan media periode ini dengan lebih lengkap, silakan unduh materi yang tersedia di lampiran. Semoga bermanfaat.

Related Article

Banjir Bandang Luwu Utara, Sawit dan Pembukaan Lahan

Banjir Bandang Luwu Utara, Sawit dan Pembukaan Lahan

Pada 13 Juli 2020 lalu banjir bandang melanda Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Banjir bandang ini telah mengakibatkan 38 orang meninggal, 106 orang luka-luka dan 10 orang hilang. Dan lebih dari 14 ribu orang mengungsi di 76 titik. Mereka berasal dari tiga kecamatan, yakni Masamba, Baebunta, dan Sabbang. Sementara itu, ada enam kecamatan terdampak banjir bandang tersebut, yaitu Kecamatan Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke, dan Malangke Barat. Banjir bandang ini juga menerjang kawasan pemukiman, sawah dan lahan perkebunan. Bupati Luwu Utara menetapkan status tanggap darurat selama 30 hari, sejak 14 Juli hingga 12 Agustus 2020. 

Banjir bandang di Luwu Utara ini sebenarnya telah diprediksi oleh Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin sejak 2019, karena banyaknya alih fungsi lahan, adanya perluasan kawasan pertambangan, penebangan hutan dan perluasan lahan-lahan perkebunan sawit di kawasan hulu.

Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin telah membuat kajian sejak 2017. Dan di tahun 2019 hasil penelitian ini diterbitkan dalam Journal of Physics. Dalam laporannya disebutkan bahwa Luwu Utara merupakan salah satu daerah dengan risiko tinggi banjir karena wilayah hulu sungai di Masamba telah terjadi degradasi akibat banyaknya kawasan yang beralih fungsi.

Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK menyebut jika faktor penyebab terjadinya banjir bandang di Luwu Utara ini karena faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam disebabkan karena curah hujan yang tinggi, lebih dari 100 mm per hari di DAS Balease. Ditambah dengan kemiringan lereng di hulu DAS Balease sangat curam, lebih dari 45%. Karakteristik tanah dan batuan di lereng yang curam mudah longsor, membentuk bending alami atau tidak stabil, sehingga mudah jebol ketika ada debit air tinggi.

Faktor manusia disebabkan karena adanya pembukaan lahan di hulu DAS Balease dan perkebunan kelapa sawit yang masif. KLHK merekomendasikan adanya pemulihan lahan terbuka di daerah hulu.

WALHI Sulawesi Selatan mengatakan bahwa sejak 2018 telah terjadi alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit yang luasnya mencapai 22.000 Ha. Perubahan fungsi ini menjadi penyebab banjir bandang. Ini terbukti dari batang-batang kayu dalam jumlah besar yang ikut terbawa banjir ke kawasan permukiman masyarakat, yang menjadi bukti kuat pengrusakan hutan di bagian hulu maupun daerah aliran sungai. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal perkebunan sawit telah menurunkan kemampuan kawasan hulu dan daerah aliran sungai dalam menampung curah hujan yang tinggi. 

BNPB pun mengungkap bahwa penyebab banjir bandang Luwu Utara karena adanya curah hujan yang tinggi, adanya alih fungsi lahan yang diantaranya untuk perkebunan sawit, serta adanya sejarah patahan yang mengakibatkan kondisi formasi di kawasan hulu lemah sehingga mudah longsor.

Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel mensinyalir hal yang sama, bahwa banjir bandang ini disebabkan adanya konsesi-konsesi sawit dan pertambangan. Dalam catatan KPA Sulsel dijelaskan bahwa Luwu Utara yang memiliki luas 750.268 Ha ini memiliki HGU seluas 90.045 Ha. Dan ada tujuh perusahaan swasta menguasai 84.389 Ha, dan satu BUMN seluas 5.665.00 Ha. Dari luas wilayah HGU tersebut, lebih dari 61.000 Ha digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Padahal dalam RTRW Luwu Utara dan geoportal ESDM menunjukkan bahwa lokasi-lokasi tersebut masuk dalam kawasan rawan bencana.

Namun temuan bahwa penyebab banjir bandang di Luwu Utara karena adanya dugaan pembabatan hutan, perluasan kawasan pertambangan, dan pembukaan lahan baru di hulu sungai ini ditampik oleh Bupati Luwu Utara. Bupati Luwu Utara bersikukuh bahwa banjir ini murni bencana setelah dua gunung mengalami longsor, yaitu Gunung Lero yang berdampak ke Sungai Radda, dan Gunung Magandrang yang berdampak ke Sungai Masamba. Hal ini diperparah karena curah hujan yang sangat tinggi. 

Penjelasan Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh LAPAN menarik untuk disimak. Ia menjelaskan bahwa berdasar analisa citra satelit Landsat 2010 dan 2020 telah terjadi perubahan luas tutupan hutan besar-besaran di daerah aliran sungai Balease, Rongkong dan Amang Sang An. Terjadi penurunan hutan primer sekitar 29 ribu Ha, dan peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 Ha serta peningkatan lahan perkebunan itu sekitar 2.261 Ha.

Hasil pemantauan lainnya yang dilakukan oleh LAPAN dengan menggunakan satelit juga menemukan banyak wilayah daerah longsor di wilayah hulu Sungai Rangkong, Radda dan Masamba. Pantauan BPBD setempat, akses jalur poros Masamba–Baebunta, Jalan Poros di Kecamatan Sabbang menuju Desa Malimbu masih tertimbun lumpur dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Sementara itu lahan produktif yang rusak mencapai 219 ha lahan pertanian dan 214 ha lahan sawah.

LAPAN merekomendasikan perlunya dilakukan mitigasi agar tidak terjadi banjirbandang berikutnya. [ ]

Related Article

1000 Gagasan Ekonomi, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru

1000 Gagasan Ekonomi, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru

[Jakarta, 23 Juli 2020] Pembangunan ekonomi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Model ini sangat rentan terhadap goncangan, sehingga harus segera bertransformasi. Dampak dari model pembangunan yang ekstraktif sudah nampak di depan mata, seperti kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi. Walaupun kejadian kebakaran hutan yang terjadi pada tahun belakangan ini tidak seekstrim tahun 2015, namun dibandingkan antara tahun 2018 dan 2019 terjadi kenaikan yang sangat signifikan dari 720 kejadian menjadi sekitar 3.700 kejadian kebakaran. Di sisi lain, anggaran untuk penanggulangan kebakaran di KLHK menurun. Ini adalah tantangan baik bagi pemerintah maupun kita semua.

Kondisi pandemi Covid-19 yang kita rasakan saat ini adalah goncangan terkini bagi perekonomian dunia. Dalam Global Risks Report 2020, diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi atau PDB Indonesia bisa mencapai 0% pada akhir tahun 2020. Namun, risiko yang lebih jangka panjang terhadap ekonomi global adalah permasalahan lingkungan, termasuk hilangnya ekosistem seperti hutan alam, gambut, dan mangrove, dan kegagalan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru yang  dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 23 Juli 2020.

Terkait pemulihan ekonomi nasional, fokus pemerintah ditekankan pada sektor kesehatan, ketahanan pangan, bantuan ekonomi dan sosial. Perlu dipastikan bahwa pemulihan ekonomi nasional yang dijalankan bisa memperkuat pondasi ekonomi Indonesia untuk bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan dan tidak merusak hutan. Dari anggaran PEN yang disediakan oleh pemerintah sekitar Rp 695,2 triliun, belum secara eksplisit menyinggung tentang transformasi ekonomi. Apakah paket stimulus yang sudah dibuat dan dianggarkan oleh pemerintah sudah dapat mengatasi ancaman-ancaman yang sedang dihadapi saat ini? Kondisi saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk mengubah arah pembangunan ekonomi Indonesia, masih ada kesempatan untuk “changing course” untuk bertransformasi menjalankan sustainable development. Harapannya arah pembangunan tidak lagi bertumpu pada eksploitasi Sumber Daya Alam dan lebih memprioritaskan pada pemulihan dan perlindungan lingkungan (green recovery),” tambah Nadia.

Sementara itu, Prof. Emil Salim, Pendiri dan Dewan Pembina Yayasan KEHATI yang menjadi pembicara kunci pada Diskusi tersebut menyampaikan bahwa perkayaan hutan menjadi kata kunci utama. “Kata kuncinya adalah perkayaan hutan. Bukan eksploitasi, tapi enrichment. Hutan dan pohon tetap dijaga, tapi resource dari hutan yang kita manfaatkan untuk perkayaan pembangunan,” papar Emil Salim. “Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Jangan kalah sama Korea yang terkenal dengan ginsengnya, kita pun juga bisa terkenal dengan hasil alam kita,” lanjutnya.

Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) mengatakan bahwa butuh keberpihakan yang lebih strategis mulai dari fiskal, regulasi dan keberpihakan politik untuk memberikan ruang bagi praktik-praktik dan kebijakan pro konservasi. “Ke depan, perlu endorsing dan literasi green economy ke partai-partai, parlemen, istana, media dan semua unsur masyarakat sipil,” kata Ronny P. Sasmita.

Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memberikan gagasan agar pencegahan Karhutla dapat menjadi Indeks Kinerja Utama Pemimpin Publik. “Pencegahan Karhutla bukanlah isu sektoral, karena itu semua elemen pemerintah daerah maupun pusat harus berkontribusi. Caranya, dijadikan Indeks Kinerja,” ujarnya.

Gagasan lain yang disampaikan oleh Joko Tri Haryanto adalah berkaitan dengan pendanaan untuk menjaga kelestarian hutan dan menciptakan keadilan lingkungan. “Perlu  adanya skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) khususnya dari provinsi ke kabupaten/kota dan desa, atau yang disebut dengan Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan dari kabupaten ke desa lewat Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikenal sebagai Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi ( TAKE). Kondisi ini didasari fakta bahwa setiap tahunnya, pemerintah provinsi mengalokasikan dana fiskal ke kabupaten/kota melalui Bantuan Keuangan (Bankeu), Bantuan Sosial (Bansos), Hibah dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah.

Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Conservation Strategy Fund Indonesia menyampaikan gagasannya terkait upaya mencegah karhutla. “Pertama, perlu perombakan Sistem Integrated Fire Management (IFM) agar 80% fokus kerja dan anggaran ada di upaya pencegahan dan hanya 20% di pemadaman. Diperlukan Unit Pencegahan Karhutla sebagai unit khusus dengan pendanaan yang cukup. Kedua, menghapus semua dana pemadaman yang dapat berpotensi mendorong kebakaran karena tanpa kebakaran dana tersebut tidak dapat digunakan. Dana ini sebagian ada dalam  anggaran KLHK, namun sebagian besar dalam bentuk dana ‘on call’ darurat yang dikelola BNPB. Ketiga, membuktikan pemerintah berani mengeksekusi keputusan pengadilan dalam bentuk denda triliunan rupiah pada perusahaan-perusahaan besar yang terbukti melakukan karhutla. Ketika langkah ini akan menyatukan arah insentif dalam penanangan karhutla menuju pencegahan karhutla”.

Perlunya transformasi pembangunan yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan inilah yang melatarbelakangi Yayasan Madani Berkelanjutan menggagas Gerakan #1000GagasanEkonomi. Gerakan ini diharapkan bisa menjadi pemicu sekaligus wadah untuk mengumpulkan dan menggaungkan gagasan-gagasan konkret terbaik anak bangsa untuk membangun ekonomi Indonesia ke depan tanpa mengorbankan lingkungan dan hutan, demi masa depan generasi mendatang. Mari berbagi gagasan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. [ ]

oooOOOooo

Narahubung:

– Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

[1000 gagasan] KEKAYAAN SUMBERDAYA ALAM DI BAWAH CENGKERAMAN KORUPSI INSTITUSIONAL

[1000 gagasan] KEKAYAAN SUMBERDAYA ALAM DI BAWAH CENGKERAMAN KORUPSI INSTITUSIONAL

Pola pikir bahwa apabila ada investasi maka diikuti adanya dampak posistif terutama bagi ekonomi, dan dampak negatif terutama bagi lingkungan hidup, dapat menjadi titik awal bagaimana pembangunan itu seharusnya berjalan. Namun tidak sesederhana itu, karena dampak positif maupun negatif tersebut dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu dan tidak dirasakan oleh kelompok masyarakat lainnya, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 

Agar selalu terjadi keseimbangan dan keadilan, investasi bukan saja dikendalikan sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, tetapi hasil dan dampaknya harus dapat diidstribusikan secara adil. Hal itu menunjukkan di satu sisi, penggunaan ilmu pengetahuan harus komprehensif yang dikenal dalam bentuk transdisiplin dan peka terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, di sisi lain, penggunaan ilmu pengetahuan itu harus patuh pada hukum alam yang bekerja atas kehendak sifat-sifat alam itu sendiri.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Konservasi

Tidak ada “membangun tanpa merusak”; ada yang menyatakan “Membangun rumah dengan menggali tanah saja juga dapat membunuh cacing”. Tentu yang dimaksud bukan demikian. Kerusakan yang dimaksud ada yang tidak dapat ditolerasi, tidak dapat dipulihkan, tidak dapat diminimumkan, ataupun tidak dapat ditanggung secara adil. Lebih jauh, segala bentuk pengorbanan—langsung ataupun tidak langsung, harus dapat dikendalikan, dicegah, ataupun dihentikan melalui sanksi. Tetapi mengapa, pengendalian seperti itu—khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam, umumnya tidak berjalan?

Salah satu penjelasan yang mungkin adalah terjadinya korupsi institusional (Steinberg, 2015). Institusi atau kelembagaan yang dimaksud disini, pada dasarnya merupakan himpunan nilai-nilai abstrak yang membatasi perilaku dan tindakan manusia. Institusi atau kelembagaan disamping dalam pengertian lembaga/organisasi atau perangkat keras, juga termasuk perangkat lunak seperti: aturan main, norma, budaya-kognitif, mekanisme kerja, serta besaran dan distribusi kewenangan dan otoritas yang berjalan (Scott, 2008).

Untuk mengetahui gagasan lengkap dari Hariadi Kartodihardjo, silakan unduh bahan yang tersedia di lampiran. Semoga bermanfaat.

Oleh: Hariadi Kartodihardjo

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Insitute Pertanian Bogor (IPB)

Related Article

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Mengapa Pembangunan Berkelanjutan

Sehabis Perang Dunia kedua ekonomi dunia kembali berputar seperti sedia kala dengan tekanan utama pada pembangunan ekonomi mengeksploitasi sumber daya alam oleh sumber daya manusia menghasilkan produk domestik bruto nasional. Namun kini produksi ekonomi juga menggunakan bahan-bahan penemuan baru. Pembangunan tetap mengeksploitasi sumber daya alam untuk kemaslahatan manusia. 

Begitu pula di Jepang di Teluk Yatsushiro, di bagian tenggara Kyushu terletak pelabuhan perikanan bernama Minamata. Sebuah perusahaan, Nippon Chisso Hiryo Company memilih tempat ini sebagai lokasi produksi pupuk kimia, karbit dan vinyl chlorida. Setelah beberapa lama, tiba-tiba di tahun 1956 menjangkit penyakit aneh yang merusak muka dan tubuh nelayan dan keluarga mereka. Suatu penyakit yang tak pernah dikenal itu kemudian  dijuluki “penyakit Minamata”. 

Baru beberapa waktu kemudian para ahli menemukan bahwa penyakit ini disebabkan akibat pembuangan unsur organo-mercury dalam limbah yang dibuang ke laut oleh pabrik- pabrik kimia lokal, sehingga mencemari ikan dan karang yang dikonsumsi oleh penduduk lokal dan keluarganya. Dan penyakit Minamata akibat pencemaran air laut adalah peristiwa polusi industri yang pertama menggugah keprihatinan publik dunia yang membangkitkan gerakan perlindungan lingkungan.

Industri pertanian di Amerika Serikat sudah sejak beberapa lama di tahun lima-puluhan menggunakan insektisida dan pestisida secara intensif dalam memicu kenaikan produksinya. Dampak cara produksi ini pada kehidupan alami luput dari perhatian orang. Sampai seorang penulis yang juga ahli biologi di Amerika Serikat menulis buku “Silent Spring” (1962) yang menggugah publik terhadap dampak negatif penggunaan racun kimia terhadap kehidupan alami. Burung-buung berhenti berkicauan dan alam bagaikan membisu di musim semi. Publik mulai menggugat pola pertanian yang mencemari lingkungan.

Dua kasus ini, pencemaran laut dan darat, menjadi pemicu tumbuhnya keprihatinan terhadap pola pembangunan yang mencemari lingkungan. Sehingga mendorong Perserikatan Bangsa2 mengambil prakarsa menyelenggarakan United Nations Conference on Human Environment di Stockholm, Swedia di bulan Juni 1972. Keputusan penting konferensi ini adalah membentuk United Nations Environment Program ( UNEP) berkedudukan di Nairobi, Kenya. Selama 10 tahun UNEP bekerja memperkenalkan masalah-masalah lingkungan di dunia. Namun bagaimana menanggulangi permasalahan lingkungan belum ditemukan jawabannya. Sehingga dirasa perlu membentuk World Commission on Environment and Development (WCED) atau yang dikenal kemudian dengan “Brundtland Commission”, sebuah komisi terdiri dari 12 peserta wakil-wakil negara dipimpin oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlen Brundtland dan menerbitkan laporan Our Common Future (1987).

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa yang Mesti Menang

Inti gagasan dalam laporan ini adalah mengusulkan perubahan pola pembangunan menjadi Sustainable Development, yakni “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (WCED, “1987).  Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima laporan ini untuk dijabarkan lebih lanjut dalam program kerja untuk dibahas dalam Pertemuan Puncak PBB (UN Summit on Environment and Development” yang direncanakan berlangsung pada Hari Lingkungan 5 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. 

Suatu Preparatory Committee dibawah pimpinan dibentuk dibawah pimpinan Maurice Strong, salah satu anggota WCED dan mantan Ketua UN Conference on Human Environment, Stockholm, Swedia, 1992. Komite inilah melaksanakan rangkaian pertemuan di tahun-tahun 1988-1992 menyiapkan program kerja berjudul “Agenda 21 yang bertujuan harmonisasi berbagai kebijakan dan rencana di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan yang berlaku di negara-negara untuk menjamin pembangunan ekonomi yang secara sosial bertanggung-jawab sambil melindungi basis sumber daya alam dan lingkungan bagi kemaslahatan generasi-generasi masa depan. 

Sementara itu juga dirundingkan secara terpisah oleh kelompok Perubahan Iklim, suatu rancangan konvensi tentang pengendalian hayati, serta  perubahan iklim, dan kelompok Keanekaragaman Hayati yang menyiapkan rancangan konvensi tentang perlindungan keanekaragaman serta kelompok yang menyusun rencana pengelolaan hutan secara berkelanjutan. 

Apa Itu Pembangunan Berkelanjutan?

 

United Nations Summit on Sustainable Development di Rio de Janeiro, Ibu Kota Brazil Juni 1992 adalah muara dari persiapan, sidang komite, diskusi dan rangkaian pertemuan dan dihadiri oleh ratusan kepala Negara dan Pemerintahan, termasuk Presiden Soeharto. UN summit ini menyepakati (1) Rio Declaration on Environment and Development mencakup 27 prinsip pembangunan; (2) program kerja Agenda 21 mencakup 120 program aksi dengan biaya US$ 600 miliar setahun; (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim; (3) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; dan (4) Kesepakatan tentang pengelolaan hutan tropis secara berkelanjutan.

Lengkap dan menyeluruh hasil keputusan Rio Summit on Sustainable Development sehingga semua peserta kembali ke tanah-air dengan hati gembiran dan penuh optimisme. Dan dunia sepakat untuk bertemu kembali dalam Rio Summit on Sustainable Development kedua, Juni 2002 di Rio de Janeiro, Brazil. Sejak 1990 dunia berada dalam suasana euphoria dengan penanda-tanganan mutual nonaggression pact November 1990 oleh Presiden George Bush (senior) dan Pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev, yang mengakhiri perang dingin antara negara-negara Barat dengan negara-negara Komunis. Re-unifikasi Jerman menjadi satu negara terpulihkan kembali. Di akhir Februari 1991 Amerika Serikat memimpin pasukan sekutu terhadap tentera Irak dan menundukkannya dalam Perang Teluk Persia yang pertama.

Sejak 2001 Presiden USA, George Herbert Walker Bush (senior) diganti oleh putranya, George Walker Bush (junior) sebagai Presiden USA selama dua periode di tahun-tahun 2001-2009. Di masa inilah terjadi perubahan penting yang membenamkan optimisme tentang kebangkitan pembangunan berkelanjutan. Presiden Bush, yang latar belakangnya adalah pengusaha minyak di Midland, Texas, memutuskan untuk membatalkan kesepakatan untuk menurunkan gas rumah-kaca. Dan ketika terjadi “serangan 11 September 200” menghancurkan gedung Twin Peak di New York oleh teroris, meletuslah di Amerika Serikat gerakan counter-terorisme terhadap Osama bin Laden dengan jejaringnya al-Qaeda yang menyeretnya ke dalam sengketa bersenjata. Perubahan orientasi dan semangat yang ditimbulkan oleh Presiden Bush ke arah “perang terhadap terorisme” mendesakkan pelaksanaan program Agenda 21 terdesak ke belakang di panggung politik ekonomi dunia. Dengan latar belakang ini, maka praktis tak banyak dari Agenda 21 bisa diwujudkan.

Sementara itu negara-negara berkembang prihatin bahwa masalah kemiskinan agak tertinggal dalam derap pemikiran pembangunan berkelanjutan. Karena itu tumbuh dalam masyarakat global usaha untuk meningkatkan segi pembangunan sosial yang memuat usaha memberantas kemiskinan, mengembangkan segi sosial pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan menurunkan tingkat kematian bayi. Usaha yang berat menekankan dimensi pembangunan sosial mencapai momentumnya pada Konferensi Global tahun 2000 yang  mendeklarasikan “Millennium Development Goals

Sehingga ketika berlangsung World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002,10 tahun sesudah Rio Summit 1992, maka hasil Konferensi Global 2000 yang melahirkan “Millennium Development Goals” banyak mewarnai kesimpulan Summit Johannesburg dalam Political Declaration and Johannesburg Plan of Implementation” (JPOI). Kesimpulan JPOI ini terdiri dari 170 paragraf dan memuat program penurunan angka kemiskinan, mengubah pola konsumsi dan produksi ke arah pembangunan berkelanjutan, disertai lengembangan tata-kelola good governance. 

Iklim politik dunia di masa pasca 2002 ditandai oleh berbagai sengketa politik dan konflik bersenjata dengan Amerika Serikat sebagai pelopornya. Hal ini mengakibatkan bahwa peranan Amerika Serikat menyusut baik dalam JPOI maupun  dalam pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim yang tak kunjung mencapai kesepakatan. Pada masa politik sengketa antar negara berkembang tinggi, aktifitas pembangunan berkelanjutan seperti yang disepakati dalam berbagai summit terdesak ke belakang.

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Dalam suasana minor inilah “Summit Rio + 20”, Juni  2012 berlangsung kembali di Rio de Janeiro, Brazil. Dokumen utama adalah “The Future We Want”. Namun suasana tertekan oleh panasnya pergolakan politik perang dan semangat peserta dalam Summit Meeting ini kurang bergairah. Dan ini tidak menguntungkan negara berkembang yang sedang bergelut dengan kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan. Karena itu tindak lanjut mengisi dokumen “The Future We Want”  menjadi penting. Dan disepakati pembahasan ditindaklanjuti dalam “Open Group of 30 Nations on Sustainable Development Goals” yang akan membahas tiga sumber pemikiran: 1. High Level Panel of Eminent Persons; 2. UN Sustainable Development Network yang dipimpin Jeffrey Sachs; 3. Konsultasi Global yang dikoordinasi oleh UNDP.High Level Panel of Eminent Person dibentuk oleh Sekjen PBB dan yang berdiri menjadi Co-chairs adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Indonesia), Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Sirleaf Johnson. 

Disamping ini juga dibentuk Open Working Group on Sustainable Development Goals untuk menjabarkan 27 kelompok isu hasil Summit Rio +20 tahun 2012 yang dijadikan bagian dari Agenda Pembangunan Global Pasca 2015. Semua kegiatan ini menggabungkan Millennium Development Goals dalam kerangka luas pembangunan berkelanjutan untuk kemudian tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG). Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di bulan September 2015, sebanyak 193 negara-negara anggota PBB  menyepakati Resolusi PBB nomor 70/1 untuk menerima  Agenda Pembangunan Global Pasca 2015: Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development.

Isi Pembangunan Berkelanjutan

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dikenal dengan singkatan SDG memuat pola pembangunan yang mencakup 3 pilar utama pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan serta pilar hukum dan tata-kelola. Pilar pembangunan sosial memiliki 5 tujuan: mengakhiri kemiskinan; menghilangkan kelaparan, membangun kehidupan yang sehat dan sejahtera; menjamin kualitas pendidikan yang inklusif; mencapai kesetaraan gender.

Pilar pembangunan ekonomi dengan 5 tujuan: menjamin ketersediaan air dan fasilitas sanitasi; menjamin akses energi; meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif; membangun infrastruktur yang tangguh; mengurangi kesenjangan intra dan antar-negara. Pilar pembangunan lingkungan dengan enam tujuan: penyediaan air bersih dan sanitasi layak; pengembangsan kota dan permukiman berkelanjutan, konsumsi dan produksi secara berkelanjutan; penanganan dampak perubahan iklim, ekosistem lautan dan daratan; Pilar pembangunan hukum dan tata-kelola untuk menyalurkan arus ekonomi-sosial dan lingkungan dalam kerangka umum menegakkan “Good Governance.” Ke empat pilar pembangunan diperinci lebih detail dalam 169 sasaran dengan 320 indikator yang dirangkum dalam Metadata Indikator SDG Agenda Global 2015-2030.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 59/2017 tentang “Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”  maka sejak 5 Juni 2018 dibentuk Tim Koordinasi Nasional terdiri atas Dewan Pengarah yang dipimpin Presiden yang sehari-hari dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Nasional/Ketua Bappenas. Sedangkan di daerah juga dibentuk Tim Koordinasi Daerah melaksanakan Rencana Aksi Daerah untuk SDG dibawah pimpinan Gubernur. Dengan mekanisme ini diharap agar pelaksanaan SDG di Indonesia diharapkan dapat terwujud.

Semula gagasan pembangunan memuat hanya dimensi ekonomi, namun perkembangan kehidupan nyata di masyarakat dunia menunjukkan bahwa pembangunan bidang ekonomi saja tida cukup. Peristiwa lahirnya penyakit Minamata dan musnahnya kehidupan makhluk alami mengakibatkan senyapnya kicauan burung  di musim semi, mengakibatkan bahwa hakekat pembangunan yang hanya mengutamakan segi pembangunan perlu dikoreksi dengan memperhitungkan segi-segi kehidupan lingkungan.

Para ilmuwan mulai sadar bahwa kehidupan makhluk hidup berada dalam lingkungan bumi yang memiliki kendala (ecological constrains) yang bersifat fundamental. Steffen W.I. Rockstrom dan R. Constanza dalam artikel “How Defining Planetary Boundaries Can Transform Our Approach to Growth” dalam Solution, volume 2, nomor 3 May 2011 mengungkapkan fundamental ecological constraints yang mencakup (1) perubahan iklim, (2) ancaman terhadap berlanjutnya siklus biogeo-kimia dan nitrogen; (3) kehidupan keanekaragaman hayati. Ketiga unsur ini kini diketahui sudah melampaui ambang batas sehingga mengancam keberlanjutan kehidupan alami. Tetapi juga ada unsur-unsur yang belum diketahui ambang batasnya tetapi sudah mengancam kehidupan, seperti (1) pencemaran kimia; (2) muatan aerosol atmosphere; (3) acidifikasi samudera; (4) deplesi Ozon Stratospheric; (5) terganggunya siklus phosphor dalam biogeokimia; (6) terancamnya ketersediaan air tawar global; (7) terganggunya keberlanjutan ekosistem dalam penggunaan lahan.

Semua unsur lingkungan alamiah menderita tekanan dan kerusakan akibat pola pembangunan ekonomi yang dijalankan manusia. Sehingga teknologi dan proses pembangunan ekonomi telah menimbulkan tekanan bagi ancaman keberlangsungan berfungsinya ecological ceiling yang aman bagi perikehidupan manusia. Berturut tumbuh rangkaian gangguan alami buatan manusia yang menekan ecological ceiling  dalam kehidupan planet bumi kita berupa: perubahan iklim, deplesi ozone, polusi udara, kehilangan keanekaragaman hayati, pengalihan fungsi lahan, penyedotan air tawar secara berlebihan, pelepasan zat nitrogen dan fosfor, polusi kimia, dan acidifikasi samudera. Berbagai kerusakan unsur-unsur ini merupakan  ecological ceiling yang semakin menekan ruang hidup manusia.

Pembangunan ekonomi juga dipengaruhi oleh fondasi sosial bagi kehidupan, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, perdamaian dan keadilan, hak berpolitik, kesetaraan sosial, kesetaraan gender, pemukiman, energi, air dan jejaring sosial. Terdapat landasan sosial di atas mana peri kehidupan manusia berlangsung dan menentukan kualitas hidup. Sehingga K. Raworth dalam bukunya Doughnut Economics (Oxfam International, 2012) mengumpamakan bahwa “the safe and just space for humanity” terletak antara ecological ceiling dan social foundation — bagaikan roti donat yang terdiri dari dua belah roti yang menghimpit daging.

 

Yang mencemaskan adalah bahwa perkembangan pembangunan global mengakibatkan ecological ceiling dijebol sehingga ambang batasnya dilampaui, sedangkan social foundation tertekan sehingga menderita kekurangan. Sehingga keberlanjutan kehidupan manusia terancam dalam jangka panjang. Yang mendorong terancamnya keberlanjutan kehidupan manusia adalah mainstream teori ekonomi yang bertolak dari homo economicus yang rasional berperhitungan, berorientasi pada ego kepentingan diri dan bertujuan maksimalisasi manfaat dan keuntungan. Sehingga melahirkan teori dan kebijakan pembangunan yang senantiasa tertuju pada tahapan take off menuju sustained growth. Sukses pembangunan diukur pada laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Tingginya per capita income menjadi dambaan pembuat kebijakan pembangunan, sementara dampaknya pada sistem sosial dan alam pendukung kehidupan terabaikan.

Dalam iklim pembangunan ekonomi seperti inilah tumbuh reaksi perlawanan yang ingin melestarikan sistem penunjang kehidupan lingkungan sosial dan alam demi keberlanjutan kehidupan manusia. Arus semangat dan pikiran inilah yang mendorong lahirnya paradigma pembangunan berkelanjutan dengan tiga jalur ekonomi-sosial-lingkungan.

BACA JUGA: Melihat Indonesia Sebagai Satu Kesatuan; Kebutuhan Perubahan Paradigma Pembangunan

Pada hakikatnya pembangunan ekonomi perlu mengandalkan kemajuan ilmu sains dan teknologi untuk bisa menaikkan nilai tambah dari sumber daya alam. Dalam kerangka ini ikhtiar menaikkan produktivitas manusia dan masyarakat menjadi penting agar produksi bisa berlangsung dengan penggunaan sumber daya alam yang semakin sedikit. Pola pembangunan harus juga memperhitungkan dampak pengelolaan sumber daya alam agar tidak melampaui ambang batas keberlanjutannya. Begitu pula agar dampak pengelolaan sumber daya alam tidak mengurangi keberlanjutan fungsi alam. Ringkasnya pembangunan perlu dijalankan bagaikan “melempar bahan ke danau” begitu rupa sehingga gelombang dampak yang ditimbulkannya tidak tinggi dan terpulihkan kembali dalam waktu singkat. Sehingga perencanaan penggunaan sumber daya alam perlu memperhitungkan daya dukung ekosistem melalui perencanaan pengembangan tata-ruang dan teknologi yang eco-friendly dengan tingkat produktivitas manusia yang tinggi.

Dan ini membawa kita pada dimensi sosial dalam pembangunan. Pembangunan ekonomi tidak berlangsung dalam social vacuum, tetapi dalam kehidupan sosial yang hidup dan dinamis. Manusia memiliki potensi kemampuan kreatif dan produktif asal dikembangkan secara sungguh-sungguh. Karena itu maka pembangunan juga memiliki  dimensi sosial mengembangkan potensi kreativitas yang hidup dalam masyarakat. 

Banyak negara berkembang menderita kemiskinan yang dianggap karena ketidak mampuan sang miskin melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Sesungguhnya penduduk yang miskin adalah bagaikan “orang yang terperosok ke lubang yang dalam”. Ia memiliki otot, otak dan tenaga, namun lubangnya terlalu dalam sehingga kemampuan diri tidak cukup untuk mengeluarkan dirinya dari “lubang kemiskinan.” Sehingga untuk “mengeluarkan” diri dari lubang dalam itu, yang diperlukan adalah seutas tali yang bisa menariknya keluar dari lubang dalam ini. Maka yang dibutuhkan sang miskin untuk keluar dari “lubang kemiskinannya”adalah “tali” berupa fasilitas infrastruktur angkutan, listrik, air minum, fasilitas pendidikan dan perbankan, pemberdayaan masyarakat — ringkasnya segala faktor yang bisa membantu sang miskin untuk mengembangkan potensinya mengentaskan kemiskinan.  Karena itu usaha mengatasi kemiskinan adalah dengan memberinya kelengkapan infrastruktur fisik dan intelektualitas agar bisa mengeluarkan diri dari lubang kemiskinan. Inilah justifikasi mengapa pembangunan ekonomi harus disertai dengan dimensi sosial. 

Tetapi pembangunan tidak berlangsung dalam kehampaan alam. Alam memiliki berbagai ragam ekosistem alami yang berfungsi sebagai life-support system. Karena itu kegiatan pembangunan harus memperhitungkan dampak jejak pembangunan pada ekologi lingkungan yang harus berada dibawah kapasitas bio dan life support system.

Sistem ekologi alam dirusak oleh pola pembangunan yang terkonsentrasi hanya pada kepentingan ekonomi. Proses ekonomi berlangsung dalam “pasar dengan mekanisme harga yang mempengaruhi alokasi sumber daya pembangunan”. Kelemahan pasar adalah bahwa hanya sinyal ekonomi yang terukur bisa ditampung dalam pasar, sedangkan “sinyal kepentingan ekologi” berada di luar radar daya tangkap mekanisme ekonomi sehingga tidak tertangkap oleh ekonomi pasar. Karena itu biaya atau manfaat ekologi bersifat eksternalitas dalam ekonomi pasar dan tidak masuk dalam perhitungan ekonomi. Sehingga dibutuhkan intervensi hukum dan peranan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan internalisasi faktor eksternalitas lingkungan dalam pola perhitungan biaya dan manfaat.

Maka jelas bahwa pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini tidak memperhitungkan dimensi sosial dan lingkungan. Sehingga menghasilkan buah pembangunan yang merusak tatanan sosial, tidak menggubris penduduk miskin dan disertai kerusakan lingkungan dalam ekosistem nasional dan global yang mengancam kelangsungan kehidupan manusia.

Untuk mengentahui lebih lengkap gagasan dari Emil Salim, silakan unduh lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Oleh: Emil Salim

Pendiri dan Dewan Pembina Yayasan KEHATI

 

Related Article

[1000 gagasan] MENGHENTIKAN DEFORESTASI DENGAN MENCEGAH KARHUTLA MELALUI PEMBENAHAN SISTEM INSENTIF

[1000 gagasan] MENGHENTIKAN DEFORESTASI DENGAN MENCEGAH KARHUTLA MELALUI PEMBENAHAN SISTEM INSENTIF

Dapatkah Indonesia membangun tanpa deforestasi ? Ada dua jawaban untuk pertanyaan itu. Pertama, dapat, jika pemerintah dan pemangku kepentingan mengenali dengan baik tipologi dan sebab musabab terjadinya deforestasi dari berbagai aspek, plus komitmen yang serius dan konsisten untuk mencegahnya. Kedua, dapat, mungkin setelah 2045. Mengapa setelah 2045 ? Karena di sebagian tempat, Indonesia masih perlu mengkonversi hutan secara terencana menjadi lahan produktif lain untuk mewujudkan Indonesia emas 2045.

Tulisan singkat ini mengingatkan kembali tentang berbagai tipe deforestasi yang kita hadapi dan sebab-musababnya, diantaranya kebakaran hutan dan lahan gambut yang sebagian besar awalnya berhutan. Kebakaran hutan dan lahan didorong oleh 2 macam insentif. Pertama, keuntungan finansial dari membakar lahan dan keuntungan dari rente ekonomi yang diciptakan oleh anggaran belanja negara dari APBN. Kedua, tidak kredibelnya penegakan hukum atas larangan membakar lahan. Tulisan ini fokus pada penyampaian keterkaitan kebakaran hutan dan lahan dengan sistem insentif yang mendorong terjadinya, lalu ditutup dengan usulan pembenahan sistem insentif tersebut dan pengadaan satuan kerja khusus pencegahan kebakaran hutan dan lahan sebagai dua langkah signifikan untuk menghentikan deforestasi.

Tipologi deforestasi

Deforestasi terencana adalah bagian dari kebijakan kehutanan pemerintah Indonesia sejak dulu. Deforestasi terencana merupakan proses konversi lahan yang secara legal berstatus hutan menjadi lahan non-hutan. Deforestasi terencana dilakukan untuk mendukung alih fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman industri, lahan perkebunan, lahan tanaman pangan, lahan untuk tapak infrastruktur, dan pinjam pakai untuk keperluan eksploitasi bahan tambang dan galian.  Di beberapa provinsi seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, seluruh Jawa dan beberapa provinsi lain, tambahan deforestasi terencana tidak dapat lagi ditolerir, bahkan harusnya arahnya dibalik. Hutan harus diperluas untuk keperluan penataan ulang sistem hidrologi.  Sebaliknya di beberapa provinsi seperti di Papua dan Aceh, deforestasi tambahan terkait kebutuhan tempat tinggal yang meningkat akibat pertambahan penduduk, infrastruktur, dan pengembangan kegiatan ekonomi untuk mendukung kesejahteraan penduduk, masih dapat dipertimbangkan. Namun, perhitungan pertumbuhan ruang hidup dan fasilitas pendukungnya tidak boleh hanya didasarkan pada jumlah penduduk, tetapi juga harus mempertimbangkan teknologi, gaya hidup masyarakat yang berubah, ekonomi dan politik. 

BACA JUGA: Kekayaan Sumberdaya Alam di Bawah Cengkraman Korupsi Institusional

Selain deforestasi terencana melalui program konversi atau alih fungsi hutan oleh pemerintah, deforestasi tidak terencana adalah salah satu penyebab utama berkurangnya luas hutan Indonesia. Deforestasi tak terencana, terjadi melalui berbagai kegiatan di luar hukum (illegal) seperti konversi hutan secara liar yang dilakukan sektor usaha formal dan informal tanpa izin, keterlanjuran pemberian izin di kawasan hutan yang tidak dicadangkan untuk dikonversi, pembalakan liar, sebagian perladangan berpindah, penambangan liar, dan kebakaran hutan. Selain konversi yang terkait dengan perladangan berpindah oleh masyarakat tradisional, seringkali sebab-sebab deforestasi tidak terencana itu tidak berdiri sendiri. Kejahatan terorganisir (organized crime) dalam bentuk korupsi, kolusi, suap, dan penyalahgunaan kewenangan yang melibatkan pengusaha besar dan kecil dari sektor usaha formal dan informal, kalangan pejabat dan aparat sipil dan bersenjata biasanya mewarnai kegiatan deforestasi tidak terencana ini, termasuk kebakaran dan pembakaran hutan dan lahan gambut yang awalnya juga berupa area berhutan. Deforestasi tidak terencana ini biasanya akhirnya dikategorikan sebagai keterlanjuran, dan kemudian diputihkan, atau diterima sebagai bagian dari kebijakan dengan berbagai alasan. Kriminalitas yang ada di belakang keterlanjuran tersebut, tidak pernah diungkap lagi. Padahal proses pemutihan itu sendiri ditengarai sebagai bagian dari proses organized crime. Hal ini terjadi terus, bahkan sampai akhir 2019. Sebuah kawasan yang awalnya hutan gambut dalam di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat yang terlanjur masuk dalam HGU dua perusahaan perkebunan sawit, dinyatakan sebagai kawasan non-gambut dengan mengubah batas Kawasan hutan gambut persis sama dengan batas HGU perkebunan yang dimiliki salah satu kelompok konglomerat terbesar. Padahal Peraturan Presiden tentang Moratorium Lahan Gambut Tahun 2018 mengharuskan perkebunan sawit yang terlanjur memiliki lahan gambut dalam di kawasan HGUnya agar melepaskan kembali wilayah tersebut (relinquish) dari HGU untuk direstorasi menjadi hutan gambut kembali.

Karena deforestasi terencana mencakup aspek status legalitas lahan, maka sering terjadi kekisruhan dan perdebatan soal angka deforestasi. Sebagian wilayah yang tidak punya sebatang pohonpun, dan banyak wilayah pemukiman/pedesaan di Kalimantan, masih berstatus hutan secara legal. Status hutan atas wilayah-wilayah seperti itu menyembunyikan angka deforestasi yang sebenarnya. Sebaliknya, di wilayah yang berstatus non-hutan atau sudah diberi status area untuk penggunaan lain (APL), masih terdapat banyak hutan yang sehat. Beberapa kabupaten di Kalimantan memiliki puluhan ribu hektar kawasan APL yang masih memiliki hutan yang sehat. Para Pemerintah Kabupaten yang mendukung pembangunan berkelanjutan seperti Kabupaten Sintang memilih untuk mempertahankan Kawasan itu sebagai hutan dengan status Kawasan Ekosistem Esensial. Di kabupaten yang bupatinya yang pro-bisnis, hutan sehat di kawasan APL sedang menunggu ajalnya untuk dideforestasi atau dikonversi menjadi kawasan perkebunan.

Hal yang mirip terjadi juga dalam status hutan produksi alam dan hutan produksi tanaman industri (HTI). “Deforestasi internal” dalam arti perubahan status hutan alam menjadi HTI tidak diakui oleh pemerintah sebagai bagian dari deforestasi karena HTI secara legal hanya boleh ditanam di kawasan hutan permanen. Sebagian deforestasi internal terjadi karena lahan hutan alam yang dialokasikan untuk HTI (yang menurut aturan hanya boleh ditanam di hutan alam yang sudah rusak dan tidak produktif) justru memiliki hutan alam yang masih sehat. Sebagian HGU perkebunan juga berasal dari kawasan hutan alam yang masih sehat dan produktif meskipun secara legal masuk dalam kategori hutan yang dicadangkan untuk dikonversi.

Deforestasi dan Kebakaran Hutan dan Lahan

Apakah kebakaran hutan dan lahan tidak bisa dicegah sehingga terjadi setiap tahun dan dalam skala yang masif ? Mengapa kebakaran terjadi, siapa yang menanggung biayanya dan siapa yang menikmati manfaatnya? Memahami biaya riil kebakaran hutan dan lahan gambut, selain memiliki pemahaman yang kuat tentang penyebab dan sistem manajemennya, adalah kunci untuk membangun sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang efektif.

Kebakaran hutan berkelanjutan yang seolah-olah tidak dapat dicegah berpuluh tahun di Indonesia, terkait dengan proses deforestasi atau konversi lahan yang legal dan tidak legal. 100% karhutla di Indonesia disebabkan oleh perilaku tidak bertanggung jawab dari manusia dan korporasi. Perilaku ini didorong terutama oleh kesalahkaprahan sistem insentif yang bersumber dari kebijakan anggaran pemerintah dan tidak kredibelnya penegakan hukum atas pelaku pembakaran hutan.

Hampir seluruh perkebunan besar yang berasal dari lahan konversi legal (=deforestasi terencana) melibatkan pembakaran hutan dalam pembukaan lahannya sebelum ditanam meskipun dilarang. Hal ini dapat dibuktikan dari foto-foto satelit atas burned scars (bekas tanah terbakar) di wilayah HGU perkebunan. Kebakaran hutan dalam wilayah deforestasi terencana, yaitu dalam wilayah izin konsesi perusahaan, hampir selalu dinyatakan sebagai kecelakaan. Jika ‘kecelakaan’ kebakaran dapat terjadi di wilayah deforestasi terencana, maka pembakaran hutan adalah instrumen paling efektif dan banyak digunakan untuk deforestasi tidak terencana. Lahan hutan yang terbakar luas biasanya langsung berubah jadi perkebunan. Sebagian lagi, perlahan akan masuk dalam kategori lahan kritis yang secara kebijakan akan dihutankan kembali, tapi tidak pernah berhasil. Lahan itu kemudian dialokasikan menjadi konsesi perusahaan perkebunan. Di wilayah perkotaan, hutan kota dan wilayah serapan air diterlanjurkan’ dikonversi menjadi lahan HGB untuk pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, apartemen, dan perumahan. Ini juga bagian dari deforestasi illegal. Jika kemudian terjadi banjir, para kriminal yang menyebabkannya, tidak lagi dapat tersentuh hukum.

Kebakaran hutan dan lahan gambut menyebabkan krisis ekonomi dan lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan gambut, dan penggundulan hutan yang terjadi sesudahnya, menimbulkan biaya besar bagi masyarakat lokal dan global, tetapi memberi manfaat bagi segelintir orang. Kebakaran skala besar yang terjadi berulang di Indonesia menyebabkan bencana ekonomi dan lingkungan. Di tingkat negara, biaya termasuk kehilangan kayu dan tanaman, properti yang terbakar, hilangnya keanekaragaman hayati (tanaman obat, spesies langka), hilangnya hari kerja, penyakit pernapasan, hilangnya nyawa, dan kerusakan jangka panjang pada daerah tangkapan air dan kematian dini. Dari kabut asap dan emisi CO2 kerugian akibat penutupan bandara dan pelabuhan laut, dan perubahan iklim, berdampak jauh melampaui batas negara. Perkiraan biaya ekonomi menunjukkan bahwa kebakaran yang disebabkan ekonomi daerah mengalami persentase yang signifikan dari PDB provinsi mereka.

BACA JUGA: Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Upaya Menciptakan Keadilan Lingkungan

Menurut sebuah laporan Bank Dunia tahun 2016, di Indonesia, 2,6 juta hektar hutan dan lahan gambut yang terbakar antara Juni hingga Oktober 2015, merugikan negara lebih dari Rp 175 Triliun ( = US$ 16 miliar), tidak termasuk nilai kerugian karena penutupan pelabuhan di negara lain, dampak iklim akibat kebakaran hutan dan lahan, dan kematian dini. Dua pertiga dari total kerugian akibat kebakaran empat bulan pada tahun 2015 ditanggung langsung oleh masyarakat setempat dan ekonomi lokal, dan sepertiga terkait dengan hilangnya nilai jasa ekosistem jasa (tanpa menghitung biaya hilangnya jasa ekosistem selain dari hilangnya penyimpanan karbon). Lebih dari setengah dari total kerugian berasal dari pertanian dan produksi hutan. Kerugian signifikan lainnya dirasakan karena (i) penutupan pelabuhan dan jalan karena kabut asap; (ii) penutupan sekolah dan fasilitas layanan publik; dan (iii) 19 nyawa hilang;  dan (iv) lebih setengah juta orang terjangkit penyakit pernapasan. Dari segi ekonomi, di provinsi Kalimantan Tengah, biaya kebakaran mencapai 35% dari PDB untuk tahun itu dan menurunkan pertumbuhan PDB dari 8% pada tahun sebelumnya menjadi sekitar 3,5% pada tahun 2015. Di Sumatera Selatan di mana sebagian besar ekspansi kelapa sawit terjadi , biaya mencapai 15% dari PDB dan mengurangi pertumbuhan dari 6% menjadi 2%. Tahun 2019, kerugian akibat kebakaran sekitar 2 juta hektar hutan Indonesia diperkirakan sebesar Rp 200 Triliun Rupiah. Kerugian yang dihitung akibat kebakaran 2015 dan 2019 ini belum memasukkan nilai kehilangan keanekaragaman hayati, dan nilai jasa ekosistem lain di hutan. Kemudian, sebuah penelitian oleh ahli-ahli dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia di Amerika Serikat, memperkirakan bahwa kebakaran selama empat bulan menyebabkan sekitar 100.000 kematian dini orang dewasa di empat negara; 90% di antaranya ada di Indonesia. 

Deforestasi, Kebakaran Hutan dan Insentif Pendorongnya

De facto, deforestasi terjadi di lahan bekas kebakaran. Namun pemerintah tidak pernah mengumumkan secara resmi angka deforestasi yang terjadi menyusul kebakaran hutan dan lahan. Pendorong dan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah sistem insentif yang salah kaprah (perverse incentive), yaitu struktur insentif positif (yang mendorong perilaku) dan negatif (yang menghambat perilaku, disebut juga disinsentif) yang secara bersama-sama (atau resultantenya) memberikan hasil yang berlawanan dengan tujuan pemberian insentif. 

Insentif positif dalam kebakaran hutan adalah manfaat finansial yang diterima pelaku. Insentif negatif, atau disinsentif, adalah hukuman penjara dan denda yang dikenakan pada pelaku dan betul-betul dijalankan jika terbukti melakukan pembakaran. Kebakaran hutan di Indonesia marak karena finansial insentif yang diterima pelaku pembakaran sangat besar sementara hukum tidak kredibel. Vonis dan denda yang dikenakan lebih banyak terlihat sebagai gertak sambal. Situasi ini diperburuk dengan alokasi anggaran kebakaran hutan dan lahan yang sebagian besar (70-80%) fokus pada pemadaman, bukan pencegahan; dan indeks kinerja Satuan Kerja Pemerintah yang dinilai berdasarkan persentasi pengeluaran. Kebakaran hutan dan lahan muncul sebagai sebuah keniscayaan (sesuatu yang pasti./harus terjadi) karena menguntungkan banyak pihak. Disisi lain, pemerintah tidak memiliki unit khusus pencegahan kebakaran hutan dan lahan dengan sumber daya yang cukup (dedicated unit with dedicated resources).

Berbagai nilai manfaat finansial yang dinikmati oleh segelintir orang yang terorganisir kepentingannya adalah pendorong utama terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran skala besar terutama disebabkan oleh motif mencari keuntungan dari perusahaan besar, perusahaan kecil dan individu petani independen. Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang terkait dengan rantai pasar global, adalah pendorong utamanya (key driver). Pembukaan lahan dengan menggunakan api yang biayanya jauh lebih murah daripada dengan menggunakan metode mekanis (sering dibicarakan nilainya 1:5) mendorong pembakaran untuk tujuan pembukaan lahan untuk perkebunan. Selain itu, sebagian besar biaya pestisida pra-tanam dan biaya pupuk akan dihemat, berkat semua hama yang berubah menjadi pestisida setelah terbakar. Meskipun tuduhan penyebab kebakaran tidak dapat 100% ditimpakan pada perusahaan besar – karena ada pemilik kecil dalam sistem yang juga menikmati manfaat yang sama – masyarakat dan ekonomi lokal dekat lokasi  kebakaran menanggung kerugian jauh lebih tinggi dari manfaatnya.

Kebakaran selalu menjadi bagian dari pertanian skala kecil tradisional dan memainkan peran penting dalam pembebasan lahan. Dalam empat tahun terakhir di Indonesia, beberapa manajer perusahaan besar ditangkap karena membiarkan lahan untuk perkebunannya ter/dibakar dalam skala besar, sampai sekitar 50.000 hektar. Perusahaan-perusahaan tersebut dinyatakan bersalah dan dihukum denda di pengadilan. Pada awalnya perusahaan-perusahaan ini menuduh api disulut oleh petani sawit skala kecil atau masyarakat perambah. Dibutuhkan lebih dari upaya biasa untuk membuktikan kontrak kerja pembukaan lahan yang berlapis-lapis seringkali melibatkan pembakar lahan di ujungnya. Pelaku dengan kontrak berlapis ini sukar dilacak di tanah konsesi perusahaan. Beberapa perusahaan yang terbukti bersalah didenda jutaan dolar. Namun, hampir tidak ada keputusan pengadilan itu yang dieksekusi pemerintah. Jika pemerintah Indonesia berharap hukuman yang besar dapat jadi disinsentif bagi perusahaan untuk menggunakan api sebagai alat produksi, maka pemerintah perlu lebih serius menjalankan law enforcement. Beberapa saksi ahli yang ikut dalam proses pembuktian keterlibatan perusahaan, menghadapi risiko dikriminalisasi oleh perusahaan dan pemerintah. 

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Pelaku ekonomi baik besar maupun kecil adalah manusia-manusia cerdas.  Makin besar skala usahanya makin  cerdas dia.  Tidak ada pelaku ekonomi yang tidak rasional, tidak ada yg tidak cerdas. Paham betul mereka bahwa membakar itu lebih murah biayanya dari pada cara tanpa bakar kalau membuka lahan untuk membuat kebun baru atau ekspansi kebun. Makin besar usahanya makin banyak yg dihemat. Mereka juga paham bahwa hukum bisa dikelabui dan dinegosiasikan, dan mereka mengamati begitu banyak keputusan pengadilan tentang denda yang jumlahnya fantastis, belum satupun dieksekusi. Pelaku, dan pembuat keputusan membakar atau tidak, tinggal membanding keuntungan yg diharapkan versus kemungkinan kerugian karena hukuman denda. Selama ada kelebihan, bakar terus. Kalau pemerintah berani serius mengenakan denda putusan pengadilan yg nilainya triliunan rupiah itu, pasti tahun depan tidak ada lagi lahan korporasi yg terbakar karena membakar tidak lagi “masuk” biayanya. Membakar jadi pilihan yang mahal bagi perusahaan dan pemiliknya.

Sebuah studi mendalam oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR)  tentang kebakaran hutan dan lahan gambut di Provinsi Riau Indonesia, menunjukkan bagaimana perusahaan mengambil manfaat dari pasar tanah yang tidak transparan. Hanya dalam tiga tahun, penggunaan api dalam pembukaan lahan dan akuisisi menghasilkan arus kas lebih dari $ 3.000 (lebih dari Rp 40 juta) per hektar kebun kelapa sawit. 85% dari itu dinikmati oleh para elit lokal dan pemilik perkebunan, sementara 15% sisanya didistribusikan kepada yang mengaku pemilik tanah, penebas semak dan pemotong pohon, pembakar, perantara jual beli lahan, dan petani atau pekebun kecil yang kemudian menjual tanah itu kepada pengembang atau pemilik perkebunan. Hasil panen dari perkebunan ilegal ini kemudian diserap ke dalam industri pengolahan yang biasanya merupakan bagian dari perusahaan besar.

Solusi: Satuan Kerja Khusus Pencegahan Kebakaran Hutan dan Sistem Insentif Yang Kredibel

Solusi untuk mencegah kebakaran, dan karena itu mencegah deforestasi yang diakibatkannya, bertumpu pada dua hal: (i) keberadaan satuan kerja pencegah kebakaran (dedicated prevention unit with dedicated resources); dan (ii) sistem atau struktur insentif yang seluruh komponennya mengarahkan pada satu tujuan, yaitu mencegah munculnya api. 

Satuan Kerja Khusus Pencegah Kebakaran (yang saat ini belum ada di Indonesia) dengan sumber daya pendukung yang mencukupi adalah bagian tak terpisahkan dari konsep Sistem Manajemen Pemadam Kebakaran Terpadu (Integrated Fire Management/ IFM System). Pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut terletak pada kerja keras unit ini yang terus menerus mengingatkan stakeholders pengguna lahan, bahkan di musim hujan, untuk memastikan tidak terjadi kebakaran yang dapat meluas di lahannya. Hasil kerjanya tidak terlihat sehingga sukar diapresiasi karena memastikan benda yang sebelumnya tidak ada, tidak akan pernah muncul menjadi ada. Hal ini sangat berbeda dengan kerja satuan pemadaman kebakaran yang terlihat gagah dan heroik karena mematikan sesuatu yang membahayakan kehidupan, dan karena itu sering mendapat pujian atas hasil kerjanya.  

Pencegahan kebakaran membutuhkan unit khusus dengan jumlah orang dan keterampilan yang cukup dalam jaringan lokal yang terintegrasi dan sistem komando vertikal, ditambah anggaran khusus untuk mendukung kesinambungan pekerjaannya, termasuk pendidikan masyarakat di desa-desa terpencil di dekat daerah bahaya kebakaran. Dalam konsep umum Integrated Fire Management, idealnya 80-90% anggaran kebakaran difokuskan untuk pencegahan, hanya 10-20% untuk pemadaman karena jika pencegahan efektif, tidak banyak lagi yang perlu dipadamkan. Di Indonesia alokasi anggaran kebakaran hutan dan lahan perlu disesuaikan dengan konsep IFM yang benar agar Satuan Kerja Khusus Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan dapat dibentuk dan dibekali dengan sumber daya yang cukup untuk kerja pencegahan yang efektif. Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2019 yang mengizinkan penggunaan dana DR/DAK yang sudah dialokasikan untuk kabupaten menjadi dana pencegahan kebakaran hutan di kabupaten, adalah kebijakan recehan (piecemeal), jelas bukan cerminan dari konsep anggaran IFM.

Terkait pembenahan sistem insentif secara total pemerintah dapat menerapkan hal-hal berikut. Pertama, pelaksanaan hukuman pengadilan dalam bentuk denda finansial atas korporasi pelaku pembakaran akan menggeser keseimbang untung-rugi perusahaan sehingga mengarahkan perilakunya dari membakar ke penggunaan alat mekanik untuk membuka lahan. Tanpa enforcement yang serius, efek jera tidak akan pernah terwujud. Perusahaan yang terbukti melanggar hukum harus dihukum dan hukumannya harus dieksekusi. Jika perusahaan seperti GAR atau Wilmar harus bangkrut karena membayar denda yang dikenakan pada anak perusahaan mereka, biarlah mereka bangkrut. Kehidupan orang-orang di sekitar hutan dan layanan ekosistem yang mendukungnya jauh lebih berharga daripada keuntungan perusahaan-perusahaan asing itu. Meskipun mungkin dimiliki oleh individu WNI, perusahaan-perusahaan seperti itu dimiliki oleh perusahaan induknya yang terdaftar secara hukum milik negara lain. Pejabat pemerintah harus dididik untuk tahu ini dan berpihak pada masyarakat luas.

Kedua, pemerintah perlu secara sistematis mengadopsi kebijakan anggaran anti- kebakaran, yaitu memastikan ketersediaan anggaran untuk pencegahan dan menghapus semua insentif buruk salah kaprah yang bersifat perverse incentives, yaitu mendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 

Kadang-kadang sulit bagi pemerintah untuk mengakui bahwa ada insentif buruk dalam sistem anggaran, yaitu pengeluaran yang menciptakan/mendorong hasil yang persis bertentangan dengan niat awal untuk menciptakan mata anggaran itu. Pemerintah mengabaikan, atau orang-orang pemerintah seolah tidak peduli ketika pengeluaran untuk api sebenarnya mendorong terjadinya kebakaran. Salah satunya adalah Dana Anggaran Darurat (dikenal dengan nama populer “dana on call”) yang dikelola oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang merupakan dana dalam blok jumlah yang besar untuk menangani situasi kedaruratan di sekitar kejadian bencana. Dana ini dapat di’call’ atau dipanggil/diminta pada status tingkat bencana ‘siaga darurat’ atau lebih tinggi. Dalam kasus kebakaran hutan, ini berarti kebakaran harus terjadi dan berkembang sampai mencapai luas tertentu sebelum dapat dinyatakan sebagai tahap siaga darurat, dan dana dapat ‘di-call’. Dana ini kemudian digunakan untuk memobilisasi polisi, tentara, dan penduduk desa dengan cara ad-hoc untuk memadamkan api agar tidak berkembang lebih jauh. Sebagian dana digunakan untuk menyewa helicopter, pesawat pemadam kebakaran, dan membuat hujan buatan yang menurut para ahli kebakaran hutan dan lahan 90% tidak efektif dan membuang-buang uang.

Memfokuskan pengeluaran pada pemadaman kebakaran alih-alih mengurangi kebakaran hutan secara permanen, tetapi malah cenderung mendorong terjadinya kebakaran setiap tahun. Para pemilik kepentingan bisnis pemadaman kebakaran hutan dan lahan mengejar rente ekonomi dari anggaran negara yang dialokasikan untuk kegiatan yang hamper tidak berguna meskipun terlihat gagah dan heroic. Penyediaan dana pemadaman yang besar cenderung mendorong terjadinya kebakaran daripada menghentikannya karena kebakaran harus terjadi agar dana dapat digunakan. Kebakaran menjadi kebutuhan agar dana yang dialokasikan dapat digunakan. Hal ini diperburuk oleh sistem penilaian kinerja Satuan Kerja pemegang anggaran yang berbasis besarnya persentasi serapan anggaran yang dialokasikan. Kebakaran hutan perlu terjadi agar Satuan Kerja pemegang anggaran pemadaman terlihat bekerja dan sukses. 

Para ahli IFM merekomendasikan bahwa rasio anggaran ideal untuk pencegahan terhadap pemadaman idealnya sekitar 80:20. Ini akan memastikan pencegahan yang lebih baik dan meniadakan insentif salah kaprah dari anggaran pemadaman. Laporan Bank Dunia juga mencatat dari perbandingan lintas negara, bahwa untuk setiap dolar yang dihabiskan untuk pencegahan kebakaran akan menghemat sekitar $ 30 dalam pengeluaran kerugian dan penindasan. Semua teori tentang IFM, pembelajaran dari negara lain, dan prakiraan penghematan biaya dan kerugian dengan pencegahan, dapat menjadi acuan pemerintah membangun sistem pencegahan kebakaran yang efektif.

Hal lain yang perlu diperbaiki, jika belum, adalah anggaran restorasi hutan yang bersumber dari DAK/DR (Dana Alokasi Khusus/Dana Reboisasi) yang didasarkan pada luasan lahan kritis di kabupaten. Dengan rumus ‘makin banyak lahan kritis yang Anda memiliki, makin banyak uang yang akan Anda terima’, maka dapat diyakini kabupaten tersebut akan memiliki lebih banyak lahan kritis. Kebakaran adalah cara paling murah dan efektif untuk menciptakan lahan kritis itu. Di samping insentif finansial ini, lahan hutan terbakar yang kemudian masuk dalam kategori lahan kritis, relative mudah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. 

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Pemerintah memiliki dasar hukum penggunaan instrumen ekonomi untuk pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Peraturan Pemerintah no. 46/2016. Dengan ini pemerintah dapat secara kreatif menciptakan berbagai mekanisme PES (Payment for Ecosystem Services). Untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, pemerintah dapat memberikan bonus fiskal kolektif untuk ‘tahun tanpa kebakaran’ kepada kabupaten atau desa. Insentif seperti ini dapat juga diberikan kepada Satuan Kerja Khusus Pencegah Kebakaran Hutan karena ukuran kinerjanya adalah mencegah munculnya kebakaran.

Melalui alokasi anggaran yang lebih strategis untuk kegiatan restorasi lahan gambut di lapangan – sebagai alternatif dari anggaran membayar banyak konsultan internasional dengan keahlian tidak relevan – pemerintah dapat mengurangi resiko bahaya kebakaran lahan gambut secara lebih efektif. Indonesia memiliki banyak ahli lahan gambut pribumi yang lahir, besar dan berkarya di kawasan lahan gambut untuk menyelamatkan ekosistem ini. Terkait pencegahan kebakaran di lahan gambut, pemerintah perlu merevisi regulasi yang tanpa disadari mendukung terjadinya kebakaran lahan gambut. Permentan 14/2009 tidak saja mengizinkan, bahkan juga menjamin perlindungan hukum bagi perusahaan sawit untuk menggali parit besar di batas konsesi lahan gambut untuk kebunnya. Akibatnya, lahan tetangga ikut jadi kering dan rawan terbakar.

Mekanisme anggaran pemerintah (misalnya lewat APBN, APBD, Dana Desa dan ADD) seyogyanya memberikan dukungan bagi petani kecil untuk menggunakan metode mekanis untuk pembukaan lahan sebagai cara menghindari dan mencegah kebakaran. Tanpa ketersediaan peralatan mekanis yang dikelola secara bersama, terbuka dan terjangkau biayanya, masyarakat tradisional yang mengandalkan pembakaran lahan secara bijak turun menurun, akan tetap meneruskan praktek pembakaran untuk membuka ladang baru. 

Konsumen di pasar produk akhir juga dapat mendukung sistem pencegahan kebakaran dengan memastikan membeli produk ramah lingkungan bersertifikat dengan standar yang kredibel. Ini penting karena perusahaan tidak selalu mematuhi ketentuan kesiapan organisasinya untuk penanganan kebakaran hutan. Memeriksa tingkat kepatuhan sebagai bagian dari standar sertifikasi akan berkontribusi pada pencegahan kebakaran.

Jika komunitas global dan organisasi masyarakat sipil peduli terhadap emisi karbon dan implikasinya pada perubahan iklim, inilah saatnya untuk membantu dan mendukung pemerintah untuk memastikan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut akan dicegah seminimal mungkin dan tidak terulang kembali secara massif di masa depan.

Epilog

Jika Rp. 1 yang dihabiskan dalam pencegahan dapat menghemat Rp.30 biaya dan kerugian yang harus ditanggung untuk pemadaman dan akibat kerusakan – seperti diteorikan oleh para ahli IFM -, mengapa sukar sekali bagi pemerintah untuk mengubah sistem IFM dan memfokuskan anggaran manajemen kebakaran ke pencegahan daripada pemadaman ? Di sinilah pemahaman ekonomi politik sangat diperlukan. Pencegahan kebakaran serius membutuhkan kebijakan afirmatif dan alokasi anggaran yang mendukung masyarakat luas dan lingkungan, bukan keberpihakan kepada pelaku dan korporasi penjahat lingkungan, atau pejabat korup dan pengejar rente yang hidup dari pengeluaran pemerintah untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Diperlukan juga pergeseran paradigma anggaran pemerintah dari ‘pengeluaran mengikuti tupoksi’ yang sering tidak relevan dengan masalah yang ada dalam masyarakat, ke ‘pengeluaran mengikuti masalah yang perlu diselesaikan’ agar efektifitas anggaran pemerintah meningkat.

Oleh: Mubariq Ahmad

Yayasan Strategi Konservasi Indonesia (CSF Indonesia) dan FEB-Universitas Indonesia

Related Article

[1000 gagasan] MEMBANGUN KALIMANTAN SELATAN SECARA BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] MEMBANGUN KALIMANTAN SELATAN SECARA BERKELANJUTAN

Arus besar cairan panas batu dalam bumi membelahnya dalam lempeng-lempeng tektonik terapung semula pada “Asthenosphere” bergerak di lantai samudra dan membentuk bumi Pangaea 225 juta tahun lalu. Proses gerak cairan panas batu berlanjut dan membelah bumi dalam kawasan bumi Laurasia dan Gondwana Land 135 juta tahun lalu. Untuk kemudian terbelah menjadi Amerika Utara, Amerika Selatan, Eurasia, Afrika, India dam Antartica 65 juta tahun lalu. Proses gerak lempeng tektonik berjalan terus untuk membentuk bumi yang kita kenal sekarang ini. 

Namun gerak lempeng tektonik di bawah dasar laut tidak berhenti. Sehingga benturan lempeng tektonik Eurasia dengan lempeng Indo-Australia di bagian selatan pulau Jawa dan berbenturan dengan lempeng tektonik Pasifik di bagian timur membentuk rangkaian kepulauan Indonesia yang diapit dua benua, Asia dan Australia dan dua Samudera India dan Pasifik serta energi magma aktif “cincin api” mengelilingi kepulauan Indonesia. Dan sekaligus menjadi sumber gangguan alam berupa gempa bumi, tsunami, letusan gunung, dan lainnya. Tetapi sebaliknya hasil semburan magma gunung berapi membentuk tanah-subur di daratan kepulauan Nusantara.

BACA JUGA: Gagasan Emil Salim Pembangunan Berkelanjutan

Dalam proses terbentuknya kepulauan Indonesia maka pulau Kalimantan  berada di luar benturan lempeng tektonik dan di luar cincin api. Akibatnya adalah bahwa ekosistem Kalimantan berbeda dari ekosistem Sumatra, Jawa dan Indonesia Timur serta Australia yang secara khusus ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang menarik garis  (Wallace Line) antara Kalimantan dan Sulawesi dan memisahkan kawasan biogeografis kelompok kepulauan wilayah Indonesia bagian tengah  dengan rentang benua Asia dan Australia oleh selat laut dalam.

Dan lahir pendapat bahwa secara biogeografis pulau Kalimantan berbeda dengan pulau Sumatra, Jawa dan Indonesia Timur. Pulau Kalimantan tidak lahir dari benturan lempeng tektonik. Karena itu maka karakter gunung yang terbentuk di Kalimantan tidak memiliki magma bumi dengan larutan silika bersuhu tinggi. Pulau Kalimantan mengalami tekanan gerak bumi sehingga membentuk kawasan  pegunungan di tengah-tengah pulau Kalimantan. Namun intensitas gunung api tidaklah seaktif yang ada di Sumatra, Jawa dan Indonesia Timur yang dipengaruhi oleh kehadiran “the ring of fire.”

Bentuk geografis Kalimantan didominasi oleh lahan dataran rendah. Dan karena pulau Kalimantan terletak di sekitar garis Khatulistiwa, maka curah hujannya tinggi. Kondisi alam pulau Kalimantan seperti ini mengakibatkan bahwa pulau Kalimantan memiliki kawasan lahan basah yang luas dan unik. Karena uniknya kawasan lahan basah, maka dunia Internasional menyepakati The Ramsar Convention sebagai kesepakatan internasional menyusun kerangka konservasi dalam pemanfaatan sumber daya berkawasan lahan basah di tahun 1971. Yang diartikan sebagai “lahan basah” dalam Konvensi Ramsar mencakup wilayah payau, rawa, gambut, perairan baik alami maupun buatan, baik permanen maupun sementara, dengan air yang mengalir atau tergenang statis, terasa tawar, payau, asin, termasuk wilayah dengan kedalaman air laut waktu surut tidak melebihi enam meter. 

Jelas dari pengertian “lahan basah” maka sifat dan hakikat ekosistem alaminya berbeda dengan lahan biasa. Karena itu maka pola dan kebijakan pembangunannya pun tidak bisa disamakan dengan pola pemanfaatan lahan biasa. Dan pembangunan di daerah Kalimantan tidak bisa meniru cara pembangunan pulau Jawa, yang lain sifat ekosistemnya.

 

Lahan Basah

Lahan basah adalah lahan yang diliputi air untuk bagian besar waktu dalam setahun. Karena itu lahan basah memiliki unsur peralihan ekosistem terestrial dan aquatic. Lahan basah menopang jenis tumbuhan yang hidup dalam kondisi lahan yang berair, seperti lahan dan hutan gambut, rawa gelam, hutan mangrove dan serupa. Lahan basah memuat kekayaan fauna dan flora, seperti burung, primata, ikan rawa dan mamalia yang khas. Bekantan adalah hewan khas Kalimantan.

Lahan gambut merupakan macam lahan basah yang unik. Wetlands International mendefinisikan tanah gambut sebagai “tanah yang jenuh air dan tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50cm. Menurut “Taksonomi Tanah”, tanah gambut disebut sebagai  Histosols (histos = jaringan). Dulu tanah gambut disebut tanah rawang atau merawang. 

BACA JUGA: Kekayaan Sumber Daya Alam di Bawah Cengkraman Korupsi Institusional

Tanah gambut di Indonesia disebut sebagai gambut tropika yang berbeda karakteristiknya dengan gambut di wilayah berempat musim, a.l. 

(1) dalam bahan pembentuk yang di daerah tropis umumnya terbentuk dari bahan berupa pohon berkayu dengan kadar lignin tinggi yang menjadikannya kuat dan kaku. Sedangkan di negara empat musim, gambutnya terbentuk dari bahan yang lebih halus berupa rumout dan lumut dengan kadar kandungan selulosa dan hemiselulosa yang lebih tinggi;

(2) Tingkat kesuburan. Karena beda bahan pembentukannya maka terdapat perbedaan tingkat kandungan unsur hara sehingga berpengaruh pada tingkat kesuburannya. Gambut tropika cenderung kurang subur dibandingkan dengan gambut di negara dingin yang kandungan kadar ligninnya lebih tinggi;

(3) Karakter iklim. Gambut tropika selalu tergenang baik secara horizontal maupun vertikal, sehingga memiliki karakteristik kesuburan biologi, fisika dan kimia yang heterogen.

Akibat perbedaan ini maka sistem pengelolaan lahan gambut di negara 4 musim  tidak bisa langsung diterapkan di gambut tropis. Manfaat dan fungsi lahan gambut adalah sebagai (a) habitat berbagai jenis ikan tawar yang khas (b) sungai yang mengalir di lahan gambut bisa untuk transportasi; (c) sebagai sumber hasil hutan berbentuk kayu maupun non-kayu; (c) pengaturan banjir dan aliran air, menampung air waktu banjir dan melepaskannya di musim kering; (d) mencegah masuknya air asin; (e) merupakan tempat hidup bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan; (f) lahan gambut secara aktif menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Sehingga pembakaran dan pengeringan gambut akan melepaskan emisi karbon; (g) lahan gambut sebagai subyek penelitian lintas disiplin ilmu; (h) bagi penduduk lokal maka hutan rawa gambut merupakan tempat suci dan memiliki peranan penting dalam kehidupan mereka. Ekosistem lahan basah kaya dengan keanekaragam hayati burung, flora dan fauna, ikan rawa, mamalia yang khas, primata a.l. Bekantan khas Kalimantan.

Gambut terbuat dari sisa-sisa berbagai bagian tanaman yang terkubur dalam jangka waktu sangat panjang, biasanya di wilayah yang kerap tergenang dan dalam kondisi kurang oksigen. Biasanya lahan gambut diapit dua sungai dan memiliki bagian sebagai penampang lahan gambut tropika yang “cembung” bentuknya memuat tanah organik (bukan tanah mineral) dan disebut “kubah gambut” (peat dome). Dan lazimnya memuat air. 

Indonesia memiliki lahan gambut tropika terluas di dunia. Sedangkan Kanada dan Rusia memiliki lahan gambut temperate yang lebih luas dari Indonesia, namun dengan kandungan dan karakteristik ekosistem yang berbeda dengan lahan gambut tropika.

Ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem lahan basah adalah:

  1. Pengeringan atau drainase yang melumpuhkan ciri khas ekosistem yakni beraur sebagai lahan basah. Akibat pengeringan lahan gambut atau drainase maka hilanglah keseimbangan dinamika perairan dan menyebabkan kerentanan terhadap bahaya kebakaran lahan gambut;
  2. Kebakaran lahan gambut menghilangkan fungsi gambut sebagai lahan basah dan menghasilkan kabut asap lintas batas. Kebakaran tidak hanya berakibat pada fisik lahan gambut, tetapi juga melepaskan kandungan karbon yang terkandung di dalamnya. Sehingga mengganggu kesehatan dan menaikkan “selimut karbondioksida” yang mengitari bumi dan berdampak pada kenaikan suhu panas bumi. 
  3. Konversi lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan dengan menebang pohon gambut dan membangun saluran air untuk mengeringkan gambut merubah fungsi ekosistem gambut. Apabila konversi lahan gambut disertai penanaman pohon yang mempertahankan karakteristik ekologi sistem lahan gambut, maka perubahannya masih bisa diterima. Namun jika karakteristik ekosistem lahan gambut dirubah total akibat pengeringan air gambut dengan saluran irigasi yang sengaja dibangun dan pembakaran lapisan lahan gambut untuk memperoleh lapisan lahan di bawahnya, maka dampak kerusakan lingkungannya adalah besar. Minimal akibat lepasnya karbondioksida yang terkandung dalam gambut;
  4. Kawasan gambut juga menderita penebangan liar, illegal logging, dari kalangan yang mengejar keuntungan dari logging dan pemanfaatan lahan bekas penebangan gambut. Dengan ditebangnya hutan gambut maka musnah pula segala komponen keanekaragaman hayati fauna dan flora yang hidup dari ekosistem gambut ini.

Menurut survey dan perhitungan Wahyunto et al (2005) diperkirakan luas lahan gambut di Indonesia adalah 20,6 juta hektar dan merupakan 50% dari luas seluruh lahan gambut tropika serta 10,8% luas daratan Indonesia. Dan tersebar di Sumatra (35%), Kalimantan (30%), Papua (30%) dan Sulawesi (3%).  Secara keseluruhan luas lahan gambut hanya merupakan 3% dari luas wilayah bumi, namun lahan gambut merupakan ekosistem terestrial yang paling efisien dalam menyerap karbon. Lahan gambut menyimpan setidaknya 550 Gt karbon dan merupakan 30% dari karbon tanah secara global dan 75% dari seluruh karbon di atmosfer, setara dengan seluruh biomassa terestrial dan 2 kali cadangan karbon dari biomassa hutan di dunia. Lebih banyak dibandingkan dengan seluruh biomassa hutan. Lahan gambut merupakan penyimpan karbon jangka panjang. Dan mampu menyimpan karbon selama ribuan tahun. Penggenangan yang permanen dan pembusukan aerobik yang terbatas dan berlangsung terus-menerus merupakan prasyarat bagi penyimpanan karbon di lahan gambut. Sebagian besar batubara dan sebagian minyak “mineral” serta gas alam berasal dari deposit gambut yang terbentuk selama periode geologis yang lalu.

BACA JUGA: Gagasan Ismid Hadad Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan; Siapa yang Mesti Menang

Sejak zaman es, lahan gambut berperan dalam keseimbangan Gas Rumah Kaca melalui penyerapan CO2 di atmosfer dalam jumlah yang sangat besar. Gangguan antropogenik berupa pengeringan dan kebakaran lahan gambut menyebabkan naiknya emisi total GRK dari lahan gambut. Pengeringan lahan gambut menyebabkan naiknya emisi CO2 dan naiknya pelepasan N2O. Kegiatan manusia berupa pembukaan lahan, pengeringan dan penggembalaan telah menaikkan kerentanan lahan gambut terhadap perubahan iklim.

Untuk mengetahui gagasan dari Emil Salim lebih lengkap, silakan unduh lampiran yang tersedia. Semoga bermanfaat. 

 
Oleh: Emil Salim
Pendiri dan Dewan Pembina Yayasan KEHATI

  

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Norwegia Bayarkan Rp 812,86 Miliar Dana Perubahan Iklim Kepada Indonesia

Norwegia Bayarkan Rp 812,86 Miliar Dana Perubahan Iklim Kepada Indonesia

Untuk pertama kalinya Norwegia akan membayar 530 juta Krona Norwegia atau sekitar Rp 812,86 miliar (56 juta Dolar) kepada Indonesia atas keberhasilannya dalam menurunkan emisi karbon. Pengumuman pembayaran tersebut dirilis di laman resmi Pemerintah Norwegia pada 3 Juli 2020.

Dana yang dibayarkan tersebut merupakan pembayaran berbasis hasil sebagaimana isi kerja sama Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah langkah-langkah yang didesain untuk menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD ini juga merupakan suatu mekanisme global yang memberikan suatu kesempatan unik bagi negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki wilayah hutan yang luas dan sedang menghadapi ancaman deforestasi.

Bukan hanya itu, lebih mendalam REDD+ juga dirancang untuk membantu menurunkan tingkat kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Hal itu disebabkan lantaran proses penerapan REDD+ juga sangat memprioritaskan keterlibatan para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, apa yang ada di masyarakat harus menjadi pertimbangan utama untuk memastikan hak mereka yang tinggal di dalam dan sekitar hutan akan terjamin.

Untuk diketahui, Indonesia dan Norwegia telah menjalani kerja sama di sektor lingkungan hidup dalam 10 tahun terakhir. Lewat kerja sama REDD+, Pemerintah Norwegia pada 2010 mengalokasikan dana total enam miliar Krona Norwegia atau sekitar Rp9,2 triliun kepada Pemerintah Indonesia jika berhasil menurunkan kadar gas buang karbon.

Untuk mengetahui pemberitaan media yang lebih lengkap, silakan unduh bahan terlampir. Semoga bermanfaat.

Related Article

Normal Baru Sebagai Momentum Membangun Indonesia Baru Tanpa Merusak Lingkungan

Normal Baru Sebagai Momentum Membangun Indonesia Baru Tanpa Merusak Lingkungan

Aktivitas new normal (normal baru) yang sedang diterapkan saat ini seharusnya dijadikan sebagai sebuah gerakan mendasar yang tidak hanya soal penerapan protokol kesehatan, melainkan juga soal strategi mengurai berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakat.

Normal baru mengajarkan banyak pihak untuk tidak sekedar cuci tangan dan mengenakan masker, namun jauh daripada itu yakni memulai kehidupan baru yang lebih baik. Begitu halnya dengan pembangunan Indonesia saat ini. Seharusnya, normal baru menjadi momentum tepat bagi para pemangku kepentingan untuk mulai memikirkan strategi baru dalam membangun Indonesia yang lebih baik. 

Model Pembangunan Indonesia saat ini masih menekankan pada ekstraksi dan eksplorasi sumber daya alam, seperti hutan dan lahan. Padahal Indonesia bukan hanya negara yang rentan terhadap bencana, namun model pembangunannya pun masih rentan terhadap kerusakan,”ungkap Direktur Eksekutif, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual “#NewIndonesia–Adaptasi Kebiasaan Baru, Membangun Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Rabu, 09 Juli 2020.

Teguh Surya juga mengatakan bahwa sudah seharusnya model pembangunan hari ini didasarkan oleh berbagai aspek kerentanan. “Dalam 4 bulan saja ketika terjadi karhutla, kita sudah rugi USD 16,1 miliar atau 221 triliun, di sektor pertambangan juga punya masalah besar, seperti Freeport yang dari segi limbahnya saja telah merugikan Indonesia sebanyak USD 13 miliar,” tambah Teguh Surya.

Diskusi ini juga dihadiri Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI, Ismid Hadad dan Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo.

Ismid Hadad selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI mengungkap fakta bahwa selama ini lingkungan kerap dinomor duakan. “Sumber daya alam selama ini hanya dipandang sebagai salah satu bahan untuk produksi, sehingga muncul anggapan bahwa sumber daya alam serta lingkungan sah-sah saja untuk dieksploitasi”, ujar Ismid Hadad.

Ismid Hadad juga mengatakan bahwa lingkungan sangat diperlukan bagi kehidupan, contohnya hutan yang merupakan faktor penting. Namun sayang, hal-hal terkait perlindungannya masih dianggap tidak mendesak.

Sementara itu, Rimawan Pradiptyo mengatakan bahwa permasalahan Indonesia saat ini adalah persoalan korupsi, karena korupsi yang terjadi juga merupakan korupsi struktural. Bukan hanya itu, menurut Rimawan, persoalan aspek kelembagaan juga menjadi akar dari banyak persoalan di negeri ini. 

Banyak Negara dengan SDA yang tinggi, memiliki aspek kelembagaan yang lemah, sehingga kerap terjadi korupsi dan akhirnya mereka tertinggal,” ujar Rimawan. Ia juga menyebut contoh negara yang kaya akan SDA yang berhasil keluar dari jerat persoalan tersebut seperti Australia, Malaysia, dan Chile, karena mereka memprioritaskan perbaikan aspek kelembagaan dan human capital

Dengan banyaknya persoalan yang ada, Yayasan Madani Berkelanjutan melihat bahwa normal baru merupakan momentum untuk mengubah strategi pembangunan dengan membangun tanpa merusak lingkungan. Melalui diskusi ini juga, Yayasan Madani Berkelanjutan mengajak banyak pihak untuk berkontribusi ide dan pemikiran dalam 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan. 

Untuk mendapatkan materi yang disampaikan narasumber dalam diskusi ini, silakan download lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Indonesia Bangkit Dengan Membangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

Indonesia Bangkit Dengan Membangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

[Jakarta, 9 Juli 2020] Pembangunan yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam telah mencapai titik jenuh dan terbukti gagal mensejahterakan Nusantara. Saatnya Indonesia bangkit dengan menggagas pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop 1000 Gagasan Ekonomi yang mengambil topik “Adaptasi Kebiasaan Baru, Membangun Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan” pada 9 Juli 2020. Turut hadir sebagai narasumber dalam Diskusi Online ini adalah Ismid Hadad, MPA, Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI dan Rimawan Pradiptyo, Ph.D, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Serta para penanggap yaitu Prof. Emil Salim dan Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan.

Meskipun subur dan kaya sumber daya alam, kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana karena dikelilingi oleh cincin api pasifik dan terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, serta rentan terhadap krisis iklim, mengisyaratkan model pembangunan yang mempertimbangkan kerentanan tersebut. Ekstraksi sumber daya alam yang hampir tak terkendali bukanlah pilihan yang tepat dan bukan pula  masa depan Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama 3 bulan pada semester akhir 2015 tidaklah menjadi guru untuk memulihkan krisis dan merubah model pembangunan meskipun bencana tersebut telah menghanguskan lahan seluas 4,5 kali pulau Bali dan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 221 Triliun. Bahkan di tahun 2019 karhutla kembali terjadi dan turut membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan gambut.

Siapa yang diuntungkan dengan mindset pembangunan ekonomi hari ini? Sektor perkebunan sawit merupakan sektor andalan yang dipercaya mampu menopang perekonomian nasional  dengan nilai sumbangan devisa sepanjang 2018 mencapai US$20,54 Miliar atau setara Rp 289 Triliun dan telah menyulap 16,3 juta hektar lahan produktif termasuk hutan dan gambut menjadi perkebunan sawit. Jika ditelisik lebih dalam ditemukan fakta dari 10 provinsi dengan rata-rata penambahan luas lahan sawit terbesar hanya 3 provinsi yaitu Riau, Kaltim dan Jambi, yang masyarakat pedesaannya memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Namun, tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat desa di 3 provinsi tersebut tidak sepenuhnya bersumber dari sawit mengingat terdapat komoditas unggulan lainnya seperti karet, kelapa dan kayu manis. 

Dilihat dari aspek kesejahteraan petani, tingkat kesejahteraan petani sawit justru masih tertinggal dibanding petani yang mengusahakan tanaman pangan maupun hortikultura. Kajian Madani di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) petani tanaman pangan dan hortikultura pada periode 2014-2018 justru lebih baik dibandingkan dengan petani sawit. Dalam kurun lima tahun tersebut, hanya pada tahun 2017 kesejahteraan petani sawit dapat mengungguli dua sektor tersebut. Hal Ini dapat menjadi pertimbangan selanjutnya.

Di sektor pertambangan juga tak jauh berbeda. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2018 menyatakan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh pembuangan limbah Freeport saja mencapai 13 Miliar USD atau setara Rp 185 Triliun. Meskipun Indonesia memiliki tambang emas terbesar di dunia dan gunung-gunung emas telah rata dengan tanah bahkan telah berubah menjadi jurang yang sangat dalam, apakah orang asli Papua hidup sejahtera dan apakah Indonesia bisa lebih maju? Hal ini belum termasuk ratusan korban jiwa di lubang (baca; danau beracun) bekas tambang batu bara karena tidak adanya pemulihan dan rehabilitasi lingkungan pasca kegiatan tambang.

Bertumpu terhadap pembangunan ekstraktif akan lebih merugikan perekonomian negara dan menimbulkan ketimpangan kesejahteraan. Padahal, dalam konstitusi telah ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, seperti tercantum dalam Pasal 28 H UUD 1945. Konstitusi juga mengamanatkan bahwa sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti tercantum dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dan dalam Pasal 33 Ayat 4 dijelaskan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,” tambah Teguh.

Indonesia yang kita tempati hanya satu, baik dan buruknya kondisi ekonomi dan lingkungan kita yang akan merasakannya maka tidak ada pilihan selain berkomitmen untuk indonesia baru. Madani mengajak kepada semua pihak untuk menyumbangkan ide dan gagasannya agar pembangunan ekonomi Indonesia dapat berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” ajak Teguh 

Sejak 2019, Madani sudah menggalang gagasan dari para ekonom dan praktisi ekonomi dan lingkungan, dan sampai saat ini sudah terkumpul 13 tulisan dari 10 penulis, di antaranya Prof. Emil Salim; Ismid Hadad, MPA; Prof. Hariadi Kartodihardjo; Rimawan Pradiptyo, Ph.D; Dr. Hakimul Batih; Dr. Mubariq Ahmad; Joko Tri Haryanto, SE, MSE.; Ronny P. Sasmita; Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan; dan Dr. Mochamad Indrawan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

id_IDID