Madani

Tentang Kami

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

[MadaniNews, 28/01/2021] Agar industri sawit Tanah Air mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara menyeluruh, maka perlu adanya komitmen bersama dalam memperbaiki tata kelola sawit nasional. Hal itu disampaikan Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Trias Fetra dalam diskusi Katadata Forum Virtual Series yang mengusung tema “Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah” yang dilaksanakan pada Rabu, 28 Januari 2020.

Trias mengungkapkan bahwa selama ini ekspansi sawit yang begitu masif ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pada kenyataannya hanya segelintir orang saja yang merasakan manfaat siginfikan dari ekspansi sawit tersebut.

Salah satu penyebab ketimpangan tersebut adalah penentuan harga Tandan Buah Segar (TBS) berdasarkan Indeks K hanya mempertimbangkan biaya produksi dari Pabrik kelapa sawit, bukan biaya produksi petani. Akibatnya, petani sangat dirugikan karena harga TBS menjadi lebih rendah. Biaya operasional perusahaan ditanggung petani sawit dan posisi tawar petani sawit sangat rendah”, ujar Trias.

Diskusi yang juga menyorot capaian Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan sawit (Inpres Moratorium Sawit) ini, dihadir oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero dan juga Kepala Pusat Kebijakan APBN Kemenkeu, Ubaidi Socheh Hamidi.

Terkait dengan inpres moratorium sawit, Heronimus Hero mengatakan bahwa meskipun moratorium sawit sudah selesai, pemerintah daerah khususnya Provinsi Kalimantan Barat juga tidak akan memberikan izin lagi karena tidak tersedianya lahan.

Sementara itu, Ubaidi Socheh Hamidi banyak menjelaskan terkait dengan kondisi fiskal dari sektor perkebunanan sawit di daerah. Ubaidi mengatakan bahwa tidak bisa menutup mata, dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat masih dominan. Hal tersebut lantaran PAD masih kecil. Di Kalimantan Barat, PAD hanya berkontribusi 16% terhadap pendapatan daerah.

Dapatkan materi dalam diskusi Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah dengan mengunduh bahan-bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Menakar Kontribusi Sawit Pada Daerah

Menakar Kontribusi Sawit Pada Daerah

Sawit merupakan komoditas yang turut berkontribusi meningkatkan devisa negara. Meski demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.05/2007, pungutan ekspor sawit hanya masuk ke dalam pajak negara dan tidak masuk dalam skema Dana Bagi Hasil (DBH) dengan daerah.

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 33/2004 disebutkan bahwa DBH sawit hanya berasal dari Pajak Bumi dan  Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan. Padahal, skema DBH bertujuan untuk menyeimbangkan alokasi dana pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

Tidak masuknya pungutan ekspor sawit ke dalam DBH berdampak pada masih belum optimalnya persentase penerimaan daerah. Selain itu, sistem pembagian dana sawit pusat-daerah juga belum setara dengan beban pengelolaan perkebunan yang ditanggung pemerintah daerah. Kondisi ini juga dapat berdampak pada lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan perkebunan sawit. 

Untuk memperbaiki sistem pembagian dana sawit antara pusat dan daerah, 22 gubernur provinsi penghasil sawit mengusulkan proporsi pembagian hasil sawit yang lebih berimbang untuk daerah. Caranya dengan memasukkan sektor sawit ke dalam DBH dan mendorong adanya dana alokasi khusus untuk penanggulangan dampak sawit yang terjadi di daerah.

Riset ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul “Menakar Kontribusi Sawit pada Daerah”.

Related Article

KATADATA FORUM VIRTUAL SERIES: “Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah”

KATADATA FORUM VIRTUAL SERIES: “Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah”

“KATADATA FORUM VIRTUAL SERIES”

Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah

📅 Kamis, 28 Januari 2021 
🕘 Jam 09.00 – 11.00 WIB

Bersama:

  • Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Argibisnis, Kemenko Perekonomian
  • Ubaidi Socheh Hamidi, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
  • Heronimus Hero, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan

Moderator: Ratih Aulia

Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan sawit telah berjalan dua tahun. Namun, kebijakan ini masih minim capaian dan belum memberikan perkembangan signifikan dalam perbaikan tata kelola kebun sawit. Keterbukaan dan transparansi termasuk aspek yang menjadi kendala utama.  

Terbitnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi perkebunan sawit untuk terus mengekspansi di atas hutan alam yang tersisa. Komitmen perbaikan tata kelola sawit berkelanjutan terancam gagal.

Yayasan Madani Berkelanjutan dalam kajiannya menemukan bahwa industri perkebunan kelapa sawit tidak memberi kontribusi signifikan pada perekonomian, khususnya di tingkat regional. Bagaimana meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kontribusi sawit pada perekonomian daerah?

Simak diskusi lengkap nya “Katadata Forum Virtual Series “Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah” daftarkan diri anda sekarang :

Related Article

Strategi Memperbaiki Kesejahteraan Petani Sawit Lewat Tata Kelola Harga TBS dan Dana Perkebunan Sawit

Strategi Memperbaiki Kesejahteraan Petani Sawit Lewat Tata Kelola Harga TBS dan Dana Perkebunan Sawit

Petani sawit sejahtera, masih jauh dari harapan. Begitulah faktanya, kemiskinan masih membelenggu kehidupan para petani sawit, terutama petani gurem, yang kepemilikan lahannya kurang dari 2 hektare dan bertani secara subsistensi. Geliat ekonomi sawit, hanya dinikmati oleh korporasi dan pemilik modal besar yang mampu menguasai lahan skala luas.

Upaya memperbaiki kesejahteraan petani sawit belum menjadi agenda utama pembangunan sektor strategis nasional ini. Faktanya, dana perkebunan sawit (CPO Fund) yang seharusnya diperuntukan bagi kesejahteraan petani, malah dikooptasi oleh kepentingan perusahaan biodiesel. Begitu juga dalam pasar, mereka terdiskriminasi oleh kepentingan korporasi dalam penetapan harga tandan buah segar (TBS). Padahal, harga tersebut merupakan faktor utama bagi kesejahteraan petani sawit. Karena, itu sumber utama bagi pendapatan rumah tangga petani.

Ke depan, sudah selayaknyalah agenda peningkatan kesejahteraan petani sawit menjadi perhatian pemerintah. Ada dua agenda yang perlu dilakukan, yaitu mendorong perbaikan mekanisme penetapan harga TBS yang tidak mendiskriminasi petani dan mendorong dana perkebunan sawit untuk peningkatan kesejahteraan petani sawit, terutama petani swadaya dengan kepemilikan lahan yang kecil.

Dapatkan Madani Insight Strategi Memperbaiki Kesejahteraan Petani Sawit Lewat Tata Kelola Harga TBS dan Dana Perkebunan Sawit dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Nilai Ketimpangan Ekonomi di Sektor Perkebunan Sawit

Nilai Ketimpangan Ekonomi di Sektor Perkebunan Sawit

Sawit dinilai sebagai salah satu komoditas yang menopang perekonomian Indonesia lantaran besarnya devisa dari komoditas ini yakni sebesar US$18,9 miliar atau setara dengan Rp265 triliun pada 2018. Selain itu, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pada 2019 sebanyak 59% perkebunan sawit dikelola oleh perusahaan dan 41% dimiliki masyarakat serta perkebunan yang dikelola masyarakat telah menyediakan 2,3 juta lapangan pekerjaan. 

Namun, analisis Yayasan Madani Berkelanjutan tentang perizinan dan tutupan sawit menyebut bahwa perekbunan sawit rakyat yang berizin hanya seluas 213 ribu hektar untuk tipe plasma, 165 ribu hektar tipe koperasi, dan 64 ribu hektar tipe petani rakyat.  Sementara itu, perusahaan menguasai 19,2 juta hektar atau 84,657% izin perkebunan sawit.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan Rp18,13 triliun potensi pajak yang tidak terpungut dari sektor perkebunan sawit akibat tidak adanya  legalitas izin pada tutupan sawit serta maraknya perusahaan yang beroperasi melebih izin atau konsesi. 

Provinsi Riau bahkan kehilangan potensi pendapatan hingga Rp107 triliun per tahun akibat perkebunan sawit tanpa izin. Dengan demikian, kontribusi yang besar tersebut seyogianya perlu diimbangi dengan penyelesaian pekerjaan rumah yang hadir dalam tata kelola sawit Indonesia. 

Salah satu pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan adalah adanya area tutupan sawit terdata izinya seluas 8.4 juta hektar yang berpengaruh terhadap hilangnya potensi penerimaan negara khususnya pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Melalui Analisis ini, Yayasan Madani Berkelanjutan mencoba mengulik lebih dalam terkait dengan kebenaran fakta tersebut dengan cara menjabarkan satu persatu regulasi pendapatan dari sektor sawit yang masuk ke kantong negara, provinsi, dan kabupaten atau kota satu per satu. 

Dapatkan Madani Insight Nilai Ketimpangan Ekonomi di Sektor Perkebunan Sawit dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Optimalisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan Sawit di Provinsi Riau dan Kalimatan Barat

Optimalisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan Sawit di Provinsi Riau dan Kalimatan Barat

Perkebunan sawit berkontribusi terhadap pembangunan daerah. Budidaya tanaman monokultur ini tidak hanya menggerakan perekonomian masyarakat, tapi juga memberikan sumbangan bagi penerimaan daerah. Salah satu sumber pe- nerimaan tersebut adalah PBB Perkebunan Sawit. 

Meski demikian, masih banyak daerah yang menjadi sentra perkebunan sawit belum optimal meningkatkan penerimaan pajak tersebut. Seperti yang terjadi di Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Barat. Dua provinsi ini memiliki perkebunan sawit terluas di Nusantara. 

Total luas kebun sawit di kedua provinsi tersebut mencapai 5,19 juta hektare, menyumbang sepertiga dari luas perkebunan sawit di Indonesia . Meski demikian, kontribusi penerimaan pajaknya sangat rendah. Ada beberapa penyebab, yaitu rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak, sistem tata laksana dan administrasinya yang belum kredibel dan persoalan data. 

Oleh karena itu, selayaknyalah pemerintah megoptimalkan sumber penerimaan tersebut. Karena ini merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat perlu lebih optimal dalam mengenjot penerimaan tersebut. Kertas kebijakan ini bertujuan untuk menganalisis persoalan yang dihadapi dalam mengoptimalkan penerimaan PBB Perkebunan dan memberikan rekomendasi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan penerimaan tersebut.

Dapatkan Madani Insight Optimalisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan Sawit di Provinsi Riau dan Kalimatan Barat dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

[1000 gagasan] JALAN TENGAH PENERAPAN EXTENDED PRODUCERS RESPONSIBILITY PRODUSEN PLASTIK

[1000 gagasan] JALAN TENGAH PENERAPAN EXTENDED PRODUCERS RESPONSIBILITY PRODUSEN PLASTIK

Bila suatu waktu mendapati sampah botol plastik berserakan di jalan atau terdampar di bibir pantai, yang pertama kali disalahkan biasanya soal minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan indeks perilaku ketidakpedulian Lingkungan Hidup yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan bahwa 72% orang Indonesia tidak peduli akan sampah. Membuang sampah sembarangan bisa jadi sudah menjadi “budaya” yang biasa kita temui dan menjadi hal yang lumrah.

Tapi, ketidakpedulian soal sampah ini tidak hanya dialamatkan kepada masyarakat. Mereka bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas persoalan sampah botol plastik yang tidak mudah diurai oleh proses alam ini. Jauh sebelum plastik berada di genggaman masyarakat selaku konsumen lalu akhirnya dibuang, ada proses produksi yang sebelumnya dilakukan oleh produsen kemasan atau produk. 

Penentuan soal material kemasan, misalnya air minum dalam kemasan (AMDK) yang digunakan masyarakat adalah tanggung jawab produsen. Karena itu, penentuan material yang ramah atau tidak ramah lingkungan menjadi penting dipertimbangkan untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Tanggung jawab produsen haruslah diperluas, tidak semata sampai pada produksi dan distribusi saja, tetapi lebih dari itu, juga bagaimana memastikan produk tersebut tidak mencemari lingkungan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban produsen. 

Mengenal Extended Producers Responsibility (EPR)

Tanggung jawab yang diperluas ini dikenal sebagai Extended Producers Responsibility (EPR). EPR secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk dari pada fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang.

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Kota yang Berkelanjutan

EPR merupakan mekanisme atau kebijakan di mana produser diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah. Dengan kata lain, produser membantu menanggung biaya untuk mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup barang tersebut.

Pada proses pengembangan dan perancangan produk, keputusan untuk mengurangi dampak lingkungan dari sebuah produk sebenarnya sudah dapat diprediksi. Karena itu, titik awal ini adalah titik yang krusial di mana pengurangan limbah, dan pengaplikasian penggunaan kembali, pengurangan, dan daur ulang produk dapat direncanakan sejak awal. 

Lebih jauh, tujuan dari EPR untuk mempromosikan upaya pembatasan dan pengurangan sampah melalui internalisasi biaya lingkungan dan ekonomi ke dalam kegiatan daur ulang produk, artinya dalam pembuatan suatu produk harus menyertakan biaya lingkungan agar life cycle produk tersebut dapat terjamin. 

Tantangan Penerapan EPR di Indonesia

Kebijakan soal EPR sebenarnya sudah diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya pada Pasal 1 yang berbunyi: “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Walau secara tekstual pasal ini tidak menyebutkan EPR, hadirnya undang-undang ini menjadi landasan hukum untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkannya, adalah salah satu sumber penghasil sampah. 

Namun, walaupun sudah diamanatkan dalam undang-undang, diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012, penerapan EPR belum menjadi mandatori (wajib). EPR masih dilaksanakan secara sukarela. Dalam kacamata produsen, penerapan EPR akan menaikkan ongkos produksi sebuah produk, belum lagi pilihan penggunaan produk yang biodegradable (dapat terurai dengan hayati) yang biayanya tidak murah. Dengan penggunaan produk biodegradable, teknologi yang digunakan juga akan beralih dan ini tentu akan menyulitkan dan tidak efisien secara ekonomi.  

Di samping itu, produsen juga melihat bahwa EPR harus dilihat dalam sebuah ekosistem penanganan yang lebih besar, tidak hanya menjadi kewajiban pihak produsen saja, tetapi pemerintah dan masyarakat punya andil dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam pengelolaan sampah. 

Jalan Tengah Extended Producers Responsibility

Walaupun belum secara masif dilakukan, praktik perluasan tanggung jawab perusahaan sebenarnya sudah mulai diterapkan. Tanggung jawab fisik di mana produsen terlibat dalam pengelolaan fisik produk atau efek dari produk sudah mulai diimplementasikan. Ini dilihat dari mekanisme  Take Back oleh perusahaan seperti penggunaan galon isi ulang air minum kemasan, atau penggunaan botol kaca untuk kemasan minuman menjadi salah satu praktik baik dalam pembatasan timbulan sampah dan bagian yang tidak terpisahkan dari EPR. Di samping itu, mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan dengan mengurangi atau mengganti penggunaan produk plastik dengan penggunaan tumbler, sedotan daur ulang, dan food container menjadi kekuatan bagi penerapan EPR ke depan. 

Namun, dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk tiap tahunnya, mekanisme Take Back belum cukup untuk mengatasi persoalan pelik soal sampah, terutama sampah botol plastik yang sulit diurai alam. Namun, berharap EPR dapat diimplementasikan secara komprehensif tentu bukan perkara mudah. Karena itu perlu jalan tengah untuk menjembatani antara kepentingan perlindungan di satu sisi, dan iklim ekonomi investasi di sisi lain.

BACA JUGA: Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan 

Dalam pembatasan produk botol plastik, produsen dapat mengaplikasikan adanya Water Station yang ditempatkan di supermarket maupun kios warung. Bila penggunaan tumbler oleh individu dan masyarakat sudah mulai masif, masalah yang timbul berikutnya adalah isi ulang air, apalagi bila melakukan aktivitas di luar ruangan. Belum adanya Water Station membuat kebutuhan terhadap botol plastik sekali pakai masih tinggi. Dengan adanya Water Station, konsumen tetap membayar dalam isi ulang air, tetapi tentu lebih murah bila dibandingkan membeli dengan botol plastik, ini akan merangsang individu atau masyarakat untuk beralih ke penggunaan produk berulang ketimbang produk sekali pakai. 

Di samping itu, produsen juga dapat mengimplementasikan Bulk StoreBulk Store adalah semacam swalayan isi ulang produk seperti sabun, shampo dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang selama ini kerap masih menggunakan produk plastik. Dengan adanya Bulk Store, masyarakat cukup membawa kemasan produk yang kosong atau wadah sendiri untuk diisi ulang kembali. Dengan ini tentunya akan mengurangi potensi timbulan sampah plastik. 

Pada akhirnya, walaupun belum komprehensif sejatinya praktik EPR tetap dapat dilaksanakan. Pendekatan perluasan tanggung jawab perusahaan sebaiknya tidak dilihat saat produk tersebut telah diproduksi dan didistribusi saja, namun dengan pembatasan potensi sampah di awal, praktik EPR dapat lebih mudah diimplementasikan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga, berikut pula iklim investasi.

Oleh: Muhammad Wahdini

Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan 

Related Article

Madani’s Update Januari 2021: Menakar Agenda Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Alam Dalam RKP 2021

Madani’s Update Januari 2021: Menakar Agenda Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Alam Dalam RKP 2021

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode satu tahun dan merupakan bentuk terjemahan dari Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun.

RKP menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga untuk melakukan penyusunan dan pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, pedoman bagi Pemerintah dalam menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Nota Keuangan, serta pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Dengan demikian, RKP menjadi hal yang penting untuk ditinjau guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

RKP tahun 2021 menjadi berbeda dengan RKP-RKP tahun sebelumnya. Sebab, RKP tahun 2021 dihadapkan oleh pandemi Covid-19 yang memiliki dampak yang besar pada beberapa bidang. Tak terkecuali pada bidang lingkungan hidup, di mana dampak terhadap bidang ini adalah:

-Perubahan target penurunan emisi GRK dari 26,29 persen menjadi pada kisaran 25,36-25,93 persen pada tahun 2020;

– Besaran anggaran tahun 2020 untuk implementasi aksi mitigasi serta program dan kegiatan pembangunan rendah karbon seperti reforestasi, pencegahan deforestasi, dan peningkatan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) berkurang. Alokasi anggaran untuk PN 6 sendiri yaitu sebesar 10,47 Triliun Rupiah atau kedua terkecil dibandingkan dengan 6 PN lainnya.

Walau Pemerintah akan berfokus pada pemulihan ekonomi sebagaimana tema yang diusung pada RKP tahun 2021 yaitu Mempercepat Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Sosial, namun terdapat kegiatan pemulihan ekonomi yang selaras dengan agenda perlindungan dan penyelamatan hutan alam dan lahan gambut yaitu  Perhutanan Sosial. Kegiatan Perhutanan Sosial yang meliputi agroforestry, silvopasture, dan silvofishery dapat meningkatkan pemanfaatan lahan terlantar di kawasan hutan, mendukung penyediaan pangan masyarakat, menanggulangi kemiskinan kelompok tani hutan (KTH), serta perlindungan dan penyelamatan kawasan hutan.

Di sisi lain, terdapat kegiatan pemulihan ekonomi lain yang dikhawatirkan dapat menghambat agenda perlindungan dan penyelamatan hutan alam dan lahan gambut. Disebutkan bahwa salah satu hal yang akan dilakukan adalah adanya kegiatan pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah dalam rangka penguatan ketahanan pangan nasional. Ditilik dari analisis spasial Madani, terdapat 136 ribu ha tutupan hutan alam yang terancam oleh kebijakan ini. Jika ditinjau lebih jauh, maka 135 ribu ha di antaranya berada pada kawasan fungsi lindung.

Dapatkan Madani’s Update Januari 2021: Menakar Agenda Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Alam Dalam RKP 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Pengeluaran per Kapita Daerah di 10 Povinsi Kaya Sawit

Pengeluaran per Kapita Daerah di 10 Povinsi Kaya Sawit

Pola konsusmsi di daerah perdesaan kaya sawit menjadi salah satu indikator dalam mengukur kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar lahan sawit. Namun data Madani Berkelanjutan mencatat, hanya 3 dari 10 provinsi yang memiliki rata-rata pengeluaran non pangan per bulannya lebih tinggi dari rata-rata nasional. Adapun provinsi tersebut adalah Riau, Kalimantan Timur dan Jambi.

Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan persentase rata-rata pengeluaran non pangan tertinggi sebesar 47,03 persen. Provinsi dengan pengeluaran non pangan terendah adalah Aceh yang persentasenya sebesar 36,62 persen. Adapun rata-rata pengeluaran per kapita non pangan secara nasional adalah 42,15 persen. Selain indikator non pangan, pengeluaran untuk pangan di provinsi kaya sawit yang angkanya di bawah rata-rata nasional terdapat di Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Jambi.

 

Di Riau, rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan hanya sebesar 56,37 persen. Sementara rata-rata pengeluaran pangan nasional mencapai 57,87 persen. Adapun provinsi dengan rata-rata pengeluaran pangan terbesar adalah Aceh dengan persentase sebesar 63,71 persen.

Riset ini telah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

Dua Sisi Industri Sawit Indonesia

Dua Sisi Industri Sawit Indonesia

Lahan sawit tertanam terus meningkat luasannya. Pada 2018 angkanya mencapai 14,1 juta hektare (ha). Laju penambahan paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir terjadi antara 2016 ke 2017. Terdapat pertambahan lahan sawit tertanam sampai 17,7 persen kala itu. 

Dampaknya, produksi sawit nasional (CPO dan PKO) juga turut melonjak naik, menyentuh angka 45,6 juta ton pada 2017. Hal ini berpengaruh pada devisa negara mengingat sawit sebagai salah satu komoditas ekspor yang cukup besar. Volume ekspor yang stabil di atas 24 juta ton antara 2014-2018, memberi sumbangan ekspor miliaran dolar Amerika Serikat setiap tahunnya.

Meski demikian, nilai ekspor komoditas sawit mengalami fluktuasi. Misalnya saja, jumlah ekspor pada 2017 sebanyak 29,1 juta ton bernilai 20,7 juta dollar, tapi pada 2018 dengan jumlah ekspor naik tipis menjadi 29,7 juta ton, nilai ekspornya malah turun  menjadi 18,2 juta dolar AS. Di sisi lain, perluasan lahan sawit turut menyebabkan konflik agraria di sektor perkebunan. 

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat pada 2017 terdapat 208 kasus baru dengan cakupan lahan lebih dari 137 ribu ha. KPA juga mencatat perkebunan sawit memberi kontribusi paling besar dalam kategori konflik agraria sektor perkebunan.

Riset ini sudah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

id_IDID