Madani

Tentang Kami

Pilkada 2020 Pertempuran Antara Melindungi Hutan dan Menggunduli Hutan

Pilkada 2020 Pertempuran Antara Melindungi Hutan dan Menggunduli Hutan

[MadaniNews, 27 November 2020] Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 kian dekat. Hal ini berarti nasib hutan dan gambut kian dipertaruhkan. Pilkada tahun ini adalah sebuah pertempuran yang begitu sakral, bukan hanya soal pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan tapi juga pertempuran antara melindungi hutan dan menggunduli hutan. Hal tersebut disampaikan Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual Nasib Hutan di Tengah Pilkada pada Kamis, 26 November 2020.

Teguh Surya juga mengatakan Pilkada 2020 kali ini adalah pilkada yang begitu spesial, pertama karena dalam suasana pandemi covid-19, kemudian, pimpinan daerah terpilih adalah generasi pertama yang akan menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja yang penuh kontroversi yang juga dapat dikatakan tantangan baru bagi lingkungan hidup. 

Bukan hanya itu, daerah-daerah yang akan pilkada kali ini memiliki kekhasan ekologi yang berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia. Dari 9 provinsi, 3 provinsi memiliki hutan alam terluas: Kalteng, Kaltara, Sulteng. Yang menarik – rekam jejak deforestasi juga tinggi di 3 provinsi tersebut. Rekam jejak ini mengkhawatirkan jika Pilkada tidak mengusung komitmen perlindungan hutan dan lingkungan,” pungkas Teguh Surya.

Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Provinsi Kalteng, Kaltara, dan Sulteng adalah provinsi yang paling rawan deforestasi dan degradasi pasca pilkada. Sedangkan Kabupaten Malinau, Boven Digoel, Merauke, Pegunungan Bintang, Berau, Kapuas Hulu, Mahakam, Mahakam Hulu merupakan kabupaten yang paling rawan deforestasi dan degradasi.  Madani juga mengkategorikan hutan alam di provinsi dan kabupaten yang akan Pilkada ke dalam 4 level ancaman yakni Berisiko (43x Pulau Bali), Terancam (6x Pulau Bali), Sangat Terancam (3x Bali), Paling Terancam (9x Pulau Bali).

Dalam diskusi virtual ini, hadir sebagai narasumber yakni Direktur Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Wardiana, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Suwanto.

Wawan Wardiana mengatakan bahwa KPK pernah menemukan 82% calon kepala daerah didanai sponsor yang berkaitan dengan pemberian izin dan konsesi ketika menjabat.  “Dalam survei KPK, banyak calon kepala daerah tidak memiliki harta yang cukup untuk membiayai pilkada yakni sekitar 5 sampai 10 miliar, sedangkan idealnya 65 miliar. Sebanyak 82,3% kandidat menyatakan mereka dibantu donatur atau disponsori, tidak terbatas pada masa kampanye tapi juga sebelum kampanye”, ujar Wawan Wardiana.

Wawan juga menyebut bahwa adanya indikasi kerentanan terjadinya tindak pidana korupsi akibat hal tersebut. “Dalam kajian KPK, ada tiga aspek yang menjadi celah korupsi yakni, perencanaan hutan, perizinan, dan potensi kehilangan penerimaan negara”, tambah Wawan.

Sementara itu, Sri Suwanto menegaskan bahwa provinsi tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin final. “Pemprov sampai saat ini tidak punya kewenangan untuk memberikan izin yang final. Pemberian perizinan final ada di tangan pemerintah pusat. Sebagai Kepala Dinas Kehutanan, saya hanya memberikan pertimbangan teknis apabila ada permohonan izin yang masuk khususnya usaha perkebunan atau usaha yang berada di dalam kawasan hutan. Kita harus welcome juga investasi”, ujar Sri Suwanto.

Menutup diskusi, Teguh Surya menyampaikan tiga rekomendasi penting terhadap daerah pelaksana pilkada yakni perlunya memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah dengan menerapkan prinsip pembangunan ekonomi tanpa merusak alam sebagai pilar utama, memperkukuh dan mengutamakan strategi perlindungan hutan dan ekosistem gambut sebagai garda terdepan pembangunan ekonomi daerah dan, menjadikan publik khususnya masyarakat adat di sekitar investasi sebagai mitra utama pembangunan yang didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil. 

Teguh Surya menyampaikan bahwa kewenangan Pemda sebagai pelindung hutan di wilayahnya harus dijalankan dengan lebih tegas karena ketika hutan rusak dan bencana meningkat, yang terdampak langsung adalah masyarakat dan pemerintah di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pilkada haruslah menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga dapat berkontribusi dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia.  

Dapatkan materi presentasi narasumber dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

id_IDID