Madani

Tentang Kami

Pemerintah Luncurkan Pertamax Green 95 dari Tetes Tebu: Penganekaragaman Sumber Bahan Bakar Nabati Perlu Diperluas

Pemerintah Luncurkan Pertamax Green 95 dari Tetes Tebu: Penganekaragaman Sumber Bahan Bakar Nabati Perlu Diperluas

Jakarta, 18/07/2023–Pada akhir Juli 2023, PT Pertamina berencana meluncurkan bahan bakar Pertamax Green 95 yang merupakan campuran antara bensin Pertamax dengan bioetanol berbahan dasar tetes tebu. MADANI Berkelanjutan memandang bahwa kebijakan tersebut bisa membawa Indonesia satu  langkah lebih dekat kepada transisi energi dan  kemandirian energi apabila ditindaklanjuti dengan penganekaragaman sumber bahan bakar nabati.

PT Pertamina melalui anak perusahaan PT Pertamina Niaga akan mulai mengedarkan secara terbatas Pertamax Green 95 yang terbuat dari campuran bensin Pertamax (95%) dengan bioetanol (5%) pada Juli ini. Bioetanolnya berbahan dasar molase atau tetes tebu yang merupakan produk sampingan atau sisa dari proses pembuatan gula.

“Campuran energi berkelanjutan Indonesia masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, inovasi berbahan dasar tetes tebu ini bisa dilihat sebagai langkah kecil awal menuju  pemanfaatan sumber-sumber bahan bakar berkelanjutan lainnya, terutama yang berasal dari residu atau limbah,” jelas Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, dalam menanggapi peluncuran Pertamax Green 95.

Ini bukan kali pertama PT Pertamina membaurkan bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati (BBN). Sejak 2008, PT Pertamina mencampurkan diesel dengan biodiesel berbahan dasar minyak sawit yang baurannya saat ini mencapai 35%, sesuai dengan kebijakan B35 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sampai saat ini, minyak sawit adalah satu-satunya bahan baku BBN yang pemanfaatannya mendapatkan mandat dan insentif dari pemerintah.

“Ekspansi perkebunan sawit masih memiliki risiko sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, selagi terus memperbaiki tata kelola sawit, pemerintah juga perlu mengoptimalkan penggunaan aneka sumber bahan baku dalam pengembangan BBN generasi kedua, yang berasal dari sampah atau limbah. Sumber-sumber lain tersebut bisa berupa minyak jelantah; tongkol jagung; tetes tebu, seperti yang digunakan Pertamax Green 95; limbah-limbah pertanian; dan lain sebagainya,” terang Giorgio Budi Indrarto.

Giorgio Budi Indrarto juga menekankan bahwa diversifikasi atau penganekaragaman sumber bahan bakar sejalan dengan target Indonesia untuk beralih kepada energi berkelanjutan dalam rangka mengurangi emisi. Di dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, Indonesia menargetkan agar, pada tahun 2050, BBN menyumbang 46% dari total energi sektor transportasi.

“Pencapaian target LTS-LCCR 2050 tersebut memerlukan andil berbagai bahan baku agar Indonesia tidak bergantung kepada minyak sawit saja. Karena ketergantungan berlebihan terhadap satu bahan baku memiliki banyak risiko dari sisi ekonomi, sosial dan ekologi,” tambah Giorgio Budi Indrarto.

Selain mendukung transisi energi, Giorgio Budi Indrarto juga menyoroti keunggulan lain dari diversifikasi bahan baku BBN, yakni mendukung kemandirian energi. “Diversifikasi bahan baku BBN merupakan wujud upaya memaksimalkan sumber daya energi domestik yang kemudian bisa memberikan stimulus bagi perekonomian di berbagai daerah. Perlu diingat, berbagai daerah di Indonesia memiliki potensi sumber BBN yang berbeda-beda yang patut, tetapi belum, dikembangkan,” jelas Giorgio Budi Indrarto.

Menutup responnya, Giorgio Budi Indrarto juga mendorong masyarakat untuk memilih bahan bakar yang berkelanjutan. “Dengan cara tersebut, masyarakat bisa ambil andil dalam meningkatkan demand domestik terhadap energi berkelanjutan.”

Masyarakat dan Alam Indonesia (MADANI) Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi. Didirikan pada 2016, MADANI Berkelanjutan berupaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Kami merumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. Saat ini, fokus kerja MADANI Berkelanjutan meliputi isu hutan dan iklim, komoditas berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan pada tingkat daerah, dan biofuel.

                                                                                      ###

Kontak media: Luluk Uliyah, Media & Stakeholder Engagement MADANI Berkelanjutan, via  surel: luluk@madaniberkelanjutan.id.

Related Article

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

Perlindungan lingkungan hidup dalam rangka menanggulangi krisis iklim, termasuk perlindungan hutan serta lahan dan hak-hak masyarakat adat serta kelompok rentan, harus menjadi perhatian dalam momen politik 2024. Komitmen politik para calon legislatif dan eksekutif perlu tercermin tidak hanya selama periode pencalonan, tetapi harus berlanjut pasca pemilihan. Pemerintah saat ini juga perlu berkomitmen tinggi untuk mencegah “obral” izin pembukaan lahan yang kerap terjadi pada tahun-tahun politik sebelumnya.

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

CRISES ON THE GROUND BECOMING MORE EVIDENT, INDONESIA’S ENHANCED CLIMATE AMBITION REQUIRES MORE INCLUSIVE PUBLIC PARTICIPATION MECHANISM

CRISES ON THE GROUND BECOMING MORE EVIDENT, INDONESIA’S ENHANCED CLIMATE AMBITION REQUIRES MORE INCLUSIVE PUBLIC PARTICIPATION MECHANISM

Jakarta, 29 September 2022. A civil society coalition, consisting of Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, and IESR, welcomes the Government of Indonesia’s decision to enhance the country’s Greenhouse Gas Emissions reduction target by 2030 from 29% to 31.89% with its own efforts and from 41% to 43.2% with international support. This enhancement reflects the Government of Indonesia’s earnestness in tackling global climate change. This enhancement should have been made with meaningful and inclusive public participation and taken into account various sectors, so that options for climate change mitigation and adaptation actions in Indonesia are effective and do not cause adverse impacts on vulnerable groups.

Crises faced by the Indonesian people due to climate change are becoming more evident. Some adaptation and mitigation options may worsen the adaptive capacity of ecosystems and communities if carried out recklessly without full consideration of social and environmental impacts.

In the city of Kupang, East Nusa Tenggara, the construction of breakwater infrastructure as an option to tackle climate change has undermined the needs of traditional fisherfolk communities. In Malaka District, East Nusa Tenggara, flood prevention infrastructure has increased communities’ vulnerability to floods. In Pekalongan, Central Java, an embankment built to prevent seawater from flooding the land has blocked the flow of nutritions, hindering the growth of mangroves.

Pulau Obi in North Maluku is a 2,500 km2 island and currently bears 19 nickel mining concessions, some of which are intended to fulfill the demand of electric vehicles. Mining and smelting activities there also rely on coal power plants, which are emission intensive.

“The main subjects in actions to combat climate change are people and ecosystems, which cannot be separated from one another. Climate change actions must be balanced, and in the context of Indonesia, adaptation must be given the same or even a greater portion than mitigation. Both central and regional governments must involve communities’ participation and identify their needs when choosing and carrying out climate change mitigation and adaptation actions,” said Dewi Rizki, Program Director of Kemitraan. 

The Climate Justice Coalition highlights Indonesia’s enhancement of climate ambition in the forestry and land use (FOLU) and energy sectors, which contribute the biggest emissions reduction in Enhanced NDC.

“This enhancement in climate ambition deserves appreciation, especially due to the amount of funds and multi-stakeholder collaboration required to achieve it,” said Nadia Hadad. “But this target could have been made more ambitious considering that Indonesia has decided to pursue a greater target of Indonesia FOLU Net Sink by 2030,” added Nadia Hadad, the Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan.

In Enhanced NDC, total deforestation in 2020-2030 under the own-efforts scenario increases to 359 thousand ha per year, higher than the previous target of 325 thousand ha per year as stipulated in the First NDC Indonesia of 2016 and the Updated NDC Indonesia of 2021, even though Indonesia has consecutively reduced deforestation in the last 4 years.

In the energy sector, the Coalition appreciates the raising of emissions reduction target to 44 MTCO2e, a 14% increase from the Updated NDC. Unfortunately, the increase has yet to be made aligned with the global target of preventing temperature rise below 2°C/1,5°C.

“Emissions reduction in the energy sector can be further improved with a target of renewable energy blending of 42% by 2030,” explained Fabby Tumiwa, the Executive Director of IESR. “Further emissions reduction can be achieved with the early retirement of coal power plants—a target that remains to be included in Indonesia’s NDC emissions reduction calculation.”

With regard to climate adaptation, actions must be made aligned with development and prevent the worsening of conditions or maladaptation.

“Even though NDC has mentioned cross-sectoral integration, at a national level, coordination and collaboration between sectors remain a big challenge because many development initiatives that are eco-friendly tend to collide with the non-eco-friendly ones, adversely affecting the safety of peoples,” said Torry Kuswardono, the Director of Yayasan PIKUL.

The Coalition highlights the lack of public consultation and participation, especially from civil society organizations and Indigenous Peoples or customary communities in the formulation of Enhanced NDC even though they are the ones that are in the frontline of and are directly impacted by climate change. The Paris Agreement has affirmed the importance of public participation and public’s access to information as well as the involvement of all actors in all processes to tackle climate change, including when planning NDCs. The formulation and implementation of NDC should be based on the “no-one-left-behind” principle, both in climate change actions and efforts to achieve sustainable development goals. Therefore, strengthening the mechanisms for meaningful consultation and involvement of all stakeholders is an absolute necessity, both in drafting and implementing NDC.

“Only by having a meaningful public participation mechanism can Indonesia truly claim that actions listed in NDC are able to save the Indonesian people from the climate crisis that is already occurring and will be increasingly felt,” said Hadi Jatmiko, Head of Campaign Division of National WALHI.

***

Contact persons:

  1. Nadia Hadad, Executive Director, Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0811 132 081

  2. Hadi Jatmiko, Head of Campaign Division of National WALHI, Ph. 0813 1006 8838  

  3. Fabby Tumiwa, Executive Director, IESR, Ph. 0811-949-759

  4. Torry Kuswardono, Executive Director, Yayasan PIKUL, Ph. 0811 383 270

  5. Dewi Rizki, Program Director, Sustainable Governance Strategic, Ph. 0811-8453-112

Notes to Editor:

  1. In Enhanced NDC, the emissions reduction target in the Forestry and Land Use (FOLU) sector that must be achieved with Indonesia’s own efforts increased by 0.6% or 3 MTCO2e from 497 MTCO2e  in Updated NDC to 500 MTCO2e. Meanwhile, the emissions reduction target that will be met if there is international support increased by 5.35% or 37 MTCO2e from 692 MCO2e to 729 MTCO2e.

  2. According to a study by IESR and University of Maryland (2022), to align emissions reduction with 1.5C pathways, Indonesia needs to retire 9.2 GW of coal-fired power plants by 2030. Unfortunately, in NDC, early retirement of coal-fired power plants is not yet taken into account in the calculation of emissions reduction. 

  3. The Coalition recommends the following to be taken into consideration by the government:

    1. Protect the remaining unprotected secondary natural forests by including them in the Indicative Map of Prohibition of New Permits Issuance; 

    2. Limit Forest Utilization Business Permit in natural forests only for restorative activities such as environmental services and ecosystems restoration;

    3. Accelerate the realization of Social Forestry targets – especially customary forests – and strengthen assistance to communities to enable the program to contribute to reducing emissions, protecting essential ecosystems, and increasing communities’ resilience to climate change impacts.

    4. Affirm co-firing as a mitigation action in Enhanced NDC only as a short-term emissions reduction strategy while retiring coal-fired power plants even earlier;

    5. Co-firing with biomass must take into consideration the following aspects: the economic viability of the cost of biomass fuel and prevention of increased emissions in the land sector. The utilization of co-firing with biomass cannot justify the extension of coal-fired power plants;

    6. Prioritize adaptation actions in every climate change intervention;

    7. Operationalize Climate-Resilient Development Plan to the regional and local level so that it can be implemented through the Regional Development Plan and the Regional Budget;

    8. Ensure public participation in the formulation of Regional Action Plan on Climate Change Adaptation or RAD-API to push for participatory adaptation actions that fulfill the justice aspect in handling the impacts caused.

  4. Further information regarding examples of maladaptation and mitigation options that cause adverse social and environmental impacts can be found below:: 

    1. Kupang, NTT: https://pikul.id/maladaptasi-dan-adaptasi-efektif-di-ntt/

    2. Malaka District, NTT: see report by Herman Seran, “Sungai Adalah Sahabat, Banjir Adalah Rejeki: Temuan Studi Survei Etnografis Dataran Banjir Benenai Wesiku-Wehali,” 2021. 

    3. Pekalongan, Central Java: https://www.kemitraan.or.id/program-tiap-provinsi/adaptation-fund-project-pekalongan

    4. Pulau Obi, North Maluku: https://www.walhi.or.id/berebut-ruang-dengan-investasi

Related Article

KRISIS DI TINGKAT TAPAK SEMAKIN NYATA, PENGUATAN AMBISI IKLIM INDONESIA HARUS DIBARENGI MEKANISME PARTISIPASI PUBLIK YANG LEBIH INKLUSIF

KRISIS DI TINGKAT TAPAK SEMAKIN NYATA, PENGUATAN AMBISI IKLIM INDONESIA HARUS DIBARENGI MEKANISME PARTISIPASI PUBLIK YANG LEBIH INKLUSIF

Jakarta, 29 September 2022. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, dan IESR menyambut baik keputusan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada 2030 dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional. Peningkatan target ini cukup menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim global. Penguatan tersebut seharusnya disertai mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan inklusif serta memperhatikan berbagai sektor agar pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia benar-benar berjalan efektif dan tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi kelompok rentan. 

Krisis yang dihadapi masyarakat Indonesia akibat perubahan iklim semakin nyata. Berbagai pilihan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ternyata sebagian malah memperburuk kapasitas adaptif ekosistem dan masyarakat serta apabila dilakukan secara membabi buta seringkali melupakan dampak sosial dan lingkungan. 

Di Kota Kupang, NTT, misalnya, pembangunan infrastruktur penahan gelombang sebagai pilihan aksi perubahan iklim mengabaikan kebutuhan nelayan tradisional. Di Kabupaten Malaka, NTT, infrastruktur pencegah banjir justru meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap banjir. Di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggul yang dibangun untuk menahan air laut justru menghambat aliran nutrisi sehingga mangrove tidak bisa berkembang dengan baik.

Pulau Obi, Maluku Utara, yang luasnya hanya 2500 km persegi telah dibebani 19 izin pertambangan nikel, yang sebagiannya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. Pertambangan dan smelter pun masih tergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menghasilkan banyak emisi.

“Subyek utama dari aksi penanggulangan perubahan iklim adalah manusia dan ekosistem yang sebetulnya tidak terpisahkan. Intervensi aksi perubahan iklim harus seimbang dan dalam konteks Indonesia, aksi adaptasi seharusnya mendapatkan porsi yang setara atau lebih besar daripada mitigasi. Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah harus melibatkan aksi partisipatif masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Dewi Rizki, Direktur Program Kemitraan. 

Koalisi Keadilan Iklim menyoroti penguatan ambisi iklim Indonesia di sektor hutan dan lahan (FOLU) serta energi yang saat ini menjadi penyumbang utama pengurangan emisi dalam Enhanced NDC. 

“Peningkatan target pengurangan emisi ini patut diapresiasi, terutama karena besarnya dana dan kolaborasi multi pihak yang dibutuhkan untuk mencapainya,” ujar Nadia Hadad. “Namun, ambisi ini dapat lebih ambisius mengingat target Indonesia dalam FOLU Net Sink 2030 jauh lebih besar. Target ini semestinya diadopsi ke dalam NDC selanjutnya,” tambah Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam Enhanced NDC, angka deforestasi total periode 2020-2030 dalam skenario upaya sendiri justru meningkat menjadi 359 ribu ha per tahun, lebih tinggi dibandingkan total deforestasi dalam First NDC Indonesia 2016 dan Updated NDC 2021 sebesar 325 ribu ha. Padahal, Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat deforestasinya selama 4 tahun berturut-turut. 

Di sektor energi, Koalisi mengapresiasi peningkatan penurunan emisi yang lebih tinggi dari sektor energi yakni 44 MtCO2e atau naik 14% dari target di Updated NDC. Hanya, disayangkan, kenaikan tersebut  masih belum selaras dengan upaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan target global menahan kenaikan temperatur di bawah 2°C/1,5°C.

“Penurunan emisi dari sektor energi masih dapat ditingkatkan lagi apabila ada kenaikan target bauran energi terbarukan menjadi 42% di 2030,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. “Penurunan emisi yang lebih tinggi juga bisa didapatkan dengan memasukkan pensiun dini PLTU serta akselerasi penggunaan kendaraan listrik, serta penerapan efisiensi energi dari bangunan serta industri, hal yang saat ini belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi di NDC.” 

Berkaitan dengan adaptasi, seharusnya aksi adaptasi sejalan dengan agenda pembangunan dan tidak boleh menyebabkan sesuatu yang lebih buruk atau maladaptasi. 

“Meskipun NDC telah menyebutkan integrasi lintas-sektor, pada aras implementasi di tingkat nasional, koordinasi dan kolaborasi antar sektor masih menjadi pertanyaan besar mengingat aksi-aksi pembangunan yang bernuansa iklim maupun tidak bernuansa iklim masih saling berbenturan dan berdampak negatif bagi keselamatan warga,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL. 

Koalisi menyoroti minimnya konsultasi dan partisipasi publik, terutama masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam penyusunan Enhanced NDC. Padahal, masyarakat adalah kelompok terdepan dan langsung terdampak perubahan iklim. Selain itu, Persetujuan Paris mengafirmasi pentingnya partisipasi publik dan akses publik terhadap informasi serta pelibatan seluruh aktor dalam seluruh proses penanganan perubahan iklim, termasuk penyusunan NDC. Penyusunan dan implementasi NDC seharusnya didasari semangat “no one left behind” dalam penanganan perubahan iklim dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Penguatan mekanisme konsultasi dan pelibatan yang bermakna bagi seluruh pihak dalam proses penyusunan maupun implementasi NDC adalah hal yang mutlak. 

“Hanya dengan memiliki mekanisme partisipasi publik yang bermakna, Indonesia dapat benar-benar menyatakan aksi yang ada di dalam NDC mampu menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis iklim yang telah terjadi dan akan semakin dirasakan saat ini,” tutup Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.

***

Narahubung:

  1. Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081

  2. Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, HP 0813 1006 8838  

  3. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, HP 0811-949-759

  4. Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, HP 0811 383 270

  5. Dewi Rizki, Direktur Program Sustainable Governance Strategic, HP 0811-8453-112

Catatan untuk editor:

  1. Dalam Enhanced NDC, target penurunan emisi di sektor Kehutanan dan Lahan atau FOLU yang akan dicapai secara mandiri naik 0,6% dari Updated NDC atau sebesar 3 MtonCO2e dari 497 MtonCO2e menjadi 500 MtonCO2e. Sementara itu, target pengurangan emisi dengan dukungan internasional meningkat 5,35% atau 37 MtonCO2e hingga menjadi 729 MtonCO2e dari sebelumnya 692 MtonCO2e. 

  2. Menurut kajian IESR bersama Universitas Maryland (2022), agar penurunan emisi selaras dengan jalur 1,5°C, maka pada 2030 harus dipensiunkan 9,2 GW PLTU. Sayangnya, dalam NDC ini, aksi pensiun dini PLTU masih belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi.

  3. Koalisi merekomendasikan beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah:

    1. Melindungi hutan alam sekunder yang masih baik dan belum terlindungi ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru

    2. Membatasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan di hutan alam hanya untuk kegiatan yang bersifat restoratif seperti jasa lingkungan dan restorasi ekosistem

    3. Mempercepat realisasi target Perhutanan Sosial – terutama hutan adat – dan memperkuat pendampingan masyarakat agar dapat berkontribusi mengurangi emisi, melindungi ekosistem esensial dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.

    4. Mempertegas keberadaan cofiring dalam  aksi mitigasi Enhanced NDC hanya sebagai strategi pengurangan emisi jangka pendek sembari menunggu PLTU dipensiunkan, bahkan lebih awal. 

    5. Co-firing biomassa perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti keekonomian dari biaya bahan bakar biomassa, dan juga aspek keberlanjutan dari penyediaan bahan bakar biomassa, agar tidak sampai punya dampak pada penambahan emisi di sektor lahan. Penggunaan co-firing biomassa juga tidak boleh jadi justifikasi perpanjangan umur PLTU dari umur yang ada saat ini.

    6. Mengutamakan aksi adaptasi dalam setiap intervensi perubahan iklim.

    7. Menurunkan Rencana Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) sampai ke daerah agar bisa diimplementasikan melalui RPJMD dan didanai APBD

    8. Memastikan partisipasi publik dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim atau RAD-API untuk mendorong aksi adaptasi yang partisipatif dan memenuhi aspek keadilan dalam penanganan dampak yang ditimbulkan. 

  4. Informasi lebih lanjut terkait contoh maladaptasi dan pemilihan aksi mitigasi yang berdampak terhadap sosial dan lingkungan: 

    1. Kota Kupang, NTT: https://pikul.id/maladaptasi-dan-adaptasi-efektif-di-ntt/

    2. Kabupaten Malaka, NTT: lihat laporan Herman Seran, “Sungai Adalah Sahabat, Banjir Adalah Rejeki: Temuan Studi Survei Etnografis Dataran Banjir Benenai Wesiku-Wehali,” 2021. 

    3. Pekalongan, Jateng: https://www.kemitraan.or.id/program-tiap-provinsi/adaptation-fund-project-pekalongan

    4. Pulau Obi, Maluku Utara: https://www.walhi.or.id/berebut-ruang-dengan-investasi

Related Article

AKSI PERUBAHAN IKLIM MUSTAHIL TANPA KEADILAN DAN PARTISIPASI PUBLIK YANG BERMAKNA

AKSI PERUBAHAN IKLIM MUSTAHIL TANPA KEADILAN DAN PARTISIPASI PUBLIK YANG BERMAKNA

Koalisi Keadilan Iklim

Penyusunan kebijakan iklim harus terbuka bagi partisipasi publik utamanya kelompok rentan, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat. Selama ini mereka lebih banyak menanggung, menderita, dan menanggulangi kerusakan iklim dibanding para pengusaha yang menyebabkan kerusakan. Perlu Undang-undang Keadilan Iklim agar ketimpangan iklim tidak terus terjadi dan semakin buruk. 

 

JAKARTA, 4 Oktober 2022

Dampak perubahan iklim semakin dirasakan dan dialami sebagian besar masyarakat. Salah satunya adalah krisis pangan. Pasalnya, kelompok rentan seperti petani, masyarakat adat, dan nelayan jumlahnya terus menyusut, seiring semakin sulitnya kehidupan mereka akibat krisis iklim. Sebagai yang paling terdampak perubahan iklim, suara masyarakat rentan sangat strategis untuk didengar dalam perumusan berbagai kebijakan adaptasi dan mitigasi. Tapi malangnya, saat ini, ruang partisipasi publik justru kian menyusut. Alhasil, keadilan iklim pun sulit terwujud.

Dua dari contoh bencana iklim ini adalah tenggelamnya desa karena banjir, serta makin sulitnya nelayan melaut. Menurut Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, di Demak, Jawa Tengah, 4 desa sudah tenggelam. Salah satunya Desa Bedono. Sedangkan nelayan, sepanjang 2010-2019, jumlahnya makin sedikit karena banyak yang tewas saat melaut. Jumlah nelayan berkurang 330 ribu. Pada 2010 jumlahnya ada 2,16 juta nelayan. Namun pada 2019 tinggal 1,83 juta orang.

Parid menjelaskan, nelayan terdampak langsung oleh iklim, sebab mereka melaut berdasar kondisi cuaca. Krisis iklim membuat mereka semakin sulit memprediksi cuaca. Akibatnya, waktu melaut pun sangat terbatas. Dalam setahun, mereka hanya melaut selama 180 hari. “Pada masa yang akan datang kita akan mengalami krisis pangan laut,” ujar Parid, dalam acara Bedah Dokumen dan Diskusi: “Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia”, Senin (3/10) di Jakarta.

Parid menilai, jika kondisi ini dibiarkan, lebih dari 12.000 desa pesisir, dan lebih dari 86 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim (climate refugee), “lebih jauh, generasi yang hidup pada tahun 2050 akan menghadapi kenaikan air laut dan terancam krisis pangan,” kata dia.

Dalam acara ini, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menyampaikan kuliah umum yang menyoroti perjuangan memasukkan elemen keadilan iklim dalam dokumen-dokumen internasional. “Sebuah perjalanan panjang,” kata Torry. Gerakan keadilan iklim ditandai beberapa milestone penting. Pada 1990, sebuah laporan berjudul “Green House Gangsters vs Climate Justice” yang diterbitkan Corps Watch, di San Francisco, menegaskan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan minyak terbukti jauh lebih berat menimpa kelompok miskin. Laporan ini menandai dimulainya gerakan yang menyoroti perlunya perspektif keadilan dan keberpihakan bagi kelompok rentan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Tonggak penting lain, Torry menjelaskan, adalah Durban Group on Climate Justice, yang dibentuk pada 2004. Gelombang gugatan masyarakat Nigeria terhadap perusahaan minyak Shell, pada 2000-2020, juga menjadi milestone yang menguatkan dorongan wacana keadilan iklim.

 “Climate Justice Now!” yang dideklarasikan Civil Society Forum di Denpasar, Bali, di tengah perhelatan COP13 pada tahun 2007, juga menjadi tonggak penting gerakan keadilan iklim.  Yang juga tak kalah penting adalah pidato ensiklik, surat kepada umat manusia, Paus Franciscus I bertajuk “Laudato Si – Care for Our Common Home”, pada tahun 2015.  Dalam pidato ini, Paus menggarisbawahi problem yang dihadapi umat manusia, yakni polusi, perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya biodiversitas, dan ketimpangan global. Laudato Si yang fenomenal ini juga menyoroti betapa penggunaan teknologi, sebagai alat untuk memanipulasi alam, telah memisahkan manusia dari lingkungan dan mengedepankan kepentingan ekonomi.

Keadilan iklim, karenanya, adalah adalah kritik atas pembangunan dan sekaligus upaya untuk memperkecil ketimpangan. Sebuah upaya yang tidak mudah dan terus bergerak. “Keadilan iklim, yang sejak empat dekade lalu banyak disuarakan aktivis di berbagai belahan dunia, akhirnya kini masuk dalam dokumen-dokumen resmi IPCC,” kata Torry.

Keadilan iklim tak boleh diabaikan jika dunia ingin sukses menahan laju perubahan iklim. Jika ketimpangan bisa dikikis, maka adaptasi dan mitigasi iklim bisa disinergikan. Bila keadilan iklim bisa dijalankan, maka masyarakatnya akan bisa beradaptasi. “Sebaliknya, jika adaptasi iklim bisa dilakukan, maka akan menghasilkan masyarakat yang adil,” kata Torry, yang meneliti dokumen IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) Assessment Report 6.

IPCC Assessment Report adalah laporan yang diterbitkan Panel Antarpemerintah di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempelajari masalah perubahan iklim dari sisi ilmiah, teknis, dan sosial-ekonomi. Laporan kini sudah memasuki seri ke 6 yang dirilis pada akhir Februari tahun ini. Laporan setebal 3.675 halaman ini salah satunya memberikan panduan pentingnya memperluas partisipasi publik dalam menyusun kebijakan iklim, sehingga aksi dan mitigasi iklim dapat berdampak bagi semua.

Torry menjelaskan, keadilan iklim bisa terjadi jika pemerintah membuka partisipasi publik (rekognisi) dari kelompok rentan agar mereka bisa efektif beradaptasi dengan perubahan iklim dan mencegah maladaptasi. Partisipasi ini perlu dijamin oleh prosedur hukum untuk memberikan keadilan yang lebih bagi kelompok rentan. Pasalnya selama ini, mereka yang paling terkena dampak dari bencana iklim. “Pada prinsipnya yang paling menderita harus menerima manfaat lebih besar daripada manfaat yang diterima orang rata-rata supaya ketimpangan bisa ditangani,” ujarnya.

Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum JENTERA menilai, partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, terutama kelompok rentan perlu dibuka dengan luas dan bebas dari tekanan. “Perlu perubahan yang transformatif agar suara-suara kelompok rentan benar-benar ditampung dalam kebijakan,” ujarnya.

Selama ini, suara publik banyak diabaikan dalam pembuatan hukum atau kebijakan. Misal, di tingkat kebijakan soal kelapa sawit dan perpajakan, keputusan politik diambil oleh kelompok oligarki yang kental isinya dengan kepentingan mereka. Di tingkat perumusan undang-undang dan lembaga peradilan, oligarki sudah menutup rapat kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini terjadi pada proses UU Cipta Kerja yang problematik. Kemudian, yang terjadi belakangan adalah hakim yang konstitusi yang berinisiatif memperbaiki UU Cipta Kerja justru dicopot dari posisinya. Hal ini menegaskan bahwa partisipasi publik, juga suara kelompok rentan, tidak diakomodasi secara sungguh-sungguh dalam pembuatan kebijakan. Memang betul, Bivitri menegaskan, dalam banyak hal tak ada aturan dan prosedur yang dilanggar pemerintah. Partisipasi publik dibuka, tapi hanya sekadar formalitas dan permukaan. “Jadi, walaupun aturannya legal, namun belum tentu benar,” ujar Bivitri.

Siti Rakhma Mary Herwati, Tim Manajemen Pengetahuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, ketidakadilan iklim ini terbentuk karena ketimpangan kuasa dan adanya privilese bagi kalangan industri ekstraktif. Sedangkan imbasnya, ditanggung masyarakat kelompok rentan. Misalnya penggusuran, pencemaran udara, hingga kerusakan lingkungan.

Rakhma menjelaskan, banyak kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditangani LBH berdampak besar pada kelompok rentan, di mana dalam proses rancangannya tidak melibatkan partisipasi publik. Misalnya, di kawasan pantai utara Jawa (Pantura) masyarakat sering ditimpa banjir, namun pembangunan infrastruktur jalan terus. Di Manado, reklamasi dilakukan tanpa mengajak bicara masyarakat. Sedangkan jika protes, malah dikriminalisasi. “Dalam kasus ini, banyak aspek HAM yang dilanggar. Misalnya hak informasi, hak rasa aman, serta hak atas air lingkungan dan pangan,” ujar Rakhma. Dia menilai, pemerintah malah anomali; menjadikan perubahan iklim sebagai isu strategis namun di sisi lain juga memberi jalan bagi industri ekstraktif yang menyebabkan naiknya Gas Rumah Kaca.

Menurut Parid, selama ini masyarakat yang menanggung langsung dampak buruk dari bencana iklim, justru menjadi kelompok yang paling tidak tahu-menahu proses kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kalau toh ada partisipasi publik, menurut Bivitri, dilakukan dengan teknokratis, yang hanya sekadar menggugurkan syarat-syarat teknis saja.

Parid menilai, publik perlu mendorong adanya Undang-undang Keadilan Iklim. Aturan ini diperlukan agar keadilan iklim menjadi isu penting dan genting yang perlu segera diwujudkan. Torry menilai, keadilan iklim juga merupakan isu pembangunan untuk memperkecil ketimpangan, dan bisa memberi manfaat bagi kalangan miskin dan kelompok rentan.

***

Catatan untuk editor:

Koalisi Keadilan Iklim adalah gerakan masyarakat sipil yang mendorong perlunya kebijakan terkait iklim dan lingkungan yang berkeadilan. Koalisi ini terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional WALHI, Kemitraan, dan Institute for Essential Services Reform (IESR).

Bagi yang belum sempat hadir atau ingin menyimak kembali diskusi bertajuk “Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia”, dapat dilihat di https://youtu.be/YJACQufJMO0  atau di https://youtu.be/xyso4kQnGsE

Untuk paparan narasumber dapat diunduh di http://bit.ly/paparankeadilaniklim

Kontak narasumber:

Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, telp 0811 383 270

Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum JENTERA, telp 0812-1041-593

Siti Rakhma Mary Herwati, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), telp 0812-2840-995

Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, telp 0812 3745 4623

Related Article

KESEPAKATAN BARU INDONESIA-NORWEGIA MENDUKUNG PENCAPAIAN INDONESIA FOLU NET SINK 2030

KESEPAKATAN BARU INDONESIA-NORWEGIA MENDUKUNG PENCAPAIAN INDONESIA FOLU NET SINK 2030

[Jakarta, 13 September 2022] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi kesepakatan baru antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia untuk berkolaborasi dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada sektor hutan dan lahan di Indonesia. Kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada 12 September 2022 ini mendukung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030).


“Kesepakatan ini merupakan babak baru kemitraan Indonesia-Norwegia pada bidang lingkungan hidup dan hutan, khususnya untuk memenuhi target IFNET 2030 yang dicanangkan Pemerintah Indonesia pada awal tahun ini. Dan ini merupakan langkah positif karena pencapaian emisi GRK senilai nol atau lebih rendah pada tahun 2030 telah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia. Dengan ini kita bisa menunjukkan keseriusan Indonesia kepada dunia dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris,” terang Nadia Hadad selaku Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.



Selain mendukung pertukaran informasi dan pengetahuan, kerja sama ini juga bersifat finansial melalui mekanisme ‘result based contribution’. Menurut Rencana Operasional Indonesia FOLU Net Sink 2030, implementasi kebijakan IFNET 2030 akan membutuhkan dana total senilai Rp 204,02 Triliun. “Selain dapat berkontribusi terhadap kebutuhan dana pencapaian FOLU Net Sink 2030, kami berharap bahwa MoU antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia ini dapat memancing masuknya sumber-sumber pendanaan lainnya,” tambah Nadia. Melalui IFNET 2030, Indonesia berkomitmen untuk terus meningkatkan penyerapan karbon sebesar 140 juta ton CO2 pada 2030. Artinya, sektor hutan dan lahan akan menjadi kunci dalam membantu pencapaian Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Dengan pencapaian IFNET 2030, dapat merefleksikan tercapainya komitmen iklim Indonesia terutama sektor hutan dan lahan.


“Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya aksi iklim untuk mengurangi pelepasan karbon dan meningkatkan cadangan karbon, salah satunya melalui Inpres Moratorium Hutan Permanen, yang melindungi hutan alam primer dan gambut seluas 66,59 juta hektare. Di sisi lain, Indonesia memiliki hutan alam primer dan sekunder seluas 89,7 hektare yang seharusnya juga dilindungi dan dipertahankan keberadaannya. Sementara itu, menurut analisis Madani (2022), masih terdapat hutan alam seluas 9,6 juta hektare yang belum terlindungi oleh kebijakan PIPPIB, PIAPS dan izin/konsesi. Pengoptimalan upaya perlindungan dan penyelamatan hutan alam tersisa mulai dari risiko rendah hingga tinggi seharusnya menjadi langkah kunci untuk mencapai ambisi IFNET 2030,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.


Rencana operasional IFNET 2030 memfokuskan perlindungan hutan alam pada wilayah yang memiliki Indeks Prioritas Lokasi (IPL) dengan skala 7-9 atau hutan alam yang memiliki risiko deforestasi tinggi. Sementara dengan perlindungan hutan alam pada IPL 7-9 masih belum mencukupi untuk memenuhi target FOLU Net Sink menuju nol deforestasi, sehingga sangat dimungkinkan untuk melakukan perluasan aksi mitigasi pengurangan laju deforestasi pada risiko rendah-sedang.”Dengan adanya komitmen Pemerintah Norway dalam mendukung implementasi kebijakan IFNET 2030 ini, seharusnya bisa menjadi salah satu faktor pengungkit untuk memperluas aksi mitigasi, yang tidak hanya berfokus pada wilayah-wilayah berhutan yang berisiko tinggi, melainkan juga wilayah-wilayah berhutan yang berisiko rendah hingga sedang,” tambah Yosi.

Dukungan dan kerja sama bilateral ini tentunya akan memperkuat berbagai komitmen dan aksi iklim yang ada saat ini di Indonesia. Selain pencanangan target ambisius dalam IFNET 2030, Madani melihat bahwa sejauh ini, Indonesia telah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove seluas 29.500 hektare di sembilan provinsi prioritas dan 3.500 hektare di 23 provinsi tambahan, berdasarkan data BRGM. Ditambah, Indonesia juga berhasil merestorasi 835.000 hektare lahan gambut dari 2016 hingga 2020. Sementara itu, untuk mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sudah ada sekitar 5,07 juta hektare kawasan hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat dan lokal dalam program perhutanan sosial.



Perjanjian kerja sama antara Indonesia-Norwegia ini juga secara eksplisit menyebutkan penguatan partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan demi pengurangangan emisi GRK. Hal ini sejalan dengan upaya mengedepankan peran dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung pembangunan berkelanjutan pada sektor hutan dan lahan. “Masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki koneksi yang erat dengan alam yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan untuk mewujudkan lingkungan hidup dan hutan yang lestari. Di samping itu, masyarakat sebagai katalisator pembangunan yang memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga patut untuk didukung, utamanya dalam hal finansial,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.



“Di samping itu, Pemerintah Daerah sebagai aktor kunci yang merancang dan mengimplementasikan perencanaan pembangunan berkelanjutan tidak dapat diabaikan, termasuk dalam mencapai target IFNET 2030 di tingkat regional. Untuk itu, juga dibutuhkan dukungan teknologi, penguatan kapasitas, dan pendanaan untuk pengimplementasian IFNET 2030 agar dapat mewujudkan keselarasan antara komitmen iklim nasional dan visi jangka panjang pembangunan yang berkelanjutan,” tambah Resni Soviyana.



Lebih lanjut, dalam perjanjian kemitraan tersebut, Pemerintah Norway juga menetapkan prioritas untuk melakukan ‘result-based contribution’ melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan akan ditindaklanjuti dalam perjanjian terpisah. “Ada banyak inisiatif Pemerintah Indonesia yang akan tersokong oleh kerja sama ini. Selain perlindungan dan rehabilitasi ekosistem hutan alam, kerja sama ini juga berpotensi mengoptimalkan implementasi program dan operasional dari BPDLH yang telah dibentuk oleh pemerintah tiga tahun lalu,” jelas Yosi Amelia.



“Langkah selanjutnya yang perlu menjadi perhatian terutama terkait pathways untuk implementasi MoU dalam kerangka besar pencapaian IFNET 2030. Penguatan kebijakan PIPPIB sebagai kunci perlindungan hutan alam yang tersisa harus dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif. Karena tanpa partisipasi aktif masyarakat di tingkat tapak, perlindungan ekosistem akan sangat sulit untuk dilaksanakan. Demikian juga pengembangan dan penerapan kerangka pengaman sosial dan lingkungan (safeguards) dalam upaya pencapaian IFNET 2030 patut menjadi perhatian dalam menyusun pathways implementasi,” tutup Nadia Hadad.



Kontak Media:
– Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
– Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803

Related Article

KELOMPOK KERJA LINGKUNGAN, KEADILAN IKLIM, DAN TRANSISI ENERGI C20 INDONESIA MERESPONS HASIL PERTEMUAN MENTERI-MENTERI LINGKUNGAN DAN IKLIM G20

KELOMPOK KERJA LINGKUNGAN, KEADILAN IKLIM, DAN TRANSISI ENERGI C20 INDONESIA MERESPONS HASIL PERTEMUAN MENTERI-MENTERI LINGKUNGAN DAN IKLIM G20

01/09/2022 – Kelompok Kerja, Keadilan Iklim, dan Transisi Energi (ECE WG) C20 Indonesia mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk mendeklarasikan komitmen penanggulangan perubahan iklim yang lebih ambisius dan mengadopsi prinsip keadilan iklim dalam setiap aspek mitigasi, adaptasi, dan pendanaan iklim saat G20 Summit pada bulan November 2022 nanti.


Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia menyesali ketidakmampuan para menteri lingkungan atau iklim dari negara-negara G20 untuk menyepakati komunike bersama, terlepas dari diskusi tentang krisis iklim yang sedang berjalan. Forum G20 beranggotakan negara-negara berkembang dan maju yang secara total mencakupi 80% GDP dunia dan 75% perdagangan internasional. Meski demikian, aktivitas ekonomi tersebut bertanggung jawab atas 75% emisi GRK global.

Kelompok Kerja ECE mendukung semua agenda yang disebutkan di dalam chair’s summary, termasuk tentang pengurangan dampak degradasi lahan dan kekeringan; peningkatan perlindungan, konservasi, dan restorasi lahan ekosistem lahan dan hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati; upaya mengurangi polusi dan kerusakan lingkungan; pengelolaan sampah; pengelolaan sumber air yang berkelanjutan; sampah laut; konservasi laut; dan ekonomi sirkular—sebagian hal yang disepakati oleh para menteri tersebut.


Meski demikian, saat ini belum ada diskusi atau bahkan penyebutan tentang kerangka waktu, kepemimpinan, dan mobilisasi dana untuk mencapai semua poin yang disebutkan di dalam ringkasan
tersebut. Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa 71% pendanaan iklim publik diberikan lewat pinjaman sehingga memperburuk hutang negara-negara berkembang yang sudah memiliki beban hutang yang tinggi dalam konteks krisis berganda saat ini dan, meskipun tidak bertanggung jawab besar atas krisis iklim, sedang menanggung hutang iklim global north. Untuk memperoleh keluaran yang bermakna, kami mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk untuk memajukan rencana terukur dalam penanganan perubahan iklim, terutama bagi kelompok yang paling berisiko, dengan cara meningkatkan kapasitas mereka dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim, mengakui dan memformalkan peran anak-anak serta anak muda, terutama anak serta remaja perempuan; perempuan; masyarakat adat; orang tua; dan orang-orang dengan disabilitas dalam semua kerja iklim, termasuk pengambilan keputusan.


Selain itu, kurangnya diskusi antara Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CWSG) dengan Energy Transition Working Group (ETWG) dan Finance Track G20 Indonesia juga patut disoroti. Penanggulangan masalah iklim dan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari keluaran kebijakan energi dan ekonomi. Sektor energi adalah pengemisi GRK terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, Kelompok Kerja ECE mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk mengharmoniskan transisi energi berkeadilan dengan upaya memenuhi target 1,5 derajat celsius sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris dan berkomitmen pada tata kelola sumber daya berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara perlindungan lingkungan dengan percepatan pengembangan infrastruktur energi berkelanjutan, mengingat bahwa infrastruktur tersebut membutuhkan berbagai mineral dan sumber daya alam dalam jumlah besar. Kami juga meminta negara-negara G20 untuk menghentikan investasi pada industri bahan bakar fosil yang saat ini meningkat karena konflik antara Rusia dan Ukraina.


Menurut Laporan Transparansi Iklim 2021, tidak satupun negara G20 telah memiliki tingkat ambisi yang cukup untuk mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat celsius. Tanpa komitmen yang kuat dari para raksasa besar ekonomi dunia, negara-negara dan masyarakat yang kurang berandil dalam menyebabkan perubahan iklim akan lebih menanggung dampak-dampaknya. Laporan IPCC terbaru menunjukkan bahwa manusia memiliki kurang dari tiga tahun lagi untuk mengubah pola emisi GRK dunia dan mengingatkan bahwa cuaca ekstrem dan berbagai bencana alam akan terjadi lebih sering dan intens dan lebih berdampak pada kelompok-kelompok rentan di global south. Krisis ini telah menyebabkan kematian, kekeringan, kelaparan, kepunahan spesies pada tingkat lokal, migrasi, dan kerugian yang mencapai miliaran dolar A.S.

Masyarakat adat, lokal, dan sipil masih kurang dilibatkan dalam diskusi dan perencanaan penanggulangan perubahan iklim dan masalah-masalah lingkungan lainnya. Selama ini, pembangunan dan inisiatif-inisiatif iklim memperlakukan kelompok-kelompok rentan sebagai korban, bukan agen perubahan yang bisa memimpin dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Padahal, banyak proyek lingkungan yang direncanakan tanpa pelibatan masyarakat lokal telah menyebabkan maladaptasi yang memperburuk masalah, bukan menyelesaikannya. 

Negara-negara G20 juga seharusnya bisa menyepakati komitmen yang lebih ambisius untuk menghentikan perusakan ekosistem alam, baik ekosistem darat, pesisir, maupun laut, dan mempercepa pemulihan ekosistem yang  usak dalam rangka mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1.5 derajat celcius. Menjaga ekosistem alam, terutama hutan alam tersisa, merupakan upaya mitigasi krisis iklim yang efektif biaya dari sektor AFOLU. Untuk mewujudkan keadilan iklim dan lingkungan, upaya transisi energi dan pemulihan ekonomi harus selalu melibatkan dan menghormati hak-hak masyarakat serta sejalan dengan perlindungan dan pemulihan ekosistem,” terang Anggalia Putri, Koordinator Sub-Kelompok Kerja AFOLU dan Hak dari Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia, yang diundang dalam rapat ketiga EDM-CWSG Senin 29 Agustus lalu sebagai pengamat.


Terakhir, kami mendesak semua pemimpin di dunia, baik anggota maupun nonanggota G20, untuk memastikan perlindungan para pejuang lingkungan lewat upaya-upaya hukum dan menghentikan segala bentuk kekerasan, ancaman, intimidasi, dan kriminalisasi.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi kami via e-mail di wgecjet@civil-20.org

Berbagai desakan Kelompok Kerja ECE C20 Indonesisa yang diringkas dalam Executive Summary Policy Pack WG ECE C20 Indonesia bisa dibaca selengkapnya di sini.

Related Article

‘Hutan Kita Sultan’ Jadi Pesan Utama Dalam Perayaan Hari Hutan Indonesia 7 Agustus Tahun Ini

‘Hutan Kita Sultan’ Jadi Pesan Utama Dalam Perayaan Hari Hutan Indonesia 7 Agustus Tahun Ini

Jakarta, 4 Agustus 2022. Indonesia adalah negara yang memiliki luas hutan hujan tropis peringkat ketiga di dunia, yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Pada tahun ini Konsorsium Hari Hutan Indonesia kembali menggaungkan kampanye Hari Hutan Indonesia yang dilaksanakan tanggal 7 Agustus setiap tahunnya. Pada momentum kali ini ‘Hutan Kita Sultan’ jadi tema utama, yang harapannya menjadi pemantik bagi khalayak luas lebih peduli dan sadar akan upaya pelestarian hutan Indonesia, serta mendorong Hari Hutan Indonesia diresmikan oleh Pemerintah Indonesia.

Miftachur Ben Robani, Koordinator Konsorsium Hari Hutan Indonesia 2022 menyebutkan, “Hutan kita kaya, tempat beragam flora fauna. Letak Indonesia di daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi, sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain itu, hutan kita juga menjadi sumber pangan dan obat-obatan, sumber air, sumber udara bersih serta menjadi tempat tinggal dan akar budaya berbagai suku bangsa dan masyarakat adat di Indonesia, hingga menjadi penyerap karbon. Hutan kita kaya, memberikan beragam manfaat yang selama ini kita nikmati, baik yang berada di dalam hutan, di sekitar hutan, hingga masyarakat yang letaknya jauh dari hutan. Untuk itu, pelestarian hutan Indonesia harus terus dilakukan oleh kita semua.”

“Hari Hutan Indonesia juga merupakan momen refleksi tentang sejauh mana kita sudah berhasil melindungi hutan-hutan kita. Berdasarkan data KLHK yang diolah Yayasan Madani Berkelanjutan, Hutan Alam Indonesia menyusut 4 juta ha dari 2011 sampai 2019. Namun, pembukaan hutan dari tahun ke tahun tampak terus menurun. Hal ini kita perlu rayakan dan awasi agar tren penurunan perubahan tutupan hutan terus berlanjut sehingga target iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dan Kebijakan FOLU Net Sink 2030 bisa tercapai,” terang Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad.

Maria Dwianto, Direktur Komunikasi PT Rimba Makmur Utama turut menambahkan, “Kami mendukung penuh perayaan Hari Hutan Indonesia sebagai upaya untuk membangun kepedulian dan rasa cinta anak muda, khususnya kaum urban, terhadap hutan di Indonesia. Sangat penting bagi kita untuk membangun kesadaran anak muda tentang pentingnya pelestarian hutan Indonesia, karena merekalah yang kelak akan menjadi pengambil keputusan di negara kita. Restorasi dan konservasi hutan Indonesia merupakan agenda penting untuk memerangi perubahan iklim.”

“Hari ini membuat hutan dibicarakan oleh banyak orang dan organisasi, bukan karena kebakaran, kerusakan, atau konflik di hutan, melainkan karena ribuan kelompok dan jutaan orang aktif berkampanye kreatif dan beraksi kolaboratif minimal sehari dalam setahun di Hari Hutan Indonesia 7 Agustus ini. Tujuannya untuk membuat isu hutan jadi inklusif sehingga lebih banyak lagi penjaga hutan, walau juga tinggal jauh dari hutan,” kata Christian Natalie, Manajer Program Hutan itu Indonesia.

Dukungan perayaan Hari Hutan Indonesia juga datang dari kelompok urban, terutama dari para penggemar K-Pop di Indonesia. Nurul Sarifah, juru kampanye KPOP4PLANET menerangkan “Penggemar K-Pop datang dari generasi Z dan Millennial, di mana dampak krisis iklim yang semakin memburuk, termasuk deforestasi, mengancam masa depan kami. Penggemar K-Pop sendiri telah melakukan berbagai upaya dalam pelestarian hutan seperti adopsi hewan terlindungi, penanaman pohon, adopsi pohon, hingga penandatanganan petisi perlindungan hutan di Papua. Solidaritas penggemar K-Pop dalam perlindungan dan pelestarian hutan merupakan bentuk aksi iklim kami dalam mencegah krisis iklim semakin memburuk.”

“Hari Hutan Indonesia, 7 Agustus memperingatkan kita sebagai Manusia untuk menjaga ekosistem hutan dan lahan bagi kehidupan manusia di planet ini. Kita semua tahu, kontribusi hutan tropis Tanah Papua terhadap kehidupan yang sangat berarti bagi manusia dan biodiversity. Komitmen pemerintah untuk menjaga hutan dan biodiversitas tanah Papua akan membantu menyelamatkan flora dan fauna endemik serta menghormati hak-hak masyarakat hukum adat menjadi solusi. Bagi masyarakat hukum adat di Tanah Papua, hutan sebagai Mama bagi mereka, karena semua sumber penghidupan ada didalam ekosistem hutan, mulai dari kebutuhan obat-obatan tradisional, flora dan fauna, ritual adat dan masih banyak lagi. Kita berkomitmen menjaga wilayah adat (hutan dan lahan), wilayah adat menjaga kehidupan kita manusia,” Yanuarius Anouw, Direktur Bentara Papua.

Hari Hutan Indonesia merupakan inisiatif Konsorsium Hari Hutan Indonesia, sebuah forum kolaborasi yang terdiri dari 27 anggota dari lintas organisasi yang memiliki kesadaran dan misi yang sama untuk berkomitmen penuh dalam upaya pelestarian hutan Indonesia. Hutan Kita Sultan menjadi pesan utama kampanye Hari Hutan Indonesia dengan tujuannya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta mengkampanyekan bahwa Hutan Indonesia kaya akan keragaman hayati, budaya, potensi, nilai ekonomis. Karena jika tidak ada hutan, tidak ada kehidupan.

Pada perayaan Hari Hutan Indonesia tahun lalu konsorsium Hari Hutan Indonesia berhasil mewadahi 96 kolaborator lintas organisasi, 792 sukarelawan digital, dan diikuti oleh lebih dari 49.879 partisipan dari 42 acara, mulai dari pameran hari hutan, webinar, kompetisi, virtual series, dan konser.

Peringatan Hari Hutan Indonesia tahun ini akan dipusatkan di Hutan Kota Kemayoran-Jakarta, dan akan dimeriahkan dengan acara musik yang menghadirkan Feby Putri dan musisi lainnya untuk bernyanyi bersama melalui lagu tentang hutan dan lagu populer. Dilanjutkan dengan menonton film pendek yang berjudul Segala dalam Diam, yang berkisah tentang perjalanan anak muda di hutan Katingan, Kalimantan Tengah. Acara ini selain dilaksanakan di Hutan Kota Kemayoran-Jakarta, juga disiarkan secara daring melalui akun Instagram @harihutan_id.

Selain itu, terdapat jamuan ala hutan dan pameran perjalanan Hari Hutan Indonesia dari tahun ke tahun. Jamuan ala hutan akan menghadirkan kuliner-kuliner lokal dengan sebagian olahan dari hasil hutan bukan kayu (HHBK).

*Kontak Media : Sdri. Luluk Uliyah – 0815-1986-8887 atau melalui email harihutan.id@gmail.com

Catatan untuk editor:
Tentang Konsorsium Hari Hutan Indonesia

Konsorsium Hari Hutan Indonesia (HHI) merupakan kolaborasi lintas organisasi dengan membawa pesan penting terkait kampanye Hari Hutan Indonesia ke ruang lingkup lebih luas dan berkelanjutan. Konsorsium HHI merupakan bagian dari tindak lanjut perayaan Hari Hutan Indonesia yang untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 2020. Tujuan Konsorsium HHI adalah untuk membuka jaringan dan potensi kolaborasi yang berdampak strategis dengan organisasi yang mempunyai visi misi yang sama, dan juga memiliki komitmen penuh untuk menjadi penggerak pelestarian hutan Indonesia. Melalui konsorsium HHI diharapkan muncul aksi konkrit yang berdampak langsung baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah maupun dampak bagi masyarakat. Saat ini, ada 27 organisasi dari bidang lingkungan dan non-lingkungan yang bergabung menjadi anggota Konsorsium Hari Hutan Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Hari Hutan Indonesia dapat mengakses laman website www.harihutan.id

Related Article

Berikan Generasi Mendatang Indonesia Kesempatan Berjuang Untuk Bertahan Hidup

Berikan Generasi Mendatang Indonesia Kesempatan Berjuang Untuk Bertahan Hidup

[Jakarta, Selasa, 5 April 2022] Laporan IPCC tentang Mitigasi yang  keluar pada 4 April 2022 dengan tegas menyatakan bahwa kita harus beraksi sekarang untuk mengurangi emisi global hingga setengahnya pada 2030 agar dapat menahan laju pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat. Komitmen iklim (NDC) negara-negara saat ini akan membawa kita ke pemanasan global 2,8 derajat pada 2100, jauh di atas batas aman 1,5 derajat. Laporan ini dengan tegas juga menyatakan bahwa pengurangan emisi di sektor pertanian, kehutanan, dan lahan (AFOLU) dapat membantu mengurangi emisi global dalam skala besar, tapi tidak dapat mengkompensasi penundaan pengurangan emisi di sektor lain.

Oleh karena itu, agar generasi mendatang Indonesia memiliki peluang untuk selamat, pemerintah harus melakukan dua hal sekaligus: mengurangi energi fosil secara drastis serta menjaga dan memulihkan ekosistem alam tersisa yang berperan besar dalam menyerap emisi GRK dari atmosfer. Hal ini termasuk melindungi seluruh bentang hutan alam tersisa, tidak lagi membuka dan mengeringkan gambut, dan menjaga dan memulihkan mangrove secara masif,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Laporan IPCC tentang Mitigasi yang telah dikeluarkan pada 4 April 2022.

Saat ini, kajian spasial Madani menemukan bahwa sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,9 juta hektare ekosistem gambut yang berada di luar izin/konsesi dan wilayah yang dialokasikan untuk perhutanan sosial masih belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru. Hutan-hutan alam ini perlu segera dilindungi oleh berbagai instrumen kebijakan. Selain itu, ada hutan-hutan alam di dalam izin/konsesi (sawit, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, konsesi minerba dan konsesi migas) sebesar 27,2 juta hektare yang juga perlu dipikirkan strategi menjaganya. 

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target Indonesia FOLU Net Sink 2030 yang berambisi agar sektor hutan dan lahan Indonesia tidak lagi menjadi pengemisi melainkan menjadi penyerap karbon pada 2030. Salah satu sasaran kerjanya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Ambisi ini layak diapresiasi dan didukung implementasinya. Namun, ambisi ini perlu tercermin dalam dokumen NDC Indonesia yang sedianya akan diperbarui pada 2022 (Second Updated NDC),” kata Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai target NDC Indonesia dan mengendalikan emisi dalam pembangunan. “Mengingat urgensi untuk mengurangi emisi dan adanya target 2030, Nilai Ekonomi Karbon (NEK) harus diprioritaskan untuk aksi yang betul-betul mengurangi emisi dari atmosfer – termasuk yang dijalankan masyarakat adat dan masyarakat lokal selaku penjaga hutan – dan tidak bisa bertumpu pada offset yang tanpa aturan yang ketat dan transparansi justru dapat mengurangi ambisi iklim,” tambah Yosi Amelia.

Dalam IPCC Report juga disebutkan bahwa untuk memaksimalkan potensi mitigasi sektor AFOLU, diperlukan kebijakan yang secara langsung menangani emisi dan mendorong penerapan opsi mitigasi berbasis lahan – salah satunya melalui penetapan dan penghormatan hak tenurial dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. 

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia perlu diapresiasi mengingat dokumen Updated NDC Indonesia telah menekankan penghormatan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal melalui pemberdayaan dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pembangunan. Sejalan dengan ini, Pemerintah juga telah membuka peluang pemberian hak pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial. Akan tetapi, sampai saat ini, pemberian izin pengelolaan perhutanan sosial bagi masyarakat pengelola hutan masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, dalam target Indonesia FOLU Net Sink 2030, program perhutanan sosial menjadi salah satu strategi kunci untuk pencapaiannya. Agar target ini dapat selaras, Pemerintah perlu mempercepat pemberian izin Perhutanan Sosial bagi masyarakat adat dan lokal serta memperkuat pendampingan dalam implementasinya,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah daerah sebagai salah satu Non-Party Stakeholders, menjadi kunci dalam menjalankan aksi-aksi pengendalian emisi di wilayahnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian target komitmen iklim, pemerintah daerah telah dimandatkan untuk turut andil dalam penyelenggaraan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta berperan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) seperti yang tertuang dalam Perpres 98/2021. Lebih spesifik lagi, Perpres NEK mewajibkan pemerintah provinsi untuk menyusun baseline, target dan rencana aksi pengurangan emisi GRK, melakukan pembinaan, inventarisasi, memonitor dan melaporkan aksi pengendalian emisi GRK. Namun, untuk menjalankan mandat tersebut, penting untuk memastikan keselarasan kebijakan nasional dan daerah,  peningkatan kemampuan dan kapasitas daerah dalam penyusunan perencanaan yang berkelanjutan,  penguatan sumber pendanaan hijau, serta keterlibatan multisektor lainnya baik akademisi maupun swasta untuk menjalankan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.

M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, menambahkan bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dapat menjadi peluang strategis Indonesia untuk mendorong transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati sebagai energi transisi. “Namun, agar kebijakan BBN nasional selaras dengan pencapaian komitmen iklim Indonesia serta emisi nol bersih, RUU EBT perlu memasukkan pengaturan pemenuhan prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam pengembangan BBN baik aspek hulu hingga hilir serta mengedepankan diversifikasi komoditas bahan baku dengan menekankan pada pemanfaatan teknologi BBN generasi 2 atau limbah,” kata M. Arief Virgy. [ ] 

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Pentingnya Kebijakan Pembangunan yang Konsisten dengan Agenda Net Sink FOLU dan Mengakhiri Deforestasi pada 2030

Pentingnya Kebijakan Pembangunan yang Konsisten dengan Agenda Net Sink FOLU dan Mengakhiri Deforestasi pada 2030

[Jakarta, 2 November 2021] Dalam National Statement-nya di World Leaders Summit COP26, Presiden Joko Widodo bertekad agar sektor hutan dan lahan Indonesia menjadi penyerap karbon (net carbon sink) selambat-lambatnya di tahun 2030. Hal ini juga sejalan dengan Global Forest Deal yang diluncurkan di Glasgow di mana 100 negara termasuk Indonesia menjanjikan akan mengakhiri deforestasi pada tahun 2030. Hal ini tentu merupakan kemajuan positif yang layak diapresiasi, namun tanpa langkah-langkah yang tegas, pencapaian target tersebut bisa tidak tercapai. “Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan – termasuk pemulihan ekonomi nasional – yang konsisten dengan agenda net sink FOLU dan tujuan untuk mengakhiri deforestasi pada 2030. Melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa akan membantu Indonesia mencapai aspirasi tersebut. Saat ini masih ada 9,6 juta hektare bentang hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Selain itu, Presiden harus mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi hak masyarakat adat yang berada di garis depan perlindungan hutan alam tersisa, juga mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial yang berpotensi berkontribusi hingga 34,6% terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi,” tambah Nadia Hadad.

Sementara itu Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menambahkan bahwa untuk mencegah karhutla, Pemerintah juga harus mempercepat restorasi gambut dengan memasukkan seluruh area terbakar pada 2015-2019 dan mendorong realisasi restorasi gambut di area izin dan konsesi. Serta memperkuat Pemerintah Daerah dalam menjalankan aksi adaptasi dan mitigasi di wilayahnya dan meningkatkan pendanaan hijau ke daerah. 

Presiden juga harus menghentikan rencana alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan tujuan net sink FOLU 2030. Hutan alam, ekosistem gambut, dan wilayah Masyarakat Adat di dalam Area of Interest Food Estate harus dikeluarkan dan dilindungi agar tidak dikonversi. Saat ini ada 1,5 juta hektare hutan alam di Area of Interest Food Estate di 4 provinsi saja,” tambah Yosi Amelia.

Tidak hanya itu, pasca-moratorium sawit, perlu ada kebijakan tegas dan tertulis untuk tidak memberikan izin perkebunan sawit baru di wilayah yang berhutan alam dan ekosistem gambut dan fokus sepenuhnya pada peningkatan produktivitas. “Jika tidak dihentikan, sekitar 1,73 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang tidak terlindungi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), di luar Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), dan di luar izin eksisting bisa terancam,” kata Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Jika penyelesaian keterlanjuran izin sawit di Kawasan Hutan turut mencakup area yang masih berhutan alam dan ekosistem gambut, sekitar 0,76 juta hektare hutan alam juga bisa terdampak pelepasan Kawasan Hutan. Jika seluruh hutan alam di atas hilang, hingga 78% “jatah” deforestasi Indonesia untuk mencapai target Updated NDC pada 2020-2030 akan habis,” tambah Trias Fetra.

Komitmen Presiden Joko Widodo untuk memanfaatkan energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati (biofuel) juga memerlukan ketegasan untuk menegakkan safeguards untuk tidak membuka hutan alam dan ekosistem gambut. “Mendiversifikasi bahan baku biofuel agar tidak hanya berfokus pada minyak sawit menjadi penting agar tidak ada kompetisi bahan baku untuk pangan dan energi sehingga dapat mencegah ekspansi lahan pada hutan alam dan lahan gambut,” kata M. Arief Virgy, Program Officer Tata Kelola Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan. [ ]

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081

  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803 

  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.  0877 4403 0366

  • M. Arief Virgy, Program Officer Tata Kelola Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0877 0899 4241

Related Article