Madani

Tentang Kami

INDONESIA NICKEL INDUSTRY

INDONESIA NICKEL INDUSTRY

Nikel merupakan salah satu komoditas penting saat ini. Indonesia memiliki cadangan nikel yang sangat besar, terutama di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua. Eksploitasi nikel telah menjadi salah satu sektor utama dalam industri pertambangan Indonesia, memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB negara. Namun, keberadaan industri nikel juga memunculkan isu-isu terkait lingkungan dan sosial, seperti kerusakan lingkungan dan konflik dengan masyarakat lokal terkait hak tanah dan dampak sosial ekonomi. Oleh karena itu, pengelolaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menjadi kunci dalam mengoptimalkan manfaat ekonomi dari industri nikel sambil meminimalkan dampak negatifnya.

Melihat perkembangan implementasi dan ambisi iklim Indonesia dalam NDC, kami dari organisasi masyarakat sipil melihat perlunya memberikan masukan berbasis riset dan data atas penyusuan aksi mitigation dalam SNDC yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Keterlibatan aktor non-pemerintah juga merupakan salah satu perwujudan transparansi dan akuntabilitas dalam pembuatan kebijakan yang merupakan salah satu prinsip penyusunan NDC sesuai Article 4 Line 13 Perjanjian Paris.

Related Article

Rekomendasi Sektoral untuk Peningkatan Ambisi Iklim Indonesia dalam Rangka Penyusunan Dokumen Second Nationally Determined Contributions (SNDC)

Rekomendasi Sektoral untuk Peningkatan Ambisi Iklim Indonesia dalam Rangka Penyusunan Dokumen Second Nationally Determined Contributions (SNDC)

COP-28 di Uni Emirat Arab tahun ini akan menjadi ajang Global Stocktake pertama yang akan menjadi salah satu proses inventarisasi aksi iklim negara-negara di seluruh dunia untuk melihat apakah aksi tersebut sudah sejalan atau justru semakin menjauh dari target Persetujuan Paris (UNFCCC, n.d). Hasil dari The First Technical Dialogue of Global Stocktake, yang menunjukkan gap of action, yang akan menjadi landasan negosiasi dan peningkatan ambisi penurunan emisi global sesuai Persetujuan Paris. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia juga akan melakukan pembaharuan dokumen NDC menjadi Second NDC (SNDC) pada tahun 2024.

Melihat perkembangan implementasi dan ambisi iklim Indonesia dalam NDC, kami dari organisasi masyarakat sipil melihat perlunya memberikan masukan berbasis riset dan data atas penyusuan aksi mitigation dalam SNDC yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Keterlibatan aktor non-pemerintah juga merupakan salah satu perwujudan transparansi dan akuntabilitas dalam pembuatan kebijakan yang merupakan salah satu prinsip penyusunan NDC sesuai Article 4 Line 13 Perjanjian Paris.

Related Article

Strengthening Indonesia’s Readiness to Navigate the European Union Deforestation-Free Regulation through Improved Governance and Inclusive Partnerships

Strengthening Indonesia’s Readiness to Navigate the European Union Deforestation-Free Regulation through Improved Governance and Inclusive Partnerships

“Strengthening Indonesia’s Readiness to Navigate the European Union Deforestation-Free Regulation through Improved Governance and Inclusive Partnerships”

The European Union ratified a regulation last year that changed the global trade paradigm. Palm oil, wood, soybeans, cattle, rubber, cocoa, and coffee entering the European Union are now subject to a stringent due diligence process. These products must originate from traceable sources, adhere to legal standards, and not result from forest conversion after December 31, 2020. Commencing on January 1, 2025, this regulation will come into force, affecting the exports of Indonesia’s primary commodities including palm oil, wood, rubber, cocoa, and coffee.

Indonesia faces a many of challenges in implementing these regulations. These challenges encompass overlapping land and plantation data, a lack of transparency in licensing data, the imperative for enhanced legal compliance, conflicts between plantation and forest area, and injustices endured by farmers. Deforestation, both legal and illegal, persists as a significant issue. Hence, enhancing land and commodity management is pivotal, not only to adhere to the EUDR but also to realize equitable and sustainable natural resource management as mandated by the 1945 Indonesian Constitution.

The Indonesian government, in collaboration with Malaysia and the European Commission, has established an Ad Hoc Joint Task Force to tackle EUDR-related issues. Topics under discussion include the participation of smallholders or farmers in the supply chain, pertinent national certification schemes, traceability systems, data on deforestation and forest degradation, and personal data protection. The second meeting of the Joint Task Force is slated for February 2, 2024, in Malaysia.

This article aims to contribute to strengthening Indonesia’s land and commodity governance in response to European Union deforestation regulations, which are expected to drive improvements. It also seeks to stimulate public discussion by examining data on legality and deforestation trends relevant to the due diligence and benchmarking processes under the EUDR.

The partnership between Indonesia and the European Union carries significant potential to support governance in Indonesia and elevate the competitiveness of Indonesian export commodities in aligning with the EUDR. This article proposes four priority areas for governance enhancement within this partnership: Strengthening the Regulatory Framework for Deforestation-Free Commodity Production, Accelerating Fulfillment of Legality and Traceability Requirements, Improving Data Transparency and Accountability in Licensing, and Facilitating Multi-stakeholder Participation and Collaboration. This partnership should be conducted with transparency, inclusivity, and the active involvement of all interested parties.

* Revisions have been made to Figure 9 page 18, and the first paragraph in subsection page 83.

 

Related Article

Membangun Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Aturan Bebas Deforestasi Uni Eropa melalui Perbaikan Tata Kelola dan Kemitraan yang Inklusif

Membangun Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Aturan Bebas Deforestasi Uni Eropa melalui Perbaikan Tata Kelola dan Kemitraan yang Inklusif

Uni Eropa telah meresmikan aturan yang mengubah paradigma perdagangan global pada tahun lalu. Komoditas kelapa sawit, kayu, kedelai, sapi, karet, kakao, dan kopi yang memasuki wilayah Uni Eropa diharuskan melewati proses uji tuntas yang ketat. Produk-produk ini harus dapat ditelusuri asal usulnya, legal, dan tidak boleh berasal dari konversi hutan setelah 31 Desember 2020. Mulai 1 Januari 2025, aturan ini akan mulai berlaku sehingga mempengaruhi ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, kayu, karet, kakao, dan kopi.

Berbagai tantangan menghadang Indonesia dalam menghadapi implementasi aturan yang sudah berada di depan mata ini. Tumpang-tindih lahan, data perkebunan yang belum terkonsolidasi, keterbatasan transparansi data perizinan, kepatuhan hukum yang masih perlu ditingkatkan, konflik perkebunan dan kehutanan, serta ketidakadilan yang dihadapi petani menjadi hambatan bagi komoditas Indonesia dalam memenuhi syarat legalitas dan ketertelusuran. Deforestasi, baik yang legal maupun ilegal, juga masih menjadi masalah serius. Oleh karena itu, perbaikan tata kelola lahan dan komoditas menjadi penting, bukan hanya untuk menghadapi EUDR, tetapi juga untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Pemerintah Indonesia, bersama Malaysia dan Komisi Eropa, telah membentuk Ad Hoc Joint Task Force untuk mendiskusikan isu-isu terkait implementasi EUDR. Topik-topik yang dibahas antara lain pelibatan pekebun atau petani kecil dalam rantai pasok, skema sertifikasi nasional yang relevan, sistem ketertelusuran, data deforestasi dan degradasi hutan, serta perlindungan data pribadi. Pertemuan Kedua Joint Task Force dijadwalkan pada Jumat ini, 2 Februari 2024, di Malaysia.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbangan dalam penguatan tata kelola lahan dan komoditas Indonesia dalam menghadapi aturan deforestasi Uni Eropa, yang diharapkan menjadi pemicu perbaikan. Tulisan ini juga ingin mendorong diskusi publik dengan mengulas data-data terkait legalitas dan tren deforestasi yang relevan dengan proses uji tuntas maupun benchmarking dalam EUDR.

Kemitraan antara Indonesia dan Uni Eropa memiliki potensi besar untuk mendukung upaya perbaikan tata kelola di Indonesia serta meningkatkan daya saing komoditas dan produk ekspor Indonesia dalam menghadapi EUDR. Artikel ini merekomendasikan empat area prioritas perbaikan tata kelola yang dapat didukung dalam kemitraan ini, yaitu Penguatan Kerangka Regulasi untuk Produksi Komoditas Bebas Deforestasi, Akselerasi Pemenuhan Syarat Legalitas dan Ketertelusuran, Penguatan Data, Transparansi, dan Akuntabilitas dalam Perizinan, serta Penguatan Partisipasi dan Kolaborasi Multipihak. Kemitraan ini harus dilakukan secara transparan, inklusif, dan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

*Telah dilakukan revisi pada Gambar 9 halaman 18 dan paragraf pertama halaman 87

Related Article

Manusia, Alam, dan Pemilu: Menilai Agenda Lingkungan dan SDA, Calon Presiden Indonesia 2024

Manusia, Alam, dan Pemilu: Menilai Agenda Lingkungan dan SDA, Calon Presiden Indonesia 2024

Three planetary crisis menjadi kata kunci dalam satu tahun terakhir. Dalam dokumen RPJMN tahun 2020- 
iklim sebagai salah satu dari tujuh agenda pembangunan. Artinya, krisis iklim sebagai salah satu dari tiga krisis yang dihadapi planet bumi telah menjadi prioritas pemerintah. Sejak 2007 (era SBY), Pemerintah telah memberikan perhatian besar dalam menjawab tantangan krisis iklim. Dalam perjalanannya hingga hari ini (era Jokowi), Pemerintah terus melanjutkan bahkan meningkatkan komitmen dalam penurunan emisi nasional. Meskipun demikian, ambisi besar Pemerintah lewat perencanaan pembangunan untuk menunjukan niat baik penurunan emisi tidaklah cukup. Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan agar dapat mencapai ambisi tersebut. Praktik pembangunan yang masih bergantung pada bahan bakar fosil, pengesampingan kearifan lokal dalam praktik pembangunan, dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan masih menjadi tantangan untuk segera dijawab.

Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan sebuah keberanian dan ketegasan untuk mengambil langkah yang tepat dalam mengeksekusi berbagai perencanaan yang sudah dilakukan.

Tahun 2024 menjadi momen yang penting bagi Indonesia, karena pada tahun ini akan diselenggarakan pemilu serentak untuk pertama kalinya. Akan terjadi sebuah perubahan kepemimpinan, bukan hanya pada skala nasional, tapi juga daerah. Kini, komitmen iklim Indonesia yang tertuang lewat Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) makin ditingkatkan, target penurunan emisi dengan kemampuan sendiri yang semulanya 29% meningkat menjadi 31,89% dan dengan dukungan internasional sebesar 41% meningkat menjadi 43,20%.

Kendati makin meningkat, bagaimana dengan implementasinya? Terdapat beberapa hal yang patut untuk dipertahankan, tapi ada pula hal yang harus mendapatkan perhatian serius. Keberhasilan Indonesia dalam menahan laju peningkatan deforestasi misalnya, adalah sebuah capaian yang patut dipertahankan dan diperkuat. Karena, di tengah capaian tersebut, Indonesia masih belum bisa mentransformasikan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) menjadi landasan bagi rencana tata ruang nasional.
Persoalan kebakaran hutan dan lahan juga relatif berhasil ditahan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2021-2022, dan ini masih harus ditingkatkan. Karena, di tengah keberhasilan tersebut Madani mencatat telah terjadi perluasan kebakaran hutan dan lahan mencapai 1,3 juta hektare pada periode Januari – November 2023, yang hampir menyamai kebakaran besar tahun 2019 seluas 1,6 juta hektare.

Demikian juga dalam transisi energi terbarukan. Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan skenario just energy transition. Namun, 10% hingga 30% sejak 2013 dari strateginya masih hanya mengandalkan bahan bakar nabati (BBN) berbahan dasar sawit. BBN generasi kedua yang menggunakan limbah dan tanaman non pangan masih minim perhatian. Akhirnya, pemanfaatan BBN sebagai bagian dari transisi energi di Indonesia masih lebih banyak menguntungkan konglomerasi ketimbang penurunan emisi. Diperlukan sebuah langkah yang inovatif dan tidak saja mengedepankan economic growth (tumbuh) tapi thriving economy (lebih holistik dan berkembang).

Related Article

Perundingan Iklim Global Berakhir Tanpa Mandat Tegas Akhiri Bahan Bakar Fosil: Haruskah Kita Mempersiapkan Kematian Bumi?

Perundingan Iklim Global Berakhir Tanpa Mandat Tegas Akhiri Bahan Bakar Fosil: Haruskah Kita Mempersiapkan Kematian Bumi?

Siaran Pers, 14 Desember 2023Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir (13/12) tanpa mandat tegas untuk mengakhiri bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia diminta untuk menggalakkan komitmen iklim dalam negeri serta bersuara lebih keras mendesak negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka. Masa depan negosiasi iklim harus dipimpin oleh negara-negara berkembang, negara-negara miskin, dan negara-negara yang paling terdampak krisis iklim.

COP-28 Dubai adalah momen penting di mana negara-negara mendapatkan “rapor buruk”  dalam capaian kolektif mereka dalam mengatasi krisis iklim yang mengancam nasib generasi mendatang. Keputusan COP 28 juga terlihat kontradiktif dan timpang; yang menyebut diri  harus selaras dengan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa menetapkan target yang cukup ambisius.

Hasil penilaian global atau global stocktake (GST) menemukan bahwa implementasi kebijakan dalam komitmen iklim (NDC) negara-negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris hanya akan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 2% pada 2030 dibandingkan tingkat tahun 2019. Padahal, untuk memastikan laju peningkatan global tidak lebih dari batas aman 1,5C pada akhir abad ini, emisi GRK global harus turun sebesar 50% pada 2030 dan mencapai net zero emissions pada 2050.

“Dunia sangat kecewa karena COP 28 tidak menghasilkan mandat tegas untuk mengakhiri (phasing out) bahan bakar fosil, yaitu batubara, minyak bumi, dan gas alam. Meski ada seruan untuk beralih dari energi fosil untuk mencapai net zero sekitar tahun 2050, banyak sekali hal-hal kompromis seperti penggunaan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), transitional fuels yang tidak jelas definisi batasannya, bahkan memasukkan  nuklir sebagai solusi,” ujar Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Apabila benar-benar mengacu kepada ilmu pengetahuan, dunia harus mengurangi penggunaan batubara sebesar 95%, minyak bumi 60%, dan gas alam 45% pada 2050. 

Lambannya aksi iklim membuat masyarakat semakin terjepit dalam menghadapi berbagai dampak krisis iklim, seperti cuaca panas ekstrim, banjir, gelombang tinggi, kekeringan, meluasnya penyakit, hingga hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian, dan bahkan situs budaya. Dampak paling parah dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan – termasuk remaja perempuan- masyarakat adat dan lokal, petani dan nelayan tradisional, serta buruh. Berdasarkan data BNPB, selama 10 tahun terakhir lebih dari 90% bencana yang terjadi adalah bencana terkait iklim dan telah memakan korban lebih dari 32 juta orang.

Sementara itu, dalam agenda Global Goals on Adaptation, COP 28 baru berhasil merumuskan cakupan tujuan adaptasi namun tanpa disertai target yang jelas. Pun, meski ada pengakuan terhadap pengetahuan lokal dalam beradaptasi dan kepemimpinan masyarakat adat dalam beradaptasi, namun tidak disebutkan mengenai perlindungan tenurial sebagai prasyarat adaptasi berbasis pengetahuan lokal dan tradisi.

Untuk memastikan solusi iklim yang adil dan berkelanjutan, seluruh pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat rentan harus dilibatkan secara bermakna. Namun demikian, negara tidak boleh angkat tangan dalam menyelesaikan situasi krisis iklim.

“Pertanyaan paling mendasar adalah siapa pihak yang seharusnya beradaptasi terhadap situasi krisis hari ini? Mereka adalah pemerintah dan korporasi, sebab kebijakan, program serta keputusan politik yang mereka hasilkan justru menghancurkan daya adaptif rakyat, dan aksi mitigasi yang selama ini mereka lakukan,” lanjut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Rencana dan implementasi aksi mitigasi juga harus terintegrasi dengan aksi adaptasi sehingga tidak semakin memperlemah kemampuan masyarakat untuk mempertahankan diri mereka dalam menghadapi dampak krisis iklim. Realita yang terjadi justru sebaliknya, seperti kasus-kasus perusakan masif dalam pemenuhan kebutuhan elektrifikasi yang mengancam pulau-pulau kecil di Indonesia Timur serta pembangunan infrastruktur yang justru menciptakan kasus-kasus mal-adaptasi di Indonesia yang cukup tinggi.

“Meski COP-28 menghasilkan satu keputusan penting terkait dampak krisis iklim yang sudah terjadi dan tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu operasionalisasi pendanaan untuk mengatasi Kehancuran dan Kerusakan atau Loss and Damage. Namun, prosesnya belum memberikan kepastian bagi mereka yang telah mengalami Kehancuran dan Kerusakan. Hal ini menunjukkan masih curamnya jalan menuju keadilan iklim,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Kembali dari Dubai, negara-negara memiliki pekerjaan rumah untuk memperkuat komitmen iklimnya agar selaras dengan target 1,5C.

“Klaim keberhasilan Indonesia menurunkan emisi sebesar 42% seharusnya menjadikan Indonesia lebih berani dan tegas dalam menangani krisis iklim, di antaranya dengan meningkatkan ambisi kontribusi nasional dalam NDC Kedua sesuai target 1,5C,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan.

Abimanyu Sasongko Aji, Manager Program Pendanaan Perubahan Iklim Kemitraan, menambahkan, “perencanaan dan implementasi aksi iklim harus dibuat lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif, terutama terhadap kelompok rentan. Selama ini, aspek inklusif dan partisipatif itu yang seringkali terlupakan.”

Sebagai negara dengan hutan tropis kedua terluas di Dunia, Indonesia menjadikan sektor Kehutanan dan Lahan (Forestry and Land Use/FOLU) sebagai tumpuan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak krisis iklim, terutama dengan semakin meningkatnya kenaikan muka air laut yang dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil dan risiko kehilangan tempat tinggal.

“Delegasi Indonesia yang baru pulang dari perundingan di Dubai harus membuka mata akan realita di lapangan. Hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, dan mangrove pun terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang,” pungkas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL. “Tidak hanya itu, masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat pun masih terus diintimidasi dan dikriminalisasi,” tambah Torry.

Masyarakat sipil mencatat, selama periode 2001-2022 telah terjadi kehilangan 6,5 juta hektare tutupan hutan alam, termasuk mangrove. Seluas 176 ribu hektare di antaranya hilang dalam tiga tahun terakhir (Mapbiomas, 2023). Selain itu, setidaknya terdapat 26 kasus hukum yang dihadapi pembela lingkungan pada 2021, meningkat 10 kasus dibandingkan tahun sebelumnya (Environmentaldefender, 2021).

Masyarakat sipil menuntut agar Indonesia memiliki agenda prioritas dalam penanganan krisis iklim. Pertama, melakukan pemensiunan batu bara lebih cepat termasuk captive coal power plant untuk kepentingan hilirisasi. Kedua, menghentikan deforestasi serta memulihkan dan melindungi seluruh ekosistem alam tersisa dengan menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, bersiap untuk menghadapi bencana iklim yang sudah semakin sering terjadi melalui adaptasi efektif dan berkeadilan, serta menghindari terjadinya maladaptasi. Keempat, menyalurkan pendanaan iklim yang dapat diakses langsung masyarakat terdampak di tingkat tapak. Kelima, pemerintah harus menjamin dan melindungi hak setiap warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, yaitu dengan menghentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada masyarakat pembela lingkungan dan HAM.

Hasil perundingan di Dubai ini memperkuat bukti bahwa negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dalam upaya mengatasi krisis iklim global. “Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara berkembang, miskin, dan terdampak merebut kepemimpinan negosiasi iklim dan bersuara lebih keras menuntut negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka dalam mengurangi emisi GRK, membantu negara-negara berkembang dalam hal beradaptasi, maupun mengatasi kehancuran dan kerusakan atau Loss and Damage akibat krisis iklim,” tutup Nadia.

Narahubung:

 

Seruan untuk Delegasi Republik Indonesia yang Baru Kembali dari Dubai

  1. Kembali ke lapangan: hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, mangrove terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang. Data masyarakat sipil mencatat, selama periode 2001-2022 telah terjadi kehilangan 6,5 juta hektare tutupan hutan alam, termasuk mangrove. Seluas 176 ribu hektare di antaranya hilang dalam tiga tahun terakhir (Mapbiomas, 2023).
  2. Menindaklanjuti dan memasukkan pertimbangan evaluasi GST untuk memperkuat ambisi Second NDC Indonesia sesuai dengan pathway 1,5C dengan implementasi yang lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif. Proses penyusunan Second NDC harus melibatkan kelompok rentan dan paling terdampak, masyarakat sipil, serta pemangku kepentingan di daerah. Second NDC juga harus menekankan kewajiban mitigasi dan adaptasi beserta pendanaannya kepada pihak-pihak yang paling banyak berkontribusi pada krisis.
  3. Selaraskan seluruh rencana, kebijakan, dan proyek pembangunan dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dan peningkatan ketahanan iklim secara berkeadilan serta koreksi mendasar terhadap sistem dan model ekonomi yang tinggi karbon. Hentikan proyek pembangunan yang bertentangan dengan upaya mengatasi krisis iklim seperti Proyek Strategis Nasional untuk perluasan bisnis berbasis lahan dan hasil hutan, antara lain Food Estate, infrastruktur jalan dan bendungan, pembangunan kawasan industri ekonomi baru dan pertambangan, serta pemberian kemudahan kebijakan dan fasilitas pendukung PSN yang justru menurunkan kapasitas adaptif masyarakat, meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca, dan melanggar HAM.
  4. Adaptasi dan mitigasi tidak boleh dilakukan secara terpisah, tapi harus selalu bersama-sama agar aksi mitigasi tidak mengurangi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi dapat berkontribusi pada penurunan emisi dengan alokasi sumber daya pendanaan yang seimbang.
  5. Jalankan transisi energi yang adil dan inklusif, baik dari kebijakan yang mendukung ekosistem hulu ke hilir, pendanaan, terobosan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, partisipasi, kondisi pemungkin, dan akses sumber daya, serta dukung upaya transisi energi yang ditentukan di tingkat lokal dan komunitas. Transisi energi harus memasukkan elemen pengentasan ketidakadilan eksisting serta meninggalkan sistem pengelolaan energi yang eksploitatif. Pentingnya transisi energi tidak hanya terfokus pada pengembalian investasi semata, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai social return of investment.
  6. Lindungi dan pulihkan ekosistem alam  tidak terbatas pada hutan, gambut, ekosistem pesisir, dan laut namun meliputi kekayaan hayati di dalamnya dengan menghentikan alih guna lahan yang menurunkan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi, memicu kepunahan satwa secara cepat dan tidak sesuai dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.
  7. Bersiap dan mengantisipasi bencana iklim yang akan semakin sering terjadi dengan mendorong adaptasi yang dipimpin dan sesuai konteks lokal serta menyiapkan mekanisme penyaluran dana Loss and Damage yang bisa sampai di tingkat lokal. Selain itu, fokus utama dalam prosesnya perlu diberikan pada kelompok rentan, termasuk tapi tidak terbatas pada penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan termasuk remaja perempuan, masyarakat adat, petani, nelayan, buruh dan pekerja (formal dan non-formal).
  8. Akui dan lindungi hak-hak masyarakat adat, petani, dan masyarakat lokal (MAPKL) termasuk hak atas tanah, serta hak-hak kelompok rentan sebagai prakondisi aksi adaptasi dan mitigasi yang efektif. Aksi adaptasi dan mitigasi berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan pengetahuan tradisional dari MAPKL perlu diakui dan diakomodasi selaras dengan pengalaman dan pembelajaran komunitas di masa lalu/lampau dan masa kini.
  9. Lindungi hak-hak seluruh warga melalui uji tuntas hak asasi manusia dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi. Perlindungan juga perlu dilakukan melalui penguatan jaminan atas hak asasi manusia termasuk hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, terutama bagi mereka yang akan terdampak oleh transisi energi termasuk sektor dan para pelaku non-formal yang terdampak dan tidak terlihat dalam sistem. Reformasi atas peraturan perburuhan termasuk UU Cipta Kerja ke arah yang lebih melindungi hak-hak buruh dan hak pekerja adalah sebuah keharusan dalam menjalankan transisi energi.
  10. Hentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada setiap warga yang berupaya untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat untuk generasi kini dan mendatang.
  11. Alihkan aliran pendanaan sektor-sektor yang intensif emisi ke sektor-sektor yang berfokus pada pemulihan dan restorasi lingkungan. Sediakan pendanaan iklim yang tidak hanya adil, tapi juga mudah diakses untuk masyarakat tapak terdampak dan jaringan orang muda yang ingin berpartisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Hindari jebakan utang (“debt trap”) dalam pendanaan iklim.
  12. Pemerintahan baru harus lebih tegas dalam mengantisipasi risiko bencana iklim dan menyusun rencana aksi iklim yang lebih ambisius dan terukur hingga 2030
  13. Memastikan setiap solusi yang diajukan berdampak nyata pada penurunan emisi dan menahan kenaikan temperatur. Menyerahkan solusi hanya pada mekanisme dan kepentingan pasar adalah sebuah kemunduran.
 
 

Related Article

[Siaran Pers] Klaim Penurunan Emisi dan Deforestasi Harus Bermuara Pada Kondisi net-zero Tanpa Bahan Bakar Fosil: Indonesia di COP28

[Siaran Pers] Klaim Penurunan Emisi dan Deforestasi Harus Bermuara Pada Kondisi net-zero Tanpa Bahan Bakar Fosil: Indonesia di COP28

Klaim Penurunan Emisi dan Deforestasi Harus Bermuara Pada Kondisi net-zero Tanpa Bahan Bakar Fosil: Indonesia di COP28

[Siaran Pers, 5 Desember 2023] Klaim kesuksesan Presiden Jokowi terhadap upaya penurunan emisi karbon dan deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun, tidak boleh membuat negara ini lengah terhadap krisis iklim yang makin mengkhawatirkan. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam menanggapi pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G77 dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam rangkaian World Climate Action Summit (WCAS) COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).

Sejumlah data dan fakta terkait dengan kesuksesan Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca dan deforestasi sudah dibeberkan Presiden Jokowi pada COP28. Namun, Indonesia harus tetap tegas menuju titik akhir net-zero emisi dengan menyapih bahan bakar fosil, apalagi mengingat bahwa data dan fakta harus dilihat utuh dari berbagai perspektif”, ujar Nadia.

Laporan terbaru Global Carbon Project (GCP) menunjukkan bahwa di tahun 2023 ini Indonesia menduduki sepuluh besar penyumbang emisi terbesar di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3% dari tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Kenaikan emisi berasal dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.

Di kesempatan sebelumnya, Presiden Jokowi mengklaim kesuksesan Indonesia dalam menurunkan emisi karbon hingga 42 persen pada 2022, dibandingkan dengan perencanaan Business as Usual (BAU) tahun 2015. Jokowi juga menyebut sudah bekerja keras untuk memperbaiki pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Ia menyebut dalam pengelolaan FOLU, Indonesia terus menjaga dan memperluas mangrove dan merehabilitasi hutan dan lahan, serta menurunkan deforestasi pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.

Menurut Nadia dari pencapaian yang disampaikan tersebut, masih banyak catatan dan pekerjaan rumah yang masih tertinggal. “Mencermati klaim penurunan emisi tersebut bersama dengan laporan GCP terbaru, kita menggarisbawahi pentingnya pembukaan data tersebut kepada publik sebagai bentuk transparansi dan memberikan ruang partisipasi bagi publik untuk memvalidasi capaian tersebut di tingkat tapak. Selanjutnya, kita memang harus mengapresiasi keberhasilan pemerintah Indonesia karena telah mampu menekan laju deforestasi. Meskipun demikian, masih banyak ketidaksesuaian antar kebijakan penurunan emisi Indonesia yang justru berpotensi memberikan tekanan untuk pengalihfungsian hutan,” tegas Nadia.

Sebagai contoh, dokumen Enhanced NDC masih memberikan kuota deforestasi 359 ribu hektar per tahun hingga 2030. Padahal untuk mencapai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, sudah tidak ada lagi ruang deforestasi bagi Indonesia hingga 2030. Belum lagi, ketidakselarasan antar target pengurangan emisi dari sektor energi dan kehutanan juga berpotensi memberikan ancaman deforestasi yang lebih lanjut. “Untuk menjalankan kebijakan bauran energi baru terbarukan, salah satunya melalui co-firing biomassa, kebutuhan pelet kayu salah satunya akan dipenuhi melalui hutan tanaman energi. Indonesia melalui kebijakan FOLU Net Sink 2030 mengejar target pembangunan hutan tanaman yang belum terealisasi seluas 6,11 juta hektar. Namun, terdapat catatan hanya ada 2,04 juta hektar yang sudah jelas dapat dikelola. Dari mana selisih kebutuhan tersebut akan diperoleh?” tambah Nadia.

Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan MADANI Berkelanjutan menambahkan bahwa pembangunan hutan tanaman energi untuk memenuhi target co-firing biomassa akan berpotensi menimbulkan deforestasi baru. “Kebijakan pengurangan emisi di sektor energi seharusnya tidak membebani upaya pengurangan emisi di sektor kehutanan dan lahan, agar tidak terjadi trade off pengurangan emisi Indonesia. Saat ini masih terdapat setidaknya 9,7 juta hektar hutan alam yang harus segera dilindungi untuk mencegah situasi di mana emisi hanya dipindahkan dari sektor ke sektor lain.” 

Salma menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan. “Upaya komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim harus dilakukan secara berkeadilan dengan melindungi hak-hak penerima yang paling terdampak dan yang berkontribusi paling sedikit, termasuk buruh, petani, nelayan dan masyarakat adat, dengan memperhatikan hak-hak gender dan sosial, termasuk hak-hak atas tanah, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi pemimpin untuk memberikan contoh konkret bagi perlindungan hutan dan pencapaian komitmen terhadap krisis iklim.

***

Manusia dan Alam untuk Indonesia (MADANI) Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi. Didirikan pada 2016, MADANI Berkelanjutan berupaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Kami merumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. Saat ini, fokus kerja MADANI Berkelanjutan meliputi isu hutan dan iklim, komoditas berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan pada tingkat daerah, dan biofuel.

Related Article

[Siaran Pers] Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

[Siaran Pers] Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023
Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

[Siaran Pers, 5 Desember 2023] Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menunjukan bahwa Indonesia jadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.

Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.

Siaran Pers selengkapnya dapat diunduh di file di bawah ini.

Related Article

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28

Perubahan iklim sudah menjadi krisis global. Sekjen PBB menyebut dunia telah memasuki
era pendidihan global.

Dampak krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan masyarakat
Indonesia, seperti meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, topan, badai,
gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrim lainnya, termasuk memburuknya karhutla
yang telah melalap 1 juta ha lahan di 2023, gagal panen, menyebarnya penyakit dan
pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau
dan daerah di Indonesia.

Dalam momen COP28 pada 30 November hingga 12 Desember ini,
masyarakat sipil Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia untuk
mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim
secara berkeadilan. Politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.

Related Article

Apa Kata Visi-Misi Calon Presiden & Wakil Presiden Mendatang Soal Lingkungan dan Krisis Iklim

Apa Kata Visi-Misi Calon Presiden & Wakil Presiden Mendatang Soal Lingkungan dan Krisis Iklim

Apa Kata Visi-Misi Calon Presiden & Wakil Presiden Mendatang Soal Lingkungan dan Krisis Iklim?

Bumi dan kita sedang tidak baik-baik saja

Saat ini, dunia kita dihadapkan pada tiga krisis skala global atau planetary crisis yang amat mengkhawatirkan: polusi, krisis iklim, dan punahnya keanekaragaman hayati. Perubahan iklim telah menjadi krisis iklim karena laju pemanasan bumi semakin tidak terkendali. Krisis ini akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia, terutama Indonesia sebagai negara dengan risiko iklim ketiga tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021).

Sebagai warga Indonesia, kita sudah merasakan dampak nyata dari krisis ini. Mulai dari suhu panas yang ekstrim, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, kekeringan dan kelangkaan air, kenaikan permukaan air laut, banjir, dan berbagai cuaca ekstrim lain yang membuat jantung kita berdegup kencang karena makin khawatir. Semakin banyak generasi muda yang merasakan kecemasan  akan masa depan mereka. Seperti apa dunia tempat tinggal kami dan anak-cucu kami nanti?

Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan marginal, hingga mereka yang pekerjaan dan penghidupannya terdampak cuaca ekstrim seperti mereka yang harus bekerja di luar ruangan, nelayan dan petani tradisional, pekerja sektor pariwisata, serta masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang paling merasakan beratnya dampak krisis iklim.

Tanpa mengatasi krisis iklim secara serius, Indonesia pada 2045 diproyeksikan tidak akan lagi utuh sebagai 17.508 kesatuan gugusan pulau-pulau dari ujung barat hingga timur Indonesia (Kemhan, 2010). Setidaknya, 115 pulau akan hilang (Tempo, 2021). Kota-kota besar pun berisiko tenggelam. Sebut saja, Jakarta yang saat ini sudah semakin mengalami penurunan 0,1-8 cm per tahun (CNN, 2022).

Di tengah berbagai tantangan tersebut, calon pemimpin Indonesia mendatang harus memiliki visi-misi dan kemauan politik yang kuat untuk mengubah pola pembangunan ekonomi yang selama ini mengutamakan pertumbuhan tanpa mengindahkan batasan-batasan planet bumi menjadi pembangunan ekonomi yang memulihkan. Pemimpin Indonesia mendatang juga harus memiliki nurani dan keberanian untuk menghentikan pola-pola pembangunan yang menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan yang menyebabkan sebagian masyarakat harus menanggung dampak terburuk krisis iklim.

Oleh karena itu, melalui seri infografis visi-misi Capres & Cawapres 2024-2029 ini, Yayasan MADANI Berkelanjutan berupaya mendedahkan janji Calon Presiden & Wakil Presiden Indonesia pada periode 2024-2029 mendatang terkait adaptasi dan mitigasi krisis iklim, upaya menjaga hutan dan menghentikan deforestasi, transisi energi berkeadilan, pangan dan pertanian berkelanjutan, penanganan sampah, dan pengakuan, pelibatan, dan afirmasi bagi kelompok rentan demi mewujudkan keadilan iklim. #AgarKitaTetapAda

Ringkasan ini belum memuat elaborasi visi-misi pasangan calon no urut 3 yang dimuat dalam dokumen berjudul Buku Penjelasan, yang dirilis setelah tanggal penyusunan ringkasan ini.

Related Article

id_IDID