Madani

Tentang Kami

Data Restorasi agar Terbuka

Data Restorasi agar Terbuka

Muhammad Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Selasa (13/2), di Jakarta, mewakili 20 jejaring kelompok masyarakat sipil di 8 provinsi yang memiliki gambut, mengenalkan situs pantaugambut.id. Situs itu berisi peta, data, dan informasi terkait gambut dan restorasinya sebagai sarana kanal informasi bagi masyarakat terkait perkembangan restorasi gambut. Masyarakat membutuhkan informasi perkembangan dua tahun restorasi gambut pascakebakaran hutan dan lahan 2015. Pemerintah diminta membuka data dan peta terkait.

JAKARTA, KOMPAS Sejumlah 20 kelompok masyarakat sipil dari 8 provinsi di Indonesia, dalam Simpul Jaringan Pantau Gambut, membangun kanal informasi daring sebagai dukungan pada restorasi gambut yang dikerjakan pemerintah dua tahun terakhir.

Kanal informasi dalam pantaugambut.id berisi antara lain peta perkembangan restorasi gambut untuk menjembatani upaya pemerintah yang belum menuntaskan kebijakan satu peta. Namun, data itu belum memasukkan perkembangan restorasi yang digarap di bawah supervisi Badan Restorasi Gambut (BRG) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Simpul Jaringan kesulitan mendapat data dan peta itu. Karena upaya restorasi belum dibuka ke publik, rasa memiliki terhadap pekerjaan besar membasahi kembali gambut jadi tak terbentuk. Temuan Simpul Jaringan, masyarakat awam di lokasi restorasi kerap tak mengetahui pengerjaan restorasi di daerahnya. Bahkan ada temuan, proyek restorasi hanya jadi pekerjaan kaum elite desa.

”Dua tahun berjalan, tak ada ownership agenda restorasi di publik. Masih terkesan proyek. Tanpa partisipasi publik, hambatan akan amat banyak,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani, perwakilan dari Simpul Jaringan, Selasa (13/2), saat mengenalkan kanal pantaugambut.id kepada media. Ia mencontohkan, lokasi-lokasi restorasi gambut seluas 2,4 juta hektar di 7 provinsi, 60 persennya berada di area konsesi perusahaan kebun kayu (hutan tanaman industri) dan kebun sawit. Meski sebagian dari mereka telah merencanakan pembasahan areal kebunnya yang bergambut, komitmen itu perlu dikawal masyarakat agar berjalan di lapangan.

Teguh Surya menunjukkan pernyataan BRG yang berhasil merestorasi 1,18 juta ha lahan meliputi area pembasahan 202.454 ha dan 75 desa peduli gambut. Namun, lokasi-lokasi rinci kegiatan itu hingga kini belum diketahui publik.

”Simpul Jaringan Pantau Gambut kesulitan mengakses informasi rinci restorasi gambut. Kami memerlukan lokasi rinci intervensi BRG untuk melaksanakan verifikasi dampak restorasi,” kata Sarah Agustiorini, Juru Kampanye Kaoem Telapak. Selain itu, KLHK perlu menyediakan data publik tentang perusahaan yang harus melakukan restorasi dan telah menyampaikan revisi rencana kerja usaha (RKU).

Menanggapi hal itu, Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, laporan perkembangan restorasi 2017 sedang dalam tahap penyelesaian. Pada akhir Januari 2018 timnya masih melaksanakan verifikasi pengerjaan restorasi, seperti pemasangan sumur bor dan sekat kanal.

”Dalam waktu dekat, laporan ini selesai karena tinggal editing. Di dalamnya, ada laporan kerja restorasi yang dikerjakan mitra lembaga swadaya masyarakat, masyarakat, dan sebagainya,” katanya. Laporan ini dipastikan akan dibuka kepada publik, termasuk peta dan data-data terkait.

Sementara terkait pengerjaan restorasi di area konsesi, BRG dan KLHK masih tahap penyelesaian revisi RKU para pengelola HTI di area gambut. Tahun ini, restorasi berupa pembasahan gambut di area konsesi berjalan efektif karena tercantum dalam revisi RKU.

Puji kemajuan
Meski mengkritik restorasi gambut yang berjalan, Simpul Jaringan memuji beberapa langkah BRG dan KLHK dua tahun terakhir. Salah satunya adalah pemetaan LiDAR (berbasis laser) di empat kabupaten prioritas.

”LiDAR (skala 1:2.500) jadi terobosan dalam menjawab tantangan restorasi gambut. Sebab, BRG masih memakai peta berskala 1:250.000 dalam menentukan prioritas restorasi di tujuh provinsi,” kata Clorinda Kurnia Wibowo, Analis Penelitian World Resources Institute (WRI) Indonesia.

Kemajuan lain, ialah pemerintah berhasil meninjau ulang izin usaha di atas lahan gambut dengan merevisi RKU bagi pemegang konsesi HTI dan rencana pembasahan kepada pekebun kelapa sawit. Simpul Jaringan menyatakan, kemajuan ini akan berjalan di lapangan bila data perusahaan dan RKU perusahaan dibuka ke publik.

”Jadi, publik bisa melihat arahan restorasi yang harus dilakukan pelaku usaha, lalu memantau pelaksanaannya di lapangan,” ujarnya. (ICH)

Sumber: Kompas cetak, 14 Februari 2018. Halaman 14.

Related Article

HOW LOCAL ELECTIONS COULD RUIN ASIAN GAMES IN PALEMBANG

HOW LOCAL ELECTIONS COULD RUIN ASIAN GAMES IN PALEMBANG

 


Teguh said fires were still looming large in South Sumatra – where peatlands are concentrated in Ogan Komering Ilir and Musi Banyuasin regencies — partly because there had been no signs of significant peatland restoration by the BRG in the province.

The city of Palembang in South of Sumatra will co-host the Asian Games from August to September and President Joko “Jokowi” Widodo has ordered his aides and regional officials to focus on preventing the worst thing that could happen in the province at that time: major forest and land fires.

The haze resulting from raging fires would seriously disrupt the prestigious sporting event and put Indonesia’s reputation as the host on the line.

While the number of land and forest fires has significantly decreased in the past two years, with Jakarta issuing a number of fire prevention policies following the deadly 2015 fires, scientists say we may still need to worry that major fires could occur at around the time of the Games.

One of the reasons is that the country will be holding regional elections in June, only two months before the Games kick off.

Riau and South Sumatra were the most affected by recent forest and land fires on Sumatra. This year, the two provinces and some municipalities and regencies within them are set to elect new leaders.

The problem is that law enforcement against the people responsible for forest fires will be compromised during regional elections, said Herry Purnomo, a Center for International Forestry Research (CIFOR) scientist.

This was the conclusion he made based on a study he conducted with fellow CIFOR researchers in 2015.

“Regional leaders tend to ease law enforcement against perpetrators who happen to be their constituents in order to secure votes in the election,” said Herry, who is also a professor at the Bogor Agricultural University (IPB).

The study found that the occurrence of major forest and land fires in Sumatra and Kalimantan, two islands rich with peat swamp forests prone to fire, during the 2000-2015 period, had coincided with regional elections in the two areas. “This is my foremost worry,” Herry said, referring to the potential for lax control over those who start fires during ahead of and during the regional elections.

In general, people have become more knowledgeable about fire prevention, especially by not clearing land for agricultural purposes by setting fire to it. Smallholders have begun complying with regulations, while big companies have started to meet their sustainability obligations as they fear having their business permits revoked.

However, Herry said the stern approach had less of an influence on another group of culprits: middle-scale farmers, who can be found across Sumatra, including in South Sumatra.

“This group is not daunted by the threat that faces big companies. They don’t fear a legal case if they clear land with fire because basically they are not registered as legal entities,” Herry said.

In the aftermath of the 2015 fires, which ravaged 640,000 hectares of forest and land in South Sumatra alone, attention was centered on the Peatland Restoration Agency (BRG), established by Jokowi to restore 2 million ha of peatland by 2020 in seven provinces, including the province.

However, experts have said there has been no significant progress in peatland restoration efforts, blaming BRG’s lack of authority on the ground, especially in dealing with companies that some experts claim have allies in line ministries.

“Restoring peatland to its wet condition is a significant aspect in fire prevention,” said Teguh Surya, a researcher with the Yayasan Madani Berkelanjutan, an NGO that focuses on forest and land management.

Teguh said fires were still looming large in South Sumatra – where peatlands are concentrated in Ogan Komering Ilir and Musi Banyuasin regencies — partly because there had been no signs of significant peatland restoration by the BRG in the province. He added that the agency had never publicly revealed how much peatland it had restored there.

South Sumatra and Riau, meanwhile, have begun preparing for potential forest and land fires this year, mostly related to fire mitigation efforts.

The South Sumatra Disaster Mitigation Agency (BPBD) has requested additional helicopters from Jakarta to be used to extinguish fires, while the Riau administration has considered declaring a state of emergency in the province to anticipate possible fires this year.

“South Sumatra has only five helicopters, which is insufficient. Moreover, the province will host the Asian Games in August, which could the one of the hottest periods [in 2018],” South Sumatra BPBD head Iriansyah said in December last year as quoted by Antara.

Palembang will host 10 sporting events, including women’s soccer, men’s soccer, basketball, a triathlon, shooting and sepak takraw competitions. (ahw)

Source: The Jakarta Post, February 14, 2018.

 

Related Article

20 Kelompok Masyarakat Sipil Pantau Gambut

20 Kelompok Masyarakat Sipil Pantau Gambut

Muhammad Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Selasa (13/2) di Jakarta, mewakili 20 jejaring kelompok masyarakat sipil di delapan provinsi yang memiliki gambut, mengenalkan situs pantaugambut.id. Situs ini berisi peta, data, dan informasi terkait gambut dan restorasinya sebagai sarana kanal informasi bagi masyarakat terkait perkembangan kemajuan restorasi gambut.

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah 20 kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Simpul Jaringan Pantau membangun kanal informasi untuk memantau perkembangan restorasi gambut. Kanal dalam pantaugambut.id ini berisi peta restorasi yang dilakukan masyarakat, laporan masyarakat, cerita masyarakat terkait gambut, serta berbagai informasi terkait ekosistem gambut.

Kanal informasi ini menjembatani kekosongan informasi terkait perkembangan restorasi gambut yang dijanjikan Presiden Joko Widodo pascakebakaran hutan dan lahan pada 2015.

Restorasi 2 juta hektar gambut di tujuh provinsi yang dijalankan Badan Restorasi Gambut hingga 2019 dinilai belum terinformasikan kepada masyarakat. ”Pantau Gambut merupakan inisiatif independen dari berbagai lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang memanfaatkan teknologi, kolaborasi data, dan jaringan masyarakat untuk memberikan informasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam memastikan keberhasilan komitmen restorasi ekosistem gambut yang dilakukan semua pemangku kepentingan,” tutur Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mewakili Simpul Jaringan Pantau, Senin (13/2), saat mengenalkan situs pantaugambut.id kepada media.

Pantau gambut merupakan inisiatif independen dari berbagai lembaga swadaya masyarakat di Indonesia untuk memberikan informasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam memastikan keberhasilan komitmen restorasi ekosistem gambut.

Ia mengatakan, kanal ini dibangun karena pekerjaan restorasi gambut masih banyak bersifat proyek. Karena tak merasa dilibatkan, dikhawatirkan pekerjaan restorasi tak bertahan lama.

Clorinda, analis penelitian World Resources Institute (WRI) Indonesia, bagian dari Simpul Jaringan, mengatakan, pihaknya mengundang berbagai pihak, terutama masyarakat yang mengerjakan restorasi di area masing-masing. Data ini bisa diplot dalam peta pantaugambut.id.

”Kami sedang susun protokol pemantauannya bagi kelompok masyarakat yang ingin menunjukkan restorasi gambutnya,” ujarnya.

Sumber: Kompas Cetak, 13 Februari 2018 18:32 WIB

Related Article

Moratorium Sawit Segera Terbit? Berikut Poin-poin Draf Inpresnya

Moratorium Sawit Segera Terbit? Berikut Poin-poin Draf Inpresnya

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

Setelah hampir dua tahun—sejak April 2016– rencana pemerintah keluarkan aturan tunda sementara (moratorium) izin sawit digodok, tampaknya bakal keluar dalam waktu dekat ini. Dalam rancangan kebijakan itu dikatakan, Instruksi Presiden soal penundaan perizinan kebun sawit paling lama tiga tahun. Berbagai kalangan berikan tanggapan.

Dari draf dokumen yang diperoleh Mongabay, aturan berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ini sudah disetujui dan ditandatangani Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian per 22 Desember 2017. Sebelumnya, draf ini sudah melalui Pramono Anung, Sekretaris Kabinet pada 6 November 2017.

Inpres ini dengan tujuan kepada kementerian (lembaga), hingga kepala daerah (gubernur, bupati/walikota). Adapun kementerian dan lembaga itu antara lain Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Menteri Dalam Negeri.

Penundaan dan evaluasi perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas kebun sawit ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. Untuk pelaksanaan, akan ada tim kerja bentukan Menko Perekonomian.

”Inti arah dari Bapak Presiden adalah perizinan lahan sawit, hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di sela Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat di Jakarta, Selasa (23/1/18).

Inpres ini, katanya, menitikberatkan kesejahteraan rakyat dan pembenahan perizinan yang ada. Siti mengatakan, sekitar 4 juta hektar perkebunan sawit milik rakyat memiliki produktivitas rendah.

”Sehabis inpres keluar, tak ada izin baru. Izin-izin yang sudah keluar atau sedang proses dari KLHK untuk pelepasan dilakukan dalam kaitan sudah jadi HGU (hak guna usaha-red) atau belum. Setelah jadi HGU, seperti apa, juga akan dievaluasi,” katanya.

Soal evaluasi izin, katanya, antara lain terhadap usaha-usaha sawit yang sudah berizin tetapi belum ada kegiatan, perubahan penggunaan tanah dan perubahan komoditas dari pengajuan awal.

Kelengkapan perizinan yang sedang berproses pun akan ditelaah, baik terkait tata ruang, sampai budidaya. “Apakah hutan yang diajukan bisa dikonversi? Termasuk perizinan yang sama sekali belum ada usulan izin pelepasan kawasan hutan. ”Itu dipertimbangkan, diperketat dan hati-hati.”

Begitu juga terhadap izin sedang proses apabila masih mempunyai hutan produktif, maka hutan tidak akan dilepaskan.

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik substansi draf inpres ini, meski ada beberapa catatan. Menurut dia, aturan ini memberikan bentuk baru pengelolaan dan perbaikan demi kelestarian ekologi dengan mengembalikan kawasan hutan yang terlanjur jadi perkebunan sawit llegal.

Teguh berharap, temuan dari evaluasi dan pengawasan terhadap perkebunan sawit ini dapat ditindaklanjuti melalui penegakan hukum.

Selain itu, katanya, dalam proses verifikasi perlu memperhatikan indikator sosial, misal, soal free, prior and informed consent (FPIC), konflik masyarakat dan konsultasi publik atau penolakan warga.

Namun, organisasi masyarakat sipil menggarisbawahi soal periode masa moratorium. ”Kami mendesak inpres ini seharusnya berbasis kriteria dan indikator capaian, bukan berbatas waktu,” kata Mardi Minangsari, pegiat Kaoem Telapak.

Indikator capaian yang dimaksud Mardi, seperti terkait tata kelola berkelanjutan, kepastian hukum, penurunan emisi dan lain-lain.

Siti beranggapan, kalau evaluasi berjalan lancar, waktu tiga tahun sudah cukup untuk moratorium. ”Saya malah bilang dua tahun cukup, moratorium tidak ada izin baru, jika evaluasi menyebutkan sawit bagus, peremajaan oke dan lain-lain,” katanya.

Greenpeace Indonesia juga menyambut baik Inpres moratorium izin perkebunan sawit ini. Meskipun begitu, dalam siaran pers, Greenpeace menekankan dua hal penting perlu ada dalam kebijakan ini.

Pertama, harus ada evaluasi izin yang sudah keluar. Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya pemerintah evaluasi bukan hanya perizinan yang berproses, juga yang sudah diberikan.

“Izin yang bermasalah harus dicabut, dan kawasan hutan harus dilindungi,” katanya.

Evaluasi izin, katanya, seharusnya bisa membantu pemerintah dalam merealisasikan kebijakan Satu Peta. Satu Peta, kata Ratri, sangat penting sebagai efek gentar mencegah pembukaan hutan dan lahan gambut ilegal.

Dengan Satu Peta, titik api yang kerap di wilayah perkebunan sawit, bisa mudah diketahui. Pemerintahpun, katanya, bisa segera menegur dan memberikan sanksi bagi pelanggar aturan.

Kedua, inpres seharusnya mengatur tak hanya perizinan perkebunan di kawasan hutan, juga areal penggunaan lain (APL), termasuk kawasan pangan. “Ini penting karena makin marak kawasan pangan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.”

Berbagai penelitian, katanya, menyebutkan, beberapa tahun belakangan makin banyak lahan sawah jadi perkebunan sawit terutama di Sumatera dan Kalimantan Dia contohkan, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dalam periode 2006-2014, konversi lahan sawah jadi perkebunan sawit mencapai 15.616 hektar. Awalnya, perubahan itu terjadi seiring program satu juta hektar lahan sawit tahun 2000.

Harus transparan

Mengenai tim kerja untuk pelaksanaan penundaan, dan evaluasi izin kebun sawit, Teguh memberikan masukan komposisi tim. ”Kita berharap tim kerja harus independen dan perwakilan masyarakat sipil masuk di dalamnya.”

Terpenting lagi, katanya, membangun sistem kerja transparan mulai dari evaluasi, rekomendasi hingga tindak lanjut penegakan hukum.

Kemenko, katanya, juga perlu menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sebelumnya menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam pada 2015. Temuan-temuan KPK pun seharusnya bisa menjadi dasar dalam evaluasi dan verifikasi perizinan sawit.

”Moratorium ini harus melacak usulan pelepasan kawasan hutan oleh perusahaan sawit yang tak memilki HGU atas nama perhutanan sosial dan reforma agraria, sebagai salah satu modus.”

Dalam draf inpres itu tim kerja bertugas verifikasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit, peta izin usaha perkebunan atau surat tanda daftar usaha perkebunan, izin lokasi dan HGU, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan Satu Peta.

Tim juga memiliki kewenangan rekomendasi kepada menteri, gurbernur, bupati/walikota terkait penetapan kembali areal dari kawasan hutan yang telah pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan. Juga, penetapan tanah terlantar dan penghentian proses penerbitan atau pembatalan HGU dan langkah-langkah hukum atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Rekomendasi tim ini, berdasarkan hasil verifikasi data dan evaluasi dari setiap kementerian dan lembaga.

Ada pengecualian

Sementara itu, KLHK memiliki tugas untuk penundaan pelepasan ataupun tukar menukar kawasan hutan untuk sawit, memverifikasi dan mengevaluasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan pada perkebunan sawit yang telah terbit. Juga menindaklanjuti rekomendasi tim kerja soal penetapan kembali areal dari kawasan hutan yang telah pelepasan atau tukar menukar dan melaksanakan langkah hukum.

Teguh mengatakan, ada jebakan dalam moratorium ini, terkait pengecualian penundaan pelepasan ataupun tukar menukar bagi permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang telah ditanami dan diproses. Adapun itu berada dalam ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 104 /2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

”Pasal pengecualian ini seharusnya dihapus dan tak diberikan di awal tapi ditentukan setelah evaluasi dan verifikasi. Pasal ini jadi penawar dalam moratorium.” Untuk Menteri Pertanian, bertugas menyusun dan verifikasi data serta peta izin usaha perkebunan sawit dan pendaftaran surat tanda daftar usaha perkebunan sawit. Lalu, evaluasi proses pemberian izin dan pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan yang sudah mengantongi izin.

Mentan wajib meningkatkan pembinaan kelembagaan petani sawit guna optimalisasi dan intensifikasi pemanfaatan lahan untuk produktivitas sawit. Mentan juga bertugas memastikans setiap perkebunan sawit menerapkan standar wajib sawit berkelanjutan (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO).

Sedangkan, poin penting tugas Menteri ATR/BPN adalah menghentikan dan pembatalan HGU dan perlu percepatan penerbitan hak tanah kepada masyarakat–dalam pelaksanaan 20% alokasi buat warga dari luas HGU kebun sawit.

Untuk tugas Mendagri, melakukan pembinaan dan pengawasan kepada gubernur dan bupati/walikota. Sedangkan, tugas kepada kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) agar lebih tegas memoratorium dan pengumpulan data, evaluasi dan verifikasi ke lapangan.

Buat Kepala BKPM, mendapat instruksi perlu penundaan permohonan penanaman modal baru untuk perkebunan sawit atau perluasan perkebunan. Tugas dalam moratorium dan evaluasi perizinan dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit lintas kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Menko wajib melaporkan pelaksanaan inpres kepada presiden setiap enam bulan atau sewaktu-waktu kalau diperlukan.

Sumber: Mongabay

Related Article

Indikator Capaian Kembali Didorong

Indikator Capaian Kembali Didorong

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN – Hamparan perkebunan kelapa sawit di kawasan Sei Kijang, Kabupaten Palalawan, Riau.

JAKARTA, KOMPAS —Sejumlah lembaga masyarakat sipil memberikan catatan pada isi draf instruksi presiden moratorium sawit. Mereka mendorong agar moratorium dilakukan berdasarkan indikator capaian, bukan waktu.

Hal itu agar tujuan instruksi presiden (inpres) untuk menertibkan kebun sawit di areal hutan dan membenahi tata kelola perkebunan serta produktivitasnya tercapai. Jika mengandalkan batasan waktu, itu tak tuntas menyelesaikan soal sawit di kawasan hutan yang berlangsung lama.

”Kami mendesak pelaksanaan inpres ini berbasis kriteria dan indikator capaian tertentu, bukan batas waktu,” kata Mardi Minangsari, aktivis Kaoem Telapak, Selasa (23/1), di Jakarta.

Dalam draf Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang disetujui Menteri Koordinator Perekonomian, penerapan moratorium tiga tahun. Jeda waktu itu tak cukup menuntaskan tata kelola kebun sawit yang semrawut.

Apalagi, inpres diharapkan meningkatkan produktivitas kebun sawit. Di sisi lain, indikator capaian bisa memakai peningkatan produktivitas sawit.

Indikator selanjutnya adalah tak ada lagi tumpang tindih lahan sawit di areal hutan dan peruntukan lain. Itu termasuk kewajiban perkebunan sawit untuk membagi 20 persen dari hak guna usaha-nya bagi perkebunan masyarakat.

Franky Yafet Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, mengingatkan agar inpres menyentuh masalah sosial di masyarakat. ”Harus bisa mengungkap apakah pembangunan kebun itu ada konsultasi publik ataukah ada penolakan warga,” ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, inpres ini memberikan tugas kepadanya untuk mengevaluasi izin pelepasan areal hutan yang diterbitkan KLHK. Tujuannya agar pelepasan sesuai peruntukan. ”Evaluasi, misalnya, sudah ada izin, tapi belum ada kegiatan, berubah penggunaan tanahnya, dan perubahan komoditas dari pengajuan,” katanya.

Evaluasi ini juga membuka potensi izin pelepasan itu dikoreksi karena hutan terbukti produktif. Contohnya, hasil evaluasi KLHK di Papua dan Papua Barat, ada izin pelepasan sejak 5-10 tahun lalu, tapi penanamannya rendah (15-20 persen) dan kondisi tutupan hutan lebat. ”Hal ini akan kita koreksi dan hutan lebatnya harus jadi hutan produksi. Hutan ini bisa jadi area perhutanan sosial,” ujarnya. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

INPRES Moratorium Disiapkan

INPRES Moratorium Disiapkan

Rancangan Instruksi Presiden Moratorium Sawit tinggal menunggu tanda tangan presiden. Semangat inpres ini untuk menertibkan perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada di kawasan hutan.

Jakarta, Kompas Janji Presiden Joko Widodo untuk menghentikan sementara perizinan perkebunan sawit pada April 2016 siap direalisasikan melalui instruksi presiden. Regulasi internal pemerintah kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota ini dalam waktu dekat diajukan ke Istana.

Berdasarkan data yang diperoleh Kompas, dalam draf per 22 Desember 2017 yang ditandatangani Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, rancangan instruksi presiden itu berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Isinya memberi perintah Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, gubernur, dan bupati/wali kota untuk menjalankan sejumlah tugas dan kewenangan.

Asisten Deputi Tata Kelola Hutan Kemenko Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo, Senin (22/1), di Jakarta, mengatakan, secara prinsip isi rancangan inpres ini telah disetujui Menko Perekonomian Darmin Nasution. ”Mudah-mudahan dalam waktu dekat sampai ke Presiden,” katanya.

Ia mengatakan, semangat dalam inpres tersebut adalah menertibkan perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada dalam kawasan hutan. Berdasarkan data KLHK, sekitar 1,6 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan.

Moratorium sawit ini akan memperkuat Inpres Penundaan Pemberian Izin Baru di Kawasan Hutan Primer dan Gambut yang dijalankan sejak 2011.

Iklim investasi
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan akan taat pada setiap kebijakan pemerintah. Hanya saja, ia berharap pemerintah tetap menjaga iklim investasi agar tidak terhambat aturan-aturan baru.

Ia pun berharap Inpres Moratorium Sawit ini bisa menyelesaikan ketelanjuran historis perkebunan-perkebunan sawit. Ia mencontohkan perubahan kebijakan dan regulasi yang tumpang tindih membuat izin hak guna usaha (HGU) sawit di banyak perkebunan di Kalteng dinyatakan bermasalah. Padahal, katanya, perkebunan mendapatkan HGU sebelum area itu ditetapkan sebagai kawasan hutan.

”Penyelesaian ketelanjuran jangan sampai mempersulit seperti misalnya diminta mencari lahan pengganti,” katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengapresiasi informasi terbaru moratorium sawit ini. Inpres ini antara lain membuka ruang pengembalian kawasan hutan yang telah berbentuk perkebunan sawit tanpa mengantongi prosedur jelas.

Selain itu, katanya, rancangan inpres memberikan perintah untuk mengevaluasi izin HGU ataupun izin pelepasan kawasan hutan di masa lalu. Langkah ini diharapkan bisa mengurai tuntas serta mendapatkan solusi ataupun penegakan hukum atas berbagai pelanggaran.

Namun, Teguh memberi catatan, antara lain, terkait amanat pembentukan Tim Kerja oleh Menko Perekonomian. Tim Kerja yang memiliki tugas vital di antaranya memverifikasi data pelepasan, peta izin perkebunan, HGU, sinkronisasi Satu Peta, dan memberi rekomendasi kepada menteri/gubernur ini tak jelas kriterianya. Ia berharap Tim Kerja itu juga diisi perwakilan seperti masyarakat sipil ataupun pakar yang independen. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

Presiden Segera Keluarkan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Presiden Segera Keluarkan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Ilustrasi lahan perkebunan sawit di Riau dilihat dari udara. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta – Presiden Joko Widodo bakal segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara atau moratorium perizinan perkebunan sawit.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, Inpres itu mengatur kebijakan moratorium yag akan diberlakukan selama tiga tahun. Selama masa itu, tidak boleh ada izin baru perkebunan kelapa sawit, atau penambahan luas lahan perkebunan kelapa sawit.

Siti Nurbaya mengatakan saat ini fokus pemerintah adalah meningkatkan produktivitas sawit rakyat, salah satunya dengan melakukan peremajaan.

“Di dalam Instruksi Presiden itu yang kepada menteri LHK, pertama, karena sudah ada 13 juta hektar hutan sawit dan yang lebih empat jutaan hektar yang punya rakyat, produktivitasnya masih rendah. Karena itu jangan dulu ada izin baru. Jadi nanti, saat Inpres keluar, nggak boleh ada izin baru,” kata Siti di Jakarta, Selasa (23/1/2018).

Siti Nurbaya mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup juga diinstruksikan untuk mengevaluasi perizinan sawit yang sedang berjalan. Sementara, izin yang sudah terbit tidak akan dievaluasi.

“Kalau yang sudah keluar izinnya, apanya yang dievaluasi?” kata Siti Nurbaya.

Menurut Siti, di dalam Inpres juga memuat tentang pembentukan tim kerja yang akan dipimpin Kementerian Koordinator Perekonomian. Tim tersebut berisi sejumlah pihak terkait, namun ia enggan merinci pihak mana saja yang akan dilibatkan.

Pada Mei 2017 lalu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyerukan penghentian sawit dan biodiesel berbasis sawit karena mengakibatkan masalah lingkungan, korupsi, HAM dan perdagangan anak.

Editor: Agus Luqman

Sumber: KBR

Related Article

Koridor Satwa Diperhitungkan

Koridor Satwa Diperhitungkan

Jakarta, Kompas — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengarahkan agar setiap pemanfaatan kawasan hutan memikirkan dan menyediakan koridor satwa. Langkah itu untuk menjaga populasi berbagai satwa yang bersifat penjelajah dan menekan konflik dengan manusia yang saat ini sering terjadi.

Langkah itu berlaku pula bagi lahan yang akan dilepaskan dari areal hutan. Itu termasuk alokasi 2,1 juta hektar kawasan hutan produksi dapat dikonversi (HPK) yang tak produktif sebagai bagian dari tanah obyek reforma agraria (TORA).

“Ketika kawasan hutan dilepas dan itu range (area jelajah) atau koridor satwa, harus dilihat pemerintah daerah dalam mendesain lahan itu,” kata Bambang Hendroyono, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa (18/4), di Jakarta.

Di sela-sela Pertemuan Ke-2 Perwakilan Pemerintah dari Negara-negara di Asia Pemilik Populasi Gajah Asia (AsERSM), ia mengatakan home range satwa itu akan dikelola di kawasan ekosistem esensial. Area itu berada di luar kawasan hutan, tetapi jadi pendukung kehidupan satwa, termasuk sebagai area jelajah.

Bambang yang juga Sekretaris Jenderal KLHK mengakui, pada masa lalu, ruang jelajah dan koridor satwa seperti gajah dan harimau belum dipertimbangkan dalam pelepasan lahan. “Kini kami punya prinsip satwa harus dijaga meski di luar kawasan hutan,” ucapnya.

Terkait hal itu, pelepasan kawasan hutan bagi TORA seluas 2,1 juta hektar harus diawali kesiapan desain pemakaian lahan dari pemda (Kompas, 18 April 2017). KLHK mewajibkan pemda menyediakan koridor satwa jika lokasinya strategis menghubungkan antarhutan konservasi.

Penyediaan koridor diperlukan sebagai perlintasan satwa antarkawasan hutan konservasi atau lindung ataupun hutan produksi. Itu juga bertujuan menjaga kekayaan genetika dan menghindari perkawinan sedarah yang bisa menurunkan mutu satwa.

Menurut Bambang, rambu-rambu penyediaan koridor satwa di hutan yang dilepaskan diatur di peraturan menteri. Selain itu, KLHK bersama sejumlah kementerian menyiapkan Peraturan Pemerintah Kawasan Ekosistem Esensial dan merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Kritik

Secara terpisah, pegiat Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, dihubungi di Papua, menyayangkan Ketetapan Menteri LHK No 180/2017 yang tidak memasukkan keterlibatan publik. Ketetapan itu berisi Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA.

Menteri LHK menyediakan 4,8 juta ha areal hutan untuk dilepaskan dan 2,1 juta ha di antaranya ialah HPK tak produktif. Itu mewujudkan janji Presiden Joko Widodo untuk memberi reforma agraria 9 juta ha.

“Reforma agraria diapresiasi menjawab ketimpangan pengelolaan dan penguasaan lahan di Indonesia. Namun, penetapan kebijakan berdampak serius secara sosial dan lingkungan sehingga perlu proses inklusif dan akuntabel,” katanya.

Peta indikatif sulit diakses publik demi menghimpun pemantauan publik dan tidak ada klausul peta itu bisa di revisi per periode. Dalam 6 tahun penerapan Instruksi Presiden terkait Moratorium Kehutanan, hanya bisa diakses kelompok tertentu. Area moratorium tetap berpeluang dibuka. (ICH)

Kompas cetak edisi 19 April 2017

Related Article

Indonesia Menolak Tudingan Uni Eropa

Indonesia Menolak Tudingan Uni Eropa

HELSINKI, KOMPAS —Indonesia menolak tudingan Parlemen Eropa yang mengaitkan komoditas sawit dengan isu hak asasi manusia, korupsi, dan sosial budaya. Tudingan tersebut diprotes keras oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Hal itu bermula dari laporan Parlemen Eropa “Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests”. Resolusi itu disampaikan Parlemen Eropa di Starssbourg, Brussel, 4 April 2017. Resolusi non-binding (tidak mengikat) itu akan diserahkan kepada Dewan Uni Eropa untuk ditindaklanjuti.

“Laporan itu mengada-ada. Sama sekali tak berdasar karena mengabaikan segala upaya progresif yang dikerjakan Pemerintah Indonesia,” ujar Siti Nurbaya di Hotel Crowne Plaza, Helsinki, Finlandia, Jumat (7/4), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Nasrullah Nara.

Laporan lembaga legislatif Uni Eropa itu khusus menyebut masalah sawit Indonesia terkait isu, antara lain, korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan penghilangan hak masyarakat adat. “Bagi Indonesia, isu sawit seperti ini sensitif. Dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, saya harus merespons,” kata Siti Nurbaya.

Industri sawit di Indonesia termasuk industri besar yang menyangkut hajat hidup petani, meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta hektar dan 41 persennya dikelola petani kecil. Kebun dan industri itu melibatkan 16 juta petani dan tenaga kerja.

Siti Nurbaya menilai, catatan negatif dalam mosi itu merupakan penghinaan pada Indonesia. “Kita tak bisa menerimanya. Tuduhan keji dan tak relevan sekarang,” ujarnya.

Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, menerapkan praktik pengelolaan berkelanjutan sawit serta industri berbasis lahan. Sejumlah kebijakan mengarah pada peningkatan tata kelola hutan dan lahan, antara lain, moratorium izin baru di lahan gambut dan hutan primer serta pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut beserta aturan pelaksanaannya.

Penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pun intens digarap pemerintah dengan membuka masukan dari publik. Itu meniru Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diakui setara dengan Lisensi FLEGT (Penegakan Hukum, Pemerintahan, dan Perdagangan bidang Kehutanan) milik Uni Eropa.

Terkait hak masyarakat adat, menurut Siti Nurbaya, Pemerintah Indonesia telah dan sedang memberikan pengakuan hutan adat. Lebih dari 13.000 hektar hutan adat diberikan Presiden Joko Widodo kepada sembilan komunitas masyarakat adat.

Deforestasi

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menyatakan, Parlemen Eropa juga menyorot sawit jadi penyebab deforestasi. “Kita punya aturan perundangan tentang pelepasan kawasan hutan (bisa dikonversi) sebagai ruang budidaya dan kebutuhan lain, termasuk kebun sawit,” ucapnya.

Namun, Uni Eropa tetap melihat hal itu sebagai deforestasi (dalam kacamata buruk) meski deforestasi dilakukan secara legal. Terkait sawit ilegal di area hutan yang tercatat 800.000 ha, ia mengatakan semuanya berada di Kalimantan Tengah.

Pembukaan kebun sawit di kawasan hutan itu dilakukan berdasarkan surat Badan Planologi (kini Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK) tahun 2003. Pada 2006, kebijakan ini dicabut namun di lapangan telanjur terjadi pembukaan lahan.

Aktivis Yayasan Madani Berkelanjutan, M Teguh Surya, menilai, pelaporan Parlemen Uni Eropa menunjukkan kegagalan Pemerintah Indonesia meyakinkan pasar terkait komitmen dan penuntasan masalah tata kelola kebun sawit. Itu termasuk isu perlindungan hutan dan gambut, nol deforestasi, korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, dan penghilangan hak masyarakat adat.

“Meski pembangunan berkelanjutan jadi perhatian pemerintah, banyak kebijakan kontradiktif dengan upaya perlindungan lingkungan dan pengakuan hak masyarakat adat,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menentang secara konfrontatif terhadap tudingan Parlemen Uni Eropa itu. “Pemerintah tak bisa berjalan sendiri,” katanya. (ICH)

Kompas cetak edisi 9 April 2017

Related Article

Ketika Parlemen Eropa Keluarkan Resolusi Soal Sawit

Ketika Parlemen Eropa Keluarkan Resolusi Soal Sawit

Resolusi sawit Parlemen Eropa menyebutkan, sawit sebagai penyebab deforestasi sampai pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat/lokal. Foto: Lusia Arumingtyas

Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM. Dalam resolusi yang secara khusus menyebut Indonesia itu, menghasilkan voting 640 anggota parlemen setuju, 18 menolak dan 28 abstain. Laporan sawit bersifat non-binding ini akan diserahkan kepada Komisi dan Presiden Eropa.

Kateřina Konečná, perancang resolusi mengatakan, dalam mengatasi dampak produksi minyak sawit, seperti penggundulan hutan, degradasi habitat, terutama di Asia Tenggara, Uni Eropa, katanya, harus memperkenalkan skema sertifikasi tunggal untuk sawit memasuki pasar Uni Eropa juga menghentikan bertahap penggunaan minyak nabati yang mendorong deforestasi sampai 2020.

“Kami ingin debat terbuka dengan semua pemain hingga kita dapat membuat produksi minyak sawit berkelanjutan, tanpa menebang hutan dan sesuai kondisi hak asasi manusia yang bermartabat,” katanya Selasa lalu dalam siaran pers mereka.

Dikatakan, resolusi sawit ini kali pertama dibuat parlemen dengan tetap menyerahkan keputusan tindakan pada Komisi Eropa. “Tapi kita tak bisa mengabaikan masalah deforestasi, yang mengancam Perjanjian Perubahan Iklim pada COP21 dan pembangunan berkelanjutan PBB,” katanya.

Parlemen Eropa mencatat, 46% dari minyak sawit impor oleh Uni Eropa untuk memproduksi biofuel, membutuhkan penggunaan sekitar satu juta hektar tanah tropis. Selain pendorong deforestasi, Parlemen Eropa menyatakan, sebagian besar produksi global minyak sawit melanggar hak asasi manusia dan standar sosial memadai. Ia sering menggunakan pekerja anak, dan ada banyak konflik lahan antara masyarakat lokal dan adat dan pemegang konsesi.

Untuk itu, mereka memanggil Komisi untuk mengambil langkah-langkah penghentian bertahap dalam penggunaan minyak nabati pendorong deforestasi, termasuk kelapa sawit, sebagai komponen biofuel pada 2020.

Parlemen Eropa mencatat, memang sudah ada berbagai skema sertifikasi sukarela mempromosikan budidaya minyak sawit berkelanjutan. Dalam dokumen resolusi itu beberapa kali menyebut sertifikasi seperti RSPO, dan ISPO.

Sayangnya, standar-standar itu masih mendapatkan banyak kritikan hingga membingungkan konsumen. Mereka pun mengusulkan ada skema sertifikasi tunggal dalam menjamin hanya minyak sawit lestari yang masuk pasar Uni Eropa.

Mereka juga mendesak Uni Eropa memperkenalkan kriteria keberlanjutan untuk minyak sawit dan produk mengandung minyak sawit dalam memasuki pasar Uni Eropa.

“Komisi harus meningkatkan ketertelusuran minyak sawit impor ke Uni Eropa dan harus mempertimbangkan menerapkan berbeda skema bea cukai yang mencerminkan biaya nyata lebih akurat sampai sertifikasi tunggal berlaku,” ucap Konečná.

Indonesiapun bereaksi dengan resolusi ini. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, tampak emosional menanggapi Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests oleh Parlemen Eropa di Starssbourg ini.

Di sela-sela kunjungan ke Helsinki, Siti mengatakan, bagi Indonesia isu sawit seperti ini hal sensitive. Industri sawit di Indonesia, merupakan industri besar menyangkut hajat hidup petani. Areal tanam sawit, katanya, seluas 11,6 juta hektar, dengan 41% petani kecil dan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tak kurang 16 juta orang.

Catatan-catatan negatif dalam mosi itu, kata Siti, merupakan penghinaan kepada Indonesia dan tak dapat diterima. “Tuduhan sawit adalah korupsi, sawit adalah eksploitasi pekerja anak, sawit adalah pelanggaran hak azasi manusia dan sawit menghilangkan hak masyarakat adat, semua itu tuduhan yang keji dan tak relevan sekarang,”katanya dalam rilis kepada media.

Dia bilang, Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sedang menmelaksanakan praktik-praktik berkelanjutan dalam pengelolaan sawit, dan industri-industri berbasis lahan lain.

“Pembangunan berkelanjutan jadi konsen pemerintah kini. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain di dunia. Indonesia termasuk di depan dalam implementasi Perjanjian Paris,” katanya.

Mosi Parlemen Eropa ini, katanya, menyinggung kedaulatan Indonesia, karena menuduh dan mengajak pihak-pihak untuk “boikot “ investasi sawit dan pindah ke bunga matahari dan rapeseed.

“Saya kira ini langkah tak pas. Jika dunia berharap Indonesia sebagai bagian penting dalam lingkungan global dan paru-paru dunia, dunia harus percaya, Indonesia dapat menyelesaikan persoalan dalam negerinya.”

Berbagai persoalan, katanya, sedang diselesaikan dan sudah memberikan hasil. “Kontribusi Indonesia kepada dunia dalam hal lingkungan harus diakui. Upaya-upaya mengatasi kebakaran hutan, menata forest governance, upaya-upaya tata kelola gambut, menjaga keragaman hayati, menjaga habitat orang hutan, harimau, gajah merupakan kontribusi Indonesia terhadap lingkungan global.”

Siti akui, tak mudah menyelesaikan berbagai permasalahan dengan wilayah seluas Indonesia. Apabila melihat Indonesia dan Eropa dari udara dengan jarak ketinggian sama, katanya, rentang wilayah Indonesia itu, kira-kira sama dengan dari Spanyol sampai Rusia, di sekitar negara Azzerbaijan. “Indonesia sangat luas. Jadi upaya dan hasil kerja harus diakui juga dong oleh dunia.”

Kementerian luar negeri juga mengeluarkan tanggapan resmi atas mosi ini. Ada delapan poin, antara lain resolusi itu mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap minyak sawit yang berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade.

Resolusi Parlemen Eropa juga menggunakan data dan informasi tak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak sawit dan manajemen kehutanan di negara–negara produsen termasuk Indonesia. Resolusi juga melalaikan pendekatan multistakeholders.

Kemenlu nyatakan, minyak sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, total 239 juta hektar deforestasi global dalam 20 tahun, 58 juta hektar sektor peternakan, 13 juta hektar kedelai, 8 juta hektar jagung, dan 6 juta hektar minyak sawit.

“Dengan kata lain, total minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih 2,5% terhadap deforestasi global.” (lihat tabel).

Menurut Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani, sampai terbit Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests ini muara dari kegagalan pemerintah dalam meyakinkan pasar terkait komitmen dan progres pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar tata kelola kebun sawit.

“Seperti perlindungan hutan dan gambut dengan nol deforestasi, isu korupsi antara lain temuan KPK, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat dan lain-lain,” katanya.

Saat ini, pemerintah memang banyak menyatakan, konsen dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi banyak kebijakan masih kontradiktif dengan upaya perlindungan lingkungan dan pengakuan hak masyarakat adat.

Dalam menyikapi laporan Parlemen Eropa ini, katanya, pemerintah tak perlu konfrontatif karena bisa diselesaikan dengan cara-cara diplomasi kepada berbagai pihak khusus dalam negeri, tak terkecuali kepada organisasi masyarakat sipil.

Pemerintah, ucap Teguh, tak bisa berjalan sendiri tetapi perlu mengkonsolidasikan dengan para pihak dan dukungan bagi minyak sawit berkelanjutan sejati. “Kita tahu ada persoalan infrastruktur dan kapasitas kelembagaan, dan sistem birokrasi masih buruk.”

center
Kebun sawit di Riau, yang terbakar dan dibuka di lahan gambut dalam. Kala tim Penegakan Hukum KLHK datang mau menyegel malah kena sandera. Kebun sawit ini ditanam dengan sistem ‘bapak angkat’ oleh perusahaan besar. Foto: KLHK

Sejak Maret, di Indonesia dilakukan diskusi-diskusi maupun rilis penelitian yang berisikan sawit bukan penyebab deforestasi. Seperti diskusi akhir Maret di Jakarta, ada Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa bicara soal riset dia pada 2016 di delapan perusahaan sawit besar) dan 16 kebun swadaya di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan dan Siak, Riau.

Mengambil lokasi penelitian di Riau, tetapi Yanto, tak memperhitungkan dalam penelitian soal kawasan-kawasan lindung dan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo maupun Taman Nasional Bukit Betabuh, banyak terjarah sawit.

Dalam penelitian itu, Yanto mengumpulkan kronologi perolehan perizinan, status lahan kebun berdasarkan TGHK 1986, rencana tata ruang Riau 1994 dan 2014, dan kawasan hutan 2014.

Dia mengumpulkan data riwayat penggunaan lahan, kegiatan penggunaan lahan sejak masa penyiapan sampai penanaman dan wawancara dengan berbagai pihak. Yanto bilang, dia mengkofirmsi 91,76% areal penelitian pada perkebunan sawit swadaya (47,5 hektar) status lahan bukan hutan saat wilyah jadi kebun sawit. Sisanya (8.24%), masih kawasan hutan saat pemilik kebun membeli dan pakai lahan untuk kebun sawit.

“Untuk kebun rakyat, dulu membuka karena tak ada izin, 100% tata ruang Riau sudah alokasi penggunaan lain, bukan kawasan hutan,” katanya.

Hasil wawancara dengan masyarakat tak jauh beda. Sebelumnya, ada hutan sekunder, perkebunan karet, semak belukar dan tanah terbuka. Untuk sawit rakyat 100% di areal terbuka. “Hasil citra landsat juga mengkonfirmasi. Kesimpulan status lahan sudah bukan kawasan hutan saat izin ini diterbitkan.”

Pada perkebunan skala besar, riwayat penggunaan lahan tiga tahun sebelum izin usaha sebagian besar sebagai hutan. Sedang, dua dan satu tahun sebelum izin usaha sebagai perkebunan. Lain dengan kebun sawit swadaya sebagian besar lahan tak digunakan pada tig, dua, maupun satu tahun sebelum izin usaha.

“Ini sesuai hasil tutupan lahan perusahaan besar yang dahulu didominasi perkebunan karet dan hutan sekunder. Untuk swadaya, sebagian besar dahulu tanah terbuka.”

Dari seluruh perkebunan besar amatan (46.372,38 hektar), 68,02% lahan dari hutan produksi konversi dan APL, 30,01% dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% hutan produksi.

“Sawit sebenarnya penyelamat ancaman deforestasi dalam konteks yang tak produktif jadi produktif.”

Jadi, katanya, voting anggota parlemen Eropa menyatakan sawit penyebab deforestasi itu keliru.

Yanto juga bilang, ada perbedaan mendasar dalam mendefinisikan deforestasi. Menurut FAO, disebut deforestasi itu konversi hutan jadi lahan lain atau secara jangka panjang pengurangan tutupan tajuk pohon di bawah batas 10%.

Kala merujuk definisi deforestasi menurut UU Kehutanan, disebut deforestasi ialah perubahan permanen areal berhutan jadi tak berhutan oleh kegiatan manusia. Supiandi Sabiham, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB mengatakan, sawit merupakan komoditas strategis dan terus berkembang di Indonesia. Kebutuhan dunia sangat tinggi terhadap minyak sawit.

“Muncul isu apakah sawit penyebab deforestasi dan degradasi? Pemicu deforestasi terjadi jauh sebelum masa kemerdekaan. Sejak zaman Belanda. Dilanjutkan dengan program transmigrasi,” katanya.

Deforestasi, katanya, terjadi pada 1905-1940, masa kolonial Belanda, lanjut program transmigrasi 1969. Sepanjang 1969-2000, sebanyak 3,09 juta keluarga ditempatkan, 8,94 juta hektar dibuka.

Lalu HPH dengan systematic logging mulai awal 1970-an dengan kecepatan deforestasi 0,6 juta hektar per tahun. Selama 1985-1997 deforestasi terjadi di Sumatera 6,7 juta hektar, dan Kalimantan 8,5 juta hektar.

Supiandi pakai istilah perkebunan swasta diundang untuk menyelamatkan hutan-hutan terdegradasi pad 1980-n. Lalu muncul sawit sesudah kerusakan hutan terjadi. Petrus Gunarso, Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), pernah jadi Direktur Keberlanjutan APRIL punya pandangan sama. Dia bilang, Indonesia dan Malaysia pemasok 85% minyak sawit dunia hingga terus ditodong bertanggungajwab dengan isu deforestasi, perubahan iklim, hak assi manusia dan lain-lain.

Penelitian dia, lahan perkebunan sawit Indonesia paling banyak dari konversi bekas perkebunan karet. Konversi itu karena harga jual getah terus merosot, harga tandan sawit naik. Ada juga dari hutan terdegradasi dan APL jadi bukan deforestasi.

Keterangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pun bilang, tak ada sawit di kawasan hutan. Padahal, hasil kerja KLHK sendiri pada beberapa bagian, seperti Direktorat Penegakan Hukum maupun Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, banyak menemukan sawit berada kawasan hutan bahkan, hutan lindung dan konservasi.

Chairil Anwar Siregar dari Litbang KLHK bilang sawit bukan penyebab deforestasi.

“Tak ada sawit dari hutan. Tarohlah kalau ada, paling banyak 4% dari luas hutan Indonesia. Mengapa masih disebut menyebabkan deforestasi? Itukan lucu, terlalu dibesar-besarkan. Mengada-ada,” katanya.


Segel KLHK di Kalteng, kala kebun sawit dibikin di hutan gambut habis terbakar. Foto: Sapariah Saturi

Pandangan para ilmuan itupun terpatahkan oleh ilmuan lain. “Masyarakat harus mencermati (penelitian) dengan baik, membaca laporan hasil penelitian itu lengkap. Apa yang disampaikan Yanto Santosa, hanya didasarkan pada beberapa lokasi. Itupun areal dalam bahan penelitian APL (alokasi penggunaan lain-red). Ya tentu saja kesimpulan demikian,” kata Togu Manurung, sama-sama dari Fakultas Kehutanan IPB.

Dia mengatakan, perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi itu bermain-main dengan definisi hutan berdasarkan FAO. Pernyataan itu, katanya, sangat kontroversial.

Dia bilang, harus melihat fakta, ada pembukaan kebun sawit di kawasan hutan lindung bahkan hutan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Giam Siak Kecil.

“Kita lihat di Taman Nasional Tesso Nilo, misal, 50% tutupan hutan habis oleh sawit. Belum lagi di Giam Siak Kecil. Itu tak terbantahkan, sudah jadi pengetahuan umum. Bagaimana suatu kawasan hutan bahkan hutan konservasi diokupasi ilegal dan dibangun perkebunan sawit,” katanya.

Terlepas dari soal apakah di kawasan hutan atau luar kawasan hutan, katanya, bisa jadi lebih 90% pembangunan sawit di Indonesia dari lahan yang tadinya ada tutupan hutan.

“Mengapa hanya penelitian di lokasi itu, padahal di Riau bisa dilihat juga ada perkebunan sawit dengan cara tebang habis pohon hingga menyebabkan deforestasi,” katanya.

“Jadi jelas tadinya ada tutupan hutan, lalu pada proses pembangunan melalui land clearing tebang habis, lalu ditanam sawit.”

Togu menyebut, di Riau, dia menemukan areal konsesi HPH kini jadi perkebunan sawit, dan berada di kawasan hutan. Fakta ini, katanya, jelas tak terbantahkan kalau perkebunan sawit salah satu penyebab deforestasi.

Masa lalu, katanya, operasi penebangan kayu jelas menyebabkan deforestasi. Tetapi, membangun perkebunan sawit dan hutan tanaman industri dengan cara menghancurkan hutan alam tropika basah dan tebang habis merupakan hal buruk.

“Dari ekosistem hutan tropika basah dengan keragaman hayati tinggi, termasuk jenis-jenis pohon, jika dirusak habis, akan mengakibatkan jasa lingkungan semula bernilai tinggi dan mahal, rusak. Jelas sekali merugikan lingkungan hidup dan berdampak buruk.”

Menurut dia, patut menjadi sorotan sebagai masalah lingkungan kala membuka sawit dengan membuka hutan . “Pertanyaan bersarnya, mengapa pembangunan perkebunan sawit tak dilakukan di lahan terbuka dan tak ada tutupan hutan? Misal eks HPH terdegradasi berat. Atau kawasan kritis seperti semak belukar.” Yang terjadi saat ini, perkebunan sawit banyak di areal hutan dengan tutupan padat dan ada kepentingan bisnis disana.

“Kawasan dicari yang ada hutan. Dengan begitu, mereka akan tebang habis pohon. Para pengusana sawit akan menerima rezeki nomplok. Sebelum sawit beroperasi, mereka bisa panen IPK kayu. Jadi sebelum investasi, mereka sudah untung duluan,” katanya.

Sisi lain, juga banyak pejabat daerah ikut bermain. Di Kalimantan Tengah, misal, sebelum ada aturan yang menarik kewenangan pengelolaan hutan ke provinsi, banyak bupati mendorong pelepasan kawasan hutan.

Belakangan, mereka meminta pemutihan investasi keterlanjuran hingga pengesahan rencana tata ruang tersendat.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut, rentang 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan alam 515.900 hektar akibat pembangunan perkebunan sawit. Sebanyak 63% atau 327.500 hektar terjadi di Kalimantan. Rinciannya, Kalbar 147.600 hektar, Kalteng 114.600 hektar, Kaltim 34.200 hektar dan Riau 32.400 hektar. Lahan-lahan yang digunakan perkebunan sawit ini sebagian besar dari lahan baik APL maupun hutan produksi dapat dikonversi (HPK). Setidaknya dalam 2009-2013, APL dan HPK menyumbang deforestasi 1,1 juta hektar dan 781.000 hektar.

Guru Besar Manajemen Hutan IPB Herry Purnomo juga tak sepakat bahwa perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi. Menurut dia, generalisasi seperti itu tak benar dan merugikan industri sawit itu sendiri.

“Banyak perkebunan sawit dikembangkan secara benar dan di lahan yang memang diperuntukkan untuk perkebunan. Namun banyak juga tidak benar dengan konversi hutan dan lahan secara ilegalyang bertentangan dengan keinginan mengembangkan industri sawit berkelanjutan. Menutup mata sawit yang tak beres akan membuat sawit yang baik akan tercemar,” katanya.

Menurut dia, semua pihak harus mendorong pengembangan sawit dengan benar. Saat sama, pengembangan sawit tak benar dan merusak lingkungan harus dikurangi tahap demi tahap. Keunggulan berkelanjutan, adalah jalan yang harus ditempuh sawit Indonesia. “Itu tugas bersama kita. Saya yakin kita bisa,” katanya. Dia mengatakan, pengembangan sawit di Indonesia mempunyai dua sisi. Pertama, berhasil menumbuhkan ekonomi Indonesia. Luas sawit Indonesia 11, 6 juta hektar, dengan 715 perkebunan dan 106 kilang sawit. Ekspor Indonesia setiap tahun Rp280 triliun.

“Itu nilai sangat besar, signifikan dalam ekonomi Indonesia dan menyerap jutaan tenaga kerja. Kita berkeinginan agar sawit berkelanjutan di Indonesia dan menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia.”

Kedua, kontestasi antar-berbagai penggunaan lahan, hutan dan perkebunan seperti sawit sangat tinggi. Pernyataan resmi pemerintah mengatakan, 2,5 juta hektar sawit di Indonesia terletak pada kawasan hutan.

“Kalau dikatakan hutan primer yang dikonversi hanya 1%, kalaupun itu benar bagaimana dengan hutan sekunder? Apakah hutan sekunder tidak penting?” Deforestasi, katanya, merupakan perubahan hutan jadi bukan hutan seperti kebun sawit. Untuk itu, mesti punya perspektif lebih komprehensif tentang tranformasi bentang alam. “Kita mesti sepakat mana yang bisa dikembangkan menjadi sawit dan mana harus tetap jadi hutan. Hutan dan sawit harus dikembangkan bersama-sama, karena keduanya sangat penting bagi keberlanjutan ekonomi, ekologi dan social.”

Peneliti CIFOR, David Gaveau tahun 2015 dalam publikasi di Nature.com menyatakan, laju konversi hutan (hutan primer dan sekunder) di Kalimantan tetap tinggi walaupun berkurang.

Pada 1990-an, 80% hutan yang dikonversi menjadi sawit dan HTI. Sedangkan pada 2015 berkurang menjadi 50%. Malaysia mempunyai profil lebih buruk dengan lebih tinggi prosentasi konversi hutan untuk pengembangan sawit.

David Gaveau dan peneliti lain dari CIFOR juga membuat Atlas untuk Borneo (Indonesia dan Malaysia) yang menganalisis deforestrasi dan penanaman di berbagai perusahaan baik untuk sawit maupun HTI secara online.

Dalam atlas itu terlihat, di Kalimantan, antara tahun 1973-2015 ada 4,3 juta hutan dikonversi jadi sawit dan HTI.

Herry juga mengutip penelitian lain oleh WB Aryono, mahasiswa pasca sarjana IPB. Dia memetakan perubahan tutupan lahan di Riau selama 25 tahun terakhir. Terlihat hutan berkurang dan sawit bertambah. Contoh, Riau, pada 1990, tutupan hutan sekitar 60%, pada 2016 jadi 25%. Tutupan lahan empat DAS di Riau tahun 1990 dengan 60% berhutan, tahun 2015 tinggal 25%.

Pada saat sama di Riau, sawit pada 1990 hanya 0,5 juta hektar berkembang jadi 2,4 juta hektar pada 2016. Sedangkan ilegal, terletak di kawasan hutan, jumlah ebih dari satu juta hektar.

“Saya berkeliling Taman Nasional Tesso Nilo, Hutan Lindung Bukit Batabuh, beberapa bekas HPH yang harusnya hutan namun sekarang sekitar 40% jadi sawit. Tim KLHK, KPK, kawan-kawan pemerintah daerah dan DPRD tahu ini dan berusaha memerbaiki keadaan. Banyak keterlanjuran-keterlanjuran terjadi puluhan tahun yang harus kita selesaikan,” kata Herry.

Peneliti CIFOR lain, Jelsma dan Idsert melakukan penelitian pada 2016, di Rokan Hulu, Riau, menemukan pekebun kecil dengan lahan kecil lebih banyak terletak di bukan hutan. Sedangkan pekebun kecil dengan areal lebih besar banyak di kawasan hutan.

Related Article

id_IDID