Madani

Tentang Kami

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam LTS-LCCR

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam LTS-LCCR

LTS-LCCR atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience merupakan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim. Dokumen LTS-LCCR memuat arahan atau visi jangka panjang yang memandu peningkatan ambisi mitigasi iklim dalam NDC-NDC selanjutanya hingga tahun 2050.

Ambisi dalam LTS-LCCR leih tinggi dibandingkan dengan ambisi pada update NDC 2030. Untuk sektor energi, pengembangan BBN untuk transportasi dan pembangkit listrik menjadi arahan umum LTS-LCCR, di sektor transportasi (target 2050) penggunaan BBN untuk transportasi mencapai 46% dan energi listrik untuk kendaraan listrik mencapai 30%.

Biofuel diproyeksi akan berperan penting dalam mitigasi gas rumah kaca di sektor pembangkit listrik. Kapasitas pembangkit listrik bahan bakar nabati (skenario paling ambisius) yakni 14 GW pada 2050. 

Perlu menjadi catatan bahwa LTS-LCCR menyadari bahwa strategi penggunaan BBN memiliki dampak negatif pada ketahanan pangan dan ekspansi lahan. Untuk itu, LTS-LCCR merekognisi adanya kebutuhan memproduksi BBN dari sumber-sumber yang berkelanjutan.

Related Article

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Bahan Bakar Nabati (BBN) masuk sebagai tahapan terakhir dari pencapaian. Teradapat tujuh target agenda prioditas pembangunan pada RPJMN 2020-2024, pengembangan BBN sendiri masuk pada agenda Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan.

Pengembangan BBN menjadi salah satu strategi pembangunan rendah karbon. Pengembangan BBN sendiri melalui produksi Biodiesel dan Green Fuel. Kapasitas produksi bahan bakar nabati berbasis sawit dipenuhi melalui pemberdayaan perkebunan sawit rakyat.

Dalam target RPJMN 2020-2024, bauran EBT mencapai 23% hingga 2024, pemanfaatan BBN Domestik mencapai 17,4 kiloliter hingga 2024, dan pembangunan energi terbarukan green fuel berbasis kelapa sawit menjadi proyek prioritas strategis (major project).

Related Article

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam Peta Jalan NDC Indonesia

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam Peta Jalan NDC Indonesia

NDC Atau Nationally Determined Contribution merupakan dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).


Peta Jalan NDC Indonesia memuat rincian strategi pelaksanaan aksi mitigasi untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dalam NDC. Sektor Hutan dan Lahan (FOLU) dan energi akan menjadi fokus pengurangan emisi untuk mencapai target NDC 2030.

Target penurunan emisi dari sektor energi pada tahun 2030 adalah sebesar 11%. Salah satu strategi dari sektor energi adalah penggunaan bahan bakar Nabati menjadi bagian dari energi baru terbarukan (EBT) di sub sektor: industri, power, dan transportasi.

Subsitusi BBM ke BBN (biofuel) adalah strategi utama untuk penurunan emisi di sektor transportasi.

Related Article

Begini Konsep Biofuel Berkelanjutan

Begini Konsep Biofuel Berkelanjutan

Indonesia sesumbar bahwa pengembangan sektor energinya lebih ambisius ketimbang negara lain di dunia. Pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT Perubahan Iklim COP26 Glasgow mengklaim Indonesia sudah jauh melangkah dalam memanfaatkan energi baru terbarukan.

Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean energy termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, di Kalimantan Utara,” mengutip isi pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT COP26 Glasgow Senin, 1 November 2021. 

Indonesia mendapatkan sumber biofuel dari minyak kelapa sawit. Kebijakan mandatori  biodiesel misalnya, berlangsung progresif di mana sejak 2008 Indonesia menargetkan 20% bauran energi di tahun 2025. Realisasi bauran  minyak sawit 20% (B20) pada 2018 dan B30 di tahun 2020. Melansir siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI dalam “Refleksi Industri Sawit 2020 dan Prospek 2021” menyebut tahun 2020 konsumsi biodiesel naik dari tahun 2019 seiring dengan perubahan kebijakan dari B20 menjadi B30. Total konsumsi tahun 2020 sebesar 17,35 juta ton (merupakan konsumsi domestik) naik 3,6% dari tahun 2019 (16,75 juta ton). 

Bahan bakar nabati ini digadang-gadang mampu memenuhi ambisi target iklim Indonesia.  Dominasi feedstock minyak sawit dianggap bernilai lebih ketimbang sumber feedstock lain. “Ketika kita punya kebijakan biodiesel yang progresif itu akan menekan risiko kebutuhan lahan lebih banyak,” ungkap Kepala kajian ekonomi lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia Dr. Alin Halimatussadiah dalam Workshop Menelaah Potensi Bahan Bakar Nabati Indonesia, Selasa, 16 November 2021. 

Laporan Studi: Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan, LPEM FEB UI 2020 (asumsi tidak ada peremajaan/replanting) menemukan risiko ekspansi lahan dari kebijakan biodiesel (B20, B30, B50) membutuhkan 3% lahan (skenario 1/B20), 39% lahan (skenario 2/B30), dan 70% (skenario 3/B50).  Skenario 3/B50 misalnya, butuh ekspansi lahan seluas 5,19 juta ha (2019); 1,69 juta ha (2020); 1,30 juta ha (2021) dan 1,11 juta ha (2022). 

Proyeksi ekspansi lahan sawit demi realisasi ambisi iklim Indonesia juga disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM Arifin Tasrif. “1 juta barel per hari minyak itu kalau mau ganti ke CPO, kita butuh 15 juta ha kebun CPO baru. Itu hasil kajian dari kita,” ucap Arifin  dalam rapat dengan Komisi VII DPR (bidang energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup), Senin, 23 November 2020.  15 juta ha, fantastis bukan? Seluas tiga pulau di Indonesia (Jawa, Bali, dan Lampung) atau setara dengan 227 luas wilayah ibukota negara!

Indonesia memiliki target sektor energi biofuel 46% di tahun 2050. Kebijakan yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/ LTS LCCR  2050 ini mengutamakan sektor transportasi. 

Karena memang pilihannya itu sulit. Kita mau ga mau pakai biofuel untuk mencapai NZE. Karena electric vehicle/EV tidak bisa digunakan untuk semua jenis transportasi. Risikonya di sektor kehutanan,” ungkap Alin, perempuan penerima gelar doktoral UI bidang ekonomi sumber daya alam dan lingkungan pada 2013 ini. 

Pasok Feedstock Alternatif dari Lahan Tersisa

Sawit bukan satu-satunya sumber bahan bakar nabati/BBN nasional. Yayasan Madani Berkelanjutan misalnya menawarkan untuk mencari bahan baku energi yang tidak hanya rendah karbon tapi juga ramah lingkungan. GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal mengatakan terdapat dua potensi lahan untuk pengembangan feedstock BBN berkelanjutan. Pertama, potensi ketersediaan lahan. Terdapat 2,27 juta ha lahan di luar hutan dan di kawasan hutan (hutan produksi tetap dan hutan produksi yang bisa dikonversi).  

Sederhananya kawasan itu coba kita pilah berdasarkan aspek ekologis (hutan alamnya, gambut, habitat lebih dari 15 flora dan fauna), kita keluarkan juga izin yang konsisting. Coba kita keluarkan dari aspek perlindungan hutan dan lahan yang diusung pemerintah. Terakhir fokus pada tutupan lahan yang memang mungkin diusahakan (pemukiman misalnya). Kami keluarkan dari analisis ini sehingga meliputi tutupan lahan yang mungkin seperti semak, semak belukar, savana, tanah terbuka,” papar Fadli dalam Workshop “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati,” Rabu, 17 November 2021. 

Fadli mengatakan dari pemilahan tersebut tersisa 2.269.318 ha dari luasan yang ada yaitu 138.396.905 ha. Luasan ini tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Papua. Dari akumulasi lahan tersedia di tiap provinsi Jambi memiliki lahan terluas yaitu 371 ribu ha lahan tersedia/tersisa. Ini menjadi acuan Madani untuk menggali komoditas lokal yang ada di wilayah terpantau. 

Dari komoditi eksisting daerah yang dihimpun dari BKPM 2012-2017 dengan produksi di atas 20 ton per tahun terdapat Kelapa (969,278 ha), ubi kayu (913,130 ha), Ubi jalar (912,469 ha), Jagung (912,228 ha), Pinang (574,705 ha), Aren (538,819 ha), Tebu (172,880 ha), Jarak (100,745 ha). Meski begitu, Fadli mengatakan butuh penelitian lebih lanjut terkait dengan kecocokan lahan dengan jenis komoditas eksisting. 

Kedua, optimalisasi lahan di dalam izin sawit. “Melihat izin sawit yang ada saat ini dan bagaimana sisa lahan yang belum menjadi sawit bisa dioptimalkan jika memang pilihannya mengembangkan sawit untuk biodiesel,” kata Fadli. 

Madani mencatat data luas izin/usaha sawit eksisting per 2020 terdapat 22.219.508 ha izin sawit. Dengan menggunakan metodologi serupa maka ditemukan lahan tersisa seluas 1.162.648 ha luas lahan di dalam izin sawit. Temuan ini relatif menyebar. Dari akumulasi lahan tersisa di tiap provinsi, Kalimantan Timur memiliki lahan tersisa paling luas yaitu 470 ribu ha. Dari sisa luasan tersebut terdapat tumpang tindih izin, tertinggi tumpang tindih dengan minerba sebesar 264.591 ha. Dari luasan tumpang tindih perizinan inilah Madani memilah dan menghitung lagi hingga tersisa 613 ribu ha. Angka tersebut meliputi 287,021 ha (belum terdata), 167,434 ha IUP, 85,836 ha HGU, 73,322 ha ILOK, 20 ha hak milik. 

Terdapat potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan feedstock BBN selain sawit. Meskipun memang itu harus kita telaah lebih dalam lagi terkait kecocokan tanah dengan komoditasnya. Pilihan kedua jika memang sawit menjadi pilihan pengembangan feedstock BBN maka tata kelola adalah hal yang paling pertama yang harus kita perhatikan bersama,” pungkas Fadli mengakhiri presentasi.  

Libatkan Pekebun Mandiri, Topang dengan Instruksi Pemerintah

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 menetapkan luas tutupan kelapa sawit Indonesia tahun 2019 adalah 16.381.959 ha. Proporsi kepemilikan tersebut meliputi 41% (6,72 juta ha) perkebunan rakyat, 53% (8,68 juta ha) perusahaan swasta, 6% (0,98 juta ha) milik BUMN/pemerintah. Prosentase tersebut menunjukkan pentingnya peran pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok sawit nasional sebagai penyokong kebijakan biodiesel berkelanjutan. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian juga menunjukkan kontribusi pekebun mandiri kelapa sawit mencapai 2.740.747 KK (2019)

Dalam Working Paper 3-2020 “Rantai Pasok CPO Pekebun Mandiri Dalam Tata Niaga Biodiesel,” Traction Energy Asia mengasumsikan jika setiap rumah tangga pekebun mandiri kelapa sawit mempekerjakan 2 orang, maka kegiatan tersebut berpotensi menyediakan lapangan pekerjaan bagi 5.481.494 orang. Traction Energy Asia juga mendorong transparansi dan keterlacakan  rantai pasok biodiesel yang digunakan dalam bauran energi. Hal ini penting sebagai upaya memastikan bahwa kebijakan biodiesel benar-benar menggunakan feedstock minyak sawit yang rendah emisi. Caranya dengan melibatkan pekebun mandiri kelapa sawit ke dalam rantai pasok biodiesel. 

Studi Traction Asia menemukan karakteristik pekebun mandiri kelapa sawit adalah pekebun yang memiliki lahan kurang atau sama dengan 5 hektare, produktivitas rendah (kurang dari 3 ton per hektare setiap panen), pendidikan maksimal SMA, belum menggunakan bibit bersertifikat, tidak rutin mengelola dan merawat kebun , masih bergantung kepada tengkulak (dalam menjual produk/TDS), memiliki usaha sampingan. 

Langkah kemitraan perusahaan dengan pekebun mandiri kelapa sawit memiliki keuntungan bagi keduanya, termasuk bagi negara. Pekebun mandiri mendapat kepastian pasar, harga jual stabil, dan meningkatkan kesejahteraan. Sebaliknya perusahaan mendapat pasokan bahan baku tanpa harus membuka lahan baru, menjadi portofolio yang menguatkan kredibilitas perusahaan dalam mendukung energi lestari. Selain itu kemitraan ini juga berpeluang menyasar segmen market yang peduli pada isu lingkungan dan kesejahteraan. Apalagi, pasar global saat ini, utamanya Uni Eropa menetapkan batas perdagangan hanya kepada perusahaan yang mendukung kebun sawit berkelanjutan. 

Lantas, apa relevansinya kemitraan tersebut bagi negara? Working paper Traction Energy Asia mengungkap pemerintah bisa menjalankan program sawit dalam kebijakan biodiesel secara inklusif dan rendah emisi. Ini bisa dicapai bila negara berani menerbitkan peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan biodiesel hanya membeli minyak sawitnya dari perusahaan yang bermitra dengan pekebun mandiri kelapa sawit. 

Langkah ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan Pak Jokowi dalam peresmian implementasi program biodiesel 30 persen (B30) di SPBU Pertamina 31 – 128.02 Jalan M.T. Haryono, Jakarta, Senin, 23 Desember 2019, “Penerapan B30 akan menciptakan permintaan domestik CPO yang sangat besar, selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani, pekebun kelapa sawit kita.” 

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan: Perlu Peta Jalan Bahan Bakar Nabati untuk Kurangi Emisi Karbon Indonesia

Yayasan Madani Berkelanjutan: Perlu Peta Jalan Bahan Bakar Nabati untuk Kurangi Emisi Karbon Indonesia

[Madani News] Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indarto mengatakan bahwa untuk membuat bahan bakar nabati (BNN) mampu memenuhi komitmen iklim maka perlu dibuatkan road map (peta jalan) BBN dalam upaya mengurangi emisi karbon. Hal ini diungkapkan Giorgio atau yang akrab disapa Jojo dalam webinar “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia”, pada Selasa, 16 November 2021 yang bekerjasama dengan Mongabay Indonesia.

Madani mengajak semua pihak yang berbicara BBN agar BBN tidak dijadikan alat untuk dikatakan sebagai solusi palsu. Madani ingin mengatakan apapun solusinya selama dapat dipikirkan secara tepat, ia mampu menjadi solusi,” kata Giorgio.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sampai 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai 41 persen dengan dukungan internasional. Untuk itu, menurut Giorgio, Indonesia semestinya tidak hanya bergantung pada BBN yang berbahan dasar minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

BBN tidak hanya biodiesel, kalau hanya biodiesel, makna BBN menjadi sempit, akhirnya BBN sulit menjadi solusi perubahan iklim yang sesungguhnya. Dan agak pilih kasih ketika hanya membicarakan satu komoditas,” katanya. 

Selain bahan baku BBN yang masih berfokus pada CPO, Giorgio juga memandang perluasan penggunaan BBN di dalam negeri masih menghadapi masalah berupa harga yang mahal sehingga belum mampu bersaing dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). 

Kita harus mencari bagaimana BBN bersaing dengan minyak bumi. Sekarang tanpa insentif BBN lebih mahal, orang tidak mau membeli,” kata Giorgio.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber seperti Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI), Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM Universitas Indonesia, dan Sub Koordinator Supervisi Biofuel Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Herbert Hasudungan. 

Saksikan diskusi “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia” channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan bahan presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Apa itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?

Apa itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?

Sobat Madani, pernahkah kalian mendengar kata Biofuel atau bahan bakar nabati? Kalau pernah, apakah kalian tahu apa itu biofuel? Mungkin ada sebagian dari Sobat Madani yang mengetahuinya, tapi juga ada yang belum tahu atau bahkan sama sekali tidak mengetahuinya sama sekali. Lantas apa itu biofuel?

Secara umum, Biofuel adalah bahan bakar dari biomassa atau materi yang berasal dari tumbuhan dan hewan, namun lebih cenderung dari tumbuhan.

Biofuel itu sendiri dibagi menjadi beberapa jenis, yakni bioetanol, biodiesel, dan biogas. Pertama, Bioetanol. Bioetanol sendiri adalah alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, jagung, singkong, ubi, buah-buahan, hingga limbah sayuran. Untuk mendapatkan alkohol, tumbuhan di atas harus melewati proses fermentasi terlebih dahulu.

Kedua, Biodiesel. Biodiesel adalah bahan bakar yang terbuat dari minyak kedelai, minyak rapeseed (sejenis bunga), minyak buah jarak, hingga minyak bunga matahari. Di Hawaii, biodiesel terbuat dari minyak goreng bekas. Kalau di Jepang, biodieselnya terbuat dari minyak bekas dari restoran. 

Nah, kalau di Indonesia bahan bakar nabati kebanyakan dibuat dari bahan minyak sawit mentah. Alhasil, ekspansi lahan pun terjadi sehingga menyebabkan hutan di Indonesia berkurang signifikan demi memenuhi kebutuhan pembuatan bahan bakar nabati. Kasihan, ya, hutan Indonesia.  

Bukan hanya itu, biodiesel juga bisa dibuat dari minyak hewan, tapi kebanyakan negara di dunia membuatnya dari tumbuh-tumbuhan.

Ketiga, Biogas. Biogas adalah bahan bakar yang berasal dari hasil fermentasi sampah tumbuhan atau kotoran (manusia atau hewan). Saat difermentasi, sampah atau kotoran itu akan mengeluarkan gas. Nah, gas itulah yang disebut dengan biogas.

Biogas biasanya digunakan untuk menyalakan listrik atau kompor. Oiya, biogas jauh lebih bersih, daripada batu bara. Selain itu, energi yang dihasilkan lebih besar dan karbon dioksida yang dihasilkan juga lebih sedikit. Keren, kan?

Bagaimana biofuel dihasilkan?

Tahukah kamu, ada dua jenis utama bahan baku dari biofuel yakni yang dapat dikonsumsi dan tidak dapat dikonsumsi. Produk makanan manusia seperti gula, pati, atau minyak sayur dijadikan biofuel melalui metode konvensional yakni transesterifikasi (seperti yang telah disebutkan di atas). 

Biofuel juga dapat dihasilkan dari tanaman non pangan, limbah pertanian dan residu yang tidak dapat dikonsumsi manusia dengan menggunakan teknologi maju seperti hydrocracking. Pada proses ini bahan baku dipecah dengan adanya hidrogen dalam menghasilkan biofuel. 

Apakah Menurutmu Biofuel adalah Energi Alternatif yang baik?

Sebagai upaya mengatasi krisis iklim dunia, mengurangi bahkan menghentikan pemanfaatan energi fosil menjadi sebuah keniscayaan. Namun, banyak negara terlihat sulit untuk menghentikan pemanfaatan energi fosil karena efek ketergantungan yang sangat kuat. Misalnya, saja pada minyak bumi dan gas, bahkan pada batu bara yang harganya relatif murah. 

Kesulitan dalam mengatasi hal tersebut membuat banyak pihak menganjurkan untuk mengalihkan dan mengurangi pemanfaatan sumber energi dari bahan bakar fosil dengan memanfaatkan bahan bakar nabati. 

Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, biofuel seperti etanol menghasilkan karbon dioksida hingga 48 persen lebih sedikit daripada bensin konvensional sementara penggunaan biodiesel hanya melepaskan seperempat jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan diesel konvensional. Hal ini menjadi pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Nah, Sobat Madani, suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis, bukan. Bagaimana menurut kalian?

Sumber

  1. https://bobo.grid.id/read/081641874/apa-itu-biofuel-inilah-pengertian-biofuel-dan-jenis-jenisnya?page=all 
  2. https://www.smart-tbk.com/biofuel-sumber-energi-alternatif/ 

Related Article

Blog Competition: Temukan dan Ceritakan Bahan Bakar Nabati di Sekitarmu

Blog Competition: Temukan dan Ceritakan Bahan Bakar Nabati di Sekitarmu

Dalam upaya mengatasi krisis iklim dunia yang makin mengkhawatirkan, meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi bersih adalah cara terbaik yang harus dilakukan. Namun, berhenti memanfaatkan energi kotor seperti bahan bakar fosil, nyatanya tidak semudah membalik telapak tangan. Ketergantungan yang kuat pada sumber energi khususnya bahan bakar fosil menjadi salah satu penghambat sulitnya meninggalkan energi ini.

Demi melepas ketergantungan tersebut, perlahan-lahan dunia mulai mengurangi bahkan berani ke energi bersih. Salah satu langkah yang dilakukan untuk beralih ke energi tersebut adalah dengan memanfaatkan bahan bakar nabati atau biofuel. Secara umum, Biofuel adalah bahan bakar dari biomassa atau materi yang berasal dari tumbuhan dan hewan, namun lebih cenderung dari tumbuhan.

Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan biofuel sebagai salah satu langkah untuk mengatasi krisis iklim Indonesia. Oleh karena itu, Yayasan Madani Berkelanjutan mengajak publik untuk mencari lebih jauh informasi terkait biofuel atau bahan bakar nabati yang ada di sekitarnya untuk kemudian dibagikan kepada publik luas dalam bentuk tulisan yang ada di blog. Untuk itu, Madani mengadakan Blog Competition bertemakan “Temukan dan Ceritakan Bahan Bakar Nabati di Sekitarmu” untuk mengajak publik luas menggali lebih mendalam tentang Bahan Bakar Nabati.

Tema Blog Competition

Tema yang diangkat dalam Blog Competition ini adalah “Temukan dan Ceritakan Bahan Bakar Nabati di Sekitarmu”

Syarat Kepesertaan: 

  1. Blog adalah milik sendiri dan tidak boleh bermuatan politik, SARA pornografi atau konten lainnya yang melanggar Undang-Undang 

  2. Tulisan bukan merupakan plagiat dari tulisan orang lain.

  3. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

  4. Peserta dapat mengikuti lebih dari 1 artikel dalam 1 blog atas nama yang sama. Akan tetapi hanya 1 tulisan saja yang akan mendapatkan hadiah jika terpilih.

  5. Peserta wajib mengikuti akun media sosial Yayasan Madani Berkelanjutan: facebook: @madaniberkelanjutan, twitter: @yayasanmadani, Instagram: madaniberkelanjutan.id. 

  6. Mengisi formulir pendaftaran di tautan berikut ini: FORM PENDAFTARAN

  7. Pajak hadiah ditanggung pemenang

Syarat Kepenulisan:

  1. Peserta membuat tulisan dengan sub tema yang sudah ditentukan.

  2. Wajib menyertakan kajian, bacaan, atau materi Yayasan Madani Berkelanjutan yang tersedia di website madaniberkelanjutan.id.

  3. Memberikan hyperlink kajian yayasan madaniberkelanjutan.id pada kata biofuel atau bahan bakar nabati. 

  4. Panjang tulisan minimal 750 kata dan maksimal 1.500 kata disertai dengan media pendukung seperti foto, video, grafis, atau media pendukung lainnya yang tidak melanggar copyright.

  5. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau diikutsertakan pada kompetisi lain.

  6. Tulisan harus kreatif, positif, optimis, dan persuasif.

  7. Peserta wajib mempublikasi tulisan ke media sosial pribadi dengan menyebut (mention) akun media sosial Yayasan Madani Berkelanjutan: facebook: @madaniberkelanjutan, Instagram: madaniberkelanjutan.id, twitter: @yayasanmadani (optional), dan mencantumkan tagar #MadaniBerkelanjutan #IndonesiaTangguh 

  8. Yayasan Madani Berkelanjutan berhak mendiskualifikasi pemenang apabila karya yang dibuat merupakan plagiat atau tidak mendapat persetujuan dari subjek yang ditulis.

  9. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Waktu

Waktu kegiatan ini adalah di 4 Oktober – 1 November 2021

Kriteria Penilaian

  1. Kebaruan dari gagasan yang ditulis menjadi penilaian utama.

  2. Gaya penulisan yang menarik dan mudah dipahami pembaca.

  3. Referensi maupun media pendukung yang menarik.

  4. Best Enggagement akan dipilih berdasarkan pada like dan comment terbanyak pada tulisan yang telah tayang di akun Instagram peserta.

Hadiah

  1. Tiga Pemenang terbaik mendapatkan Uang Tunai Sebesar Rp 1 juta + Gift menarik

  2. Best Enggagement (komentar dan share terbanyak di instagram) mendapatkan Uang Tunai Sebesar Rp 1 juta + Gift menarik

  3. 20 tulisan pertama akan mendapatkan gift menarik dari Yayasan Madani Berkelanjutan

  4. Semua peserta yang mengikuti lomba akan mendapatkan e-sertifikat.

Pengumuman Pemenang

Pemenang Blog Competition akan diumumkan di IG Feed dan IG Story Madani pada 8 November 2021.

Sobat Madani, ayo ikuti lomba ini. Semoga kalian pemenangnya, ya. Selamat menulis!

Related Article

id_IDID