Madani

Tentang Kami

Perpres NEK Harus Mampu Melindungi Iklim, Hutan dan Meningkatkan Perekonomian Masyarakat

Perpres NEK Harus Mampu Melindungi Iklim, Hutan dan Meningkatkan Perekonomian Masyarakat

Pemerintah pada 29 Oktober 2021 telah mengesahkan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Upaya ini perlu untuk diapresiasi karena berperan penting dalam pencapaian komitmen iklim dan merupakan payung hukum untuk mencapai target penurunan emisi. 

Perpres 98/2021 ini menekankan bahwa Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan langkah untuk mendukung perlindungan masyarakat dari bencana iklim. Kami berharap Perpres NEK ini mampu berkontribusi melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan, termasuk iklim, hutan, sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat secara menyeluruh, serta dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat adat dan lokal terutama yang menjaga hutan,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memberikan sambutan pada Talkshow Antara Masyarakat Penjaga Hutan dan Nilai Ekonomi Karbon yang diselenggarakan pada 6 April 2022. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad saat menyampaikan kata sambutan pada Talkshow Antara Masyarakat Penjaga Hutan dan Nilai Ekonomi Karbon yang diselenggarakan pada 6 April 2022.

Hadir menjadi narasumber dalam Talkshow ini antara lain Agus Rusly, S.Pi., M.Si. (Kepala Subdit Dukungan Sumberdaya Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK), Dr. Joko Tri Haryanto (Analis Kebijakan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), Paul Butarbutar (Direktur Eksekutif METI/Co-founder IRID), dan Emmy Primadona (Koordinator Program Iklim, KKI-Warsi).

Apalagi hampir 40 ribu desa berada di sekitar atau tepi kawasan hutan (47%), sementara di dalam kawasan hutan hampir 4%. Harus diakui bahwa mereka dapat berperan penting dalam menjaga komitmen iklim Indonesia. Masyarakat ini harus dilibatkan secara aktif dan tidak hanya dijadikan elemen penerima manfaat saja, tetapi menjadi subjek,” tambah Nadia Hadad.

Emmy Primadona, Koordinator Program Iklim, KKI-Warsi, menambahkan bahwa banyak contoh baik di lapangan yang membuktikan bahwa Perhutanan Sosial terbukti mampu mereduksi emisi karbon melalui pengurangan laju deforestasi hutan. Contohnya seperti di Lanskap Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), di wilayah Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Pendanaan yang mereka dapatkan dari karbon mencapai Rp 1 miliar. Dari hasil kesepakatan pemuka dan masyarakat desa, dana tersebut dibelikan sembako dan dibagikan merata kepada 1.259 kepala keluarga yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Lindung Bujang Raba. “NEK menjadi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan dukungan pendanaan untuk digunakan membiayai kegiatan menjaga hutan sekaligus kegiatan sosial seperti beasiswa, panti jompo, patroli hutan, dan sebagainya,” kata Emmy Primadona. 

Lebih lengkap materi narasumber dalam Talkshow Antara Masyarakat Penjaga Hutan dan Nilai Ekonomi Karbon dapat diunduh di dalam lampiran berikut. 

Related Article

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Bahan Bakar Nabati (BBN) masuk sebagai tahapan terakhir dari pencapaian. Teradapat tujuh target agenda prioditas pembangunan pada RPJMN 2020-2024, pengembangan BBN sendiri masuk pada agenda Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan.

Pengembangan BBN menjadi salah satu strategi pembangunan rendah karbon. Pengembangan BBN sendiri melalui produksi Biodiesel dan Green Fuel. Kapasitas produksi bahan bakar nabati berbasis sawit dipenuhi melalui pemberdayaan perkebunan sawit rakyat.

Dalam target RPJMN 2020-2024, bauran EBT mencapai 23% hingga 2024, pemanfaatan BBN Domestik mencapai 17,4 kiloliter hingga 2024, dan pembangunan energi terbarukan green fuel berbasis kelapa sawit menjadi proyek prioritas strategis (major project).

Related Article

Literasi Keuangan: Green Banking atau Greenwashing?

Literasi Keuangan: Green Banking atau Greenwashing?

Krisis iklim telah menjadi isu global. Hampir semua pihak tidak ada yang menyangkal bahwa krisis iklim telah banyak menimbulkan bencana ekologi. Bencana ekologi akibat krisis iklim ini sudah mengganggu pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Tak heran bila sektor bisnis mulai mencitrakan dirinya sebagai bagian dari pihak yang mendorong pengurangan gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim.

Salah satu sektor bisnis yang mengidentikan perusahaannya berperan mendorong penurunan GRK itu adalah perbankan. Saat ini di dunia perbankan muncul istilah green banking. green banking adalah upaya perbankan untuk menjaga lingkungan hidup melalui penyaluran kredit atau kegiatan operasionalnya. Bank memang tidak secara langsung terkait dengan kegiatan perusakan alam, seperti perkebunan, pertambangan atau industri lainnya. Namun perbankan tidak lantas dapat dilepaskan dari persoalan meningkatnya kerusakan alam. Kebijakan bank dalam memberikan pinjaman atau pembiayaan dapat menjadi pemicu bagi kegiatan-kegiatan yang berdampak pada lingkungan.

Terkait dengan itulah, bank yang mengidentikan dirinya dengan green banking harus hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Apakah kreditnya disalurkan ke industri yang ramah ligkungan atau justru industri yang merusak alam?

Hampir kita semua menjadi nasabah perbankan. Namun, hampir kita semua tidak tahu kemana uang kita di bank digunakan.  Pertanyaan berikutnya adalah darimana kita bisa memperoleh informasi sebuah bank masuk dalam kategori green banking?

Bila bank, tempat kita menyimpan uang, sudah terdaftar di bursa saham, kita akan lebih mudah mendapatkan informasi terkait dengan kemana saja uang kita dipinjamkan. Apakah uang kita dipinjamkan ke industri yang ramah lingkungan hidup atau sebaliknya mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.

Pertama, kita bisa mendapatkan informasi di Annual Report Bank (AR). Annual Report (AR) adalah ringkasan keuangan dari aktivitas perusahaan dalam periode satu tahun. Di dalam AR juga tercantum analisis manajemen tentang kondisi keuangan saat ini dan rencana masa depan. Siapa pengguna eksternal? Pengguna eksternal adalah seseorang yang tidak mengelola atau bekerja untuk sebuah perusahaan dan mereka hanya memanfaatkan informasi keuangan perusahaan tersebut.

Kedua, kita juga bisa mendapatkan informasi di Sustainability Report Bank atau  Laporan Keberlanjutan.  Sustainability Report Bank merupakan laporan yang berisi informasi kinerja perusahaan pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial yang dilakukan dalam periode satu  tahun. Selain untuk pemegang saham, laporan ini juga ditujukan pada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan yang disampaikan secara transparan.

Penyusunan Sustainability Report Bank biasanya juga bertujuan untuk mengkomunikasikan komitmen perusahaan dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Sustainability Report Bank juga dapat memberikan gambaran yang lebih luas dan terbuka pada seluruh pemangku kepentingan tentang kegiatan pembangunan berkelanjutan yang telah dilakukan oleh perusahaan.

Biasanya, Sustainability Report dan Annual Report disusun dalam waktu yang bersamaan, meski nantinya disajikan dalam dua laporan yang terpisah. Namun, informasi di Sustainability Report dan Annual Report seringkali berisi klaim sepihak dari pihak bank. Terkait itu kita perlu mencari informasi lain.

Ketiga, kita bisa mencari informasi di Media Massa. Biasanya sebuah bank memiliki tim media relation yang selalu mengupdate informasi ke media. Tak jarang informasi itu terkait dengan dukungan pendanaan bank tersebut ke sebuah proyek pembangunan.

Keempat, bila kebetulan bank kita adalah BUMN, kita juga bisa mencari informasi dengan cara meminta Informasi Publik dengan Payung Hukum UU KIP. Kita bisa mengajukan permohonan informasi tentang kemana uang nasabah dipinjamkan. Misalnya kita bisa bertanya, berapa persen uang nasabah yang dipinjamkan ke proyek energi kotor seperti batubara. Meskipun dalam Pasal 1 UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), definisi Badan Publik tidak menyebutkan secara eksplisit BUMN/BUMD, tetapi definisi tersebut menyebutkan bahwa badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari APBN/APBD. BUMN/BUMD adalah Badan Publik yang termasuk dalam pengertian ini.

Dalam beberapa kejadian, seringkali informasi yang diterbitkan secara resmi oleh pihak bank berbeda dengan informasi di luar bank tersebut. Sebagai contoh, dalam informasi remsinya di Sustainability Report dan Annual Report, sebuah bank mengklaim mendukung proyek ramah lingkungan hidup, tapi fakta di lapangan justru bank tersebut terlibat dalam pembiayaan proyek yang tidak ramah lingkungan. Jika itu yang terjadi bukan lagi green banking tapi greenwashing.

Greenwashing merupakan bentuk praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu. Perusahaan seolah-olah telah menjalankan praktik usaha yang ramah lingkungan. greenwashing ini bisa menyesatkan konsumen. Realita di lapangan tidak seindah kata-kata, mungkin itulah salah satu rangkaian kalimat untuk menggambarkan praktik greenwashing.

Dalam Sustainability Report BNI  di 2020 misalnya, bank tersebut menyatakan memiliki komitmen mengimplementasikan keuangan berkelanjutan, yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi emisi GRK. Padahal, dalam laporan Urgewald, sebuah lembaga yang berbasis di Jerman, BNI terbukti sebagai salah satu dari enam bank di Indonesia yang masih memberikan pinjaman ke perusahaan batu bara.

Padahal, batubara adalah salah satu energi fosil yang sangat merusak. Kerusakan yang diakibatkan oleh batubara bukan hanya terkait dengan lingkungan hidup, namun juga kesehatan. Rentang kerusakan alam akibat batubara terbentang dari penambangan hingga pembangunan PLTU. Lauri Myllyvirta, aktivis Greenpeace International mengatakan, penggunaan batubara menyebabkan 60 ribu orang Indonesia meninggal tiap tahun. Donna Lisenby, Koordinator Kampanye batubara Global Waterkeeper Alliance, mengatakan, dari 26 persen bayi lahir di sekitar tambang batubara berpotensi cacat.

Terkait dengan krisis iklim, emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim

Terkait dengan itulah, tak heran komunitas fossil free kampus di Indonesia, yang dimotori fossil free UI dan UGM, membuat petisi di https://www.change.org/GaPakeNanti. Dalam petisi itu, anak-anak muda kampus  mendesak BNI segera menghentikan pendanaan ke energi batu bara. Petisi itu dilatarbelakangi oleh janji bank BUMN tersebut di Sustainability Report yang akan ikut mendukung penurunan GRK.

Singkatnya, di tengah naiknya isu lingkungan hidup, sebuah bank bisa mengklaim secara sepihak sebagai green banking. Kita sebagai konsumen harus kritis apakah klaim green banking itu sebenarnya adalah bentuk lain dari greenwashing. Untuk itulah diperlukan sebuah literasi keuangan agar kita sebagai konsumen tidak menjadi korban dari penyesatan informasi terkait green banking ini.

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Hasil COP26 tak memuaskan bagi pencapaian target dunia untuk keluar dari Krisis Iklim. Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret yang bisa berkontribusi bagi bumi. Dengan semangat kolaborasi dan pelibatan aktor non pemerintah, langkah konkret akan lebih mudah diimplementasikan. 

Jakarta, 18 November 2021. Conference of the Parties ke-26 (COP26) UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, telah berakhir pada 13 November 2021. Pertemuan itu menghasilkan Pakta Iklim Glasgow, namun belum memuaskan banyak pihak. Usaha untuk menyelamatkan bumi dari Krisis Iklim, perlu melibatkan banyak pihak agar kerja menyelamatkan bumi lebih konkret, bisa dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan. 

COP26 menghasilkan Pakta Iklim Glasgow. Poin-poin penting dari Pakta Iklim Glasgow antara lain, mengakui bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara selama ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet, tidak cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri. Kedua, secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil, utamanya batu bara. Ketiga, penegasan akan perlunya komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim. 

Namun, untuk bisa keluar dari Krisis Iklim dan mencegah dampak yang lebih besar di masa depan, hasil COP26 ini memang masih jauh dari harapan dan dinilai masih mengecewakan. Menurut Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, COP26 memang memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Tapi implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Menurut Dewi, Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim. “Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujarnya. NDC adalah dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. Dalam COP26 ditekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Peran NPS (non-party stakeholders) seperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, swastas, harus dibuka. Agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan. “Kuncinya semua sektor harus dilibatkan,” kata Dewi.  

Utamanya sektor energi.  Salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara. Dalam Pakta iklim Glasgow, gagal menghentikan penggunaan batubara secara penuh. Batu bara selama ini adalah penyebab karbon yang memicu pemanasan global. Pada menit-menit akhir penandatanganan draf kesepakatan, India dan Cina melobi untuk melemahkan penghentian secara penuh itu. Kedua negara itu bersikeras menghapus kata “menghentikan” penggunaan batubara dan menggantinya dengan kata “mengurangi” secara bertahap.

Masalah bantuan dana dari negara-negara maju juga berpengaruh bagi Indonesia. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, secara akumulatif Indonesia butuh dana sebesar Rp3.779,63 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2030. Dari biaya adaptasi iklim sebanyak Rp3.779,63 triliun itu, pos paling besar adalah sektor transportasi dan energi. Porsinya sebesar 92 persen atau sekitar Rp3.500 triliun. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya. 

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Tahun 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton, atau 102 persen dari target. Hal ini menunjukkan, dari sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan. 

Batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Fabby menjelaskan, batu bara kontribusi 40 persen pada emisi global. Indonesia memiliki kemajuan dengan rencana akan mempensiunkan dini beberapa PLTU (pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang memakai batu bara. “Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” kata Fabby. 

Langkah peralihan ini bisa dimulai dengan melakukan disinsentif pada sektor yang bergantung pada energi batu bara. Sektor transportasi juga perlu beranjak dari energi fosil. Agar bumi tak makin kotor karena emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Di sisi lain, Pemerintah perlu  memberikan insentif pada sektor yang menggunakan energi ramah lingkungan. Sehingga, penggunaan energi hijau makin banyak yang batu bara makin dijauhi. 

COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam. “Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Selain itu, Nadia juga mendorong pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa, dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia. Selain itu, penting untuk mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial. Langkah ini mempunyai potensi untuk berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi restorasi gambut, terutama di area izin dan konsesi serta pemulihan mangrove yang menjadi target pemerintah pada 2021-2024.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin, melalui pencegahan karhutla, manajemen gambut, Moratorium Hutan Alam dan Gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum (law enforcement). Untuk mencapai target net sink FOLU 2030, maka dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah, termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan. “Selain itu, Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki safeguards yang kuat agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tambah Nadia Hadad.

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup dan masyarakat Adat Dayak menjelaskan, COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. “Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka,” ujarnya.  

Menurut Belai, partisipasi kaum muda dalam aksi iklim perlu didefinisikan ulang. Apakah hanya sekadar konsultasi atau sampai ikut terlibat dalam kepemimpinan.  Keterlibatan kaum muda perlu dilembagakan secara nasional. Agar masukan dari kaum muda diperhatikan secara nasional. “Dewan nasional ini  perlu agar anak muda memiliki perwakilan suara yang resmi,” kata Belai. Kerja-kerja itu harus diturunkan dalam aksi yang konkret, detail, dan transparan. Agar tak ada lagi isu ketidak percayaan  dalam kerja-kerja aksi iklim. 

Hasil kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow, tentu akan sia-sia jika hanya digubris oleh para pemerhati iklim. Kepedulian sekecil apapun wujudnya, akan turut membantu memperbaiki bumi.  Mulai mengurangi konsumsi energi atau sekadar mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Kini sudah waktunya bagi kita bergerak menyelamatkan bumi #TimeforActionIndonesia

* * *

Tentang Komunitas

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan. 

Kontak yang bisa dihubungi:

Luluk Uliyah (MADANI): email  luluk@madaniberkelanjutan.id kontak: +62 815-1986-8887

Dewi Rizki (KEMITRAAN): 08118453112

 

Related Article

Krisis Iklim dan Buruknya Tata Kelola Lingkungan

Krisis Iklim dan Buruknya Tata Kelola Lingkungan

Baru-baru ini di media sosial beredar video mengenai banjir bandang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, banjir juga terjadi di Gorontalo, Sulawesi. Di saat yang hampir bersamaan, banjir bandang juga melanda Aceh Utara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menyatakan sebanyak 1.853 jiwa mengungsi di dua titik pengungsian karena banjir melanda daerah itu. Bahkan banjir sudah menjadi ritual tahunan di Ibukota Jakarta.

Pada 2020, banjir yang menenggelamkan Ibukota di awal tahun 2020.  Data Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa hingga 2 Januari 2020 pukul 12.00 WIB, sebanyak 35.557 orang di wilayah Jakarta yang mengungsi. 

Bencana ekologi kini seakan menjadi bagian dari keseharian kita. Banjir, tanah longsor, kabut asap, pencemaran air dan udara sering terjadi di negeri ini. Tak terhitung banyaknya jumlah korban yang berjatuhan akibat bencana ekologi itu.

Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Di Indonesia, bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim. Bencana ekologi itu disebabkan oleh perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari hancurnya daya dukung ekologi di Ibukota. Hancurnya daya dukung ekologi itu adalah dampak dari kebijakan kebijakan pembangunan yang sudah bertahun-tahun. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan oleh maraknya alih fungsi daerah resapan air menjadi kawasan komersial. Hilangnya daerah resapan air ini akan memperbesar volume air larian (run off). Semakin besar volume air larian, akan semakin memperbesar kerentanan kota ini dari banjir. 

Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan setiap 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007).

Pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta. Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Namun, di kawasan itu kini telah muncul  berbagai kawasan komersial. 

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi kawasan komersial. Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.

Kehancuran alam yang menyebabkan bencana ekologi tidak hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis.  Meningkatnya bencana ekologi salah satunya disebabkan karena laju deforestasi di Indonesia mencapai 750.00 hektar per tahun. Namun, kemampuan pemerintah rehabilitasi hutan dan lahan hanya 250.000 hektar per tahun hingga ada kesenjangan angka 500.000 hektar per tahun, yang terus berlipat setiap tahun.

Seperti halnya di Kalimantan, kehancuran hutan di Sumatera juga sangat massif. Di Provinsi Jambi, luas hutan di wilayah yang semula mencapai 2,2 juta hektar kini hanya tersisa sekitar 500.000 hektar. Di Provinsi Lampung, sekitar 65 persen atau 650.000 hektar dari 1,004 juta hektar hutan dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan di Provinsi Aceh juga meningkat. Di provinsi itu, sejak 2006 kerusakan hutan rata-rata 32.200 hektar per tahun.

Menurut data Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, kehancuran hutan Indonesia kira-kira seluas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.

Namun data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) cukup melegakan. Data itu menyebutkan bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha.

Meskipun data dari KLHK menunjukan laju deforestasi mengalami penurunan, Laju deforestasi hutan primer Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Global Forest Watch, laju deforestasi Indonesia masih masuk daftar 10 terbesar di dunia pada tahun 2020. Indonesia menempati posisi keempat, diapit oleh Bolivia dan Peru. Pada tahun 2020, lahan hutan primer Indonesia tercatat berkurang 270 ribu hektare (ha). Bukan sebuah angka kecil bagi upaya menjaga keberlanjutan alam.

Jadi sudah sejak lama pemerintah tutup mata dalam tata kelola lingkungan hidup. Buruknya tata kelola lingkungan hidup yang sudah terjadi sejak lama itu kini berpadu dengan krisis iklim global. Akibatnya sudah bisa ditebak, sebuah bencana ekologi terjadi dengan tak terkendali.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis iklim itu. Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Sebagai warga negara dan juga pembayar pajak kita harus senantiasa mendesak para pemegang kebijakan di negeri ini untuk segera membenahi tata kelola lingkungan hidup yang carut marut. Kita harus menyuarakan ke para pemegang kebijakan itu bahwa, waktu yang penduduk bumi benar-benar makin terbatas untuk mengatasi krisis iklim. Tanpa pembenahan tata kelola lingkungan hidup, bencana ekologi akan menimpa kita semua dengan skala yang masif dan mematikan. 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Gelar Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan: Kita Harus Adil Terhadap Iklim

Gelar Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan: Kita Harus Adil Terhadap Iklim

[Madani News, 02/11/2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menggelar kegiatan Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System pada Kamis sampai Jumat, 28-29 Oktober di Provinsi Kalimantan Barat. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas OPD Provinsi Kalimantan Barat dalam melakukan manajemen penganggaran dan penentuan program prioritas hijau agar daerah dapat berperan dalam memobilisasi sumber-sumber pendanaan baik publik dan non-publik.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan bahwa pelaksanaan kegiatan ini sangat penting sebagai upaya non state aktor untuk berkolaborasi bersama pemerintah dalam mencapai target komitmen iklim Indonesia.

Kolaborasi antar stakeholder sangat penting di tengah kondisi krisis iklim saat ini. Kita harus berlaku adil, tidak hanya adil terhadap diri sendiri, tapi juga terhadap lingkungan dan juga iklim”, ujar Nadia Hadad.

Sependapat dengan hal itu, Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat , Ir.Sukaliman,MT juga menyebut pentingnya keadilan terhadap iklim. 

Sependapat dengan Ibu Nadia Hadad tadi, Kita perlu adil terhadap lingkungan, bukan kepada diri kita sendiri. Karena lingkungan ini bukan hanya milik kita tapi juga milik anak cucu kita nantinya”, ujar Sukaliman. 

Sukaliman juga menyampaikan pentingnya pelatihan Green Budget Tagging dan System Scoring yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan ini. “Sangat urgent kawan-kawan dari sekian OPD ini untuk mengetahui persoalan tagging untuk membiayai apa yang akan kita lakukan”, tambah Sukaliman. 

Diskusi Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Kalimanta Barat

Dalam pelatihan ini, hadir beberapa narasumber seperti Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rico Arya Radestya, S.E., M, Si., Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, dan Doddy Afianto, Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri.

Dalam pelatihan, Joko Tri Haryanto menyampaikan bahwa fungsi budget tagging itu adalah konsolidasi pendanaan. “Perlu kita pahami bahwa dana publik itu tidak cukup. Kalau di daerah menggantungkan dana publik, itu berat. Budget tagging ini juga memberikan perubahan paradigma karena jangan sampai kita menggunakan dana publik yang 30%. Kita harus gunakan dana dari 70% dari non state aktor,” ujar Joko. 

Rico Arya Radestya mengatakan Tugas kita mentagging ini adalah untuk mempertegas komitmen kita dalam peningkatan ekonomi hijau. 

Apa yang kita rencanakan itu harus menjadi dasar perumusan penganggaran. Gak mungkin ingin menurunkan emisi GRK 29% secara mandiri tapi tidak muncul di dokumen perencanaan dan penganggaran,” tegas Rico. [ ] 

Related Article

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

Yayasan Madani Berkelanjutan (Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan) adalah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif lokal dan nasional dalam menyelamatkan hutan untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak lingkungan dengan strategi menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan untuk mencapai solusi invoatif terkait tata kelola hutan dan lahan. 

Indonesia telah berkomitmen dalam penurunan emisi karbon dengan target 29%-41% dari level BAU pada tahun 2030 yang terefleksi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Target ini merupakan capaian Nasional yang tentunya perlu peran serta dari semua pihak termasuk para pemangku kebijakan dan masyarakat pada tingkat sub-nasional. Perlu adanya sinkronisasi metodologi, kelembagaan, dan perencanaan pembangunan antara nasional dan sub-nasional yang mendukung tercapaianya target penurunan emisi karbon di 2030. Hal ini menjadi peluang untuk memfasilitasi dan memobilisasi dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah, NGO dan kelompok muda untuk mengimplementasikan dan/atau mendorong peningkatan ambisi target dan aksi iklim di Indonesia.

Kami membuka kesempatan untuk bergabung dengan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai Program Assistant Perubahan Iklim dan Pembangunan Daerah Berkelanjutan untuk mengelola kegiatan-kegiatan program Yayasan Madani Berkelanjutan yang berkaitan dengan advokasi perubahan iklim secara menyeluruh termasuk namun tidak terbatas pada: 

BACA JUGA: Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Tugas dan Tanggung Jawab: 

1. Melaksanakan aktivitas program, mulai dari persiapan, pengelolaan dan perlibatan sumberdaya hingga pelaporan kegiatan. 

2. Mengelola Database program.

3. Terlibat dalam proses penyusunan proposal dan laporan program. 

4. Memberi masukan pada atasan terkait dengan pelaksanaan program sebagai bahan evaluasi dan perbaikan program ke depannya. 

5. Mengumpulkan data dan riset untuk event/program yang sedang ditangani. 

6. Mengikuti perkembangan kebijakan pemerintah yang terkait dengan program yang tengah ditangani, termasuk jadwal acara Rekan Pemerintah dan CSO yang relevan. 

7. Melakukan penyusunan, pengarsipan, serta diseminasi biweekly update report kepada Mitra dan Jaringan. 

8. Menjalin relasi dan komunikasi dengan Mitra dan Jaringan, termasuk Rekan Pemerintah. 

9. Mengumpulkan data dan informasi untuk membantu penyusunan analisis dan kajian Madani.

10. Meningkatkan kapasitas pribadi secara terus-menerus dan membantu peningkatan kapasitas organisasi.

11. Turut terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Madani dan mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan sesuai dengan perkembangan organisasi.

Kualifikasi

1. S1 semua jurusan, yang relevan dengan program yang ditangani

2. Memiliki pengalaman 2 tahun sebagai Program Assistant di bidang lingkungan khusunya isu terkait

perubahan iklim/kehutanan/lingkungan hidup/geografi

3. Memiliki pengalaman administrasi dan keuangan project

4. Menguasai Microsoft Office

5. Mampu berkomunikasi menggunakan bahasa inggris aktif dan pasif

6. Mampu bekerja dengan baik dalam tim, teliti dan kreatif

Harap kirimkan aplikasi anda dengan melampirkan CV dan Letter of Interest melalui email ke: rekrutmen@madaniberkelanjutan.id paling telat tanggal 12 November 2021 dengan subject: MDN – PA MADANI. 

Kami memberikan kesempatan kepada semua orang yang tertarik dan memenuhi syarat terlepas dari ras, jenis kelamin, disabilitas, agama/kepercayaan dan usia untuk mengirimkan aplikasinya.

 

Related Article

Sulitnya Posisi Delegasi Indonesia dalam COP26

Sulitnya Posisi Delegasi Indonesia dalam COP26

Pemerintah Indonesia mengklaim telah mempersiapkan para delegasi dan negosiator handal dalam perundingan iklim pada COP 26 UNFCCC di Glasgow November mendatang. Bahkan dalam siaran pers yang dipublikasikan dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri LHK, Siti Nurbaya menekankan kepada para Delegasi Indonesia untuk COP 26 agar menunjukkan kepada Dunia Internasional bahwa Indonesia sangat serius dalam penanganan pengendalian perubahan iklim yang terencana dan solid antar sektor.

Pertanyaan mendasarnya adalah benarkah pemerintah selama ini serius dalam pengendalian perubahan iklim? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi penting jika pemerintah ingin posisi tawarnya dalam COP 26 itu menguat. Sebaliknya, bila selama ini pemerintah ternyata tidak serius dalam melakukan pengendalian krisis iklim, posisi tawar para delegasi dalam negosiasi akan lebih sulit, karena para delegasi harus merangkai-rangkai cerita untuk membangun pencitraan seolah-olah pemerintah serius dalam pengendalian krisis iklim.

Salah satu indikasi keseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan mengendalikan laju penggundulan hutan (deforestasi). Hutan memang berpotensi menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Makin luas hutan yang hancur, makin banyak pula emisi GRK yang dilepas di atmosfer. Jika itu yang terjadi, bencana ekologi akibat krisis iklim akan semakin sering menghampiri kita. 

Salah satu kawasan hutan di Indonesia yang tersisa adalah di Papua. Celakanya, di Papua, laju deforestasi juga melonjak tajam. Data deforestasi hutan sejak tahun 1992 hingga tahun 2019 dari Yayasan Auriga Nusantara, seperti ditulis merdeka.com, mengungkapkan bahwa luas hutan alam yang hilang pada 2015-2019 mencapai 2,81 juta hektare. Angka deforestasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992. 

Seperti ditulis CNN Indonesia, KLHK mengakui bahwa pada era Presiden Jokowi menerbitkan 17 Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) pada 2015-2019 dengan luas total lahan 269.132 hektare. Namun, KLHK mengungkapkan bahwa hampir 100 persen deforestasi yang terjadi di 2015 berasal dari luar areal 17 SK PKH yang diterbitkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi selama periode 2015-2019.

Debat antara organisasi lingkungan hidup dan KLHK terkait deforestasi di Papua tidak bisa menghapus fakta bahwa telah terjadi penghancuran hutan besar-besaran di Papua, terlepas itu terjadi karena konsesi yang diterbitkan di era Presiden SBY atau Jokowi. Tugas pemerintah harusnya mencegah semaksimal mungkin terjadinya penghancuran hutan alam Papua yang tersisa itu.

Kurang seriusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan deforestasi ini nampak juga dengan masih seringnya pemerintah ’membunuh’ pembawa pesan pihak-pihak yang melontarkan kritik atas pengelolaan hutan dengan memberikan label tidak nasionalis. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit, yang tak jarang menghancurkan hutan, itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye perubahan iklim, tak lebih sebagai upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pihak-pihak yang mengkampanyekan perubahan iklim pun diberikan label sebagai antek asing.

Pengendalian emisi GRK bukan hanya dari sektor kehutanan namun juga sektor energi. Indonesia tercatat sebagai pengekspor energi fosil, terutama batubara, penyebab krisis iklim. Menurut data dari Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019, pada tahun 2018, total produksi energi primer yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara, dan energi terbarukan mencapai 411,6 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE). Sebesar 64% atau 261,4 MTOE dari total produksi tersebut diekspor terutama batubara dan LNG.  

Meskipun nilai ekspor batubara dari Indonesia naik turun, secara umum ekspor batubara masih dominan. Menurut BPS dalam publikasi analisis komoditas ekspor 2013-2020 tercatat bahwa nilai ekspor sektor pertambangan didominasi dari ekspor pertambangan batubara (83,40%). 

Padahal emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim. 

Seperti ditulis dalam komitmeniklim.id, menjelang COP 26, justru rencana bebas karbon Indonesia dinilai belum jelas. Ketidakjelasan itu terlihat ketika PLN meluncurkan peta jalan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara pada 2060. Langkah ini mundur dari pengumuman sebelumnya yang menjadi netral karbon pada tahun 2050.

Komitmen untuk mengatasi krisis iklim terkait penggunaan energi kotor batubara ini juga terlihat dari dominasi bank-bank BUMN yang masih mendanai proyek-proyek batubara. Laporan urgewald yang berbasis di Jerman, mengungkapkan bahwa bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN termasuk empat dari enam bank di Indonesia yang masih mendanai proyek-proyek energi kotor batubara selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. 

Ketiadaan komitmen bank-bank BUMN untuk menghentikan pendanaan ke proyek-proyek batubara ini semakin menunjukan bahwa pemerintah Indonesia belum begitu serius mengendalikan emisi GRK penyebab krisis iklim. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan emisi GRK ini akan menyulitkan posisi delegasi Indonesia dalam negosiasi di COP 26.  Dengan posisi sulit delegasi Indonesia itu nampaknya, tidak ada hal yang baru terkait pengendalian krisis iklim COP 26.  Tidak adanya hal yang baru itu bukan salah delegasi Indonesia, tapi salah pemerintah yang selama ini kurang serius dalam mengendalikan emisi GRK.

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC Sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC Sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

[Madani News, 29/10/2021] Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Yayasan Climate Society, menyampaikan hasil studi kajian fisibilitas implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, pada Rabu, 27 Oktober 2021. 

Penyampaian kajian tersebut bertujuan untuk mendapatkan masukan serta menyepakati rencana tindak lanjut kepada Pemda dan OPD terkait di Kalbar.

Foto: Direktur Yayasan Madani berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan tujuan kajian fisibilitas di Bappeda Kalimantan Barat.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menjelaskan bahwa kajian ini adalah bentuk kontribusi organisasi masyarakat sipil dalam membantu memetakan berbagai modalitas yang sudah dimiliki Kalimantan Barat untuk memenuhi targetnya dalam mencapai NDC yang sudah direncanakan.

Harapannya kita bisa berdiskusi dan melihat lagi apa saja rekomendasi dalam hasil kajian ini supaya dapat diperbaiki dan kedepannya menjadi salah satu panduan dalam menyusun rencana aksi daerah yang tentunya dalam rangka memperkuat komitmen iklim Indonesia”, ujar Nadia Hadad.

Dalam acara tersebut, Prof. Dr. Rizaldi Boer sebagai tim ahli penyusun kajian menyebutkan bahwa NDC sangat penting untuk diintegrasikan dengan regulasi di daerah. “Proses perencanaan dan penyusunan RPJMD dan berbagai regulasi di daerah haruslah diintegrasikan dengan target NDC yang sudah dirancang secara nasional”, ujar Rizaldi Boer.

Foto: Prof.Dr.Rizaldi Boer menyampaikan hasil kajian fisibilitas NDC sub nasional di Bappeda Kalbar.

Sementara itu, Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, Ir.Sukaliman,MT menyambut baik hasil kajian fisibilitas NDC sub nasional yang diinisiasi Yayasan Madani Berkelanjutan ini. “Kami sangat mengapresiasi kajian dari Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Prof.Rizaldi Boer yang tentunya sangat mendukung upaya dan aksi kami dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di daerah”, ujar Sukaliman.

Penyampaian hasil kajian ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan Yayasan Madani Berkelanjutan dalam mendukung aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kalimantan Barat. Dan pada 28-29 Oktober 2021 dilanjutkan dengan Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System bersama OPD terkait di Kalbar.

Related Article

Road to COP26 Glasgow Event

Road to COP26 Glasgow Event

Indonesia mengajukan Target Iklim Baru 2030 dan Strategi Iklim Jangka Panjang Pertama menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) pada November 2021. Komitmen tersebut mencakup langkah-langkah baru yang positif tentang adaptasi dan ketahanan serta target khusus restorasi lahan gambut dan lahan terdegradasi, di untuk mencapai apa yang diperlukan untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris.

Untuk mendukung komitmen aksi iklim bangsa terhadap COP26 di Glasgow awal November 2021, Katadata dan Landscape Indonesia mempersembahkan “The Road to COP 26”, akan melakukan kampanye dan acara online tiga hari, dengan fokus pada upaya kolaboratif untuk mengatasi krisis iklim khususnya di Indonesia.

Dalam rangkaian acara tersebut, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad ikut serta menjadi salah satu narasumber pada diskusi yang bertemakan Road to Net Zero: Energy, Forest, dan Ocean pada hari kedua acara (22/10/2021). 

Dalam upaya mengatasi krisis iklim dunia, Indonesia ikut berkontribusi dengan menetapkan salah satunya dokumen penanganan nasional Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam NDC, Indonesia menargetkan menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030. 

Bukan hanya itu, Indonesia juga menetapkan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). LTS-LCCR 2050 sendiri adalah dokumen yang diimbau bagi negara yang meratifikasi Perjanjian Paris sebagai komunikasi visi upaya dan aksi perubahan iklim sampai dengan 2050, meski tidak wajib dilaporkan.

Dapatkan informasi lebih lengkap terkait dengan upaya Indonesia dengan mengikuti serangkaian kegiatan Road to COP26 Glasgow yang diadakan Katadata dengan mengunjungi tautan ini. Klink di sini.

Related Article

id_IDID