Madani

Tentang Kami

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

Perlindungan lingkungan hidup dalam rangka menanggulangi krisis iklim, termasuk perlindungan hutan serta lahan dan hak-hak masyarakat adat serta kelompok rentan, harus menjadi perhatian dalam momen politik 2024. Komitmen politik para calon legislatif dan eksekutif perlu tercermin tidak hanya selama periode pencalonan, tetapi harus berlanjut pasca pemilihan. Pemerintah saat ini juga perlu berkomitmen tinggi untuk mencegah “obral” izin pembukaan lahan yang kerap terjadi pada tahun-tahun politik sebelumnya.

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

Menjaga Hutan Desa Lampo

Menjaga Hutan Desa Lampo

Desa Lampo yang jaraknya 13 kilometer dari ibu kota Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada 10 Juli 2020 mendadak ramai. Hari itu masyarakat Desa Lampo melakukan penanaman 20 ribu pohon di desa mereka. Beragam pohon ditanam, seperti durian, alpukat, rambutan dan lainnnya. Kasman Lassa, Bupati Donggala menjadi tamu penting yang turut serta dalam kegiatan penanaman pohon.

Kegiatan penanaman 20 ribu pohon ini juga menjadi bagian dari peringatan Hari Populasi Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 11 Juli. Ini sekaligus mendukung Program Kampung Iklim (ProKlim) di Desa Lampo. Aksi ini diinisiasi oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lampo yang didukung oleh Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng, Yayasan Madani Berkelanjutan  bersama KPH Banawa Lalundu dan BPDAS HL Palu Poso. 

(Sumber Foto : Sarifah Latowa/Times Indonesia)

Bupati Donggala antusias dan berjanji bahwa Hutan Desa Lampo akan menjadi prioritas sebagai penyangga ekosistem di Donggala termasuk persediaan air bersih, karena di kawasan lain sekarang sudah padat. Bupati Donggala juga mendukung, termasuk pemanfaatan dana desa untuk pemberdayaan pengelolaan hutan oleh masyarakat.

Desa Lampo secara administrasi berada di Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Luas wilayah Desa Lampo 852 hektare, pemekaran dari Desa Lumbu Dolo Kecamatan Banawa Tengah pada tahun 2012. Desa Lampo berbatasan dengan kawasan hutan lindung. Mayoritas penduduk Desa Lampo bekerja sebagai petani dan menanam jenis tanaman perkebunan seperti kakao, pala, kemiri, cengkeh, durian dan berbagai jenis buah lainnya.

Hutan Desa Lampo mendapatkan hak kelola hutan lewat skema Perhutanan Sosial pada tahun 2016 melalui SK Penetapan Area Kerja untuk Hutan Desa Lampo No SK.87/Menlhk/Setjen/PSKL.2/2/2016.  Luasnya 215 hektare. Dan pada 27 Maret 2017, Hutan Desa Lampo melalui SK Menteri LHK Nomor 1637 /2017 mendapatkan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Lampo yang diserahkan langsung oleh Dirjen PSKL KLHK kepada Kepala Desa Lampo pada 29 Maret 2017 di Palu saat kegiatan Semiloka Membangun Sinergita Percepatan Perhutanan Sosial di Sulawesi Tengah.

Desa Lampo telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan hutan desa yang dikelola oleh LPHD Lampo. Seperti pengembangan ekowisata air terjun yang berada di hutan Desa Lampo, penanaman pohon dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Kegiatan-kegiatan ini selain melestarikan hutan juga dapat membantu peningkatan pendapatan masyarakat.

Pengelolaaan Hutan Desa Lampo yang dilakukan oleh LPHD Lampo dengan didampingi YMP dan didukung oleh Yayasan Madani Berkelanjutan beserta KLHK saat ini sedang melakukan pengembangan Program Kampung Iklim (ProKlim). Proklim adalah program nasional yang dikelola oleh KLHK dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap perubahan iklim dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca. Ini diatur dalam Permen LHK No 84 Tahun 2016 tentang Program Kampung Iklim.

Suasana di Dusun Salubalimbi, Hutan Desa Lampo Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala. (Sumber Foto: Sarifah Latowa/Times Indonesia)

Desa Lampo juga akan dijadikan role model pengembangan Program Kampung Iklim untuk wilayah yang memiliki areal Perhutanan Sosial sekaligus menjadi percontohan dalam pelestarian lingkungan berbasis masyarakat khususnya di Sulteng.

Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng sejak awal mendampingi pengelolaan Hutan Desa Lampo. Terbukanya akses pengelolaan Hutan Desa Lampo yang saat ini sudah bisa dirasakan masyarakat Desa Lampo ini sebenarnya melalui proses yang cukup panjang dan dimulai sejak tahun 2013. Kala itu hutan masih berstatus hutan lindung yang menimbulkan ketakutan warga untuk bertani dan berkebun di kawasan tersebut meski hutan telah masuk dalam area administrasi desa. Kriminalisasi menjadi salah satu ancaman saat masuk ke dalam hutan, meski masyarakat asli di sana (Kaili Unde) telah lebih dulu hidup bersama hutan. YMP bersama masyarakat mendorong pemerintah memberi akses warga desa untuk tetap bisa berinteraksi dengan hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan.

Selama menunggu keputusan pemerintah, warga desa menolak pengajuan kerja sama dari beberapa perusahaan yang ingin berinvestasi dengan merambah hutan. Perusahaan sawit dan perusahaan mebel pernah datang untuk menawarkan investasi. Namun semuanya ditolak warga. Warga memikirkan potensi bencana jika ratusan hektare hutan mereka diubah menjadi kebun sawit. Maka sumber air warga yang berasal dari air terjun Pangansitoli akan hilang. Padahal sumber air ini juga menjadi salah satu sumber air bersih untuk Kabupaten Donggala.

Di tahun 2016 akhirnya masyarakat Desa Lampo mendapatkan akses kelola hutan melalui skema Perhutanan Sosial dalam bentuk Hutan Desa. Masyarakat memanfaatkannya dengan bercocok tanam dan menanam pohon-pohon produktif yang bermanfaat untuk warga, serta pengembangan jasa lingkungan seperti objek wisata dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

Pengembangan jasa lingkungan ini dilakukan karena Hutan Desa Lampo juga memiliki air terjun yang cukup indah. Air terjun Pangasintoli ini memiliki lima tingkat. Tingkat empat merupakan tingkatan yang paling tinggi yang menjulang kurang lebih 10 meter. Di sekitar air terjun dikelilingi hamparan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Jaraknya kurang lebih 400 meter dari Dusun II Salubalimbi. Air terjun ini akan menjadi ekowisata berbasis alam dengan menekankan pembelajaran lingkungan. Selain air terjun, juga ada traking sungai, kemping area, kerajinan, wisata kebun buah, dan seni budaya yang menjadi daya tarik wisata warga desa di sana. Apalagi Desa Lampo terkenal sebagai desa penghasil buah-buahan, seperti durian, rambutan, dan langsat. Pada musim buah, Desa Lampo banyak dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai wilayah.

Saat ini warga Desa Lampo telah membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo, tempat warga bermufakat untuk kelestarian hutan dan kesejahteraannya. Beragam kegiatan dilakukan. Seperti pada 20 Juli 2020, LPHD Lampo membuat kegiatan pelatihan daur ulang sampah bersama masyarakat Desa Lampo, dengan mengundang Dinas Lingkungan Hidup Donggala sebagai pemateri. 

Sumber foto: Yayasan Merah Puti (YMP) Sulteng

Pelatihan ini mempraktikkan bagaimana mengolah sampah menjadi barang kreatif dan dapat digunakan kembali, serta bagaimana mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Hasilnya, hiasan dari barang bekas seperti tempat pulpen dari kaleng bekas dan pot bunga dari botol plastik bekas menjadi oleh-oleh yang akan dipraktikkan di rumah. Serta mengolah sampah organik menjadi kompos yang akan menjadi pupuk di kebun warga. [ ]

Related Article

id_IDID