Madani

Tentang Kami

Karhutla Semakin Menggila

Karhutla Semakin Menggila

Area indikatif Terbakar dari Januari hingga akhir September telah mencapai 800 ribu ha, 4 kali lipat dari luas terbakar tahun lalu. AIT terluas berada di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Marauke (Papua). Di izin/konsesi yang tidak tumpang tindih, AIT terluas di izin sawit dan migas. MADANI menyerukan bagi Pemerintah untuk mempercepat review izin secara partisipatif dan melakukan langkah mitigasi berbasis lanskap.

Related Article

Tanpa Perubahan Sistemik, Perdagangan Karbon Rentan Perparah Ketidakadilan

Tanpa Perubahan Sistemik, Perdagangan Karbon Rentan Perparah Ketidakadilan

[Siaran Pers] Jakarta, 26 September 2023. Tanpa perubahan sistemik, peluncuran bursa karbon yang ditandai dengan penunjukan  Bursa Efek Indonesia sebagai penyelenggara bursa karbon oleh Otoritas Jasa Keuangan dipandang berpotensi menjadi sarana mencari keuntungan semata tanpa berkontribusi pada penyelamatan umat manusia dari perubahan iklim. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan menanggapi Peluncuran Bursa Karbon Indonesia.

Saat ini, suhu bumi sudah naik 1.1°C dan diperkirakan akan melampaui suhu 1.5°C pada awal dekade 2030. Dampak perubahan iklim sudah tidak terhindarkan. Oleh karenanya, tindakan mitigasi dan adaptasi secara simultan serta mendalam bukanlah pilihan melainkan sebuah tindakan wajib,” tambah Nadia Hadad.

“Indonesia sebagai negara kepulauan merasakan dampak signifikan dari krisis iklim, terutama pada masyarakat yang tergolong sebagai kelompok rentan seperti kelompok miskin, penyandang disabilitas, anak-anak, lansia, perempuan, masyarakat adat dan lokal, serta masyarakat yang berada di garis depan wilayah yang terdampak bencana iklim seperti kekeringan, banjir, angin ribut, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan dan lahan, dan lain sebagainya. Dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekam terjadinya bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian yang mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3,5 juta lebih orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia. Bahkan Bappenas juga memprediksi kerugian ekonomi mencapai Rp. 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim,” urai Nadia Hadad.

Perdagangan karbon adalah satu dari tiga mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Perdagangan karbon dapat dilakukan secara langsung maupun melalui bursa karbon. Ada dua jenis perdagangan karbon, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi GRK. Dalam perdagangan emisi, pihak yang terlalu banyak mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dapat membeli izin untuk mempolusi atau batas atas emisi GRK (PTBAU-PU). Dalam skema offset, pihak yang mengeluarkan emisi GRK dapat mengkompensasi emisi yang dikeluarkannya dengan membeli kredit offset (SPE-GRK).

Sementara itu, Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur MADANI Berkelanjutan, memaparkan bahwa ada tujuh poin yang harus diperhatikan agar perdagangan karbon tidak menjadi praktik pencitraan atau greenwashing. “Yang pertama, semua negara, termasuk Indonesia, harus meningkatkan ambisi kontribusi nasionalnya (NDC) agar selaras dengan jalan menuju 1,5 derajat Celcius dan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam negeri di seluruh sektor dengan komitmen iklim tersebut. Kedua, perlu ada penetapan batas atas emisi GRK yang ketat dan transparan. Saat ini, baru PLTU yang dikenai batas atas emisi. Penetapan kewajiban pengurangan emisi GRK kepada Pelaku Usaha di sektor kehutanan juga perlu dipertegas karena Pelaku Usaha menguasai hutan dan lahan dalam jumlah besar.”

“Ketiga, offset harus dibatasi hanya untuk emisi residual, yaitu emisi yang masih tersisa setelah pencemar melakukan aksi penurunan emisi GRK secara optimal. Tanpa pembatasan ini, skema offset justru berisiko menjadi insentif yang sesat jalan, yang dapat menghambat pelaksanaan aksi mitigasi yang ambisius. Keempat, aturan perdagangan karbon perlu memastikan integritas sosial dan lingkungan, termasuk nilai tambah (additionality), keterandalan (reliability), dan kelestarian (permanence). Mengkompensasi emisi di sektor energi dengan kredit offset dari sektor hutan dan lahan perlu dihindari karena berbagai masalah terkait integritas yang belum terselesaikan. Pengaturan kerangka pengaman sosial dan lingkungan yang diserahkan pada berbagai standar nasional dan internasional yang ada juga perlu diperjelas,” tambah Giorgio Budi Indarto.

Kerangka aturan perdagangan karbon kehutanan juga harus mendorong kebijakan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan hutan dan lahan yang jadi penghambat utama partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat adat dan lokal, mempercepat realisasi perhutanan sosial dan reforma agraria sejati, memprioritaskan hutan untuk masyarakat tak bertanah ketika terjadi konflik klaim dengan perusahaan, serta mengembangkan standar publik untuk mengembangkan aset karbon yang absah secara ilmiah dan dapat diakses cuma-cuma oleh komunitas penjaga hutan.

Pemerintah juga harus memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam keseluruhan rantai perdagangan karbon, mulai dari penyusunan peta jalan perdagangan karbon, perizinan proyek karbon, pengalokasian batas atas emisi, hingga penyelenggaraan bursa karbon itu sendiri, termasuk dengan mencegah praktik-praktik yang mengarah pada spekulasi dan manipulasi pasar karbon, serta  potensi konflik kepentingan regulator atau para pihak terkait lainnya.

Terakhir, mengingat hutan dan ekosistem itu sendiri sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, membangun ketahanan atau resiliensi ekosistem dan masyarakat menjadi sangat penting. Untuk itu, Nilai Ekonomi Karbon sebagai instrumen untuk mencapai target NDC dan mengendalikan emisi GRK perlu memastikan pendanaan yang memadai untuk adaptasi perubahan iklim yang efektif dan berkeadilan. Tanpa pemenuhan berbagai prakondisi dan persyaratan di atas, akan sangat sulit bagi perdagangan karbon untuk menjadi bagian dari perwujudan keadilan iklim.

Keadilan iklim adalah prinsip penting di tengah ketidakadilan lingkungan dan ekologis, yang polanya dapat dikenali dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh ekstraksi, perusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati, pengabaian hak asasi manusia, serta melepaskan emisi gas rumah kaca. Dampaknya adalah ketidakadilan, ketidakmerataan, kemiskinan, dan menurunnya kemampuan warga untuk bertahan dan kehilangan sumber penghidupan serta ruang hidup yang sehat.

Bentuk dan pola ketidakadilan iklim  ini pada akhirnya menurunkan kemampuan lingkungan dan masyarakat untuk dapat bertahan dan mengatasi dampak krisis iklim.  Dengan demikian, semua upaya intervensi mitigasi maupun adaptasi krisis iklim harus mengadopsi azas keadilan sebagai prinsip aplikatif utama, termasuk implementasi dan tata kelola Bursa Karbon.

[ ]

***

Manusia dan Alam untuk Indonesia (MADANI) Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi. Didirikan pada 2016, MADANI Berkelanjutan berupaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Kami merumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. Saat ini, fokus kerja MADANI Berkelanjutan meliputi isu hutan dan iklim, komoditas berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan pada tingkat daerah, dan biofuel.

Related Article

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

Perlindungan lingkungan hidup dalam rangka menanggulangi krisis iklim, termasuk perlindungan hutan serta lahan dan hak-hak masyarakat adat serta kelompok rentan, harus menjadi perhatian dalam momen politik 2024. Komitmen politik para calon legislatif dan eksekutif perlu tercermin tidak hanya selama periode pencalonan, tetapi harus berlanjut pasca pemilihan. Pemerintah saat ini juga perlu berkomitmen tinggi untuk mencegah “obral” izin pembukaan lahan yang kerap terjadi pada tahun-tahun politik sebelumnya.

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

SUMATERA DAN KALIMANTAN DOMINASI AREA SAWIT TERLUAS DI INDONESIA

SUMATERA DAN KALIMANTAN DOMINASI AREA SAWIT TERLUAS DI INDONESIA

                                            Luas Area Sawit 2011-2020

Secara rata-rata nasional, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 53,09% dalam kurun waktu 2011-2020. Luas lahan tertinggi dicapai pada tahun 2020, yakni sebesar 14.586.599 Juta ha

Berdasarkan data area sawit (2011-2020) yang diolah Yayasan Madani Berkelanjutan, dapat dikatakan bahwa pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi sentra sawit terbesar di Indonesia. Sumatera tercatat sebagai pulau dengan area sawit tertanam terluas dengan 7.907.812 ha. Kemudian, disusul Kalimantan yang memiliki area sawit tertanam seluas 5.990.789 ha.

Walaupun Sumatera memiliki area sawit lebih luas dibandingkan Kalimantan, kenaikan luasan area sawit di Sumatera tidak seluas Kalimantan. Pada 2011, Sumatera tercatat memiliki luas sawit 5.736.729 ha. Artinya hanya mengalami kenaikan area sawit seluas 2.171.083 ha hingga 2020.

Sementara itu, Kalimantan memiliki tren kenaikan yang positif tiap tahunnya. Pada 2011, Kalimantan tercatat memiliki area sawit seluas 2.782.929 ha yang artinya mengalami kenaikan area sawit seluas 3.207.860 ha.

Meskipun angkanya masih kecil, luas area sawit di pulau lainnya seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua juga meningkat. Di Sulawesi, sejak 2011 hingga 2020 terjadi penambahan luas area sawit seluas 158.670 ha dari 257.955 ha pada 2011 menjadi 416.625 ha pada 2020. Pada 2017, terjadi peningkatan pesat luas area sawit menjadi 530.087 ha.

Kenaikan luas area sawit juga terjadi di Maluku dan Papua seluas 179.314 ha. Kenaikan lebih dari dua kali lipat ini berawal dari area sawit seluas 59.077 ha di 2011 menjadi 238.391 ha di 2020.

Related Article

POLICY BRIEF: MEMPERKUAT INPRES MORATORIUM HUTAN UNTUK MENDUKUNG INDONESIA FOLU NET SINK 2030

POLICY BRIEF: MEMPERKUAT INPRES MORATORIUM HUTAN UNTUK MENDUKUNG INDONESIA FOLU NET SINK 2030

Sejak penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam dan Lahan Gambut (Inpres Moratorium hutan), kami melihat sebuah sinyal positif dari pemerintah dalam upaya menahan laju perusakan ekosistem hutan. Demikian juga dengan upaya pembenahan dan evaluasi perizinan melalui SK.01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan yang diterbitkan pada 5 Januari 2022. Berbagai upaya ini merupakan tulang punggung dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia untuk menurunkan emisi 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional serta mencapai target net sink FOLU pada 2030.

Untuk mencapai target iklim tersebut, Pemerintah Indonesia telah menjalankan banyak langkah korektif, salah satunya melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut atau yang dikenal dengan INPRES Moratorium Hutan. Kebijakan ini bertujuan tidak hanya untuk memberi jeda waktu terhadap pemberian izin-izin baru yang ekstraktif, namun juga untuk menata kembali pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia untuk mewujudkan pembangunan nasional yang adil dan berkelanjutan. Sejalan dengan tujuan tersebut, juga sebagai upaya mengurangi emisi dari hutan alam primer dan lahan gambut untuk pencapaian Persetujuan Paris. 

Dari berbagai upaya dan kebijakan yang telah dilakukan, analisis Yayasan Madani Berkelanjutan masih menunjukkan beberapa celah terhadap upaya perlindungan ekosistem hutan dan lahan. (1) Terdapat indikasi seluas 1,39 juta ha hutan alam primer yang belum terlindungi oleh Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Hutan alam primer yang belum terlindungi tersebut berpotensi untuk terdeforestasi sehingga mengancam komitmen iklim Indonesia. (2) Rendahnya peluang partisipasi publik untuk mendukung pemerintah dalam upaya pengawasan terhadap perlindungan hutan alam primer dengan memberikan kemudahan akses data dan informasi PIPPIB. (3) Implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dikhawatirkan dapat mengancam komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi di sektor hutan dan lahan.

Atas dasar beberapa catatan tersebut, kami memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan Inpres Moratorium Hutan untuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia yaitu (i) memverifkasi indikasi dari analisis Madani atas hutan alam primer seluas 1,39 juta ha yang belum tercakup dan terlindungi ke dalam PIPPIB Tahun 2022 Periode I; (ii) menjadikan PIPPIB sebagai informasi yang terbuka dan tersedia setiap waktu sesuai amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan (iii) melakukan proses due diligence dalam setiap Proyek Strategis Nasional, terutama bagi proyek yang bersinggungan dengan ekosistem hutan alam dan gambut.

Baca kajian kami selengkapnya dengan klim tombol di bawah.

Related Article

5 Kebiasaan Yang Bisa Menyelamatkan Hutan, Nomor 4 Kamu Banget

5 Kebiasaan Yang Bisa Menyelamatkan Hutan, Nomor 4 Kamu Banget

Siapa bilang menyelamatkan hutan itu susah? Kamu aja mungkin yang berfikir begitu. Toh, menyelamatkan hutan bisa kamu mulai dengan hal-hal kecil kok.

1. Kendalikan Pemakaian Tisu dan Kertas

Berhenti menggunakan tisu dan kertas memang sulit, apalagi yang rutin menggunakan skincare. Pakai tisu boleh saja, asalkan tetap bijak dalam penggunaanya, misalkan usahakan menggunakan tisu cukup satu lembar saat mengeringkan wajah atau tangan. Begitupun dengan penggunaan kertas, usahakan menggunakan kedua sisi kertas dan manfaatkan kertas bekas.

Dengan bijaksana menggunakan tisu dan kertas, kamu turut menjaga kelestarian hutan karena tisu dan kertas berasal dari hutan. Ingat, jangan berlebihan ya.

2. Enggak Buang Sampah Sembarang Apalagi di Sungai

Tahukan kalau sungai bermuara di laut? Artinya sampah yang dibuang di sungai akan terbawa arus air sungai ke laut. Selain sampah di lautan akan membahayakan bagi ekosistem laut, sampah dari sungai juga bisa menyangkut di akar mangrove, dan bisa menghambat pertumbuhan mangrove bahkan bisa membuat mangrove mati.

Hutan kita tidak hanya hutan tropis, tetapi ada juga hutan di garis pantai yaitu hutan bakau atau hutan mangrove yang tidak kalah pentingnya.

Selain mengendalikan sampah, bagaimana kalau kita daur ulang sampah kita aja?

3. Pakai Kotak Makan Saja

Meskipun sudah membawa kotak makan, ternyata pedagang tetap membungkus pakai plastik, styrofoam atau pembungkus kertas. Pembungkus kertas memang lebih cepat terurai dari plastik dan styrofoam, tapi jangan salah pembungkus kertas berasal dari pohon dan harus kita kurangi penggunaanya. Namun sayang masih ada penjual yang belum paham, justru itu saat yang tepat untuk kamu bilang “maaf kak, saya bawa kotak makan untuk lingkungan yang lebih sehat”.

Mulai sekarang, jangan ragu menyampaikan supaya pedagang juga bisa belajar dari kamu! Kamu jangan lupa membawa kotak makan ya!

4. Gunakan Media Sosial untuk Lindungi Hutan

Dulu kala, peradaban dimulai dengan berburu, bertani, lalu manusia berterima kasih dengan alam, tapi sekarang kita sudah semakin jauh dengan alam. Sekarang membahas pentingnya lingkungan kian susah karena segala sesuatu hampir dimudahkan dengan teknologi. Yuk, jangan lagi ada kejadian besar dulu baru kita cari tahu dan nyebarin informasinya di sosial media. Sekarang sudah 2020, saatnya kita bagikan informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan dan hutan, supaya kita tidak semakin jauh dari alam, dan lebih banyak lagi orang yang peduli hutan.

Salah satunya kamu bisa bagikan informasi ini di sosial media kamu.

5. Bukti Transaksi Dikirim Ke Email Saja

Apakah kamu pengkoleksi kertas struk belanja di dompet? Sekarang sudah saatnya kamu mulai kurangi mengkoleksi kertas struk. Karena tidak hanya berasal dari pohon, kertas struk atau kertas thermal ternyata sulit untuk didaur ulang, kertas struk juga dilapisi dengan BPA (Bisfenol A) dan BPS (Bisfenol S) yang bisa membawa dampak negatif untuk kesehatan.

Hati-hati ya, lebih baik sampaikan, “kak untuk ramah lingkungan, struknya di email saja ya”.

Untuk peduli pada hutan, tidak harus tinggal di pedalaman, tidak harus menunggu terjadinya suatu bencana, dan tidak harus menjadi aktivis lingkungan, serta tidak harus menunggu hebat dengan segudang prestasi. Dimanapun dan kapanpun, kita tetap bisa peduli dan menjaga keberlangsungan hutan melalui hal sederhana, seperti berkomitmen untuk beraksi melakukan apa yang disampaikan pada informasi sebelumnya.

Related Article

Hutan dan Milenial

Hutan dan Milenial

Peneliti Muda Yayasan Madani BerkelanjutanTak dapat dimungkiri bahwa narasi tentang hutan beserta segudang permasalahannya yang begitu kompleks, agaknya terpinggirkan dalam dilalog milenial kekinian, baik daring (dalam jaringan/online) maupun offline.

Hal tersebut terjadi lantaran secara konteks maupun konten, persoalan hutan dinilai terlalu ilmiah, advokatif, atau lebih sederhananya, berat untuk dinikmati oleh milenial atau juga lebih tepatnya disebut kurang populis. Oleh karena itu wajar jika persoalan hutan hanya dilirik oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja, seperti halnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti atau akademisi, maupun pihak pemerintah itu sendiri. Padahal seharusnya, persoalan hutan menjadi persoalan sosial yang teramat krusial untuk diperhatikan, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Membicarakan hutan, artinya kita sedang membicarakan “alam”, dan alam menyangkut kehidupan.

Selain karena konteks dan konten yang kurang populis, milenial juga menganggap bahwa permasalahan hutan adalah murni persoalan yang harus dituntaskan oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan.

Anggapan demikianlah yang membuat akhirnya muncul apatisme terhadap hutan dari kalangan milenial. Sungguh sangat disayangkan, jika milenial apatis terhadap hutan, karena pada dasarnya, milenial adalah generasi penerus bangsa yang akan menikmati hutan dan lingkungan di masa yang akan datang.

Dalam konteks tersebut, Madani Berkelanjutan, ingin sekali mengajak milenial untuk aktif memperhatikan hutan dalam konteks apapun sehingga hutan di masa depan yang akan dinikmati oleh milenial itu sendiri, tetap lestari. Madani yakin milenial adalah investasi penyelamat dan perlindung hutan di Tanah Air.

Segudang Permasalahan Hutan

Permasalahan hutan sejatinya erat dengan kehidupan manusia maupun banyak mahkluk hidup lainnya. Jika hutan dibabat tanpa pertimbangan yang matang, risikonya bukan hanya bertampak pada populasi satwa di dalamnya, tapi juga akan bertampak kepada perubahan iklim dunia.

Bukan hanya itu, persoalan yang paling dekat dengan hidup kita saat ini, adalah terkait polusi udara akibat dari hilangnya banyak hutan kita. Terburuk, polusi udara yang rutin hadir menyapa kita dalah polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas karhutla sejak Januari-Juli 2019 mencapai 135.747 hektare. Karhutla itu terdiri dari lahan gambut seluas 31.002 hekatre dan lahan mineral 1047.746 hektare. Mendiang Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho pernah mengungkap fakta, luas area karhutla yang terjadi tahun 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali.

Pernyataan tersebut berdasarkan pada data Terra Modis per 20 Oktober 2015 silam, dengan total hutan dan lahan yang terbakar sebesar 2.089.911 hektare. Terkait Karhutla sendiri, Madani Berkelanjutan pun menghimpun data, sepanjang Januari hingga Juli 2019, tercatat ada 35.945 titik panas di Indonesia. Persoalan ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Ingatkah anda, belum lama ini warga DKI Jakarta dipaksa untuk menikmati udara yang tak layak. Benar jika Gubernur DKI Jakarta menyebut bahwa udara yang tak layak yang kian mengkhawatirkan tersebut disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor di beberapa ruas jalan maupun di tol ketika terjadi kemacetan. Namun, di sisi lain, persoalan minimnya ruang terbuka hijau di ibu kota juga menjadi penyebab utamanya.

Narasi Hutan

Pada kenyataannya, Milenial yang melek teknologi yang artinya juga aktif berselancar di media sosial, lebih melirik isu-isu seputar ekonomi, maupun politik yang tersaji di dalam gawai mereka. Hal itu disebabkan oleh prilaku dan pola pikir milenial yang gemar dengan hal-hal mikro seperti halnya perekonomian yang disajikan melalui isu seperti e-commerse, teknologi finansial, rupiah, dan banyak persoalan finansial lainnya.

Sama halnya dengan isu politik. Dalam kasus ini, apa yang disajikan di depan panggung (front stage) politik seperti halnya kontestasi pemilihan umum atau juga kasus korupsi yang dikemas dengan begitu menarik, membuat timbul keyakinan pada milenial bahwa keterlibatan mereka dalam isu tersebut begitu penting karena efeknya akan berdampak kepada diri mereka sendiri.

Sederhananya, milenial akan mengeluarkan sikapnya maupun mengekpresikan apa yang mereka pikirkan ketika sebuah permasalahan terasa begitu dekat dan akan memengaruhi kehidupan mereka ke depan.

Sedangkan isu hutan itu sendiri, selama ini belum dikemas dengan menarik ketika disajikan di panggung depan. Menjadi wajar jika milenial kurang tertarik pada isu-isu hutan yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Alhasil, milenial terkesan abai saat permasalahan hutan dan lingkungan begitu mengkhawatirkan.

Aksi Milenial

Jika kita berpatokan dalam konteks marketing, maka esensinya, sebuah produk yang akan dipasarkan haruslah sesuai dengan selera dari pasar itu sendiri. Ketika hutan tidak begitu dilirik oleh milenial, artinya produk hutan yang selama ini dipasarkan “kurang milenial”. Oleh karena itu, isu-isu terkait hutan perlu “diekstrak” atau disulap, atau bahkan “direcehkan” sedemikian rupa agar menarik bagi milenial.

Hemat saya, ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk membuat hutan lebih milenial yang artinya hutan yang sesuai dengan target pasar yakni milenial. Pertama, pendidikan kehutanan. Gerakan dasar yakni menyadarkan milenial untuk peduli kepada hutan adalah gerakan prioritas yang harus dilakukan. Oleh karena itu, penting dirancang sebuah Pendidikan kehutanan secara masih, bahkan jika perlu pendidikan tersebut masuk dalam kurikullum pembelajaran.

Kedua, kampanye milenial. Pola komunikasi yang menarik tentu menjadi bagian penting untuk menggaet milenial agar terlibat aktif menjaga dan melestarikan hutan. Pemerintah, LSM, maupun stakeholder yang berkepentingan terkait hutan, wajib melakukan kampanye yang menarik dan tentunya ala milenial khususnya di media sosial. Misalnya saja melalui berbagai konten menarik seperti video singkat (vlog) tentang hutan yang dikemas dengan bahasa yang akrab dengan milenial, kemudian bisa juga melalui iven olahraga seperti iven “run to forest”, atau kampanye nol sampah plastik, dan metode kampanye lainnya.

Madani Berkelanjutan sendiri menyentuh milenial melalui media sosial khususnya Instagram dengan pola komunikasi yang “receh”. Di media sosial, Madani Berkelanjutan tampil dengan design menarik, kegiatan yang interaktif, serta menggunakan bahasa-bahasa yang akrab dengan milenial.

Ketiga, kolaborasi. Permasalahan hutan sejatinya bukan hanya urusan pemerintah saja, tapi urusan semua orang yang hidup sampai saat ini. Oleh karena itu, setiap persolan hutan yang terjadi, harus dituntaskan dengan kolaborasi. Pemerintah dapat melakukan tugasnya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kelestarian hutan. Sedangkan, private sector harus selalu berpedoman kepada analisis dampak lingkungan (amdal) ketika melakukan ekspansi bisnis yang bersangkut paut dengan hutan dan alam.

Dalam hal ini, tugas milenial adalah berkolaborasi dengan membawa ide-ide kreatif tentang penyelamatan hutan dan alam. Ide-ide segar ala milenial, diharapkan mampu mendobrak bahkan meruntuhkan stigma tentang hutan yang kurang dilirik milenial.

Kini, sudah saatnyalah, milenial berwawasan hutan dan lingkungan. Pasalnya, milenial dan hutan adalah investasi bagi kehidupan bangsa ke depan. Inilah momentum, hutan menjadi milenial yang artinya segala sesuatu tentang hutan menarik bagi milenial. Isu-isu tentang hutan sudah seharusnya diangkat dengan mengikuti tren yang berkembang, hal dilakukan tersebut agar hutan lebih diperhatikan.

Oleh Delly Ferdian

Artikel ini telah dimuat di Harian Haluan edisi 10 September 2019.

Related Article

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 19 Mei 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung rencana pemerintah untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam dan gambut tersisa, pasca berakhirnya masa berlaku INPRES tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Moratoroium Hutan) pada 17 Juli 2019.

“Diperpanjangnya kebijakan perlidungan hutan alam dan lahan gambut secara permanen memperbesar peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani. “Namun, perpanjangan saja belum cukup. Jika ingin mencapai target iklim, pemerintah harus memperkuat komitmen perlindungan hutan alam dan gamnbut dengan turut melindungi jutaan hektar hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”

Riset World Resources Institute pada 2017 menunjukkan bahwa moratorium hutan adalah kebijakan mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini dengan melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO 2 pada 2030 sehingga target iklim Indonesia bisa tercapai.

Data Pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 juta hektare atau 48,4 persen hutan alam Indonesia dikategorikan sebagai hutan sekunder yang terlepas dari perlindungan moratorium. Lebih dari setengahnya atau 24,8 juta hektare diperuntukkan untuk eksploitasi dengan status hutan produksi. “Yang paling mendesak adalah melindungi hutan alam yang masih bagus dan paling terancam,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani. “Ada 3,8 juta hektare hutan sekunder berstatus Hutan Produksi untuk Konversi (HPK), yang dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non-kehutanan seperti perkebunan dan lain-lain. Pasca berakhirnya masa berlaku Moratorium, perlindungan secara permanen hutan alam dan gambut seharusnya melindungi wilayah tersebut.”

“Kami berharap Pemerintah Indonesia periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan hutan dengan cara mengakomodasinya dengan landasan aturan perundang-undangan yang lebih kuat dan menuangkannya dalam rencana tata ruang nasional,” ujar Teguh. “Dengan demikian, ada garansi hukum dan politik lebih besar untuk mencapai komitmen iklim dan juga dapat meminimalkan konflik di masyarakat.”

Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih bersifat sementara (moratorium). Madani juga mengkhawatirkan berbagai aturan pengecualian yang ada seperti permohonan izin yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional. “Ada 31,2 juta hektare lahan tidak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan ex- perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan hutan,” ujar Anggalia.

Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, pemerintah juga harus mewaspadai emisi dari sektor energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di perundingan iklim COP-25 yang akan dilaksanakan di Chili bulan Desember ini,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat demi Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat demi Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 23 April 2019 – Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih haruslah konsisten meningkatkan akses hutan untuk masyarakat demi kuatnya perlindungan hutan dan mengangkat kesejahteraan rakyat dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Perhutanan sosial dan komitmen iklim nasional Indonesia atau NDC (Nationally Determined Contribution) adalah dua agenda penting yang harus dijaga oleh pemimpin Indonesia dikarenakan berkaitan langsung dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi masa depan.

Di bawah Perjanjian Paris, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk mengurangi emisi sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030 serta meningkatkan ketahanan terhadap berbagai dampak negatif perubahan iklim. Dari target ini, sektor kehutanan menyumbang target penurunan emisi terbesar. Di sisi lain, pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk masyarakat melalui program perhutanan sosial dengan capaian distribusi sebesar 2.613.408 hektare per 1 April 2019. Target distribusi perhutanan sosial yang harus dicapai hingga akhir tahun 2019 masih cukup besar, yakni 1,77 juta hektare sementara sisanya bergantung pada kepemimpinan politik Presiden terpilih mendatang beserta jajarannya.

“Perhutanan sosial yang dikelola secara lestari oleh masyarakat akan membantu pencapaian komitmen iklim Indonesia, baik mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Oleh karena itu, di tengah keriuhan politik saat ini, sangat penting menjaga konsistensi agenda pencapaian komitmen iklim Indonesia dan penguatan perhutanan sosial.”

Kedua kandidat Presiden memberi penekanan pada peningkatan akses masyarakat kepada hutan dan/atau lahan. Joko Widodo – Ma’ruf Amin menjanjikan akan mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tidak memiliki lahan atau aset untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi serta melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah objek reforma agraria dan perhutanan sosial sehingga lebih produktif. Sementara itu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno berjanji akan menjalankan agenda reforma agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Kedua kandidat pun mencantumkan upaya mengatasi perubahan iklim dalam dokumen visi-misi mereka meski tidak rinci.

“Sayangnya, belum ada benang merah yang dapat ditarik secara tegas di antara kedua agenda tersebut,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.” Oleh karena itu, penting untuk memperjelas bagaimana dan seberapa besar perhutanan sosial dapat berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia agar masyarakat pengelola hutan juga dapat menikmati insentif dari berbagai skema pendanaan iklim, misalnya REDD+.” Saat ini, telah banyak pembelajaran dari pengelolaan hutan oleh masyarakat yang sangat berharga untuk memperkuat kontribusi perhutanan sosial terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Melalui Pertemuan Strategis Pemangku Kepentingan: Memperkuat Kontribusi Perhutanan Sosial untuk Mendukung Pencapaian Target NDC Indonesia yang mengumpulkan pegiat perhutanan sosial di tingkat nasional dan daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yayasan Madani Berkelanjutan berupaya memfasilitasi proses pembelajaran dari pengembangan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah perhutanan sosial dan menginisiasi komunikasi untuk menumbuhkan benih-benih kolaborasi di antara para pemangku kepentingan. Beberapa isu yang dikupas dalam kaitannya dengan perhutanan sosial di acara ini antara lain perencanaan pembangunan rendah karbon, Program Kampung Iklim, REDD+, rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi gambut, pendanaan iklim, dan pemberdayaan masyarakat desa.

“Sudah waktunya kita tidak lagi memisahkan antara peningkatan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan maupun adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perhutanan sosial karena di tingkat tapak dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat keduanya saling bertautan dan tidak bisa dipisahkan,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Mengupas Status Hutan Indonesia 2018, Mempertegas Langkah Koreksi Pengelolaan Hutan Indonesia

Mengupas Status Hutan Indonesia 2018, Mempertegas Langkah Koreksi Pengelolaan Hutan Indonesia

Terbitnya buku status hutan Indonesia (SoIFO) tahun 2018 sebagai satu landasan baru dalam mewujudkan tata kelola hutan Indonesia yang berkelanjutan layak diapresiasi. Buku tersebut dengan jujur memaparkan kondisi kekinian tentang bagaimana hutan kita dikelola dengan berbagai ketimpangan yang dimanja dari zaman ke zaman. Langkah koreksi (corrective action) yang dikomandoi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan awal yang baik, namun belum cukup kuat jika menekankan pada bagi-bagi pengelolaan lahan hutan semata. Kontradiksi pembangunan kehutanan sebagai penopang ekonomi dengan komitmen perlindungan lingkungan harus bisa diselesaikan dengan mempertegas langkah koreksi pengelolaan hutan Indonesia melalui transparansi data dan informasi pengelolaan hutan, perumusan kebijakan yang inklusif dan akuntabel, perketat pengawasan dan penegakkan hukum yang proporsional, serta penyelesaian konflik. Hal ini diungkapkan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan (Madani) dalam temu jurnalis pagi ini di Tjikinii Lima, Jakarta Pusat.

Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Madani, Anggalia Putri Permatasari menyatakan SoIFO memperlihatkan masih adanya celah yang cukup lebar bagi terjadinya deforestasi dan perlu mendapat koreksi lebih lanjut dari KLHK. Celah deforestasi dimungkinkan setidaknya oleh lima hal, yakni alokasi izin pemanfaatan hutan baru seluas 5 juta hektare, penetapan 2,5 juta hektare hutan primer dan 3,8 juta hektare hutan sekunder sebagai Hutan Produksi Konversi yang dapat dilepaskan untuk pembangunan nonkehutanan, kebijakan moratorium yang tidak melindungi hutan alam sekunder yang masih tidak berizin, adanya hutan alam yang berada di Area Penggunaan Lain (APL) seluas 6,9 juta hektare, dan kebijakan land-swap yang meliputi hutan alam seluas 362.390 hektare, sebagaimana dikutip dari kajian Koalisi Anti Mafia Hutan.”

“Kawasan konservasi dan lindung pun belum aman, mengingat terdapat 10,8 juta hektare hutan konservasi telah berubah menjadi kawasan tidak berhutan. Bahkan pada tahun 2016-2017, sebanyak 20 persen dari deforestasi terjadi di kawasan konservasi dan lindung.” tambah Anggalia.

Madani turut menerangkan bahwa dalam SoIFO pemerintah menyebutkan langkah-langkah untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan, salah satunya berupa kebijakan moratorium yang melindungi 66,2 juta hektare hutan primer dan lahan gambut yang belum dibebani izin. Namun, kebijakan ini masih berupa perlindungan sementara dalam bentuk Instruksi Presiden yang telah diperpanjang tiga kali tanpa adanya penguatan substansi, mengandung banyak pengecualian, dan akan berakhir Juli 2019. Jika Presiden terpilih nantinya tidak memberikan perhatian pada kebijakan ini, nasib jutaan hektare hutan primer dan lahan gambut semakin dipertaruhkan.

Untuk mempertegas langkah koreksi pengelolaan hutan yang sedang dijalankan oleh KLHK, Madani kembali menyerukan kepada pemerintah untuk: (i) melindungi hutan alam (primer dan sekunder) dari penerbitan izin baru yang dapat mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan; (ii) meningkatkan status perlindungan sementara moratorium menjadi perlindungan permanen sehingga dapat bertahan dari pergantian rezim pemerintah; dan (iii) menyusun peta jalan terpadu menuju Indonesia bebas deforestasi yang dapat mengintegrasikan upaya-upaya yang telah ada saat ini untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, ungkap Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga diharapkan memiliki sistem pengawasan yang efektif dan aktif melakukan penegakkan hukum, mengingat masih terdapat banyak konsesi yang melanggar aturan dan masih beroperasi di lapangan.“

Komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia sangat dibutuhkan, mengingat silang sengkarut pengelolaan yang terjadi hari ini. Harapannya, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden berani memiliki visi dan misi yang jelas terkait pengelolaan dan perlindungan hutan dan gambut, sebab 63 persen dari luas daratan Indonesia adalah hutan. Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id / +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan
anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id / +62 856-2118-997

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id / +62 838-4227-2452

YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN
Satu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif nasional dan lokal dalam menyelamatkan hutan Indonesia dengan strategi menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil) untuk mencapai solusi inovatif terkait tata kelola hutan dan lahan.
Situs web: www.madaniberkelanjutan.id
Facebook: Madani Berkelanjutan
Twitter: @yayasanmadani
Instagram: @madaniberkelanjutan.id

Related Article

id_IDID