Madani

Tentang Kami

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Jakarta, 24 September 2020 – Surat terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang ditandatangani lebih dari 500 tenaga kesehatan professional Indonesia dibacakan oleh dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari pada Kamis, 24 September 2020. Turut hadir sebagai pembicara drg. Monica Nirmala, MPH (Senior Public Health Advisor Yayasan ASRI), Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan), Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB), dengan moderator Wahyu Dyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo). Acara tersebut dibuka oleh Prof. DR. dr. Nila Moeloek, Sp. M (K) (Menteri Kesehatan RI 2014-2019) sebagai Keynote Speaker.

Acara webinar yang dihadiri 234 peserta ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk merespon potensi bencana ganda Covid-19 dan kebakaran hutan dan lahan, berupa seruan para profesional kesehatan Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di era pandemi ini. Inisiatif ini didorong oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo. Sampai acara ini diselenggarakan, sudah lebih dari 500 tenaga kesehatan profesional yang mendukung dan menandatangani surat tersebut.

“Saya sangat berterima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang sudah meluangkan waktu untuk mendukung dengan menandatangani surat terbuka ini di tengah padat dan sibuknya mereka dalam berjuang menghadapi badai pandemi Covid-19 ini. Persoalan kesehatan masyarakat harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi secara umum adalah upaya terintegrasi menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Jangan sampai di situasi Covid-19 yang sudah rumit seperti saat ini, kesehatan masyarakat semakin terbebani dengan bencana asap karhutla. Saat ini boleh dikatakan kita beruntung karena musim kemarau tidak sekering dan selama biasanya. Ke depannya, mari kita terus jaga hutan kita, demi Indonesia yang lebih sehat,” ujar drg. Monica Nirmala.

Hal yang sangat meresahkan adalah jika penyebaran virus Covid-19 terjadi berbarengan dengan kebakaran hutan dan lahan, di mana keduanya bisa berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Beban rumah sakit saat ini sudah cukup berat akibat Covid-19, dan kondisinya bisa semakin parah jika jumlah pasien bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan. Fokus penanganan bencana oleh pemerintah daerah juga akan terbelah sehingga tidak optimal.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Nila Moeloek dalam pidatonya saat membuka acara webinar, “asap ini bisa dari rokok, bisa dari kebakaran hutan, akhirnya akan mengganggu paru-paru. Dan paru-paru ini akan mengirup oksigen. Kita mengharapkan oksigen yang dengan mudah masuk paru-paru untuk bernapas, tapi ternyata virus (Covid-19) ini beresiko lebih besar saat paru-paru terganggu akibat kebakaran hutan.”

Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 64.600 hektare area terbakar yang terjadi selama periode Januari-Juli 2020. Analisa dari MADANI Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa ada terjadi perluasan area potensi terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus. Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.

Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya, data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari. Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.

Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.

“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di suatu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut. Sehingga diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla,” kata Teguh Surya.

Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat. RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.

RUU Cipta Kerja  ini perlu dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, wakil rakyat serta K/L yang berkepentingan dalam merumuskan RUU tersebut, untuk kemaslahatan umum. Bahwa akan sangat merugikan jika RUU disahkan. Dalam kajian MADANI menjelaskan bahwa hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsiyang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh  hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Husa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi. Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya. 

Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, kesehatan, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita. Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi. Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat.

—###—

 

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:

Image Dynamics

Ayunda Putri
08122001411
ayundapputri@gmail.com

Related Article

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Tidak dapat dimungkiri bahwa, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini. Tahun demi tahun karhutla berulang,  tidak ada jaminan bahwa karhutla akan berhenti secara permanen dan tidak akan terjadi di tahun-tahun ke depan.

Khusus untuk tahun ini, -maka jika karhutla terjadi, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan menghadapi dua bencana sekaligus. Karhutla dan pandemi COVID-19 yang hingga tulisan ini dibuat, masih terus merebak dengan korban jiwa dan penderita yang terus bertambah.

Terkait penanganan COVID-19, belum lama ini Universitas Oxford di Inggris memberikan rapor merah kepada Pemerintah Indonesia, mengacu pada empat indikator penilaian berikut: respons pemerintah secara umum (Overall Government Response Index), upaya penanggulangan dan kesehatan (Containment and Health Index), penegakan social distancing (Stringency Index), dan dukungan ekonomi (Economic Support Index).

Hasilnya, Indonesia hanya mendapatkan nilai indeks 43,91 yang artinya nilai tersebut setara nilai D (di bawah nilai 50). Berkat penilaian tersebut, Indonesia menempati posisi terendah di antara negara ASEAN, bahkan nilai Indonesia kalah jauh dari Kamboja. Lalu bagaimana jika bencana karhutla terjadi terjadi bersamaan? Banyak pihak yang meragukan kemampuan pemerintah menghadapi double disasters ini.

Mengkaji Ancaman Karhutla di Indonesia

Kita masih dapat memaklumi jika karhutla bersumber dari kejadian alam, seperti fenomena El Nino, yang dapat memantik api di lahan yang sudah mengering. Namun, pada kenyataannya permasalahan karhutla yang menahun, bersumber dari ulah manusia itu sendiri.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99% penyebab terjadinya karhutla di Indonesia adalah ulah manusia yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata. Karhutla telah menjadi persoalan multi dimensi. Tidak hanya pada kerugian lingkungan, tetapi kerugian negara dan masyarakat.

Seperti dari sisi kesehatan masyarakat. Karhutla 2019 menyebabkan 900 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kajian “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” dari tim peneliti Harvard University dan Columbia University mengungkap, jika pengendalian karhutla masih berjalan apa adanya (business as usual) maka angka kematian dini akan mampu mencapai 36 ribu jiwa di seluruh wilayah terdampak, untuk periode 2020 hingga 2030.

Penelitian ini memperkirakan, dari total angka kematian dini akibat korban paparan asap itu, 92 persen akan terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura. Demikian pula dari sisi ekonomi, karhutla menyebabkan kerugian besar. Kajian Bank Dunia menyebut Indonesia mengalami kerugian dari karhutla sebesar USD5,2 milyar (Rp72,9 trilyun) setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum termasuk korbanan non materi yang tidak dapat dihitung, seperti hilangnya opportunity time ratusan ribu anak-anak yang terganggu sekolahnya dan menikmati kehidupan yang sehat.

Pentingnya Membenahi Tata Kelola

Menurut hemat penulis persoalan karhutla tidak bisa dilihat dari persoalan teknis pemadaman api semata. Ia mencakup persoalan yang lebih luas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan tata kelola adalah dalang dari karhutla. Ia mencakup, mulai dari persoalan transparansi data, anggaran, dan penegakan hukum para pelaku karhutla. Buruknya kejadian karhutla pun mengindikasikan buruknya tata kelola hulu ke hilir. Membenahinya tentunya menjadi tantangan tersendiri, -sulit, tapi bukannya tidak mungkin.

Penulis akan menjelaskan pokok-pokok persoalan tata kelola yang perlu menjadi perhatian khusus, seperti diuraikan di bagian berikut: 

Pertama, transparansi data dan informasi karhutla. Kemudahan masyarakat dalam mengakses data karhutla adalah hak dasar yang harus disediakan oleh pemerintah. Patut diapresiasi bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyediakan SiPongi sebagai portal penyedia data karhutla. Namun, selanjutnya masih butuh kolaborasi dari media massa dan para pihak agar informasi yang disampaikan itu tepat dan akurat, tidak simpang siur, yang dapat memunculkan bias perbedaan data.

Untuk hal ini, perkembangan pesat teknologi citra satelit harus terus dipakai secara kontinyu untuk monitoring kemunculan lokasi titik api atau area potensi terbakar secara akurat. Secara khusus pemantauan harus terus difokuskan pada area yang memiliki sejarah rawan karhutla di masa silam, termasuk area-area konsesi dan lahan masyarakat yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Kedua, partisipasi dan kolaborasi. Permasalahan karhutla tersebar pada banyak sektor yang saling bergantung satu sama lain. Untuk itu, partisipasi dan kolaborasi dari banyak pihak adalah sebuah keniscayaan. Termasuk di dalamnya, sinergitas para petugas pemadam api yang mencakup para pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah, hingga level tapak, harus satu visi, misi, dan strategi.

Ketiga, persoalan pengukuran kinerja. Salah satu regulasi yang harus dirombak adalah tentang indikator keberhasilan penanganan karthula. Seharusnya indikasi keberhasilan penanganan karhutla bukan lagi berpedoman pada serapan alokasi anggaran karhutla. Namun pada kinerja dan prestasi pemadaman api. Pun, pada penyiapan struktur masyarakat dan peralatan sebelum karhutla terjadi.

Suatu instansi maupun lembaga saat ini akan dicap tidak bekerja dengan baik apabila serapan anggaran penanganan karhutla menurun. Alhasil, semua instansi saling berpacu dalam menghabiskan  anggaran, bukan lagi mengacu pada efektivitas penanganan karthutla. Sungguh, mekanisme seperti ini sudah tidak relevan dan harusnya diganti.

Keempat, pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa karhutla sering kerap terjadi di lahan dan konsesi. Hal ini tak lepas dari paradigma sebagian pengusaha untuk terus mencari keuntungan dengan korbanan paling minimal. Opsi membakar lahan pun lalu menjadi pilihan. Pada saat ketahuan, mereka berkelit saat ditindak, dan menimpakan detik kesalahan pada pihak lain.

Pengawasan dan penegakan hukum yang tajam dan tanpa pandang bulu tentu menjadi kunci untuk mengatasi ini. Saat area terbakar, sedini mungkin investigasi kasus dan pemberian sanksi, -baik administratif dan hukum, harusnya dapat segera dimulai.

Kejahatan karhutla harus ditempatkan dalam konteks kejahatan kepada kemanusian. Ia bukan hanya kejahatan sektoral. Untuk memberi efek jera maka sanksi hukum maksimal perlu diberlakukan, termasuk kepada korporasi pelanggar. Tidak saja pada pelanggar di tingkat perorangan.

Kita harus tetap menjaga momentum bahwa Indonesia menjadi negara yang mampu mengurangi laju deforestasi (dan juga karhutla). Bukan saja untuk menjadi baik di mata dunia, tetapi terlebih penting adalah untuk menjaga keselamatan bangsa kita sendiri.

Oleh: Delly Ferdian

Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat oleh portal Mongabay Indonesia pada 21 September 2020.

Related Article

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

[Jakarta, 13 Agustus 2020] –Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi bencana yang terus berulang setiap tahun. Bukan hanya terjadi dalam periode singkat, tapi sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Pada 2020 bahaya karhutla kembali mengancam dan kali ini datang bersamaan dengan pandemi Covid-19.

Pemerintah sudah menyadari potensi bencana tersebut. Secara khusus Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melihat ancaman ganda tersebut berpotensi menyerang orang-orang yang sangat rentan, seperti para lansia dan penderita penyakit bawaan atau komorbid seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).

Menghadapi karhutla tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kita menghadapi pandemi Covid-19 juga,” kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam Katadata Forum Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi“, Kamis (13/8). Oleh karenanya, kata dia, perlu ada upaya lebih serius dan lebih optimal untuk menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat. “Jangan ada yang membiarkan terjadinya kebakaran,” ujarnya menegaskan.

Lebih lanjut Doni menjelaskan, fokus BNPB tahun ini akan lebih banyak turun langsung ke unsur-unsur masyarakat untuk mencegah terjadinya karhutla. “Pencegahan merupakan langkah terbaik,” katanya.

Merujuk Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Doni menjabarkan ada tiga langkah preventif yang akan didorong. Pertama, mengembalikan kodrat gambut yang basah, berair, dan berawa. Kedua, mengubah perilaku agar masyarakat mengintervensi pihak yang berupaya membakar lahan untuk membuka lahan. Ketiga, membentuk satgas di setiap daerah untuk memantik kepedulian dalam penanganan bencana.

Senada dengan komitmen BNPB untuk memperkuat langkah mitigasi karhutla, Yayasan Madani Berkelanjutan mengambil inisiatif untuk melakukan analisis mengenai pemetaan Area Rawan Terbakar (ART) dan Area Potensi Terbakar (APT).  Data yang dikumpulkan dan diolah ini kemudian disilangkan dengan data Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) dari Kawal Covid-19 untuk memetakan besaran ancaman karhutla dan Covid-19 di berbagai daerah.

Serangan ganda Karhutla dan Covid-19 ini telah nyata di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Teguh, perlu ada kerja sama dan komitmen yang serius dari semua pihak, seperti pemerintah, swasta, masyarakat serta penggiat lingkungan dalam mencegah berulangnya kejadian karhutla, baik pada tahun ini maupun tahun mendatang.

Senada dengan BNPB, Teguh juga menekankan agar penanganan karhutla tidak hanya fokus di penanggulangan dan pemadaman api, tapi lebih pencegahan.

Perlu upaya untuk menghentikan bencana karhutla dengan berfokus pada upaya pemullihan lahan gambut dan menghentikan pengrusakan hutan,” kata Teguh menambahkan.

Adapun temuan Madani mendapatkan empat provinsi dengan tingkat potensi terbakar paling luas, yakni Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Setiap provinsi juga diwakilkan setidaknya tiga kabupaten/kota dengan luas area potensi terbakar antara 169 hektare (Kabupaten Karimun) sampai 6.152 hektare (Kabupaten Natuna).

Madani juga menemukan provinsi dengan kerentanan karhutla tertinggi tahun ini, yang juga memiliki kewaspadaan Covid-19 tinggi. Ditemukan bahwa provinsi Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi merupakan provinsi dengan ancaman ganda yang cukup tinggi atas karhutla dan Covid-19. “Apabila tidak diantisipasi, asap karhutla akan memperparah infeksi Covid-19,” kata Teguh lagi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) Wiendra Waworuntu yang turut hadir dalam diskusi menerangkan di masa karhutla akan timbul dampak kesehatan dalam munculnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Dampaknya kalau masa kebakaran hutan, ada beberapa jurnal yang mengatakan terjadi peningkatan juga kasus Covid-19 di udara panas, yang akan berdampak pada peningkatan kasus,” kata Wiendra.

Dia menjelaskan karhutla meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara karena adanya aerosol yang diciptakan asap. Oleh sebab itu respons penanggulangan pada wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan menjadi penting.

Wiendra juga merasa pada situasi karhutla diperlukan protokol tersendiri untuk mencegah penularan serta penyebaran ISPA dan Covid-19.

Pada forum diskusi turut hadir pula Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, sebagai perwakilan salah satu wilayah yang dari tahun ke tahun kerap terdampak karhutla. Dalam paparannya, Sutarmidji menyebut penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang di lahan konsesinya terdapat titik api.

Namun, di sisi lain pelibatan masyarakat dalam menjaga dan pemanfaatan lahan gambut juga ditekankan menjadi salah satu kunci dalam mendukung upaya pencegahan karhutla.

Sebenarnya kalau mau melibatkan masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan gambut kita harus mulai konsep membangun desa,” katanya seraya menegaskan bahwa lahan gambut memang harus dijaga. “Saya sependapat dengan Doni Monardo (Kepala BNPB) kalau lahan gambut harus ditanami jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi, seperti pisang dan lidah buaya.”  [ ]

***

Kontak lebih lanjut terkait temuan Madani dapat menghubungi:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Kontak Katadata: Jeany Hartriani, jeany@katadata.co.id, HP. 082154811993

Related Article

Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan

Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan

Tidak dapat dimungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sudah menjadi bagian dari serangkaian bencana tahunan yang selalu menghiasi negeri ini. Padahal, negeri yang berada di atas ring of fire ini sudah terbilang kenyang dengan segudang potensi bencana.

Tapi apa boleh buat, karhutla masih terus terjadi karena dalangnya belum puas memperkaya diri. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar 99% kebakaran hutan akibat ulah manusia.

Selama ini, opsi pembakaran hutan dan lahan selalu dipilih karena dinilai sangat ekonomis. Bayangkan saja, penggunaan alat berat atau penyediaan alat pembakar khusus untuk menampung sisa-sisa hasil penebangan dalam hal pembukaan lahan baru maupun pembersihan lahan (land clearing), terbilang sangat tidak efisien bahkan begitu merogoh kocek. Selain berbiaya mahal, metode pembersihan lahan seperti ini juga memakan waktu yang tidak sebentar. Tentu jika dikalkulasikan secara ekonomi, perbandingannya dengan pembakaran ibarat bumi dan langit.

Logika sempit ekonomi yakni bermodal sekecil-kecilnya demi untung sebesar-besarnya adalah fakta yang masih diterapkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Alhasil, metode membuka lahan dengan membakar (slash and burn) menjadi primadona di tengah masyarakat. 

Metode pembersihan lahan dengan membakar dianggap sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi para pelakunya. Begitulah sederhananya ekonomi kebakaran hutan dan lahan atau Karhutlanomic saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebakaran hutan yang dipicu oleh keserakahan ini bukan hanya mengancam kesehatan masyarakat, melainkan juga mengancam perekonomian secara menyeluruh. Memang benar bahwa metode pembersihan lahan dengan cara membakar memberikan keuntungan karena berhasil memangkas biaya produksi.

Tapi efek yang disebabkan dari kebakaran hutan dan lahan itu ibarat besar pasak daripada tiang. Artinya, bahwa apa yang diberikan dari hasil membakar lahan tidak sebesar penderitaan di kemudian hari. Selayaknya sebuah bencana pada umumnya, persoalan ekonomi selalu menjadi buntut yang tak bisa dihindari. Dalam konteks kebencanaan, kesepakatan dunia yang tertuang dalam Senday Frame Work for Disaster Risk Reduction tidak lagi hanya melihat bencana dalam konteks ancamannya terhadap nyawa manusia saja, tapi juga dalam konteks perekonomian. Hal itu lantaran bencana mengakibatkan aktivitas masyarakat terhenti bahkan lumpuh. Kelumpuhan tersebut akhir berujung pada lesunya perekonomian, lesunya perekonomian daerah yang terdampak bencana akan menjalar ke daerah lainnya yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Sehingga wajar jika dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, kerugian ekonomi yang disebabkan bencana ini harus menjadi perhatian serius.

Terkait kerugian secara ekonomi, Bank Dunia pernah mengungkapkan, total kerugian yang ditanggung Indonesia sepanjang 2019 akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai US$ 5,2 miliar atau setara dengan Rp 72,95 triliun (dengan kurs Rp 14.000/dollar AS). Angka tersebut setara dengan 0,5% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Pelajaran penting

Menurut hemat saya, ada tiga poin pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan sebagai arahan untuk menghentikan karhutlanomic yang selama ini menjadi keniscayaan.

Pertama, persoalan penegakan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negeri ini sangat kesulitan menjerat para pelaku pembakaran. Ketidaktegasan dan adanya indikasi korupsi menjadikan kasus kebakaran hutan dan lahan ibarat benang kusut yang sulit untuk diurai.

Menjadi sangat disayangkan pula ketika permasalahan kebakaran hutan dan lahan belum terurai, di sisi lain penggelut usaha konsesi akan dilepaskan dari tanggung jawab atas kebakaran yang terjadi berkat RUU Cipta Kerja yang kini semakin kuat didorong penerbitannya. Sudah penegakan hukum lemah, kini dengan Cipta Kerja penegakan hukum kehilangan taringnya.

Kedua, relevansi sistem penganggaran. Banyak pihak yang menganggap bahwa alokasi anggaran instansi atau lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penanganan kebakaran hutan dan lahan sudah tidak relevan.

Misal, ketika intensitas kebakaran hutan berkurang atau malah tidak muncul sama sekali, maka jelas serapan untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan juga tidak akan sesuai target. Dalam hal ini, serapan yang tidak sesuai target tersebut akan mengurangi alokasi anggaran instansi di tahun berikutnya.

Terkait dengan ini, alangkah baiknya jika alokasi anggaran berpatokan pada capaian atau prestasi. Ketika kebakaran hutan dan lahan berkurang atau tidak muncul sama sekali, maka instansi dapat dikatakan berprestasi sehingga alokasi anggaran dapat dimaksimalkan untuk program-program lainnya. Alokasi anggaran berdasarkan prestasi ini juga dapat menjadi stimulus bagi instansi untuk menerapkan ide-ide baru yang lebih kreatif dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Ketiga, minimnya komitmen berkelanjutan. Pelaku kebakaran hutan dan lahan yang biasanya adalah korporasi telah membuktikan bahwa komitmen berkelanjutan atau komitmen hijau demi menjaga lingkungan sangat minim di tengah masyarakat.

Hal ini juga membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak memiliki grand design tentang pembangunan berkelanjutan yang lebih spesifik menyentuh semua lapisan masyarakat dari hulu ke hilir, dari lapisan menengah ke atas sampai masyarakat di level tapak. Padahal, untuk membangun ekonomi yang lebih hijau, pemerintah jelas tidak bisa bergerak sendirian. Semua pihak harus memiliki komitmen hijau sehingga isu penyelamatan lingkungan khususnya hutan menjadi arus utama dalam aktivitas ekonomi maupun pembangunan.

Sekarang sudah saatnya kesadaran akan lingkungan menjadi sebuah kesadaran bersama yang mendasar. Semua pihak harus sadar bahwa merusak lingkungan, hutan, dan alam sudah tidak relevan untuk mencari keuntungan. Memperkaya diri dengan merusak salah satunya dengan melakukan pembakaran hutan harus segera ditinggalkan.

Bukankah belum lama ini pemerintah bahkan kita semua dibuat bangga dengan capaian penurunan angka deforestasi? Jika benar ada kebanggaan tersebut, maka cara terbaik untuk mempertahankannya adalah dengan meninggalkan segala hal yang merusak lingkungan, salah satunya karhutlanomic.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika Hari Hutan Nasional yang jatuh setiap 7 Agustus ini, dijadikan momentum untuk membentuk kesadaran bahwa hutan adalah aset masa depan yang berharga sehingga menjauhkannya dari kebakaran, degradasi, dan deforestasi adalah keniscayaan.

Related Article

Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”

Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”

Musim kemarau menjadi pertanda hadirnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Sejak tahun 1990-an hingga sekarang, bencana ini masih menjadi bencana rutin hampir setiap tahunnya. Faktor iklim ekstrem, seperti El Nino menyebabkan kekeringan panjang sehingga memicu karhutla. Selain El Nino, berdasarkan temuan Center for International Forestry Research (CIFOR), pemicu lainnya adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Titik api banyak ditemukan di lahan konsesi perusahaan perkebunan maupun wilayah prioritas restorasi gambut.

Pemerintah telah mengambil tindakan menangani Karhutla. Para pihak yang disinyalir sebagai pelaku juga ditangkap. Namun, upaya penegakan hukum ini kerap terbentur persoalan transparansi data kepemilikan konsesi lahan. Apalagi, banyak kasus Karhutla di Indonesia dipicu oleh aktivitas manusia, dalam bentuk land clearing untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan untuk bahan baku kertas. Selain itu, Karhutla semakin menantang karena luasnya lahan gambut di Indonesia.

Bagaimana pemetaan wilayah yang berpotensi rawan karhutla pada 2020? Bagaimana mitigasi ancaman karhutla ditengah pandemi Covid-19 ini?

Simak Katadata Forum Virtual Series
“Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”
Kamis, 13 Agustus 2020 | 10.00 – 11.30 WIB

Bersama:
1. Kepala BNPB – Doni Monardo
2. Gubernur Kalimantan – Barat Sutarmidji
3. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK – Ruandha Agung Sugardiman
4. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) – Wiendra Waworuntu
5. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan – Teguh Surya

Moderator:
Arie Mega, Katadata

———-
1. Peserta yang telah mendaftar akan mendapatkan email yang berisi tautan menuju diskusi tersebut di Zoom beserta password.
2. Mohon unduh Zoom terlebih dahulu jika akan berpartisipasi melalui gadget.
3. Tersedia E-Certificate bagi peserta di aplikasi Zoom. Panitia akan mengambil nama yang terdaftar di Form Pendaftaran untuk nama di E-Certificate

Untuk registrasi, dapat menuju link berikut Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”.

Related Article

Asap Karhutla Memperburuk Pandemi

Asap Karhutla Memperburuk Pandemi

BMKG memprediksi bahwa kemarau berlangsung pada Juni ini akan mencapai puncaknya pada Agustus nanti. Selama empat bulan ke depan, pengaruh Elnino juga akan terjadi, tetapi berada di bawah kategori moderat


Data Dirjen PPI KLHK, pantauan Terra Aqua Lappan terjadi 247 hotspot, dengan dua titik api terkonfirmasi 80% (Januari – Juli 2020). Sedangkan, berdasarkan pemantauan satelit SNPP terdapat 426 titik api dengan dua titik api terkonfirmasi 80%. Temuan titik api di antaranya terdapat di Desa Modong, Kecamatan Sungai Rotan Muara Enim dan sudah dipadamkan oleh petugas.

Tentu, karhutla tahun ini berbeda disbanding dengan tahun sebelumnya, hal tersebut lantaran ancaman virus corona atau Covid-19. Terkait dengan karhutla, Sumatera Selatan termasuk satu dari tujuh provinsi yang menjadi perhatian pemerintah pusat atas ancaman karhutla. Sumsel sendiri memiliki luasan gambut yang besar, sehingga saat terbakar akan memproduksi karbon dalam jumlah besar. Selain itu, asap dari Sumsel juga berpotensi menjadi asap lintas batas.


Berdasarkan kajian karbon yang dilepas saat terjadinya karhutladi Indonesia, kebakaran di lahan mineral 11 mt karbon dioksida (Co2) sedangkan pada lahan gambut melepaskan hingga 171 mt C02 atau 16 kali lebih banyak dari lahan mineral. Kebakaran di lahan gambut akan sangat merusak kualitas lingkungan dan suhu bumi.

Karhutla telah melepas karbon dalam jumlah besar ke udara. Data pelepasan carbon (emisi karbon) pada 2009-2011, di Kabupaten Ogan Ilir melepas 106 ribu ton, Banyuasin melepas sekitar 1,807 juta ton, sedangkan Muba melepas 3,7 juta ton dan OKI sebesar 2,3 juta ton.

Related Article

id_IDID