Madani

Tentang Kami

Yayasan Madani Berkelanjutan Perkenalkan Konsep Area Potensi Terbakar Pada RDPU Panja DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla

Yayasan Madani Berkelanjutan Perkenalkan Konsep Area Potensi Terbakar Pada RDPU Panja DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla

[MadaniNews] Pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) bersama pakar dan Lembaga Swada Masyarakat (Senin,28/06/2021), Yayasan Madani Berkelanjutan memperkenalkan konsep Area Potensi Terbakar (APT) sebagai solusi dalam upaya pencegahan karhutla di tanah air.

Giorgio Budi Indrarto, selaku Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan yang hadir dalam RDPU tersebut menyampaikan bahwa APT merupakan salah satu bentuk kontribusi Madani dalam upaya pemerintah dalam melakukan pengendalian dan penindakan karhutla. 

Pengendalian dini dalam kasus karhutla adalah garis kunci yang harus menjadi perhatian utama dalam upaya penanganan karhutla. Oleh karena itu, agar kita lebih cepat menentukan tindakan yang akan kita lakukan, Madani menghadirkan konsep APT sebagai bentuk dukungan nyata kepada pemerintah berupa cara untuk mengevaluasi kejadiaan kebakaran hutan yang pernah terjadi di tahun sebelumnya dan juga melihat dari kasus lima bulan ke belakang”, ujar Giorgio Budi Indrarto atau yang akrab dipanggil Jojo. 

Secara garis besar APT adalah sebuah pendekatan untuk memperkirakan area yang berkemungkinan tinggi mengalami Karhutla berdasarkan jumlah, sebaran, dan lama bertahan

titik panas (hotspot). 

Jojo juga mengatakan pentingnya penggunaan APT adalah agar pemerintah mendapatkan bacaan yang cepat sehingga dapat bergerak cepat berdasarkan data yang akurat. “APT ini juga dikembangkan dengan korelasi data yang cukup besar dengan SiPongi yakni antara 92-95% sehingga kalau kita bicara margin of error dapat dikatakan sangat kecil sekali”, pungkas Jojo. 

Dalam RDPU Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla ini, hadir beberapa pakar seperti Prof.Dr.Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku pakar forensik kebakaran Indonesia di Institut Pertanian Bogor, kemudian hadir pula Prof.Dr.Ir.Azwar Maas, M.sc selaku Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Sementara itu, bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, hadir beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Perkumpulan Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia, dan Kemitraan. 

Dapatkan bahan presentasi Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Jakarta, 24 September 2020 – Surat terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang ditandatangani lebih dari 500 tenaga kesehatan professional Indonesia dibacakan oleh dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari pada Kamis, 24 September 2020. Turut hadir sebagai pembicara drg. Monica Nirmala, MPH (Senior Public Health Advisor Yayasan ASRI), Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan), Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB), dengan moderator Wahyu Dyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo). Acara tersebut dibuka oleh Prof. DR. dr. Nila Moeloek, Sp. M (K) (Menteri Kesehatan RI 2014-2019) sebagai Keynote Speaker.

Acara webinar yang dihadiri 234 peserta ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk merespon potensi bencana ganda Covid-19 dan kebakaran hutan dan lahan, berupa seruan para profesional kesehatan Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di era pandemi ini. Inisiatif ini didorong oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo. Sampai acara ini diselenggarakan, sudah lebih dari 500 tenaga kesehatan profesional yang mendukung dan menandatangani surat tersebut.

“Saya sangat berterima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang sudah meluangkan waktu untuk mendukung dengan menandatangani surat terbuka ini di tengah padat dan sibuknya mereka dalam berjuang menghadapi badai pandemi Covid-19 ini. Persoalan kesehatan masyarakat harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi secara umum adalah upaya terintegrasi menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Jangan sampai di situasi Covid-19 yang sudah rumit seperti saat ini, kesehatan masyarakat semakin terbebani dengan bencana asap karhutla. Saat ini boleh dikatakan kita beruntung karena musim kemarau tidak sekering dan selama biasanya. Ke depannya, mari kita terus jaga hutan kita, demi Indonesia yang lebih sehat,” ujar drg. Monica Nirmala.

Hal yang sangat meresahkan adalah jika penyebaran virus Covid-19 terjadi berbarengan dengan kebakaran hutan dan lahan, di mana keduanya bisa berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Beban rumah sakit saat ini sudah cukup berat akibat Covid-19, dan kondisinya bisa semakin parah jika jumlah pasien bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan. Fokus penanganan bencana oleh pemerintah daerah juga akan terbelah sehingga tidak optimal.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Nila Moeloek dalam pidatonya saat membuka acara webinar, “asap ini bisa dari rokok, bisa dari kebakaran hutan, akhirnya akan mengganggu paru-paru. Dan paru-paru ini akan mengirup oksigen. Kita mengharapkan oksigen yang dengan mudah masuk paru-paru untuk bernapas, tapi ternyata virus (Covid-19) ini beresiko lebih besar saat paru-paru terganggu akibat kebakaran hutan.”

Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 64.600 hektare area terbakar yang terjadi selama periode Januari-Juli 2020. Analisa dari MADANI Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa ada terjadi perluasan area potensi terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus. Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.

Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya, data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari. Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.

Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.

“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di suatu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut. Sehingga diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla,” kata Teguh Surya.

Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat. RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.

RUU Cipta Kerja  ini perlu dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, wakil rakyat serta K/L yang berkepentingan dalam merumuskan RUU tersebut, untuk kemaslahatan umum. Bahwa akan sangat merugikan jika RUU disahkan. Dalam kajian MADANI menjelaskan bahwa hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsiyang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh  hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Husa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi. Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya. 

Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, kesehatan, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita. Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi. Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat.

—###—

 

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:

Image Dynamics

Ayunda Putri
08122001411
ayundapputri@gmail.com

Related Article

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Tidak dapat dimungkiri bahwa, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini. Tahun demi tahun karhutla berulang,  tidak ada jaminan bahwa karhutla akan berhenti secara permanen dan tidak akan terjadi di tahun-tahun ke depan.

Khusus untuk tahun ini, -maka jika karhutla terjadi, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan menghadapi dua bencana sekaligus. Karhutla dan pandemi COVID-19 yang hingga tulisan ini dibuat, masih terus merebak dengan korban jiwa dan penderita yang terus bertambah.

Terkait penanganan COVID-19, belum lama ini Universitas Oxford di Inggris memberikan rapor merah kepada Pemerintah Indonesia, mengacu pada empat indikator penilaian berikut: respons pemerintah secara umum (Overall Government Response Index), upaya penanggulangan dan kesehatan (Containment and Health Index), penegakan social distancing (Stringency Index), dan dukungan ekonomi (Economic Support Index).

Hasilnya, Indonesia hanya mendapatkan nilai indeks 43,91 yang artinya nilai tersebut setara nilai D (di bawah nilai 50). Berkat penilaian tersebut, Indonesia menempati posisi terendah di antara negara ASEAN, bahkan nilai Indonesia kalah jauh dari Kamboja. Lalu bagaimana jika bencana karhutla terjadi terjadi bersamaan? Banyak pihak yang meragukan kemampuan pemerintah menghadapi double disasters ini.

Mengkaji Ancaman Karhutla di Indonesia

Kita masih dapat memaklumi jika karhutla bersumber dari kejadian alam, seperti fenomena El Nino, yang dapat memantik api di lahan yang sudah mengering. Namun, pada kenyataannya permasalahan karhutla yang menahun, bersumber dari ulah manusia itu sendiri.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99% penyebab terjadinya karhutla di Indonesia adalah ulah manusia yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata. Karhutla telah menjadi persoalan multi dimensi. Tidak hanya pada kerugian lingkungan, tetapi kerugian negara dan masyarakat.

Seperti dari sisi kesehatan masyarakat. Karhutla 2019 menyebabkan 900 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kajian “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” dari tim peneliti Harvard University dan Columbia University mengungkap, jika pengendalian karhutla masih berjalan apa adanya (business as usual) maka angka kematian dini akan mampu mencapai 36 ribu jiwa di seluruh wilayah terdampak, untuk periode 2020 hingga 2030.

Penelitian ini memperkirakan, dari total angka kematian dini akibat korban paparan asap itu, 92 persen akan terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura. Demikian pula dari sisi ekonomi, karhutla menyebabkan kerugian besar. Kajian Bank Dunia menyebut Indonesia mengalami kerugian dari karhutla sebesar USD5,2 milyar (Rp72,9 trilyun) setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum termasuk korbanan non materi yang tidak dapat dihitung, seperti hilangnya opportunity time ratusan ribu anak-anak yang terganggu sekolahnya dan menikmati kehidupan yang sehat.

Pentingnya Membenahi Tata Kelola

Menurut hemat penulis persoalan karhutla tidak bisa dilihat dari persoalan teknis pemadaman api semata. Ia mencakup persoalan yang lebih luas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan tata kelola adalah dalang dari karhutla. Ia mencakup, mulai dari persoalan transparansi data, anggaran, dan penegakan hukum para pelaku karhutla. Buruknya kejadian karhutla pun mengindikasikan buruknya tata kelola hulu ke hilir. Membenahinya tentunya menjadi tantangan tersendiri, -sulit, tapi bukannya tidak mungkin.

Penulis akan menjelaskan pokok-pokok persoalan tata kelola yang perlu menjadi perhatian khusus, seperti diuraikan di bagian berikut: 

Pertama, transparansi data dan informasi karhutla. Kemudahan masyarakat dalam mengakses data karhutla adalah hak dasar yang harus disediakan oleh pemerintah. Patut diapresiasi bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyediakan SiPongi sebagai portal penyedia data karhutla. Namun, selanjutnya masih butuh kolaborasi dari media massa dan para pihak agar informasi yang disampaikan itu tepat dan akurat, tidak simpang siur, yang dapat memunculkan bias perbedaan data.

Untuk hal ini, perkembangan pesat teknologi citra satelit harus terus dipakai secara kontinyu untuk monitoring kemunculan lokasi titik api atau area potensi terbakar secara akurat. Secara khusus pemantauan harus terus difokuskan pada area yang memiliki sejarah rawan karhutla di masa silam, termasuk area-area konsesi dan lahan masyarakat yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Kedua, partisipasi dan kolaborasi. Permasalahan karhutla tersebar pada banyak sektor yang saling bergantung satu sama lain. Untuk itu, partisipasi dan kolaborasi dari banyak pihak adalah sebuah keniscayaan. Termasuk di dalamnya, sinergitas para petugas pemadam api yang mencakup para pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah, hingga level tapak, harus satu visi, misi, dan strategi.

Ketiga, persoalan pengukuran kinerja. Salah satu regulasi yang harus dirombak adalah tentang indikator keberhasilan penanganan karthula. Seharusnya indikasi keberhasilan penanganan karhutla bukan lagi berpedoman pada serapan alokasi anggaran karhutla. Namun pada kinerja dan prestasi pemadaman api. Pun, pada penyiapan struktur masyarakat dan peralatan sebelum karhutla terjadi.

Suatu instansi maupun lembaga saat ini akan dicap tidak bekerja dengan baik apabila serapan anggaran penanganan karhutla menurun. Alhasil, semua instansi saling berpacu dalam menghabiskan  anggaran, bukan lagi mengacu pada efektivitas penanganan karthutla. Sungguh, mekanisme seperti ini sudah tidak relevan dan harusnya diganti.

Keempat, pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa karhutla sering kerap terjadi di lahan dan konsesi. Hal ini tak lepas dari paradigma sebagian pengusaha untuk terus mencari keuntungan dengan korbanan paling minimal. Opsi membakar lahan pun lalu menjadi pilihan. Pada saat ketahuan, mereka berkelit saat ditindak, dan menimpakan detik kesalahan pada pihak lain.

Pengawasan dan penegakan hukum yang tajam dan tanpa pandang bulu tentu menjadi kunci untuk mengatasi ini. Saat area terbakar, sedini mungkin investigasi kasus dan pemberian sanksi, -baik administratif dan hukum, harusnya dapat segera dimulai.

Kejahatan karhutla harus ditempatkan dalam konteks kejahatan kepada kemanusian. Ia bukan hanya kejahatan sektoral. Untuk memberi efek jera maka sanksi hukum maksimal perlu diberlakukan, termasuk kepada korporasi pelanggar. Tidak saja pada pelanggar di tingkat perorangan.

Kita harus tetap menjaga momentum bahwa Indonesia menjadi negara yang mampu mengurangi laju deforestasi (dan juga karhutla). Bukan saja untuk menjadi baik di mata dunia, tetapi terlebih penting adalah untuk menjaga keselamatan bangsa kita sendiri.

Oleh: Delly Ferdian

Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat oleh portal Mongabay Indonesia pada 21 September 2020.

Related Article

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

[Jakarta, 13 Agustus 2020] –Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi bencana yang terus berulang setiap tahun. Bukan hanya terjadi dalam periode singkat, tapi sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Pada 2020 bahaya karhutla kembali mengancam dan kali ini datang bersamaan dengan pandemi Covid-19.

Pemerintah sudah menyadari potensi bencana tersebut. Secara khusus Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melihat ancaman ganda tersebut berpotensi menyerang orang-orang yang sangat rentan, seperti para lansia dan penderita penyakit bawaan atau komorbid seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).

Menghadapi karhutla tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kita menghadapi pandemi Covid-19 juga,” kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam Katadata Forum Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi“, Kamis (13/8). Oleh karenanya, kata dia, perlu ada upaya lebih serius dan lebih optimal untuk menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat. “Jangan ada yang membiarkan terjadinya kebakaran,” ujarnya menegaskan.

Lebih lanjut Doni menjelaskan, fokus BNPB tahun ini akan lebih banyak turun langsung ke unsur-unsur masyarakat untuk mencegah terjadinya karhutla. “Pencegahan merupakan langkah terbaik,” katanya.

Merujuk Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Doni menjabarkan ada tiga langkah preventif yang akan didorong. Pertama, mengembalikan kodrat gambut yang basah, berair, dan berawa. Kedua, mengubah perilaku agar masyarakat mengintervensi pihak yang berupaya membakar lahan untuk membuka lahan. Ketiga, membentuk satgas di setiap daerah untuk memantik kepedulian dalam penanganan bencana.

Senada dengan komitmen BNPB untuk memperkuat langkah mitigasi karhutla, Yayasan Madani Berkelanjutan mengambil inisiatif untuk melakukan analisis mengenai pemetaan Area Rawan Terbakar (ART) dan Area Potensi Terbakar (APT).  Data yang dikumpulkan dan diolah ini kemudian disilangkan dengan data Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) dari Kawal Covid-19 untuk memetakan besaran ancaman karhutla dan Covid-19 di berbagai daerah.

Serangan ganda Karhutla dan Covid-19 ini telah nyata di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Teguh, perlu ada kerja sama dan komitmen yang serius dari semua pihak, seperti pemerintah, swasta, masyarakat serta penggiat lingkungan dalam mencegah berulangnya kejadian karhutla, baik pada tahun ini maupun tahun mendatang.

Senada dengan BNPB, Teguh juga menekankan agar penanganan karhutla tidak hanya fokus di penanggulangan dan pemadaman api, tapi lebih pencegahan.

Perlu upaya untuk menghentikan bencana karhutla dengan berfokus pada upaya pemullihan lahan gambut dan menghentikan pengrusakan hutan,” kata Teguh menambahkan.

Adapun temuan Madani mendapatkan empat provinsi dengan tingkat potensi terbakar paling luas, yakni Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Setiap provinsi juga diwakilkan setidaknya tiga kabupaten/kota dengan luas area potensi terbakar antara 169 hektare (Kabupaten Karimun) sampai 6.152 hektare (Kabupaten Natuna).

Madani juga menemukan provinsi dengan kerentanan karhutla tertinggi tahun ini, yang juga memiliki kewaspadaan Covid-19 tinggi. Ditemukan bahwa provinsi Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi merupakan provinsi dengan ancaman ganda yang cukup tinggi atas karhutla dan Covid-19. “Apabila tidak diantisipasi, asap karhutla akan memperparah infeksi Covid-19,” kata Teguh lagi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) Wiendra Waworuntu yang turut hadir dalam diskusi menerangkan di masa karhutla akan timbul dampak kesehatan dalam munculnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Dampaknya kalau masa kebakaran hutan, ada beberapa jurnal yang mengatakan terjadi peningkatan juga kasus Covid-19 di udara panas, yang akan berdampak pada peningkatan kasus,” kata Wiendra.

Dia menjelaskan karhutla meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara karena adanya aerosol yang diciptakan asap. Oleh sebab itu respons penanggulangan pada wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan menjadi penting.

Wiendra juga merasa pada situasi karhutla diperlukan protokol tersendiri untuk mencegah penularan serta penyebaran ISPA dan Covid-19.

Pada forum diskusi turut hadir pula Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, sebagai perwakilan salah satu wilayah yang dari tahun ke tahun kerap terdampak karhutla. Dalam paparannya, Sutarmidji menyebut penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang di lahan konsesinya terdapat titik api.

Namun, di sisi lain pelibatan masyarakat dalam menjaga dan pemanfaatan lahan gambut juga ditekankan menjadi salah satu kunci dalam mendukung upaya pencegahan karhutla.

Sebenarnya kalau mau melibatkan masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan gambut kita harus mulai konsep membangun desa,” katanya seraya menegaskan bahwa lahan gambut memang harus dijaga. “Saya sependapat dengan Doni Monardo (Kepala BNPB) kalau lahan gambut harus ditanami jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi, seperti pisang dan lidah buaya.”  [ ]

***

Kontak lebih lanjut terkait temuan Madani dapat menghubungi:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Kontak Katadata: Jeany Hartriani, jeany@katadata.co.id, HP. 082154811993

Related Article

Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan

Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan

Tidak dapat dimungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sudah menjadi bagian dari serangkaian bencana tahunan yang selalu menghiasi negeri ini. Padahal, negeri yang berada di atas ring of fire ini sudah terbilang kenyang dengan segudang potensi bencana.

Tapi apa boleh buat, karhutla masih terus terjadi karena dalangnya belum puas memperkaya diri. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar 99% kebakaran hutan akibat ulah manusia.

Selama ini, opsi pembakaran hutan dan lahan selalu dipilih karena dinilai sangat ekonomis. Bayangkan saja, penggunaan alat berat atau penyediaan alat pembakar khusus untuk menampung sisa-sisa hasil penebangan dalam hal pembukaan lahan baru maupun pembersihan lahan (land clearing), terbilang sangat tidak efisien bahkan begitu merogoh kocek. Selain berbiaya mahal, metode pembersihan lahan seperti ini juga memakan waktu yang tidak sebentar. Tentu jika dikalkulasikan secara ekonomi, perbandingannya dengan pembakaran ibarat bumi dan langit.

Logika sempit ekonomi yakni bermodal sekecil-kecilnya demi untung sebesar-besarnya adalah fakta yang masih diterapkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Alhasil, metode membuka lahan dengan membakar (slash and burn) menjadi primadona di tengah masyarakat. 

Metode pembersihan lahan dengan membakar dianggap sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi para pelakunya. Begitulah sederhananya ekonomi kebakaran hutan dan lahan atau Karhutlanomic saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebakaran hutan yang dipicu oleh keserakahan ini bukan hanya mengancam kesehatan masyarakat, melainkan juga mengancam perekonomian secara menyeluruh. Memang benar bahwa metode pembersihan lahan dengan cara membakar memberikan keuntungan karena berhasil memangkas biaya produksi.

Tapi efek yang disebabkan dari kebakaran hutan dan lahan itu ibarat besar pasak daripada tiang. Artinya, bahwa apa yang diberikan dari hasil membakar lahan tidak sebesar penderitaan di kemudian hari. Selayaknya sebuah bencana pada umumnya, persoalan ekonomi selalu menjadi buntut yang tak bisa dihindari. Dalam konteks kebencanaan, kesepakatan dunia yang tertuang dalam Senday Frame Work for Disaster Risk Reduction tidak lagi hanya melihat bencana dalam konteks ancamannya terhadap nyawa manusia saja, tapi juga dalam konteks perekonomian. Hal itu lantaran bencana mengakibatkan aktivitas masyarakat terhenti bahkan lumpuh. Kelumpuhan tersebut akhir berujung pada lesunya perekonomian, lesunya perekonomian daerah yang terdampak bencana akan menjalar ke daerah lainnya yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Sehingga wajar jika dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, kerugian ekonomi yang disebabkan bencana ini harus menjadi perhatian serius.

Terkait kerugian secara ekonomi, Bank Dunia pernah mengungkapkan, total kerugian yang ditanggung Indonesia sepanjang 2019 akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai US$ 5,2 miliar atau setara dengan Rp 72,95 triliun (dengan kurs Rp 14.000/dollar AS). Angka tersebut setara dengan 0,5% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Pelajaran penting

Menurut hemat saya, ada tiga poin pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan sebagai arahan untuk menghentikan karhutlanomic yang selama ini menjadi keniscayaan.

Pertama, persoalan penegakan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negeri ini sangat kesulitan menjerat para pelaku pembakaran. Ketidaktegasan dan adanya indikasi korupsi menjadikan kasus kebakaran hutan dan lahan ibarat benang kusut yang sulit untuk diurai.

Menjadi sangat disayangkan pula ketika permasalahan kebakaran hutan dan lahan belum terurai, di sisi lain penggelut usaha konsesi akan dilepaskan dari tanggung jawab atas kebakaran yang terjadi berkat RUU Cipta Kerja yang kini semakin kuat didorong penerbitannya. Sudah penegakan hukum lemah, kini dengan Cipta Kerja penegakan hukum kehilangan taringnya.

Kedua, relevansi sistem penganggaran. Banyak pihak yang menganggap bahwa alokasi anggaran instansi atau lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penanganan kebakaran hutan dan lahan sudah tidak relevan.

Misal, ketika intensitas kebakaran hutan berkurang atau malah tidak muncul sama sekali, maka jelas serapan untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan juga tidak akan sesuai target. Dalam hal ini, serapan yang tidak sesuai target tersebut akan mengurangi alokasi anggaran instansi di tahun berikutnya.

Terkait dengan ini, alangkah baiknya jika alokasi anggaran berpatokan pada capaian atau prestasi. Ketika kebakaran hutan dan lahan berkurang atau tidak muncul sama sekali, maka instansi dapat dikatakan berprestasi sehingga alokasi anggaran dapat dimaksimalkan untuk program-program lainnya. Alokasi anggaran berdasarkan prestasi ini juga dapat menjadi stimulus bagi instansi untuk menerapkan ide-ide baru yang lebih kreatif dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Ketiga, minimnya komitmen berkelanjutan. Pelaku kebakaran hutan dan lahan yang biasanya adalah korporasi telah membuktikan bahwa komitmen berkelanjutan atau komitmen hijau demi menjaga lingkungan sangat minim di tengah masyarakat.

Hal ini juga membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak memiliki grand design tentang pembangunan berkelanjutan yang lebih spesifik menyentuh semua lapisan masyarakat dari hulu ke hilir, dari lapisan menengah ke atas sampai masyarakat di level tapak. Padahal, untuk membangun ekonomi yang lebih hijau, pemerintah jelas tidak bisa bergerak sendirian. Semua pihak harus memiliki komitmen hijau sehingga isu penyelamatan lingkungan khususnya hutan menjadi arus utama dalam aktivitas ekonomi maupun pembangunan.

Sekarang sudah saatnya kesadaran akan lingkungan menjadi sebuah kesadaran bersama yang mendasar. Semua pihak harus sadar bahwa merusak lingkungan, hutan, dan alam sudah tidak relevan untuk mencari keuntungan. Memperkaya diri dengan merusak salah satunya dengan melakukan pembakaran hutan harus segera ditinggalkan.

Bukankah belum lama ini pemerintah bahkan kita semua dibuat bangga dengan capaian penurunan angka deforestasi? Jika benar ada kebanggaan tersebut, maka cara terbaik untuk mempertahankannya adalah dengan meninggalkan segala hal yang merusak lingkungan, salah satunya karhutlanomic.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika Hari Hutan Nasional yang jatuh setiap 7 Agustus ini, dijadikan momentum untuk membentuk kesadaran bahwa hutan adalah aset masa depan yang berharga sehingga menjauhkannya dari kebakaran, degradasi, dan deforestasi adalah keniscayaan.

Related Article

Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”

Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”

Musim kemarau menjadi pertanda hadirnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Sejak tahun 1990-an hingga sekarang, bencana ini masih menjadi bencana rutin hampir setiap tahunnya. Faktor iklim ekstrem, seperti El Nino menyebabkan kekeringan panjang sehingga memicu karhutla. Selain El Nino, berdasarkan temuan Center for International Forestry Research (CIFOR), pemicu lainnya adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Titik api banyak ditemukan di lahan konsesi perusahaan perkebunan maupun wilayah prioritas restorasi gambut.

Pemerintah telah mengambil tindakan menangani Karhutla. Para pihak yang disinyalir sebagai pelaku juga ditangkap. Namun, upaya penegakan hukum ini kerap terbentur persoalan transparansi data kepemilikan konsesi lahan. Apalagi, banyak kasus Karhutla di Indonesia dipicu oleh aktivitas manusia, dalam bentuk land clearing untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan untuk bahan baku kertas. Selain itu, Karhutla semakin menantang karena luasnya lahan gambut di Indonesia.

Bagaimana pemetaan wilayah yang berpotensi rawan karhutla pada 2020? Bagaimana mitigasi ancaman karhutla ditengah pandemi Covid-19 ini?

Simak Katadata Forum Virtual Series
“Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”
Kamis, 13 Agustus 2020 | 10.00 – 11.30 WIB

Bersama:
1. Kepala BNPB – Doni Monardo
2. Gubernur Kalimantan – Barat Sutarmidji
3. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK – Ruandha Agung Sugardiman
4. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) – Wiendra Waworuntu
5. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan – Teguh Surya

Moderator:
Arie Mega, Katadata

———-
1. Peserta yang telah mendaftar akan mendapatkan email yang berisi tautan menuju diskusi tersebut di Zoom beserta password.
2. Mohon unduh Zoom terlebih dahulu jika akan berpartisipasi melalui gadget.
3. Tersedia E-Certificate bagi peserta di aplikasi Zoom. Panitia akan mengambil nama yang terdaftar di Form Pendaftaran untuk nama di E-Certificate

Untuk registrasi, dapat menuju link berikut Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi”.

Related Article

Karhutla 2019 dan Potensi Area Terbakar di 2020

Karhutla 2019 dan Potensi Area Terbakar di 2020

Tidak dapat dimungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi telah momok bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia. Sejak 2010 hingga 2017, kasus karhutla khususnya di lahan gambut merupakan satu dari tiga penyumbang utama emisi Gas Rumah Kaca dari sektor hutan dan lahan.


Berdasarkan data Sistem Informasi Deteksi Dini Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Web atau disebut SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tercatat seluas 1.649.258 hektare karhutla di 33 provinsi di tanah air. Luas kebakaran tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya (2018), bukan hanya itu BNPB menyatakan total kerugian ekonomi akibat karhutla 2019 mencapai Rp 75 Triliun.

GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Naufal dalam diskusi virtual bertema “Menyelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 13 Mei 2020, menyebut bahwa lebih dari 1 juta hektare atau 63 persen area terbakar 2019 adalah hutan dan lahan yang baru terbakar pertama kali pada tahun 2019 (Area Baru Terbakar). Mayoritas atau 56,84 persen Area Baru Terbakar ditemukan di dalam dan sekitar wilayah izin, khususnya izin sawit dan Hutan Tanaman Industri.

Dari sebaran provinsi, Area Baru Terbakar terluas ada di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, tiga provinsi dengan laju peningkatan luas sawit tertanam yang sangat tinggi dalam periode 2015-2018”, ujar Fadli.

Dalam diskusi yang sama, Direktur Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto selaku narasumber mengatakan bahwa penanganan kebakaran hutan pada tahun lalu sangat terlambat sehingga penyebarannya sudah begitu luas. Hal ini terjadi karena lamanya proses penetapan status darurat yang dilakukan pemerintah setempat. Akibatnya BNPB Pusat tidak dapat segera turun tangan menangani permasalahan.

Untuk mendapatkan bahan diskusi virtual “Menyelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020”, silakan unduh selengkapnya di tautan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Cegah Kebakaran 2020: Lima Provinsi dengan Area Rawan Terbakar Tinggi Perlu Menjadi Perhatian Khusus

Cegah Kebakaran 2020: Lima Provinsi dengan Area Rawan Terbakar Tinggi Perlu Menjadi Perhatian Khusus

Jakarta, 13 Mei 2020. Kebakaran hutan dan lahan yang menyerbu Indonesia tahun 2019 lalu adalah yang terburuk kedua sejak 2015, menghanguskan 1,6 juta hektare hutan dan lahan dan menimbulkan kerugian sebesar 75 Triliun rupiah.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkap lima temuan terkait kebakaran hutan dan lahan di 2019 dan peringatan dini untuk tahun 2020. Pertama, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah adalah provinsi dengan area terbakar terluas di tahun 2019 dan kedua provinsi ini merupakan provinsi prioritas restorasi gambut. Kedua, 44 persen kebakaran tahun 2019 terjadi di ekosistem gambut yang sulit dipadamkan, dan mayoritas berada di gambut lindung. Ketiga, lebih dari 1 juta hektare area terbakar pada tahun 2019 atau 63 persen merupakan area yang baru pertama kali terbakar di tahun 2019 dan erat kaitannya dengan keberadaan izin, khususnya perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri. Keempat, area terbakar tahun 2019 terluas terjadi di tutupan lahan non-hutan sehingga menjaga hutan menjadi kunci untuk mencegah kebakaran. Dan kelima, lima provinsi harus diperhatikan secara khusus, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan karena memiliki prediksi Area Rawan Terbakar paling luas di tahun 2020,” demikian dipaparkan oleh Fadli Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online bertema “Menyelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 13 Mei 2020.

Kebakaran yang terjadi di area PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru) dan PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial) juga berkaitan erat dengan keberadaan dan kedekatan dengan wilayah izin/konsesi sawit dan HTI.  51,82 persen kebakaran di PIPPIB relatif berdekatan dan bahkan tumpang tindih dengan kedua jenis izin ini, sementara di PIAPS 57,46 persen.

Mayoritas kebakaran di Hutan Produksi (58,97 persen) juga terjadi di wilayah yang tumpang tindih dengan atau telah dibebani izin skala besar, yaitu perkebunan sawit, HTI, dan logging/IUPHHK HA dengan luasan terbesar di wilayah HTI (51,57 persen). Di antara tiga jenis izin di atas, kebakaran 2019 terluas terjadi di wilayah izin sawit sebesar 217.497 hektare, disusul oleh HTI sebesar 190.831 hektare, dan IUPHHK HA sebesar 30.813 hektare.

Mengingat sentralnya keberadaan perizinan pengelolaan kebun dan hutan dalam kebakaran 2019, pengawasan terhadap kepemilikan sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran di wilayah berizinharus diperkuat, juga penegakan hukum terhadap pemilik izin yang arealnya terjadi kebakaran,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani.

RUU Cipta Kerja jika dilanjutkan  pembahasannya akan sangat berisiko meningkatkan kerentanan wilayah terhadap Karhutla”, tambah Teguh.

Selain keberadaan izin, Ekosistem Gambut juga memainkan peran signifikan dalam Karhutla 2019. Empat puluh empat (44) persen kebakaran 2019 dengan luas mencapai 727.972 hektare terjadi di Ekosistem Gambut. Yang memprihatinkan, mayoritas (54,71 persen) terjadi di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung (FLEG).

Area Ekosistem Gambut yang berada di dalam dan sekitar izin – khususnya perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri – harus diperhatikan secara khusus karena memainkan peran penting dalam kebakaran 2019. Kebakaran di Ekosistem Gambut sangat berbahaya karena sulit untuk dipadamkan dan menimbulkan polusi karbon yang jauh lebih besar, juga menimbulkan asap yang sangat beracun dan membahayakan bagi kesehatan masyarakat,” tambah Teguh.

Mengingat Ekosistem Gambut memainkan peran penting dalam pencegahan Karhutla, maka restorasi gambut mutlak menjadi salah satu strategi utama pemerintah dan pemegang  izin dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2020. Penegakan hukum terhadap pemegang izin yang masih melakukan pengeringan gambut dan tidak menjalankan restorasi gambut di wilayahnya harus digalakkan dan peraturan yang dapat melemahkan perlindungan ekosistem gambut diantaranya Permen LHK No. 10 Tahun 2019 dan Permen LHK No. 62 Tahun 2019  layak untuk segera dicabut. .

***

Narahubung:

  1. Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0819 1519 1979, email: teguh@madaniberkelanjutan.id
  1. Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 1916 1932, email: fadli@madaniberkelanjutan.id
  1. Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

STRATEGI PENANGANAN KARHUTLA SAAT PANDEMI COVID-19

STRATEGI PENANGANAN KARHUTLA SAAT PANDEMI COVID-19

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyiapkan strategi dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama pandemi korona (Covid-19). KLHK pun memastikan bahwa seluruh langkah yang akan diambil telah berdasarkan protokol kesehatan Covid-19.

KLHK pun akan melakukan pemantauan titik panas dan indeks pencemaran udara. Hasil dari pemantauan yang dilakukan nantinya akan dilaporkan dalam situs KLHK agar publik dapat mengetahui situasi terkini. Saat ini, petugas dari KLHK masih berada di lapangan untuk menindaklanjuti informasi titik panas dari masyarakat. Apabila terjadi kebakaran, makan petugas pemadam kebakaran juga telah bersiap untuk melakukan pemadaman. Dalam hal ini, pemantauan kondisi kesehatan dan stamina petugas tetap menjadi perhatian.

Kemudian juga, tidak menutup kemungkinan akan adanya penggunaan teknologi modifikasi cuaca jika diperlukan. Apalagi, teknologi itu sudah dilaksanakan di Riau.

Untuk mendapatkan informasi terkait dengan pemberitaan media pada pekan ini, silakan unduh bahan materi yang tersedia di tautan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

DI TENGAH WABAH CORONA, RIAU JUGA HARUS SIAGA KARHUTLA

DI TENGAH WABAH CORONA, RIAU JUGA HARUS SIAGA KARHUTLA

Pemberitaan Media edisi Minggu 23 – 29 Maret 2020 memuat tentang Propinsi Riau yang harus menghadapi dua ancaman serius, yaitu wabah corona dan karhutla, karena saat ini sudah masuk musim kemarau panjang. BMKG pada 25 Maret 2020 telah mendeteksi ada 19 titik panas di Riau, dan terbanyak berada di Kabupaten Pelalawan. Dari Januari Hingga 23 Maret 2020 lahan terbakar di Riau telah mencapai 885,03 ha.

Pemberitaan lainnya tentang prediksi puncak musim kemarau yang akan jatuh pada Agustus 2020. Meskipun diprediksi musim kemarau kali ini lebih basah dari musim kemarau 2019, namun akan mengalami kemarau lebih kering dari normalnya.

Pemberitaan lain adalah polusi udara Jakarta saat ini yang mulai berkurang. Begitu juga dengan polusi udara yang terjadi di Amerika Serikat. Pemberitaan terakhir tentang Omnibus Law yang dapat mengancam perlindungan gambut.

Untuk pemberitaan media selengkapnya dapat diunduh di tautan berikut ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

id_IDID