Madani

Tentang Kami

KARHUTLA MENINGGI DI BULAN JUNI

KARHUTLA MENINGGI DI BULAN JUNI

Update Area Diduga Karhutla Nasional Juni 2024 MADANI Berkelanjutan

MADANI mengidentifikasi indikasi angka kebakaran berbasis model Area Indikatif Terbakar (AIT) yang dikembangkan mandiri berdasarkan titik panas di citra satelit. Selama  Januari hingga Juni 2024, area yang diduga kuat terbakar sudah mencapai 56 ribu ha, 90% (53,9 ribu ha) di antaranya merupakan area baru.  “Angka di area yang tidak berulang ini terus didalami MADANI. Setiap tahunnya, AIT di area yang tidak berulang ini terus bertambah. Artinya, makin banyak hutan dan lahan yang rusak atau terdegradasi akibat karhutla”, ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist MADANI.

Sepuluh Provinsi mendominasi AIT, terbesar berada di Kalimantan Timur, meskipun angkanya menurun pada Juni 2024. Provinsi lain seperti Riau dan Sumatera Selatan mengalami fluktuasi setiap bulannya, namun tetap tinggi dan terus muncul AIT baru. “Ini harus menjadi perhatian pengambil kebijakan setempat agar segera mengambil upaya mitigasi yang tepat dan efektif agar area karhutla tidak makin membesar dan berdampak pada masyarakat sekitar”, kata Sadam Afian Richwanudin, Peneliti MADANI.

Dilihat dari segi kawasan, lebih dari separuh (52% atau 27 ribu ha) area yang diduga kuat terbakar terjadi di Kawasan Hutan. Dari segi tutupan lahan, 85% atau 45,9 ribu ha merupakan tutupan non hutan alam. Area terbakar di dalam dan sekitar izin/konsesi masih tinggi dengan persentase hingga mencapai 70%. Khusus di dalam izin, AIT di izin perkebunan sawit terindikasi paling besar. Temuan ini sepatutnya menjadi catatan bagi pemilik izin untuk mengupayakan mitigasi dan pemadaman secara cepat.

Indikasi kebakaran juga masih terjadi kebakaran di wilayah-wilayah yang seharusnya terlindungi. Area Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPS) berkontribusi 9,3% meski hanya sedikit yang masuk area izin perhutanan sosial. Kebakaran juga terjadi di area moratorium atau PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Izin Baru) dengan persentase hingga 25%. Sementara 18,42% atau 9,9 ribu ha AIT teridentifikasi di Fungsi Ekosistem Gambut. “Jika fenomena karhutla ini terus dibiarkan dan tidak segera ditangani, kami khawatir akan terus mengancam kelangsungan hutan alam tersisa. Lebih jauh juga akan menghambat upaya Indonesia untuk mencapai target iklim sebagaimana yang telah dimandatkan dalam Dokumen NDC dan FOLU Net Sink 2030”, papar Nadia Hadad, Direktur MADANI.

Disclaimer:

Seluruh data kebakaran pada tulisan ini mengacu pada model Area Indikatif Terbakar atau AIT. Model yang dikembangkan MADANI ini merupakan upaya untuk melihat pola titik panas atau hotspot yang memiliki karakteristik khusus sehingga diduga menjadi area indikatif karhutla. Data hotspot pada Model AIT MADANI, telah memilah mana titik panas karhutla dan mana titik panas selain karhutla sehingga menghasilkan informasi yang lebih akurat.

1. Bagaimana angka karhutla pada Juni?

Angka indikasi karhutla pada Juni tercatat meningkat seluas 8.014 ha atau naik hingga 350% dibandingkan dengan Mei. 94% dari angka tersebut teridentifikasi di area baru, artinya kebakaran menyebar ke area yang pada bulan sebelumnya tidak terbakar. Angka ini menjadi yang tertinggi ketiga dalam setengah tahun terakhir. MADANI belum memastikan penyebab peningkatan drastis ini, namun diduga karena dua hal, yaitu mulai masuknya musim kemarau serta aktivitas pembakaran di lahan yang rentan terbakar.

2. Bagaimana tren angka karhutla Januari-Juni?

Karhutla terindikasi terus meningkat dari Januari hingga April 2024 dengan persentase hampir 3 kali lipat. Meskipun turun saat memasuki Mei, namun kembali naik pada Juni 2024. Sebanyak 91% (setara 53,9 ribu ha) dari 59,412 ha area karhutla Januari-Juni 2024 tidak berulang. Artinya, mayoritas AIT dari bulan ke bulan terus menyebar di area yang baru.

Sebaran Karhutla Jan-Juni 2024 (5 Provinsi terluas dalam hektare)

Kalimantan Timur adalah provinsi dengan area indikasi karhutla terluas. Sekitar 36% atau setara 20 ribu hektar AIT Januari-Juni 2024 berasal dari provinsi ini. Kaltim mengalami ledakan AIT pada ulan Februari dan April, lalu menurun memasuki bulan Mei 2024. Provinsi lain yang turut menyumbang area karhutla besar adalah NTT, Riau, Aceh, dan NTB. 

3. Di mana sajakah kawasan yang terindikasi terdapat karhutla?

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

Dari segi tutupan, mayoritas area indikasi terbakar berada di area non-hutan alam dengan luas 46 ribu ha atau 85 persen. Namun, indikasi kebakaran masih ditemukan di area gambut dan area restorasi gambut. Bahkan, AIT di Fungsi Ekosistem (FE) Gambut terjadi paling luas di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut yaitu sebesar 64,36% atau setara 6,2 ribu ha. Menjaga FE Gambut, termasuk di kawasan Hutan Produksi dan APL, menjadi hal yang penting mengingat peran pentingnya dalam menahan emisi karbon. 

4. Di mana sajakah area kawasan hutan yang patut menjadi perhatian?

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

AIT pada Januari-Juni menyebar di seluruh jenis kawasan, terbesar berada di kawasan Area Penggunaan Lain atau APL. Meskipun begitu, area PIPPIB (wilayah penghentian pemberian izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut) menyumbang AIT dengan luas 12.972 ha atau 24 persen dari seluruh area indikasi terbakar. Padahal seharusnya wilayah ini merupakan area yang dilindungi.

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

Pada kawasan hutan, kebakaran dominan terjadi di kawasan hutan produksi. Sayangnya, kebakaran juga terindikasi masih terjadi di kawasan hutan lindung dan konservasi, bahkan meningkat hingga lima kali lipat di bulan Juni. Fenomena ini patut menjadi perhatian khusus karena dua kawasan ini memiliki fungsi vital bagi ekosistem.

5. Apakah karhutla terjadi juga di kawasan konsesi/izin?

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

Hampir 70% atau setara 36,5 ribu ha indikasi kebakaran pada Januari-Juni 2024 berada di dalam dan sekitar izin/konsesi. Izin perkebunan sawit mendominasi kontribusi angka AIT di izin/ konsesi selama Januari hingga Juni dengan luas AIT mencapai 6,6 ribu ha. Indikasi kebakaran di sekitar izin sawit pun tetap yang tertinggi yaitu seluas 3,4 ribu ha. Area terbakar tertinggi kedua berada di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang mencapai 3,4 ribu ha.

6. Apa yang harus menjadi perhatian pemangku kebijakan dalam upaya penanggulangan ke depan?

Berdasarkan analisis AIT yang dilakukan MADANI pada 2023, angka kebakaran meningkat tajam pada kurun Juli-September, terutama di provinsi yang rentan karhutla seperti Kalimantan Tengah. Meskipun tahun ini berada di luar 10 Provinsi dengan AIT terluas, namun angka AIT di Kalimantan Tengah terus meningkat pada medio Mei ke Juni. Pada level kabupaten, Merauke harus menjadi perhatian sebab menjadi kabupaten dengan angka indikasi terbakar yang tinggi.

 

Pengambil kebijakan di daerah harus mengambil langkah tepat agar peristiwa serupa tidak terulang, apalagi dengan tren kebakaran yang meningkat tajam dari Mei ke Juni. MADANI mendorong pengambil kebijakan di daerah untuk segera memitigasi potensi kebakaran, terutama di lahan kering. Pemilik izin dan masyarakat juga berandil penting dengan tidak melakukan aktivitas membakar serta melakukan tindakan cepat ketika muncul AIT.

7. Apa pembelajaran penting dari data AIT Madani?

Hasil analisis pemodelan AIT MADANI secara periodik dalam empat tahun terakhir, menunjukkan Indonesia belum bebas dari karhutla. Temuan kami menunjukkan masih terjadi kebakaran dari area bertutupan hutan alam, area gambut, hingga area yang sudah dibebani izin. Hal itu menunjukkan urgensi perbaikan sistemik dalam penanganan dan mitigasi karhutla, baik pada level nasional maupun regional. Perubahan tersebut utamanya terkait pada perbaikan regulasi dan penegakan hukum, serta pemenuhan kebutuhan personil, pembiayaan, dan prasarana.

 

MADANI akan terus melakukan analisis karhutla berbasis AIT sebagai suatu upaya kontribusi konkrit untuk terus menekan angka karhutla. Pemodelan AIT diharapkan bisa menjadi alat bantu dalam memitigasi kejadian karhutla di berbagai wilayah, terutama pada area dengan tutupan hutan alam. Dengan update data lebih cepat yang kami lakukan, upaya penanganan karhutla dapat dilakukan secara lebih dini. 

Unduh Dokumen Terkait

Related Article

Demi Kebijakan Iklim yang Adil dan Inklusif, Masyarakat Sipil Suarakan Keadilan Iklim Dalam Second NDC

Demi Kebijakan Iklim yang Adil dan Inklusif, Masyarakat Sipil Suarakan Keadilan Iklim Dalam Second NDC

[Madani News] Pendekatan yang adil dan inklusif akan menciptakan pondasi yang kuat untuk implementasi NDC yang berkelanjutan karena melibatkan dan memberdayakan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam mencapai target iklim.

Begitulah pesan yang ingin disampaikan masyarakat sipil dalam acara Ruang Dialog “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan” yang diselenggarakan Yayasan MADANI Berkelanjutan bersama Yayasan Pikul dan Yayasan Humanis  3-4 Juli 2024 di Jakarta.

BACA JUGA: Konferensi Perubahan Iklim Bonn 2024: Jalan Terjal Menuju COP 29

Diketahui saat ini Pemerintah Indonesia sedang menyusun Nationally Determined Contribution Kedua (Second NDC/SNDC) yang akan disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC) pada Agustus 2024. Penyusunan SNDC tersebut diharapkan mengintegrasikan keadilan iklim sehingga dapat mengatasi ketidaksetaraan sosial-ekonomi-politik yang ada sembari memastikan beban dan manfaat aksi iklim didistribusikan secara adil.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad mengatakan, untuk mengintegrasikan keadilan iklim dalam berbagai kebijakan maupun program pemerintah seperti NDC ataupun SNDC maupun berbagai aksi penanganan krisis iklim, perlu untuk melihat empat dimensi yakni keadilan rekognitif, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan restoratif.

Nadia juga mengingatkan bahwa Indonesia saat ini telah memasuki fase krisis iklim mengingat dampaknya yang sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia di seluruh lapisan.

Apakah itu di wilayah urban, suburban, atau di pedesaan merasakan dampaknya dalam bentuk yang berbeda-beda. Itu yang menjadi alasan utama, masyarakat yang terkena dampak itu harus ditempatkan sebagai subjek dan bukan hanya sekedar objek dalam penanganan krisis iklim,” ucap Nadia.

Saat ini, Indonesia harus menanggung beban dari dampak emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan negara maju sejak revolusi industri 30 dekade yang lalu.

Selain itu, rakyat Indonesia juga menanggung beban ekologis dari ekstraksi sumber daya alam yang dilakukan negara maju. Akibatnya, banyak masyarakat adat dan lokal yang kehilangan akses atas kepemilikan tanah (land tenure).

Nadia mengatakan bahwa akibat perubahan iklim, masyarakat harus mengubah pola hidupnya dan beradaptasi. Akan tetapi, di sisi lain mereka tidak merasa dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan di Indonesia.

BACA JUGA: Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah harus melibatkan semua elemen khususnya kelompok rentan seperti nelayan tradisional, masyarakat pesisir, petani kecil, masyarakat adat, perempuan, orang dengan ragam disabilitas, anak-anak dan lansia, kelompok miskin urban dan sub-urban, maupun buruh dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim.

Melalui acara ruang dialog ini, Yayasan MADANI Berkelanjutan berharap aspirasi dan masukan  dari kelompok rentan dan masyarakat sipil dapat didengar para pembuat kebijakan demi upaya  untuk memperkuat ambisi dan dimensi keadilan iklim dalam dokumen kebijakan yang relevan seperti halnya SNDC maupun RPJMN 2025-2029. [ ]

Dokumen terkait:

Related Article

Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

[Siaran Pers, 28 Juni 2024] Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen menangani krisis iklim dengan menyusun dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC, mulai dari NDC Pertama (First NDC), Updated NDC, hingga yang terbaru, Enhanced NDC. Namun, kami menilai bahwa penyusunan dokumen NDC di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan prinsip transparansi dan partisipasi yang inklusif dan bermakna, terutama bagi masyarakat yang terdampak dan pihak-pihak non-pemerintah pusat yang lazim disebut sebagai Non-Party Stakeholders atau NPS. Dalam momentum penyusunan dokumen Second NDC (SNDC), Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah serius untuk melibatkan kelompok yang paling berisiko terkena dampak perubahan iklim seperti nelayan tradisional, petani, masyarakat adat, perempuan, orang dengan disabilitas, anak-anak dan lansia dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, yang mendukung penuh  masyarakat rentan dalam menyuarakan aspirasi mereka dalam Surat Terbuka Lindungi Rakyat Indonesia Hari Ini dan Esok: Pastikan Partisipasi Bermakna dalam Penyusunan Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC).

“Dokumen NDC kedua Indonesia ini seharusnya tidak hanya ambisius, namun juga memuat komitmen yang konkret serta dilakukan melalui proses yang partisipatif, inklusif, dan adil. Untuk mencapai hal tersebut, dimensi keadilan iklim yang mencakup keadilan distributif, keadilan rekognitif, keadilan prosedural, keadilan restoratif-korektif, dan keadilan gender semestinya secara otomatis dilakukan dan disediakan oleh pemerintah guna pemenuhan hak asasi kepada warga negara sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi,” tambah Nadia.

“Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim memberikan dampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, gelombang pasang, penurunan muka tanah, dan kebakaran hutan dan lahan telah membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal, memakan banyak korban jiwa, merusak mata pencaharian nelayan, petani, masyarakat adat, bahkan melumpuhkan perekonomian lokal. Orang dengan disabilitas, perempuan, anak-anak dan lansia, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, petani kecil, dan nelayan tradisional menanggung beban yang jauh lebih berat karena kurangnya kemampuan dan dukungan bagi mereka untuk bertahan,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.

Armayanti Sanusi, Ketua Solidaritas Perempuan, mengatakan, “Faktanya, tahapan penyusunan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) masih mendiskriminasi perempuan untuk dapat terlibat secara bermakna di dalam seluruh tahapan perencanaan hingga monitoring adaptasi dan mitigasi iklim di Indonesia. Lebih lanjut lagi skema mitigasi masih lebih dikedepankan oleh pemerintah Indonesia, dibandingkan skema adaptasi yang dibutuhkan oleh perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim dan bencana. Padahal perempuan memiliki inisiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim di Indonesia. Proyek hilirisasi energi Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang diklaim pemerintah sebagai transisi energi bersih justru menempatkan perempuan pada situasi berlapis akibat masifnya perampasan, penggusuran ruang hidup perempuan, hingga penghilangan pengetahuan dan kearifan lokal  yang menciptakan berbagai ketimpangan dan feminisasi pemiskinan struktural bagi perempuan petani, nelayan dan perempuan adat”.

“Jumlah warga lansia dan difabel di Indonesia sekitar 50 juta orang, dan di dunia hampir mendekati 2 miliar orang. Sudah sepantasnya mereka terlibat di dalam seluruh proses pengambilan keputusan,” ujar Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia yang juga sekaligus Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability. “Proses penyusunan NDC yang kedua tidak menunjukkan adanya keberpihakan pada keadilan iklim bagi warga rentan ini. Prinsip “No One Left Behind” dan “Nothing About Us Without Us” tidak terlihat, dan mungkin juga tidak dipahami dalam merepresentasikannya,” imbuh Farhan.

Sementara itu, masyarakat yang hidup di pesisir juga belum dilibatkan secara inklusif. “Sangat penting memastikan suara nelayan tradisional didengar dan diperhitungkan dalam penanganan perubahan iklim. Khususnya dalam konteks penyusunan Second NDC. Faktanya, nelayan kecil dan tradisional merupakan kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Hasil survei KNTI tahun 2023 menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menurunkan hasil tangkapan sebesar 72%, menurunkan pendapatan sebesar 83%, dan meningkatkan risiko kecelakaan sebesar 86%. Tanpa pelibatan nelayan, kebijakan yang dihasilkan berisiko tidak relevan dan tidak efektif di lapangan. Nelayan kecil dan tradisional tidak hanya ingin menjadi objek dari kebijakan, tetapi juga subjek yang aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan,” tegas Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

“Menurunnya jumlah nelayan karena minimnya minat generasi muda untuk menjadi nelayan atau berusaha di sektor kelautan perikanan. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya risiko bekerja di laut pun demikian yang bergerak di sektor budidaya ikan dan rumput laut akibat dari adanya perubahan iklim dan menurunnya kesehatan laut dan pesisir,” terang Hendra Wiguna selaku Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia.

Hendra melanjutkan bahwa menurunnya jumlah nelayan ini perlu diantisipasi segera, karena akan berdampak luas mulai dari ketersediaan pangan hingga serapan tenaga kerja yang selama ini terserap oleh sektor usaha kelautan perikanan. Maka dari itu terkait dengan dampak perubahan iklim ini, perlu langkah serius dari pembuat kebijakan, serta kedepan setiap kebijakan yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim harus dimusyawarahkan bersama para pelaku di sektor pangan dalam hal ini nelayan, pembudidaya ikan, petani, peternak.

“Harapannya dengan pelibatan tersebut, akan hadir produk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terdampak perubahan iklim dan terwujud kemampuan adaptasi yang mumpuni bagi nelayan muda dan pelaku usaha kelautan perikanan lainnya,” tambah Hendra

“Sekitar 68 juta orang muda mendominasi populasi Indonesia. Masa depan orang muda yang diharapkan Pemerintah sebagai bonus demografi akan terancam dengan semakin parahnya bencana ekologis akibat dampak perubahan iklim. Apalagi 70% bencana ekologis di Indonesia adalah akibat perubahan iklim. Jumlah dan intensitasnya akan semakin meningkat seiring dengan suhu bumi yang semakin panas menuju jalur bahaya neraka iklim 1,5 derajat Celcius. Dalam situasi belum hadirnya undang-undang mengenai mitigasi dan adaptasi iklim yang memprioritaskan keadilan dan partisipasi rakyat secara bermakna, seluruh orang muda akan menjadi korban. Cita-cita menuju Indonesia maju akan sirna.” ujar Decmonth dari Extinction Rebellion Indonesia.

“Untuk itu, kami sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang terdampak krisis iklim memiliki aspirasi mewujudkan keadilan iklim bagi rakyat Indonesia meminta agar proses penyusunan Second NDC betul-betul mencerminkan proses partisipasi yang inklusif dan bermakna. Aksi iklim yang dirancang tanpa partisipasi inklusif dan bermakna bersama masyarakat dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar,” pungkas Torry Kuswardono.

Surat terbuka ini ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan ditandatangani oleh 32 lembaga perwakilan Masyarakat sipil yang banyak bergerak di krisis iklim. Lembaga-lembaga tersebut adalah 350.org Indonesia,  Aksi! for gender, social and ecological justice,  Bengkel Advokasi Pemberdayaan. dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK),  Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Climate Rangers Jakarta, Extinction Rebellion Indonesia, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Koaksi Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI), Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Lembaga Transform NTB, Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia, Perkumpulan HuMa Indonesia, Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS), Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP), Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Working Group ICCAs Indonesia (WGII), YAKKUM Emergency Unit (YEU), Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), Yayasan PIKUL [ ]

 

Kontak Media: 

Related Article

Naik 3 Kali Lipat Dibanding Tahun Sebelumnya, Kalimantan Timur Berstatus Siaga Darurat Karhutla

Naik 3 Kali Lipat Dibanding Tahun Sebelumnya, Kalimantan Timur Berstatus Siaga Darurat Karhutla

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di kuartal pertama tahun ini melonjak tinggi. Berdasarkan analisis model Area Indikatif Terbakar (AIT) yang dikembangkan Yayasan MADANI Berkelanjutan sejak 2019, terjadi kenaikan luas area indikatif terbakar secara year on year (yoy) di periode yang sama (Januari-April) sebesar 3 kali lipat dari 12.952 hektare area diduga terbakar di 2023 menjadi 41.982 hektare di 2024.

Kenaikan signifikan ini patut menjadi perhatian serius semua pihak, terutama pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang memiliki wewenang dalam penanganan dan penanggulangan bencana karhutla di negeri ini.

Akumulasi Model AIT tiap provinsi ini memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 97,37% dengan SIPONGI (Sistem Pemantauan Karhutla) miliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK.

Model AIT yang dikembangkan MADANI ini merupakan upaya untuk melihat pola hotspot yang memiliki karakteristik khusus. Sehingga patut kita duga menjadi area indikatif terbakar. Data hotspot sendiri memiliki kekurangan, di antaranya sulit untuk memilah mana titik panas karhutla dan mana titik panas selain karhutla. Namun pada Model AIT MADANI, hanya memasukan titik panas penyebab karhutla sehingga menghasilkan informasi yang lebih akurat.

Dari data AIT MADANI, tercatat bahwa ada 87,5% AIT atau setara 35 ribu ha berada di 10 Provinsi terluas yakni, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, NTT, Kepulauan Riau, Aceh, Kalimantan Barat, Riau, dan Kalimantan Timur.

Related Article

40 Ribu Hektare Karhutla Diindikasi Terjadi di Indonesia selama Januari – April 2024, Terbesar di Kalimantan Timur

40 Ribu Hektare Karhutla Diindikasi Terjadi di Indonesia selama Januari – April 2024, Terbesar di Kalimantan Timur

[MADANI News, 12 Juni 2024] – Data analisis Area Indikatif Terbakar (AIT) MADANI Berkelanjutan menunjukkan fakta mengkhawatirkan. Data tersebut memperlihatkan indikasi bahwa pada periode Januari hingga April 2024, seluas 40 ribu hektare hutan dan lahan di Indonesia terbakar. Kalimantan Timur menjadi wilayah terdampak terbesar dengan 18,4 ribu hektare atau 46% dari total luas yang terbakar.

Luas area yang terindikasi terbakar pada periode Januari hingga April tahun ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebanyak 78% wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan hingga 14 Maret 2024 lalu.

Lebih memprihatinkan lagi, dari 40 ribu hektare hutan dan lahan yang terindikasi terbakar, 38,5 ribu hektare (92%) merupakan area baru atau bukan area yang terbakar berulang. Hal ini menunjukkan bahwa karhutla terus meluas selama periode tersebut, memperparah kerusakan hutan dan lahan.

 

Kalimantan Timur Terluas

Provinsi Kalimantan Timur mencatat luas indikatif kebakaran hutan dan lahan terbesar pada periode Januari sampai April 2024 dengan 18.451 hektare. Disusul oleh Riau dengan 4.560 hektare, dan Aceh dengan 3.017 hektare. Provinsi Kalimantan Barat menempati urutan keempat dengan 1.767 hektare.

Provinsi Sulawesi Tengah berada di posisi kelima dengan luas indikatif terbakar 1.656 hektare, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di posisi keenam dengan 1.149 hektare. Kepulauan Riau di posisi ketujuh dengan 1.065 hektare, diikuti oleh Sumatera Utara dengan 1.510 hektare. Sumatera Barat dan Kalimantan Utara melengkapi sepuluh besar dengan masing-masing 1.020 hektare dan 906 hektare.

Meluasnya area karhutla dari bulan per bulan dapat dilihat pada gambar berikut ini. Pada bulan Maret, karhutla di Riau sempat naik ke posisi tertinggi, namun turun drastis pada bulan April. Sementara itu, luas karhutla di Kaltim meroket dari bulan Maret ke April.

 

Jika dilihat luas akumulatif dari bulan ke bulan, peringkat beberapa provinsi sempat berubah dari Januari hingga April, kecuali Kalimantan Timur yang terus berada di posisi puncak dari Januari hingga April.



Pencegahan dan Kesiapsiagaan Dini Penting

Pencegahan emisi Gas Rumah Kaca akibat kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu kunci dalam mencapai komitmen iklim Indonesia. Kesiapsiagaan dan pencegahan dini kebakaran hutan dan lahan sangat penting, termasuk melibatkan berbagai pihak dalam pemantauan dan pengawasan. Terlebih, pemerintah telah berkomitmen untuk menekan karhutla hingga nol untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030 dan komitmen iklim dalam Enhanced NDC.

Dalam momentum pembaharuan komitmen iklim Indonesia dalam Second NDC (SNDC), penting bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua pihak terkait untuk mengantisipasi meluasnya area hutan dan lahan yang terbakar agar kebakaran hutan dan lahan tidak semakin parah di tahun 2024.

Catatan Model Area Indikatif Terbakar (AIT)

MADANI Berkelanjutan mengembangkan Model Area Indikatif Terbakar (AIT) sejak tahun 2019. Model ini memanfaatkan pola hotspot (titik panas) dengan ciri khas tertentu untuk mengidentifikasi area yang patut diduga terbakar. Kelebihan AIT adalah kemampuannya memilah mana hotspot karhutla dan mana yang bukan, sehingga informasi yang dihasilkan lebih akurat.

Hasil pemantauan model AIT MADANI Berkelanjutan di empat bulan pertama 2024 memiliki koefisien korelasi sebesar 97,37% serta nilai R2 mencapai 94,81% dengan data SIPONGI KLHK. Ini menunjukkan kesesuaian signifikan antara kedua metode dalam mengidentifikasi area indikatif terbakar. Meskipun metode AIT dan SIPONGI berbeda, perhitungan area indikatif terbakar menunjukkan tren dan lokasi yang relatif sama.

Model Areal Indikatif Terbakar (AIT) MADANI Berkelanjutan dapat menjadi sumber informasi dini pergerakan karhutla bagi berbagai pihak, seperti pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan masyarakat di lokasi terbakar.

MADANI Berkelanjutan terus menyempurnakan model AIT untuk memberikan informasi perkembangan dini karhutla yang lebih representatif dan kredibel. Sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla di Indonesia menjadi lebih efektif. [ ]

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan Perkenalkan Konsep Area Potensi Terbakar Pada RDPU Panja DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla

Yayasan Madani Berkelanjutan Perkenalkan Konsep Area Potensi Terbakar Pada RDPU Panja DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla

[MadaniNews] Pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) bersama pakar dan Lembaga Swada Masyarakat (Senin,28/06/2021), Yayasan Madani Berkelanjutan memperkenalkan konsep Area Potensi Terbakar (APT) sebagai solusi dalam upaya pencegahan karhutla di tanah air.

Giorgio Budi Indrarto, selaku Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan yang hadir dalam RDPU tersebut menyampaikan bahwa APT merupakan salah satu bentuk kontribusi Madani dalam upaya pemerintah dalam melakukan pengendalian dan penindakan karhutla. 

Pengendalian dini dalam kasus karhutla adalah garis kunci yang harus menjadi perhatian utama dalam upaya penanganan karhutla. Oleh karena itu, agar kita lebih cepat menentukan tindakan yang akan kita lakukan, Madani menghadirkan konsep APT sebagai bentuk dukungan nyata kepada pemerintah berupa cara untuk mengevaluasi kejadiaan kebakaran hutan yang pernah terjadi di tahun sebelumnya dan juga melihat dari kasus lima bulan ke belakang”, ujar Giorgio Budi Indrarto atau yang akrab dipanggil Jojo. 

Secara garis besar APT adalah sebuah pendekatan untuk memperkirakan area yang berkemungkinan tinggi mengalami Karhutla berdasarkan jumlah, sebaran, dan lama bertahan

titik panas (hotspot). 

Jojo juga mengatakan pentingnya penggunaan APT adalah agar pemerintah mendapatkan bacaan yang cepat sehingga dapat bergerak cepat berdasarkan data yang akurat. “APT ini juga dikembangkan dengan korelasi data yang cukup besar dengan SiPongi yakni antara 92-95% sehingga kalau kita bicara margin of error dapat dikatakan sangat kecil sekali”, pungkas Jojo. 

Dalam RDPU Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla ini, hadir beberapa pakar seperti Prof.Dr.Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku pakar forensik kebakaran Indonesia di Institut Pertanian Bogor, kemudian hadir pula Prof.Dr.Ir.Azwar Maas, M.sc selaku Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Sementara itu, bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, hadir beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Perkumpulan Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia, dan Kemitraan. 

Dapatkan bahan presentasi Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Cegah Deforestasi Untuk Indonesia yang Lebih Sehat

Jakarta, 24 September 2020 – Surat terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang ditandatangani lebih dari 500 tenaga kesehatan professional Indonesia dibacakan oleh dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari pada Kamis, 24 September 2020. Turut hadir sebagai pembicara drg. Monica Nirmala, MPH (Senior Public Health Advisor Yayasan ASRI), Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan), Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB), dengan moderator Wahyu Dyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo). Acara tersebut dibuka oleh Prof. DR. dr. Nila Moeloek, Sp. M (K) (Menteri Kesehatan RI 2014-2019) sebagai Keynote Speaker.

Acara webinar yang dihadiri 234 peserta ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk merespon potensi bencana ganda Covid-19 dan kebakaran hutan dan lahan, berupa seruan para profesional kesehatan Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di era pandemi ini. Inisiatif ini didorong oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo. Sampai acara ini diselenggarakan, sudah lebih dari 500 tenaga kesehatan profesional yang mendukung dan menandatangani surat tersebut.

“Saya sangat berterima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang sudah meluangkan waktu untuk mendukung dengan menandatangani surat terbuka ini di tengah padat dan sibuknya mereka dalam berjuang menghadapi badai pandemi Covid-19 ini. Persoalan kesehatan masyarakat harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi secara umum adalah upaya terintegrasi menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Jangan sampai di situasi Covid-19 yang sudah rumit seperti saat ini, kesehatan masyarakat semakin terbebani dengan bencana asap karhutla. Saat ini boleh dikatakan kita beruntung karena musim kemarau tidak sekering dan selama biasanya. Ke depannya, mari kita terus jaga hutan kita, demi Indonesia yang lebih sehat,” ujar drg. Monica Nirmala.

Hal yang sangat meresahkan adalah jika penyebaran virus Covid-19 terjadi berbarengan dengan kebakaran hutan dan lahan, di mana keduanya bisa berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Beban rumah sakit saat ini sudah cukup berat akibat Covid-19, dan kondisinya bisa semakin parah jika jumlah pasien bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan. Fokus penanganan bencana oleh pemerintah daerah juga akan terbelah sehingga tidak optimal.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Nila Moeloek dalam pidatonya saat membuka acara webinar, “asap ini bisa dari rokok, bisa dari kebakaran hutan, akhirnya akan mengganggu paru-paru. Dan paru-paru ini akan mengirup oksigen. Kita mengharapkan oksigen yang dengan mudah masuk paru-paru untuk bernapas, tapi ternyata virus (Covid-19) ini beresiko lebih besar saat paru-paru terganggu akibat kebakaran hutan.”

Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 64.600 hektare area terbakar yang terjadi selama periode Januari-Juli 2020. Analisa dari MADANI Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa ada terjadi perluasan area potensi terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus. Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.

Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya, data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari. Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.

Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.

“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di suatu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut. Sehingga diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla,” kata Teguh Surya.

Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat. RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.

RUU Cipta Kerja  ini perlu dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, wakil rakyat serta K/L yang berkepentingan dalam merumuskan RUU tersebut, untuk kemaslahatan umum. Bahwa akan sangat merugikan jika RUU disahkan. Dalam kajian MADANI menjelaskan bahwa hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsiyang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh  hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Husa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi. Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya. 

Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, kesehatan, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita. Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi. Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat.

—###—

 

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:

Image Dynamics

Ayunda Putri
08122001411
ayundapputri@gmail.com

Related Article

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

Tidak dapat dimungkiri bahwa, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini. Tahun demi tahun karhutla berulang,  tidak ada jaminan bahwa karhutla akan berhenti secara permanen dan tidak akan terjadi di tahun-tahun ke depan.

Khusus untuk tahun ini, -maka jika karhutla terjadi, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan menghadapi dua bencana sekaligus. Karhutla dan pandemi COVID-19 yang hingga tulisan ini dibuat, masih terus merebak dengan korban jiwa dan penderita yang terus bertambah.

Terkait penanganan COVID-19, belum lama ini Universitas Oxford di Inggris memberikan rapor merah kepada Pemerintah Indonesia, mengacu pada empat indikator penilaian berikut: respons pemerintah secara umum (Overall Government Response Index), upaya penanggulangan dan kesehatan (Containment and Health Index), penegakan social distancing (Stringency Index), dan dukungan ekonomi (Economic Support Index).

Hasilnya, Indonesia hanya mendapatkan nilai indeks 43,91 yang artinya nilai tersebut setara nilai D (di bawah nilai 50). Berkat penilaian tersebut, Indonesia menempati posisi terendah di antara negara ASEAN, bahkan nilai Indonesia kalah jauh dari Kamboja. Lalu bagaimana jika bencana karhutla terjadi terjadi bersamaan? Banyak pihak yang meragukan kemampuan pemerintah menghadapi double disasters ini.

Mengkaji Ancaman Karhutla di Indonesia

Kita masih dapat memaklumi jika karhutla bersumber dari kejadian alam, seperti fenomena El Nino, yang dapat memantik api di lahan yang sudah mengering. Namun, pada kenyataannya permasalahan karhutla yang menahun, bersumber dari ulah manusia itu sendiri.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99% penyebab terjadinya karhutla di Indonesia adalah ulah manusia yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata. Karhutla telah menjadi persoalan multi dimensi. Tidak hanya pada kerugian lingkungan, tetapi kerugian negara dan masyarakat.

Seperti dari sisi kesehatan masyarakat. Karhutla 2019 menyebabkan 900 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kajian “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” dari tim peneliti Harvard University dan Columbia University mengungkap, jika pengendalian karhutla masih berjalan apa adanya (business as usual) maka angka kematian dini akan mampu mencapai 36 ribu jiwa di seluruh wilayah terdampak, untuk periode 2020 hingga 2030.

Penelitian ini memperkirakan, dari total angka kematian dini akibat korban paparan asap itu, 92 persen akan terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura. Demikian pula dari sisi ekonomi, karhutla menyebabkan kerugian besar. Kajian Bank Dunia menyebut Indonesia mengalami kerugian dari karhutla sebesar USD5,2 milyar (Rp72,9 trilyun) setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum termasuk korbanan non materi yang tidak dapat dihitung, seperti hilangnya opportunity time ratusan ribu anak-anak yang terganggu sekolahnya dan menikmati kehidupan yang sehat.

Pentingnya Membenahi Tata Kelola

Menurut hemat penulis persoalan karhutla tidak bisa dilihat dari persoalan teknis pemadaman api semata. Ia mencakup persoalan yang lebih luas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan tata kelola adalah dalang dari karhutla. Ia mencakup, mulai dari persoalan transparansi data, anggaran, dan penegakan hukum para pelaku karhutla. Buruknya kejadian karhutla pun mengindikasikan buruknya tata kelola hulu ke hilir. Membenahinya tentunya menjadi tantangan tersendiri, -sulit, tapi bukannya tidak mungkin.

Penulis akan menjelaskan pokok-pokok persoalan tata kelola yang perlu menjadi perhatian khusus, seperti diuraikan di bagian berikut: 

Pertama, transparansi data dan informasi karhutla. Kemudahan masyarakat dalam mengakses data karhutla adalah hak dasar yang harus disediakan oleh pemerintah. Patut diapresiasi bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyediakan SiPongi sebagai portal penyedia data karhutla. Namun, selanjutnya masih butuh kolaborasi dari media massa dan para pihak agar informasi yang disampaikan itu tepat dan akurat, tidak simpang siur, yang dapat memunculkan bias perbedaan data.

Untuk hal ini, perkembangan pesat teknologi citra satelit harus terus dipakai secara kontinyu untuk monitoring kemunculan lokasi titik api atau area potensi terbakar secara akurat. Secara khusus pemantauan harus terus difokuskan pada area yang memiliki sejarah rawan karhutla di masa silam, termasuk area-area konsesi dan lahan masyarakat yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Kedua, partisipasi dan kolaborasi. Permasalahan karhutla tersebar pada banyak sektor yang saling bergantung satu sama lain. Untuk itu, partisipasi dan kolaborasi dari banyak pihak adalah sebuah keniscayaan. Termasuk di dalamnya, sinergitas para petugas pemadam api yang mencakup para pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah, hingga level tapak, harus satu visi, misi, dan strategi.

Ketiga, persoalan pengukuran kinerja. Salah satu regulasi yang harus dirombak adalah tentang indikator keberhasilan penanganan karthula. Seharusnya indikasi keberhasilan penanganan karhutla bukan lagi berpedoman pada serapan alokasi anggaran karhutla. Namun pada kinerja dan prestasi pemadaman api. Pun, pada penyiapan struktur masyarakat dan peralatan sebelum karhutla terjadi.

Suatu instansi maupun lembaga saat ini akan dicap tidak bekerja dengan baik apabila serapan anggaran penanganan karhutla menurun. Alhasil, semua instansi saling berpacu dalam menghabiskan  anggaran, bukan lagi mengacu pada efektivitas penanganan karthutla. Sungguh, mekanisme seperti ini sudah tidak relevan dan harusnya diganti.

Keempat, pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa karhutla sering kerap terjadi di lahan dan konsesi. Hal ini tak lepas dari paradigma sebagian pengusaha untuk terus mencari keuntungan dengan korbanan paling minimal. Opsi membakar lahan pun lalu menjadi pilihan. Pada saat ketahuan, mereka berkelit saat ditindak, dan menimpakan detik kesalahan pada pihak lain.

Pengawasan dan penegakan hukum yang tajam dan tanpa pandang bulu tentu menjadi kunci untuk mengatasi ini. Saat area terbakar, sedini mungkin investigasi kasus dan pemberian sanksi, -baik administratif dan hukum, harusnya dapat segera dimulai.

Kejahatan karhutla harus ditempatkan dalam konteks kejahatan kepada kemanusian. Ia bukan hanya kejahatan sektoral. Untuk memberi efek jera maka sanksi hukum maksimal perlu diberlakukan, termasuk kepada korporasi pelanggar. Tidak saja pada pelanggar di tingkat perorangan.

Kita harus tetap menjaga momentum bahwa Indonesia menjadi negara yang mampu mengurangi laju deforestasi (dan juga karhutla). Bukan saja untuk menjadi baik di mata dunia, tetapi terlebih penting adalah untuk menjaga keselamatan bangsa kita sendiri.

Oleh: Delly Ferdian

Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat oleh portal Mongabay Indonesia pada 21 September 2020.

Related Article

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

[Jakarta, 13 Agustus 2020] –Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi bencana yang terus berulang setiap tahun. Bukan hanya terjadi dalam periode singkat, tapi sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Pada 2020 bahaya karhutla kembali mengancam dan kali ini datang bersamaan dengan pandemi Covid-19.

Pemerintah sudah menyadari potensi bencana tersebut. Secara khusus Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melihat ancaman ganda tersebut berpotensi menyerang orang-orang yang sangat rentan, seperti para lansia dan penderita penyakit bawaan atau komorbid seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).

Menghadapi karhutla tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kita menghadapi pandemi Covid-19 juga,” kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam Katadata Forum Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi“, Kamis (13/8). Oleh karenanya, kata dia, perlu ada upaya lebih serius dan lebih optimal untuk menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat. “Jangan ada yang membiarkan terjadinya kebakaran,” ujarnya menegaskan.

Lebih lanjut Doni menjelaskan, fokus BNPB tahun ini akan lebih banyak turun langsung ke unsur-unsur masyarakat untuk mencegah terjadinya karhutla. “Pencegahan merupakan langkah terbaik,” katanya.

Merujuk Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Doni menjabarkan ada tiga langkah preventif yang akan didorong. Pertama, mengembalikan kodrat gambut yang basah, berair, dan berawa. Kedua, mengubah perilaku agar masyarakat mengintervensi pihak yang berupaya membakar lahan untuk membuka lahan. Ketiga, membentuk satgas di setiap daerah untuk memantik kepedulian dalam penanganan bencana.

Senada dengan komitmen BNPB untuk memperkuat langkah mitigasi karhutla, Yayasan Madani Berkelanjutan mengambil inisiatif untuk melakukan analisis mengenai pemetaan Area Rawan Terbakar (ART) dan Area Potensi Terbakar (APT).  Data yang dikumpulkan dan diolah ini kemudian disilangkan dengan data Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) dari Kawal Covid-19 untuk memetakan besaran ancaman karhutla dan Covid-19 di berbagai daerah.

Serangan ganda Karhutla dan Covid-19 ini telah nyata di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Teguh, perlu ada kerja sama dan komitmen yang serius dari semua pihak, seperti pemerintah, swasta, masyarakat serta penggiat lingkungan dalam mencegah berulangnya kejadian karhutla, baik pada tahun ini maupun tahun mendatang.

Senada dengan BNPB, Teguh juga menekankan agar penanganan karhutla tidak hanya fokus di penanggulangan dan pemadaman api, tapi lebih pencegahan.

Perlu upaya untuk menghentikan bencana karhutla dengan berfokus pada upaya pemullihan lahan gambut dan menghentikan pengrusakan hutan,” kata Teguh menambahkan.

Adapun temuan Madani mendapatkan empat provinsi dengan tingkat potensi terbakar paling luas, yakni Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Setiap provinsi juga diwakilkan setidaknya tiga kabupaten/kota dengan luas area potensi terbakar antara 169 hektare (Kabupaten Karimun) sampai 6.152 hektare (Kabupaten Natuna).

Madani juga menemukan provinsi dengan kerentanan karhutla tertinggi tahun ini, yang juga memiliki kewaspadaan Covid-19 tinggi. Ditemukan bahwa provinsi Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi merupakan provinsi dengan ancaman ganda yang cukup tinggi atas karhutla dan Covid-19. “Apabila tidak diantisipasi, asap karhutla akan memperparah infeksi Covid-19,” kata Teguh lagi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) Wiendra Waworuntu yang turut hadir dalam diskusi menerangkan di masa karhutla akan timbul dampak kesehatan dalam munculnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Dampaknya kalau masa kebakaran hutan, ada beberapa jurnal yang mengatakan terjadi peningkatan juga kasus Covid-19 di udara panas, yang akan berdampak pada peningkatan kasus,” kata Wiendra.

Dia menjelaskan karhutla meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara karena adanya aerosol yang diciptakan asap. Oleh sebab itu respons penanggulangan pada wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan menjadi penting.

Wiendra juga merasa pada situasi karhutla diperlukan protokol tersendiri untuk mencegah penularan serta penyebaran ISPA dan Covid-19.

Pada forum diskusi turut hadir pula Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, sebagai perwakilan salah satu wilayah yang dari tahun ke tahun kerap terdampak karhutla. Dalam paparannya, Sutarmidji menyebut penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang di lahan konsesinya terdapat titik api.

Namun, di sisi lain pelibatan masyarakat dalam menjaga dan pemanfaatan lahan gambut juga ditekankan menjadi salah satu kunci dalam mendukung upaya pencegahan karhutla.

Sebenarnya kalau mau melibatkan masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan gambut kita harus mulai konsep membangun desa,” katanya seraya menegaskan bahwa lahan gambut memang harus dijaga. “Saya sependapat dengan Doni Monardo (Kepala BNPB) kalau lahan gambut harus ditanami jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi, seperti pisang dan lidah buaya.”  [ ]

***

Kontak lebih lanjut terkait temuan Madani dapat menghubungi:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Kontak Katadata: Jeany Hartriani, jeany@katadata.co.id, HP. 082154811993

Related Article

Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan

Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan

Tidak dapat dimungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sudah menjadi bagian dari serangkaian bencana tahunan yang selalu menghiasi negeri ini. Padahal, negeri yang berada di atas ring of fire ini sudah terbilang kenyang dengan segudang potensi bencana.

Tapi apa boleh buat, karhutla masih terus terjadi karena dalangnya belum puas memperkaya diri. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar 99% kebakaran hutan akibat ulah manusia.

Selama ini, opsi pembakaran hutan dan lahan selalu dipilih karena dinilai sangat ekonomis. Bayangkan saja, penggunaan alat berat atau penyediaan alat pembakar khusus untuk menampung sisa-sisa hasil penebangan dalam hal pembukaan lahan baru maupun pembersihan lahan (land clearing), terbilang sangat tidak efisien bahkan begitu merogoh kocek. Selain berbiaya mahal, metode pembersihan lahan seperti ini juga memakan waktu yang tidak sebentar. Tentu jika dikalkulasikan secara ekonomi, perbandingannya dengan pembakaran ibarat bumi dan langit.

Logika sempit ekonomi yakni bermodal sekecil-kecilnya demi untung sebesar-besarnya adalah fakta yang masih diterapkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Alhasil, metode membuka lahan dengan membakar (slash and burn) menjadi primadona di tengah masyarakat. 

Metode pembersihan lahan dengan membakar dianggap sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi para pelakunya. Begitulah sederhananya ekonomi kebakaran hutan dan lahan atau Karhutlanomic saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebakaran hutan yang dipicu oleh keserakahan ini bukan hanya mengancam kesehatan masyarakat, melainkan juga mengancam perekonomian secara menyeluruh. Memang benar bahwa metode pembersihan lahan dengan cara membakar memberikan keuntungan karena berhasil memangkas biaya produksi.

Tapi efek yang disebabkan dari kebakaran hutan dan lahan itu ibarat besar pasak daripada tiang. Artinya, bahwa apa yang diberikan dari hasil membakar lahan tidak sebesar penderitaan di kemudian hari. Selayaknya sebuah bencana pada umumnya, persoalan ekonomi selalu menjadi buntut yang tak bisa dihindari. Dalam konteks kebencanaan, kesepakatan dunia yang tertuang dalam Senday Frame Work for Disaster Risk Reduction tidak lagi hanya melihat bencana dalam konteks ancamannya terhadap nyawa manusia saja, tapi juga dalam konteks perekonomian. Hal itu lantaran bencana mengakibatkan aktivitas masyarakat terhenti bahkan lumpuh. Kelumpuhan tersebut akhir berujung pada lesunya perekonomian, lesunya perekonomian daerah yang terdampak bencana akan menjalar ke daerah lainnya yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Sehingga wajar jika dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, kerugian ekonomi yang disebabkan bencana ini harus menjadi perhatian serius.

Terkait kerugian secara ekonomi, Bank Dunia pernah mengungkapkan, total kerugian yang ditanggung Indonesia sepanjang 2019 akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai US$ 5,2 miliar atau setara dengan Rp 72,95 triliun (dengan kurs Rp 14.000/dollar AS). Angka tersebut setara dengan 0,5% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Pelajaran penting

Menurut hemat saya, ada tiga poin pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan sebagai arahan untuk menghentikan karhutlanomic yang selama ini menjadi keniscayaan.

Pertama, persoalan penegakan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negeri ini sangat kesulitan menjerat para pelaku pembakaran. Ketidaktegasan dan adanya indikasi korupsi menjadikan kasus kebakaran hutan dan lahan ibarat benang kusut yang sulit untuk diurai.

Menjadi sangat disayangkan pula ketika permasalahan kebakaran hutan dan lahan belum terurai, di sisi lain penggelut usaha konsesi akan dilepaskan dari tanggung jawab atas kebakaran yang terjadi berkat RUU Cipta Kerja yang kini semakin kuat didorong penerbitannya. Sudah penegakan hukum lemah, kini dengan Cipta Kerja penegakan hukum kehilangan taringnya.

Kedua, relevansi sistem penganggaran. Banyak pihak yang menganggap bahwa alokasi anggaran instansi atau lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penanganan kebakaran hutan dan lahan sudah tidak relevan.

Misal, ketika intensitas kebakaran hutan berkurang atau malah tidak muncul sama sekali, maka jelas serapan untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan juga tidak akan sesuai target. Dalam hal ini, serapan yang tidak sesuai target tersebut akan mengurangi alokasi anggaran instansi di tahun berikutnya.

Terkait dengan ini, alangkah baiknya jika alokasi anggaran berpatokan pada capaian atau prestasi. Ketika kebakaran hutan dan lahan berkurang atau tidak muncul sama sekali, maka instansi dapat dikatakan berprestasi sehingga alokasi anggaran dapat dimaksimalkan untuk program-program lainnya. Alokasi anggaran berdasarkan prestasi ini juga dapat menjadi stimulus bagi instansi untuk menerapkan ide-ide baru yang lebih kreatif dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Ketiga, minimnya komitmen berkelanjutan. Pelaku kebakaran hutan dan lahan yang biasanya adalah korporasi telah membuktikan bahwa komitmen berkelanjutan atau komitmen hijau demi menjaga lingkungan sangat minim di tengah masyarakat.

Hal ini juga membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak memiliki grand design tentang pembangunan berkelanjutan yang lebih spesifik menyentuh semua lapisan masyarakat dari hulu ke hilir, dari lapisan menengah ke atas sampai masyarakat di level tapak. Padahal, untuk membangun ekonomi yang lebih hijau, pemerintah jelas tidak bisa bergerak sendirian. Semua pihak harus memiliki komitmen hijau sehingga isu penyelamatan lingkungan khususnya hutan menjadi arus utama dalam aktivitas ekonomi maupun pembangunan.

Sekarang sudah saatnya kesadaran akan lingkungan menjadi sebuah kesadaran bersama yang mendasar. Semua pihak harus sadar bahwa merusak lingkungan, hutan, dan alam sudah tidak relevan untuk mencari keuntungan. Memperkaya diri dengan merusak salah satunya dengan melakukan pembakaran hutan harus segera ditinggalkan.

Bukankah belum lama ini pemerintah bahkan kita semua dibuat bangga dengan capaian penurunan angka deforestasi? Jika benar ada kebanggaan tersebut, maka cara terbaik untuk mempertahankannya adalah dengan meninggalkan segala hal yang merusak lingkungan, salah satunya karhutlanomic.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika Hari Hutan Nasional yang jatuh setiap 7 Agustus ini, dijadikan momentum untuk membentuk kesadaran bahwa hutan adalah aset masa depan yang berharga sehingga menjauhkannya dari kebakaran, degradasi, dan deforestasi adalah keniscayaan.

Related Article

id_IDID
https://www.cpo.gov.hk/arts/pkv-games/ https://www.cpo.gov.hk/arts/bandarqq/ https://www.cpo.gov.hk/arts/dominoqq/ https://lsp-daimaru.id/pkv-games/ https://lsp-daimaru.id/bandarqq/ https://lsp-daimaru.id/dominoqq/ https://www.barkasmal.com/pgrm/pkv-games/ https://www.barkasmal.com/pgrm/bandarqq/ https://www.barkasmal.com/pgrm/dominoqq/ https://madaniberkelanjutan.id/alam/pkv-games/ https://madaniberkelanjutan.id/alam/bandarqq/ https://madaniberkelanjutan.id/alam/dominoqq/ https://mataramweb.com/jasa/pkv-games/ https://mataramweb.com/jasa/bandarqq/ https://mataramweb.com/jasa/dominoqq/