Madani

Tentang Kami

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Bahan Bakar Nabati (BBN) masuk sebagai tahapan terakhir dari pencapaian. Teradapat tujuh target agenda prioditas pembangunan pada RPJMN 2020-2024, pengembangan BBN sendiri masuk pada agenda Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan.

Pengembangan BBN menjadi salah satu strategi pembangunan rendah karbon. Pengembangan BBN sendiri melalui produksi Biodiesel dan Green Fuel. Kapasitas produksi bahan bakar nabati berbasis sawit dipenuhi melalui pemberdayaan perkebunan sawit rakyat.

Dalam target RPJMN 2020-2024, bauran EBT mencapai 23% hingga 2024, pemanfaatan BBN Domestik mencapai 17,4 kiloliter hingga 2024, dan pembangunan energi terbarukan green fuel berbasis kelapa sawit menjadi proyek prioritas strategis (major project).

Related Article

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam Peta Jalan NDC Indonesia

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam Peta Jalan NDC Indonesia

NDC Atau Nationally Determined Contribution merupakan dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).


Peta Jalan NDC Indonesia memuat rincian strategi pelaksanaan aksi mitigasi untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dalam NDC. Sektor Hutan dan Lahan (FOLU) dan energi akan menjadi fokus pengurangan emisi untuk mencapai target NDC 2030.

Target penurunan emisi dari sektor energi pada tahun 2030 adalah sebesar 11%. Salah satu strategi dari sektor energi adalah penggunaan bahan bakar Nabati menjadi bagian dari energi baru terbarukan (EBT) di sub sektor: industri, power, dan transportasi.

Subsitusi BBM ke BBN (biofuel) adalah strategi utama untuk penurunan emisi di sektor transportasi.

Related Article

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

Yayasan Madani Berkelanjutan (Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan) adalah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif lokal dan nasional dalam menyelamatkan hutan untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak lingkungan dengan strategi menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan untuk mencapai solusi invoatif terkait tata kelola hutan dan lahan. 

Indonesia telah berkomitmen dalam penurunan emisi karbon dengan target 29%-41% dari level BAU pada tahun 2030 yang terefleksi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Target ini merupakan capaian Nasional yang tentunya perlu peran serta dari semua pihak termasuk para pemangku kebijakan dan masyarakat pada tingkat sub-nasional. Perlu adanya sinkronisasi metodologi, kelembagaan, dan perencanaan pembangunan antara nasional dan sub-nasional yang mendukung tercapaianya target penurunan emisi karbon di 2030. Hal ini menjadi peluang untuk memfasilitasi dan memobilisasi dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah, NGO dan kelompok muda untuk mengimplementasikan dan/atau mendorong peningkatan ambisi target dan aksi iklim di Indonesia.

Kami membuka kesempatan untuk bergabung dengan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai Program Assistant Perubahan Iklim dan Pembangunan Daerah Berkelanjutan untuk mengelola kegiatan-kegiatan program Yayasan Madani Berkelanjutan yang berkaitan dengan advokasi perubahan iklim secara menyeluruh termasuk namun tidak terbatas pada: 

BACA JUGA: Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Tugas dan Tanggung Jawab: 

1. Melaksanakan aktivitas program, mulai dari persiapan, pengelolaan dan perlibatan sumberdaya hingga pelaporan kegiatan. 

2. Mengelola Database program.

3. Terlibat dalam proses penyusunan proposal dan laporan program. 

4. Memberi masukan pada atasan terkait dengan pelaksanaan program sebagai bahan evaluasi dan perbaikan program ke depannya. 

5. Mengumpulkan data dan riset untuk event/program yang sedang ditangani. 

6. Mengikuti perkembangan kebijakan pemerintah yang terkait dengan program yang tengah ditangani, termasuk jadwal acara Rekan Pemerintah dan CSO yang relevan. 

7. Melakukan penyusunan, pengarsipan, serta diseminasi biweekly update report kepada Mitra dan Jaringan. 

8. Menjalin relasi dan komunikasi dengan Mitra dan Jaringan, termasuk Rekan Pemerintah. 

9. Mengumpulkan data dan informasi untuk membantu penyusunan analisis dan kajian Madani.

10. Meningkatkan kapasitas pribadi secara terus-menerus dan membantu peningkatan kapasitas organisasi.

11. Turut terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Madani dan mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan sesuai dengan perkembangan organisasi.

Kualifikasi

1. S1 semua jurusan, yang relevan dengan program yang ditangani

2. Memiliki pengalaman 2 tahun sebagai Program Assistant di bidang lingkungan khusunya isu terkait

perubahan iklim/kehutanan/lingkungan hidup/geografi

3. Memiliki pengalaman administrasi dan keuangan project

4. Menguasai Microsoft Office

5. Mampu berkomunikasi menggunakan bahasa inggris aktif dan pasif

6. Mampu bekerja dengan baik dalam tim, teliti dan kreatif

Harap kirimkan aplikasi anda dengan melampirkan CV dan Letter of Interest melalui email ke: rekrutmen@madaniberkelanjutan.id paling telat tanggal 12 November 2021 dengan subject: MDN – PA MADANI. 

Kami memberikan kesempatan kepada semua orang yang tertarik dan memenuhi syarat terlepas dari ras, jenis kelamin, disabilitas, agama/kepercayaan dan usia untuk mengirimkan aplikasinya.

 

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC Sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC Sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

[Madani News, 29/10/2021] Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Yayasan Climate Society, menyampaikan hasil studi kajian fisibilitas implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, pada Rabu, 27 Oktober 2021. 

Penyampaian kajian tersebut bertujuan untuk mendapatkan masukan serta menyepakati rencana tindak lanjut kepada Pemda dan OPD terkait di Kalbar.

Foto: Direktur Yayasan Madani berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan tujuan kajian fisibilitas di Bappeda Kalimantan Barat.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menjelaskan bahwa kajian ini adalah bentuk kontribusi organisasi masyarakat sipil dalam membantu memetakan berbagai modalitas yang sudah dimiliki Kalimantan Barat untuk memenuhi targetnya dalam mencapai NDC yang sudah direncanakan.

Harapannya kita bisa berdiskusi dan melihat lagi apa saja rekomendasi dalam hasil kajian ini supaya dapat diperbaiki dan kedepannya menjadi salah satu panduan dalam menyusun rencana aksi daerah yang tentunya dalam rangka memperkuat komitmen iklim Indonesia”, ujar Nadia Hadad.

Dalam acara tersebut, Prof. Dr. Rizaldi Boer sebagai tim ahli penyusun kajian menyebutkan bahwa NDC sangat penting untuk diintegrasikan dengan regulasi di daerah. “Proses perencanaan dan penyusunan RPJMD dan berbagai regulasi di daerah haruslah diintegrasikan dengan target NDC yang sudah dirancang secara nasional”, ujar Rizaldi Boer.

Foto: Prof.Dr.Rizaldi Boer menyampaikan hasil kajian fisibilitas NDC sub nasional di Bappeda Kalbar.

Sementara itu, Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, Ir.Sukaliman,MT menyambut baik hasil kajian fisibilitas NDC sub nasional yang diinisiasi Yayasan Madani Berkelanjutan ini. “Kami sangat mengapresiasi kajian dari Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Prof.Rizaldi Boer yang tentunya sangat mendukung upaya dan aksi kami dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di daerah”, ujar Sukaliman.

Penyampaian hasil kajian ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan Yayasan Madani Berkelanjutan dalam mendukung aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kalimantan Barat. Dan pada 28-29 Oktober 2021 dilanjutkan dengan Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System bersama OPD terkait di Kalbar.

Related Article

Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan

Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan

[MadaniNews] Pemerirah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan bahwa dokumen penyerapan bersih (net sink) karbon sektor hutan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use atau FoLU) akan membawa Indonesia menuju capaian komitmen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) pada 2030.

Net sink FoLU merupakan bagian strategi Indonesia untuk menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement dengan menahan kenaikan laju suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dan menjadi panduan Indonesia dalam melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim. Dalam melaksanakan agenda net sink FoLu2030 juga merupakan bagian dari aspirasi Indonesia menuju  Long-term Strategy on  Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) pada 2050.

Satu hal yang pasti jika pemerintah Indonesia membayangkan untuk mewujudkan net sink di 2030, maka kontribusi dari perbaikan tata kelola di lahan gambut itu menjadi unsur penting penunjang yang harus diperhatikan. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi publik “Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan” yang diselenggarakan secara virtual oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada Jumat, 24 September 2021. 

Ada beberapa prioritas di sektor FOLU seperti pemulihan gambut dan pengendalian kebakaran hutan. Restorasi gambut ini seharusnya menjadi tumpuan untuk mencapai net sink Indonesia.” Ujar Nadia.

Sementara itu, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia menyampaikan bahwa ada dua kunci yang dapat dilakukan dalam upaya memperkuat perlindungan gambut di tanah air. Menurut Yosi, dua kunci tersebut yakni; pertama, urgensi untuk memperluas target restorasi 2021-2024 di area krusial seperti area bekas terbakar, lahan izin/konsesi, termasuk yang tumpang tindih dan gambut fungsi lindung.

Kedua, pentingnya mengoptimalkan implementasi restorasi 2021-2024 terutama di area PIPPIB, PIAPS, dan AOI Food Estate. Food Estate menjadi tantangan tersendiri dalam upaya merestorasi gambut saat ini. 

Dalam upaya memperkuat perlindungan ini ada dua opsi, jangan sampai food estate masuk ke lahan gambut, kemudian perlu memperpanjang moratorium sawit demi menyelesaikan permasalahan tumpang tindih.” tambah Yosi. 

Dalam diskusi ini, hadir beberapa pembicara utama seperti Gubenur Riau, Drs.H.Syamsuar,M.Si, Deputi Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangove, Prof.Dr.Satyawan Pudyatmoko,S.Hut,M.Sc, GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda, dan Pegiat Penyelamatan Lahan Gambut Riau, Abdul Manan. 

Saksikan siaran ulang Diskusi Publik Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan di saluran youtube Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dapatkan bahan presentari narasumber Diskusi Publik Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan di lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Peluang Mencapai Komitmen Iklim Indonesia Dengan Elaborasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati

Peluang Mencapai Komitmen Iklim Indonesia Dengan Elaborasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati

[Madani News] Indonesia merupakan salah satu negara yang serius dalam mengembangkan bahan bakar nabati atau BBN yang dibuktikan dengan adanya kebijakan energy mix policy atau bauran energi sejak 2006. Di mana dorongan awalnya adalah untuk mencapai kedaulatan energi dan peningkatan ekonomi terutama melepaskan ketergantungan dari energi fosil dan menjadi salah satu strategi penurunan emisi gas rumah kaca nasional. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad diskusi virtual “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” yang diselenggarakan pada Selasa, 07 September 2021.

Nadia Hadad juga menyampaikan bahwa strategi kebijakan BBN sudah tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia serta strategi pencapaian net zero emission. Namun, tantangan dari pengembangan BBN nasional masih cukup didominasi oleh satu komoditas, yakni sawit.

Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri atau Anggi, yang bertindak sebagai pemantik diskusi menyampaikan bahwa dalam NDC, bahan bakar nabati atau juga yang sering disebut biofuel diproyeksi memainkan peran sentral mencapai target NDC 2030.

Anggi juga menyampaikan bahwa terdapat tiga impian menuju Indonesia tangguh, pertama yakni terkait transformasi ekonomi menuju pembangunan yang berkelanjutan, kedua, mencapai ketahanan dan kemandirian energi, dan juga mencapai NDC Indonesia 2030 dan net zero emissions. “Impian ini tidak dapat dilepaskan satu sama lain untuk tujuan Indonesia pada 2030. Indonesia sudah sangat maju, Indonesia sudah memiliki komitmen iklim, kebijakan kita sudah dibungkus dengan kebijakan yang rendah karbon”, ujar Anggi. 

Dalam diskusi ini hadir beberapa narasumber seperti Dr.Ir.Arifin Rudiyanto,M.Sc dari Kedeputian Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, kemudian Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi, Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Agus Saptono,SE,M.M, dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). 

Simak Diskusi “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” di Channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dapatkan paparan dari para narasumber diskusi “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Juli 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam memperbarui komitmen iklim Indonesia melalui Updated Nationally Determined Contribution (Updated NDC). Dalam dokumen Updated NDC yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC 21 Juli 2021 lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, termasuk adaptasi di sektor kelautan, pengurangan deforestasi dan degradasi, perhutanan sosial, serta integrasi dengan isu-isu penting lainnya seperti keanekaragaman hayati.

Beyond 2030, Updated NDC Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut. Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Updated NDC Indonesia yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC.

Selain itu, pemenuhan target NDC membutuhkan kolaborasi semua pihak. Oleh karenanya, keterbukaan data dan informasi, serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat penting agar semua pihak termasuk masyarakat, masyarakat sipil dan sektor swasta dalam berpartisipasi dalam pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim,” tambah Nadia Hadad. “Bayangan emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2060 juga merupakan langkah lebih maju dari rencana sebelumnya di tahun 2070. Namun akan lebih ideal jika Indonesia berkomitmen pada target yang lebih ambisius untuk emisi nol karbon (net zero emission) agar lebih cepat terjadi transformasi ke energi terbarukan dan perbaikan tata kelola penggunaan lahan di Indonesia.” 

Nadia Hadad menambahkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam mencapai Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. 

Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut. “Sekitar 1,5 juta hektare hutan alam tercakup dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi dengan estimasi nilai kayu lebih dari 200 triliun rupiah. Jika hutan alam dibuka, kebijakan ini akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim dan ketahanan pangan di masa depan. Penting juga untuk memperluas dan mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran hutan dan lahan, tidak hanya yang berada di bawah wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM (di luar konsesi), tapi juga restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan. Sangat penting untuk memastikan tidak ada lagi pembukaan dan pengeringan gambut oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energi,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan selaras NDC lain yang penting adalah mempercepat realisasi perhutanan sosial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak. Pendanaan lingkungan hidup dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk Oktober 2019 lalu seyogyanya difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat. 

Tidak kalah penting adalah memastikan kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bagian dari bauran energi (energy mix) termasuk biodiesel, agar tidak meningkatkan deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, memasang safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, dan yang  terpenting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, misalnya dari sampah/limbah,” kata M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan.

Transformasi sistem energi dan penggunaan lahan harus dimulai dari sekarang untuk mencapai visi Net Zero Emission lebih cepat, tidak bisa menunggu setelah 2030 untuk mengurangi emisi secara drastis. Hal ini harus dimulai dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pemerintah dengan komitmen iklim yang telah ditetapkan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 26 Juli 2021] Perpanjangan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Langkah ini dapat memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan, serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim (NDC). Demikian disampaikan oleh Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi tersebut masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% pada tahun 2030 mendatang. Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli 2021 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda “Indonesia FOLU 2030” dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030. Perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit. Perpanjangan ini akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan.

Masih ada sekitar 5,7 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia dapat terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” ujar Trias Fetra. Pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektare.

Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektare hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektare-nya tercatat sebagai hutan primer. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,43 juta hektare tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. Implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan. Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektare ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektare. Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering. Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektare luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias Fetra.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Inpres. “Perlu dicatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Semestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi. Bentuk transparansi seperti ini tentunya akan semakin membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres. Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang.”

Dari pengalaman selama 3 tahun ini, Pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit.  Pemerintah dan para pihak mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujar Agung Ady, Juru Kampanye FWI.  

Terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan. Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit.  Sehingga perpanjangan dan penguatan Moratorium kelapa sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” tutup Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak. [ ]

 

Kontak Media:

  1. Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan (fetra@madaniberkelanjutan.id / 0877-4403-0366)
  2. Agung Ady Setiyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia  (agung_ady@fwi.or.id / 085334510487)
  3. Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak (rahmadha.syah@kaoemtelapak.org / 081288135152)
  4. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL (adri@icel.or.id / 081386299786)

Related Article

Sektor Energi dan Kehutanan Kunci Mencapai Target NDC

Sektor Energi dan Kehutanan Kunci Mencapai Target NDC

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen melalui kerjasama internasional pada tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11 persen merupakan sektor utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17 persen.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, menyampaikan bahwa sinergi energi dan perubahan iklim merupakan kata kunci yang harus dimaknai sebagai upaya bersama dalam membentuk transisi energi secara inklusif.  “Kita semua dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam transisi tersebut. Kesadaran untuk meminimalkan penggunaan sumber energi fosil dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan kontribusi positif dalam menekan perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya” .

KLHK menyampaikan bahwa sektor energi dan kehutanan menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, Emma Rachmawati. Sektor energi adalah sektor kedua yang merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Di saat yang bersamaan, sektor energi juga menjadi kontributor kedua dalam menurunkan emisi GRK sehingga perlu melakukan upaya signifikan dalam mengurangi emisi GRK.

Kalau kita bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan maka NDC kita sudah pasti dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditargetkan“, ujar Emma Rachmawati.

Merujuk peta jalan NDC Indonesia, sektor energi ditargetkan menyumbang sebesar 314 juta CO2e (ekuivalen karbon dioksida) untuk penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030.

Target itu kemudian dirinci ke dalam subsektor energi efisiensi. Dari masing-masing subsektor itu di tetapkan juga dalam bentuk CO2e.

Lima Negara Yang Menjadi Ancaman Gagalnya Paris Agreement

Laporan terbaru Think Tank Carbon Tracker Initiative dalam judul laporan Do Not Revive Coal menyebutkan bahwa ada 5 negara yang menjadi ancaman gagalnya Paris Agreement. Ancaman tidak tercapainya target Perjanjian Paris ini berasal dari lima negara yaitu Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok.  Alasan utama ancaman gagalnya Perjanjian Paris ini karena persoalan rancangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Kelima negara ini berencana membangun 600 PLTU batu bara baru yang mencakup sekitar 80 persen dari porsi batu bara baru global. Kapasitas dari seluruh PLTU itu melebihi 300 gigawatt (GW). Hal ini dianggap mengkhawatirkan, karena tak menghiraukan seruan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres untuk membatalkan PLTU batu bara baru.

Pasalnya, negara Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok mengoperasikan 3/4 PLTU yang ada di seluruh dunia. Sebanyak 55 persen adalah negara Tiongkok dan 12 persen adalah India. Sekitar 27 persen kapasistas PLTU batu bara global tidak dapat menghasilkan keuntungan, dan 30 persen hampir mencapai titik breakeven. Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini.Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW pembakit baru sudah direncanakan untuk dibangun.

Energi terbarukan ditargetkan akan mengalahkan seluruh tambang baru yang ada pada tahun 2024. PT Pembangkit Listrik Negara (PLN Persero) sendiri masuk ke dalam daftar perusahaan dengan aset yang terancam menjadi aset terlantar dalam skema B2DS (Below 2 Degrees). Dari 22,529 MW kapasitas, PLN berisiko kehilangan 15,41 miliar USD miliar dari asset terbengkalai dengan patokan B2DS.

Inggris Akan Mempercepat Target Penghentian Penggunaan Batu Bara

Mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batubara untuk menghasilkan listriknya. Ini satu tahun lebih cepat dari rencana awal. Hal ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Anne-Marie Trevelyan, pada Rabu, 30 Juni.

Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Inggris untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dalam rangka menghapus peran serta Inggris terhadap perubahan iklim pada 2050. Pengumuman ini menegaskan niatan yang disampaikan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tahun lalu untuk mempercepat tenggat waktu mengakhiri penggunaan batu bara dalam sistem produksi listrik.

Hal Ini juga berarti bahwa Pemerintah Inggris mempercepat batas waktu penghapusan batu bara dari sistem energi Inggris satu tahun lebih cepat. Tekad ini menegaskan kepemimpinan Inggris untuk bergerak lebih jauh dan lebih cepat dalam menurunkan emisi serta memimpin dengan memberikan keteladanan dalam memerangi perubahan iklim jelang perannya menjadi tuan rumah COP26 di Glasgow pada November mendatang. Inggris mengajak negara-negara di dunia untuk turut mempercepat penghapusan batubara dari sistem ketenagalistrikan.

Rencana Penerapan Pajak Karbon Pada 2022

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2022. Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.

Tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional. Sri Mulyani bersama koalisi Menteri Keuangan dari berbagai negara masih mendiskusikan praktek penerapan harga yang lebih seragam. “Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktek dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian“, tegas Sri Mulyani.

Memang, tarif pajak karbon di dunia saat ini sangat tidak seragam karena berada pada rentang yang lebih luas.

Indonesia dan Perancis Sepakat Memperkuat Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia dan Perancis sepakat untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon, green and blue economy, hingga kerja sama pembiayaan pembangunan proyek-proyek pemerintah. Disampaikan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menerima kunjungan pejabat senior dari The Agence Française de Développement (AFD) dan pejabat senior dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan (French Treasury) di KBRI Paris, Prancis.

Kementerian PPN/Bappenas telah menyiapkan strategi transformasi ekonomi. Kerja sama AFD dengan Kementerian PPN/Bappenas adalah salah satunya bentuk usaha untuk pelaksanaan strategi transformasi ekonomi Indonesia, khususnya green economy.

Dalam pertemuan dengan AFD tersebut, terdapat kesepahaman untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon atau green economy dengan fokus pada energy transition, waste management, green industry termasuk green tourism. Beberapa proyek potensial untuk dikembangkan adalah waste to energy project dan AFD juga akan mendukung penuh langkah Indonesia dalam mengusung pilot project pencanangan Bali sebagai blue island.

Dapatkan pemberitaan media edisi 28 Juni – 4 Juli dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Setelah Joe Biden Summit, 4 Hal Ini Patut Menjadi Prioritas Pemerintah Untuk Tangani Krisis Iklim Dunia

Setelah Joe Biden Summit, 4 Hal Ini Patut Menjadi Prioritas Pemerintah Untuk Tangani Krisis Iklim Dunia

[MadaniNews, Jakarta, 23/04/2021] Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis, 22 April 2021, menunjukkan bahwa kesadaran global akan mitigasi krisis iklim semakin kuat. Konferensi yang diikuti oleh 41 kepala negara, kepala pemerintahan, dan ketua organisasi internasional ini juga menandai kembalinya Amerika Serikat (AS) pada komitmen Iklim dunia, Paris Agreement (Persetujuan Paris).

Kembalinya Negeri Paman Sam pada barisan perlawanan terhadap krisis iklim dunia ini patut menjadi stimulus dan dorongan bagi banyak negara untuk semakin optimis melawan krisis iklim.  Konferensi yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden juga dapat diartikan sebagai momentum untuk semakin memperkuat komitmen iklim banyak negara, salah satunya Indonesia. 

Terkait dengan komitmen Iklim atau Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Dalam Leaders Summit on Climate, Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, Jokowi mengajak para pemimpin dunia memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim – meski tidak meningkatkan ambisi mitigasi. Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang kemitraan global harus diperkuat. 

Sejalan dengan pemikiran Presiden Jokowi, Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkap empat hal yang patut menjadi prioritas pemerintah untuk menangani persoalan krisis iklim;

  1. Transformasi besar di sektor kehutanan. Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyebut bahwa untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia (NDC) dan net zero emission Indonesia, maka transformasi kebijakan penguatan perlindungan hutan dan lahan serta keseriusan dalam perluasan implementasi program rehabilitasi wilayah terdegradasi merupakan keniscayaan. Perlu ada komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut serta mengakui masyarakat adat dan lokal yang mengelola sumber daya alam sebagai pemangku kepentingan kunci dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

  1. Mewujudkan Nol Deforestasi. Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Persetujuan Paris. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 serta memperkuat kebijakan moratorium hutan dengan memasukkan 9,4 juta hektare hutan alam atau setara 16 kali Pulau Bali yang belum terlindungi dan rentan terdeforestasi ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). 

  1. Optimis mewujudkan Netral Karbon di 2050. Dengan mengimplementasikan kuota penurunan dokumen Updated NDC maka seharusnya target net zero emission pada 2050 sangatlah memungkinkan dibanding rencana penggunaan skenario net zero emission pada 2070 . Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.

  1. Mendorong Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan.  Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam siaran pers pada 3 Maret 2021. Menurut Madani, penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Ini membuktikan bahwa langkah nyata yang positif dapat dilakukan dan harapannya hal ini dapat dipertahankan ke depannya.

Related Article

id_IDID