Madani

Tentang Kami

Debat Capres Jilid 2: Komitmen Iklim Nasional Gagal Menjadi Perhatian Capres

Debat Capres Jilid 2: Komitmen Iklim Nasional Gagal Menjadi Perhatian Capres
Dalam debat ini, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut oleh kedua kandidat sementara isu korupsi sumber daya alam serta masyarakat adat hanya disebut sekali oleh Jokowi.

Jakarta, 18 Februari 2019 – Kedua kandidat Presiden yang bertarung dalam Debat Capres II yang diselenggarakan oleh KPU malam tadi gagal melihat komitmen iklim nasional sebagai benang merah sekaligus penentu dari kelima isu yang dibahas dalam debat, yakni infrastruktur, pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Hal ini terungkap dalam diskusi Rekap Debat Pilpres II dan Apa yang Harus Diperkuat terkait Komitmen Iklim Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada hari Senin, 18 Februari 2019 di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.

Secara umum, Kandidat Presiden Nomor Urut 1, Joko Widodo lebih menekankan pada berbagai langkah kebijakan, program, dan proyek terkait kelima isu debat, namun kurang mengelaborasi permasalahan dan solusi mendasar, yakni permasalahan tata kelola. Pembahasannya pun masih parsial atau terpisah-pisah seakan tidak ada benang merah. Sementara itu, Kandidat Presiden Nomor Urut 2, Prabowo Subianto, cenderung menekankan pada ‘blanket concept’ berupa kemandirian, swasembada, serta kepemilikan nasional versus asing untuk membungkus semua isu, namun miskin dalam hal elaborasi program kerja atau langkah konkret untuk mencapai tujuan tersebut. Terkait infrastruktur, Jokowi menekankan capaian pada masa pemerintahannya seperti pembangunan jalan desa dan unit irigasi, pembangunan konektivitas antar-wilayah seperti jalan tol, tol laut, bandara, serta pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk mendukung Revolusi Industri 4.0. Sementara itu, Prabowo menekankan pada hal-hal normatif seperti peran rakyat dalam perencanaan, dampak lingkungan hidup dan sosial dalam pembangunan infrastruktur, serta infrastruktur untuk rakyat. Namun, keduanya sama sekali tidak melihat keterkaitan erat antara infrastruktur dan perubahan iklim. Dalam debat, kedua kandidat tidak berhasil mengelaborasi desain utuh terkait pembangunan infrastruktur dalam kacamata kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, juga bagaimana pembangunan infrastruktur akan berdampak pada upaya penurunan emisi. Selain itu, solusi peningkatan ganti rugi yang ditekankan kedua kandidat cenderung salah fokus. seharusnya yang didorong adalah PADIATAPA (Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan) dari masyarakat terdampak sebelum proyek infrastruktur dimulai untuk menjamin kemanfaatan dan mencegah pelanggaran HAM. Terkait energi dan pangan, Jokowi menekankan pada keseimbangan ketersediaan dan stok pangan serta stabilitas harga, yang dikritik Prabowo karena sebagian strateginya bertumpu pada impor pangan. Namun, keduanya lagi-lagi tidak menyebut dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi pangan serta dampak negatif dari upaya ‘menggenjot’ produksi pangan melalui ekspansi tanaman monokultur seperti sawit terhadap lingkungan hidup yang juga mengancam keragaman pangan lokal. “Kedua kandidat sama-sama menekankan penggunaan sawit sebagai bahan bakar alternatif serta untuk mencapai swasembada energi. Namun, kedua kandidat tidak memaparkan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan lingkungan yang timbul akibat praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, di antaranya potensi perusakan hutan alam yang masih baik serta lahan gambut yang kaya akan karbon,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan. ”Penguatan kebijakan tata kelola di hulu seperti moratorium sawit serta penguatan standar keberlanjutan sawit agar tidak lagi menimbulkan deforestasi dan kerusakan gambut harus dijalankan Presiden terpilih nanti karena sangat penting untuk mencapai target penurunan emisi dalam NDC di sektor hutan dan lahan.” “Terkait energi, pernyataan Jokowi tentang pengurangan penggunaan bahan bakar fosil melalui program B20 hingga B100 justru kontradiktif dengan keinginannya untuk meningkatkan eksplorasi ladang minyak offshore,” ujar Nuly Nazlia, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia. “Indonesia telah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen hingga 2025, tapi sebagian besar pembangkit listrik masih didominasi batu bara, yaitu sebesar 31 persen. Padahal, ketergantungan energi fosil terbukti membebani perekonomian, baik secara fiskal maupun lingkungan. Di dalam debat, kendati kedua capres memasukkan visi-misi pengembangan energi terbarukan, mekanisme percepatan pengembangan energi terbarukan belum jelas, termasuk strategi memperbaiki tata kelola energi dan ketenagalistrikan. Mereka fokus pada pengembangan biodiesel/bioetanol bahkan hingga ke B100, padahal sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan Indonesia sangatlah banyak. Lebih tepat bila menempatkan biofuel sebagai jawaban sementara bagi sektor transportasi.” Menurutnya, pembahasan energi terbarukan seharusnya bisa diangkat sebagai solusi strategis saat muncul video dampak lubang tambang batu bara. Tapi, keduanya sama sekali tidak menyentuh rencana rehabilitasi sisa-sisa aktivitas tambang sebagai awal dari upaya pemulihan. Revolusi Industri 4.0 pun tidak dimanfaatkan untuk menjelaskan bahwa era ini menjadi era disrupsi bagi cara kita memproduksi dan menggunakan listrik, mulai dari teknologi efisiensi energi, surya atap, baterai, mobil listrik, dan smart home system yang makin murah. “Indonesia akan ketinggalan zaman apabila masih mengutamakan energi fosil dan tidak secara agresif berpaling pada industri energi terbarukan. Apalagi ada banyak potensi green jobs di berbagai sektor dan poin pemikat bagi para pemilih muda untuk mendukung mereka,” tambah Nuly lagi. Terkait SDA dan lingkungan hidup, kedua kandidat sama-sama menekankan penegakan hukum bagi aktor-aktor perusak lingkungan, misalnya pencemaran, pembalakan liar, pencurian ikan, dan kebakaran hutan dan lahan. Komitmen ini baik akan tetapi sangat normatif dan tidak memberikan nilai tambah jika mereka terpilih dikarenakan tidak disertai pemaparan lebih lengkap terkait upaya penegakan hukum yang akan dilakukan di sektor sumber daya alam. Kajian KPK menemukan bahwa 18 dari 22 aturan perizinan rentan menyebabkan korupsi. Di sektor kehutanan saja, kerugian negara mencapai 6,5 miliar dollar AS karena pelaporan yang tidak sesuai sementara nilai kayu sebesar 60-80 miliar dollar AS tidak terlaporkan, dan biaya suap perizinan setiap tahunnya mencapai 22 miliar rupiah untuk tiap konsesi. Sementara itu, perubahan iklim akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup dan termasuk ketersediaan bahan pangan, ikan, kondisi hutan dan lahan, kebakaran, dan sebagainya. Sekali lagi kedua kandidat tidak ada pemaparan mengenai bagaimana kedua kandidat akan berkontribusi pada pengurangan emisi untuk mencapai komitmen iklim nasional guna menjamin terjadinya swasembada pangan, swasembada energi, keberlanjutan infrastruktur, serta pembangunan ekonomi berkelanjutan. “Jika mengacu pada debat Capres kedua ini, komitmen kedua paslon dalam perubahan iklim diragukan. Energi kotor batu bara yang menjadi salah satu penyumbang emisi, biofuel yang akan memicu deforestasi dan penghasil emisi tidak mau ditinggalkan, melainkan digadang-gadangkan sebagai energi terbarukan. Mereka gagal paham menerjemahkan energi terbarukan, biofuel justru akan semakin meningkatkan penghancuran hutan, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan semakin melanggengkan praktik perampasan tanah, khususnya tanah-tanah masyarakat adat. Moratorium sawit tidak sama sekali menjadi pertimbangan keduanya, padahal kebijakan moratorium adalah jalan pembenahan tata kelola sumber daya alam,” ujar ujar Khalisah Khalid, Desk Politik Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Dalam debat ini, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut oleh kedua kandidat sementara isu korupsi sumber daya alam serta masyarakat adat hanya disebut sekali oleh Jokowi. “Pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan oleh masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial sebetulnya dapat mendukung pencapaian komitmen iklim nasional, sekaligus mendukung program ketahanan pangan, energi, keberlanjutan sumber daya alam, serta perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal,” ujar Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-Warsi. “Oleh karenanya, siapapun yang terpilih, realisasi perhutanan sosial harus menjadi program prioritas dan harus didukung oleh strategi nasional berupa program pemberdayaan dari berbagai pihak di dalamnya, agar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat benar-benar membawa dampak perbaikan ekonomi bagi masyarakat dan hutan dapat dikelola dengan baik secara berkelanjutan.” Yayasan Madani Berkelanjutan menyampaikan rekomendasi dan langkah strategis bagi kedua kandidat untuk memperkuat komitmen iklim nasional Indonesia jika terpilih nanti, yaitu menyusun kebijakan terintegrasi terkait pembangunan infrastruktur, energi, pangan, SDA, dan LH dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan pencapaian komitmen iklim nasional dan global (Nationally Determined Contribution/NDC) yang lebih ambisius dan kuat, menyusun kebijakan terintegrasi yang mengakomodasi penghentian deforestasi, penundaan dan evaluasi izin-izin pemanfaatan sumber daya alam skala besar, serta perbaikan tata kelola terkait lahan dan SDA dengan dibarengi dengan transisi segera menuju energi bersih, memperkuat langkah-langkah kebijakan yang sudah baik terkait hutan dan lahan, termasuk memperkuat kebijakan moratorium hutan, implementasi moratorium sawit, implementasi restorasi gambut, dan rehabilitasi lahan kritis, mencanangkan target menuju nol deforestasi, dan menyusun serta menjalankan rencana aksi konkrit untuk memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas lahan, wilayah dan sumber daya alam dalam kebijakan terkait infrastruktur, energi, pangan, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. *** Narahubung: Anggalia Putri, Manajer Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan 0856-211-8997 anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id Khalisah Khalid, Desk Politik Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 0813-1118-7498 khalisah@walhi.or.id Nuly Nazlia, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia 0811-1012-853 nulynazlia@gmail.com Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-Warsi 0811-7453-700 emmy.than@gmail.com Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan 0815-1986-8887 luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Analisis Dokumen Visi & Misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 2019-2024

Analisis Dokumen Visi & Misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 2019-2024

Pada awal Oktober 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada publik. Sebagai perwakilan masyarakat sipil, Yayasan Madani Berkelanjutan yang fokus menjembatani antarpihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk memperbaiki keadaan hutan dan gambut Indonesia, telah menyoroti dokumen visi dan misi keduanya secara kritis untuk memahami perspektif dan komitmen calon pemimpin bagi lingkungan hidup. Apa saja persoalan lingkungan yang telah maupun belum diakomodasi pada visi dan misi keduanya, serta komitmen seperti apa yang mesti mereka miliki untuk perbaikan kondisi lingkungan dan masyarakat secara menyeluruh?

Kajian ini memaparkan analisis terhadap dokumen visi dan misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait lingkungan hidup dengan fokus pada lima isu utama, yaitu pengelolaan hutan dan gambut secara berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum, perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, serta energi baru terbarukan (EBT). . Studi ini mengidentifikasi poin-poin program aksi yang ditemukan dalam visi dan misi Prabowo-Sandi yang berkaitan dengan isu-isu tersebut.

Simak laporan selengkapnya dengan mengunduh di bawah ini.

Related Article

Prabowo-Sandi, Perkuat Komitmen Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan pada Visi & Misi 2019-2024

Prabowo-Sandi, Perkuat Komitmen Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan pada Visi & Misi 2019-2024

Solusi-solusi yang ditawarkan Prabowo-Sandi berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur, mengingat adanya komitmen untuk merehabilitasi hutan rusak menjadi hutan tanaman industri.

SIARAN PERS – Untuk disiarkan segera
Jakarta, 29 November 2018
Dalam visi-misinya, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 pada Pemilu 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, menyatakan akan berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global sesuai kondisi Indonesia. Namun, keduanya belum menunjukkan langkah konkret dalam mewujudkannya, serta belum memiliki komitmen untuk menyelesaikan akar persoalan perubahan iklim, yakni penggundulan hutan dan perusakan lahan gambut secara masif akibat masih buruknya tata kelola sektor hutan dan lahan di Indonesia. Temuan ini diungkap pada “Election Talk 2019: Membedah Visi-Misi Kandidat Presiden” yang digelar oleh Yayasan Madani Berkelanjutan di Kedai Tjikini, Jakarta, 29 November 2018.

Kesimpulan tersebut dihimpun oleh Yayasan Madani Berkelanjutan berdasarkan analisis atas dokumen “Empat Pilar Mensejahterahkan Indonesia: Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi”. Dokumen ini diterbitkan oleh Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Koalisi Indonesia Adil Makmur, berisi jabaran visi dan misi yang kelak dilaksanakan keduanya jika terpilih sebagai pemimpin negeri pada Pemilu 2019 mendatang. Porsi pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam dokumen ini hanya berkisar 17,6 persen, dengan rincian isu pengelolaan hutan berkelanjutan hanya berkisar 8,1 persen, ketimpangan penguasaan lahan sebesar 2 persen, energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,4 persen, serta penegakan hukum 6,1 persen. Komitmen perlindungan gambut, mitigasi bencana, polusi industri, perkebunan sawit, dan masyarakat hukum adat tidak mendapatkan tempat sama sekali.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi niat untuk memperbaiki lingkungan hidup yang dicantumkan pada dokumen tersebut, yakni rehabilitasi hutan rusak, lahan kritis, dan Daerah Aliran Sungai (DAS); serta moratorium Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang habis masa berlakunya. Akan tetapi, solusi-solusi yang ditawarkan berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur, mengingat adanya komitmen untuk merehabilitasi hutan rusak menjadi hutan tanaman industri.

“Ini mengindikasikan bahwa pasangan Prabowo-Sandi belum memahami persoalan lingkungan hidup Indonesia secara tepat dan belum memiliki konsep membangun tanpa merusak,” ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sebagai pengusaha, baik Prabowo Subianto maupun Sandiaga Uno turut menjalankan beberapa perusahaan di sektor perkebunan kelapa sawit, salah satunya PT Tidar Kerinci Agung milik Prabowo dan PT Provident Agro Tbk yang dipunyai Sandi. Sayangnya, perbaikan tata kelola industri sawit nasional tidak menjadi perhatian, sedangkan di sisi lain isu perkebunan sawit berkelanjutan telah menjadi salah satu topik bahasan utama pemerintah Indonesia dan global, baik dalam konteks ekonomi, petani, dan lingkungan hidup.

Praktik korupsi sumber daya alam terkait erat dengan minimnya keterbukaan informasi publik dalam konteks kehutanan. Dengan demikian, perbaikan tata kelola sumber daya alam mesti dimulai dengan membuka akses informasi kepada publik, sebagaimana menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Soelthon Nanggara.

“Pemerintah ke depan harus benar-benar memperhatikan keterbukaan informasi. Dalam pengelolaan sumber daya alam, publik tidak hanya butuh keterbukaan soal sistem perizinan, tetapi juga sistem monitoring dan evaluasi dampaknya. Keterbukaan harus menyeluruh: tidak sekadar informasinya, namun juga akses atas dokumen berikut dengan peta-petanya. Kemudian yang terpenting bukan aturan atau kebijakan keterbukaannya, melainkan bagaimana sebuah badan publik mengimplementasikan keterbukaan atas data dan informasi tersebut kepada publik,”

Selain keterbukaan informasi, upaya mengatasi perubahan iklim global juga perlu diakselerasi dari sektor energi. Direktur Finansial dan Operasional Koaksi Indonesia, Nuly Nazlia, memfokuskan pentingnya komitmen dari Presiden dan Wakil presiden terpilih untuk mengakselerasi pencapaian target pemenuhan kebutuhan energi masyarakat Indonesia, dengan menjadikan energi terbarukan dan pemanfaatan energi secara efisien sebagai pilihan pertama perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia, berdasarkan potensi lokal, dengan didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

“Khusus mengenai kebijakan pemerintah terkait bahan bakar nabati sebagai bagian dari energi terbarukan, ke depan harus melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi yang terukur dari hulu ke hilir sehingga tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi semata tetapi juga mencakup kepentingan sosial dan lingkungan hidup,” kata Nuly. Ia juga menyatakan bahwa komitmen pada kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan juga harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik, serta penegakan hukum dan transisi berkeadilan dari energi fosil yang menekankan pada upaya pemulihan menyeluruh.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengimbau kedua pasang kandidat untuk: (i) mempertegas komitmennya dalam melanjutkan dan memperkuat baik kebijakan maupun program-program terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintahan sebelumnya, khususnya dalam hal penegakan hukum, pemulihan gambut, perbaikan tata kelola industri sawit, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, serta pencegahan korupsi; (ii) tidak melakukan rehabilitasi lahan dengan membangun hutan tanaman industri (HTI) dan berkomitmen menghentikan laju ekspansi perkebunan monokultur skala besar; (iii) mempertegas komitmennya dan bekerja keras dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, sebagaimana yang telah dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC); serta (iv) mempertegas komitmen phasing out energi fosil menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang tidak berbasis lahan, juga memastikan terjadinya transfer teknologi kepada masyarakat untuk dapat menggunakan EBT secara mandiri.

*****

Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id
0819-1519-1979

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id
0838-4227-2452
Catatan:
Siaran pers ini adalah edisi revisi. Madani meralat persentase isu lingkungan hidup dalam visi dan misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada paragraf kedua. Sebelumnya, kami menyatakan bahwa porsi lingkungan dalam dokumen visi dan misi Prabowo-Sandi hanya berkisar 18,9 persen, dengan rincian isu pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan hanya berkisar 11 persen, ketimpangan penguasaan lahan sebesar 6 persen, energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,5 persen. Sementara itu, isu Hak Asasi Manusia sebanyak 24 persen. Mohon maaf atas kekeliruan ini.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

id_IDID