Madani

Tentang Kami

KESEPAKATAN BARU INDONESIA-NORWEGIA MENDUKUNG PENCAPAIAN INDONESIA FOLU NET SINK 2030

KESEPAKATAN BARU INDONESIA-NORWEGIA MENDUKUNG PENCAPAIAN INDONESIA FOLU NET SINK 2030

[Jakarta, 13 September 2022] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi kesepakatan baru antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia untuk berkolaborasi dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada sektor hutan dan lahan di Indonesia. Kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada 12 September 2022 ini mendukung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030).


“Kesepakatan ini merupakan babak baru kemitraan Indonesia-Norwegia pada bidang lingkungan hidup dan hutan, khususnya untuk memenuhi target IFNET 2030 yang dicanangkan Pemerintah Indonesia pada awal tahun ini. Dan ini merupakan langkah positif karena pencapaian emisi GRK senilai nol atau lebih rendah pada tahun 2030 telah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia. Dengan ini kita bisa menunjukkan keseriusan Indonesia kepada dunia dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris,” terang Nadia Hadad selaku Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.



Selain mendukung pertukaran informasi dan pengetahuan, kerja sama ini juga bersifat finansial melalui mekanisme ‘result based contribution’. Menurut Rencana Operasional Indonesia FOLU Net Sink 2030, implementasi kebijakan IFNET 2030 akan membutuhkan dana total senilai Rp 204,02 Triliun. “Selain dapat berkontribusi terhadap kebutuhan dana pencapaian FOLU Net Sink 2030, kami berharap bahwa MoU antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia ini dapat memancing masuknya sumber-sumber pendanaan lainnya,” tambah Nadia. Melalui IFNET 2030, Indonesia berkomitmen untuk terus meningkatkan penyerapan karbon sebesar 140 juta ton CO2 pada 2030. Artinya, sektor hutan dan lahan akan menjadi kunci dalam membantu pencapaian Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Dengan pencapaian IFNET 2030, dapat merefleksikan tercapainya komitmen iklim Indonesia terutama sektor hutan dan lahan.


“Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya aksi iklim untuk mengurangi pelepasan karbon dan meningkatkan cadangan karbon, salah satunya melalui Inpres Moratorium Hutan Permanen, yang melindungi hutan alam primer dan gambut seluas 66,59 juta hektare. Di sisi lain, Indonesia memiliki hutan alam primer dan sekunder seluas 89,7 hektare yang seharusnya juga dilindungi dan dipertahankan keberadaannya. Sementara itu, menurut analisis Madani (2022), masih terdapat hutan alam seluas 9,6 juta hektare yang belum terlindungi oleh kebijakan PIPPIB, PIAPS dan izin/konsesi. Pengoptimalan upaya perlindungan dan penyelamatan hutan alam tersisa mulai dari risiko rendah hingga tinggi seharusnya menjadi langkah kunci untuk mencapai ambisi IFNET 2030,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.


Rencana operasional IFNET 2030 memfokuskan perlindungan hutan alam pada wilayah yang memiliki Indeks Prioritas Lokasi (IPL) dengan skala 7-9 atau hutan alam yang memiliki risiko deforestasi tinggi. Sementara dengan perlindungan hutan alam pada IPL 7-9 masih belum mencukupi untuk memenuhi target FOLU Net Sink menuju nol deforestasi, sehingga sangat dimungkinkan untuk melakukan perluasan aksi mitigasi pengurangan laju deforestasi pada risiko rendah-sedang.”Dengan adanya komitmen Pemerintah Norway dalam mendukung implementasi kebijakan IFNET 2030 ini, seharusnya bisa menjadi salah satu faktor pengungkit untuk memperluas aksi mitigasi, yang tidak hanya berfokus pada wilayah-wilayah berhutan yang berisiko tinggi, melainkan juga wilayah-wilayah berhutan yang berisiko rendah hingga sedang,” tambah Yosi.

Dukungan dan kerja sama bilateral ini tentunya akan memperkuat berbagai komitmen dan aksi iklim yang ada saat ini di Indonesia. Selain pencanangan target ambisius dalam IFNET 2030, Madani melihat bahwa sejauh ini, Indonesia telah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove seluas 29.500 hektare di sembilan provinsi prioritas dan 3.500 hektare di 23 provinsi tambahan, berdasarkan data BRGM. Ditambah, Indonesia juga berhasil merestorasi 835.000 hektare lahan gambut dari 2016 hingga 2020. Sementara itu, untuk mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sudah ada sekitar 5,07 juta hektare kawasan hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat dan lokal dalam program perhutanan sosial.



Perjanjian kerja sama antara Indonesia-Norwegia ini juga secara eksplisit menyebutkan penguatan partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan demi pengurangangan emisi GRK. Hal ini sejalan dengan upaya mengedepankan peran dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung pembangunan berkelanjutan pada sektor hutan dan lahan. “Masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki koneksi yang erat dengan alam yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan untuk mewujudkan lingkungan hidup dan hutan yang lestari. Di samping itu, masyarakat sebagai katalisator pembangunan yang memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga patut untuk didukung, utamanya dalam hal finansial,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.



“Di samping itu, Pemerintah Daerah sebagai aktor kunci yang merancang dan mengimplementasikan perencanaan pembangunan berkelanjutan tidak dapat diabaikan, termasuk dalam mencapai target IFNET 2030 di tingkat regional. Untuk itu, juga dibutuhkan dukungan teknologi, penguatan kapasitas, dan pendanaan untuk pengimplementasian IFNET 2030 agar dapat mewujudkan keselarasan antara komitmen iklim nasional dan visi jangka panjang pembangunan yang berkelanjutan,” tambah Resni Soviyana.



Lebih lanjut, dalam perjanjian kemitraan tersebut, Pemerintah Norway juga menetapkan prioritas untuk melakukan ‘result-based contribution’ melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan akan ditindaklanjuti dalam perjanjian terpisah. “Ada banyak inisiatif Pemerintah Indonesia yang akan tersokong oleh kerja sama ini. Selain perlindungan dan rehabilitasi ekosistem hutan alam, kerja sama ini juga berpotensi mengoptimalkan implementasi program dan operasional dari BPDLH yang telah dibentuk oleh pemerintah tiga tahun lalu,” jelas Yosi Amelia.



“Langkah selanjutnya yang perlu menjadi perhatian terutama terkait pathways untuk implementasi MoU dalam kerangka besar pencapaian IFNET 2030. Penguatan kebijakan PIPPIB sebagai kunci perlindungan hutan alam yang tersisa harus dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif. Karena tanpa partisipasi aktif masyarakat di tingkat tapak, perlindungan ekosistem akan sangat sulit untuk dilaksanakan. Demikian juga pengembangan dan penerapan kerangka pengaman sosial dan lingkungan (safeguards) dalam upaya pencapaian IFNET 2030 patut menjadi perhatian dalam menyusun pathways implementasi,” tutup Nadia Hadad.



Kontak Media:
– Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
– Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803

Related Article

KELOMPOK KERJA LINGKUNGAN, KEADILAN IKLIM, DAN TRANSISI ENERGI C20 INDONESIA MERESPONS HASIL PERTEMUAN MENTERI-MENTERI LINGKUNGAN DAN IKLIM G20

KELOMPOK KERJA LINGKUNGAN, KEADILAN IKLIM, DAN TRANSISI ENERGI C20 INDONESIA MERESPONS HASIL PERTEMUAN MENTERI-MENTERI LINGKUNGAN DAN IKLIM G20

01/09/2022 – Kelompok Kerja, Keadilan Iklim, dan Transisi Energi (ECE WG) C20 Indonesia mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk mendeklarasikan komitmen penanggulangan perubahan iklim yang lebih ambisius dan mengadopsi prinsip keadilan iklim dalam setiap aspek mitigasi, adaptasi, dan pendanaan iklim saat G20 Summit pada bulan November 2022 nanti.


Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia menyesali ketidakmampuan para menteri lingkungan atau iklim dari negara-negara G20 untuk menyepakati komunike bersama, terlepas dari diskusi tentang krisis iklim yang sedang berjalan. Forum G20 beranggotakan negara-negara berkembang dan maju yang secara total mencakupi 80% GDP dunia dan 75% perdagangan internasional. Meski demikian, aktivitas ekonomi tersebut bertanggung jawab atas 75% emisi GRK global.

Kelompok Kerja ECE mendukung semua agenda yang disebutkan di dalam chair’s summary, termasuk tentang pengurangan dampak degradasi lahan dan kekeringan; peningkatan perlindungan, konservasi, dan restorasi lahan ekosistem lahan dan hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati; upaya mengurangi polusi dan kerusakan lingkungan; pengelolaan sampah; pengelolaan sumber air yang berkelanjutan; sampah laut; konservasi laut; dan ekonomi sirkular—sebagian hal yang disepakati oleh para menteri tersebut.


Meski demikian, saat ini belum ada diskusi atau bahkan penyebutan tentang kerangka waktu, kepemimpinan, dan mobilisasi dana untuk mencapai semua poin yang disebutkan di dalam ringkasan
tersebut. Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa 71% pendanaan iklim publik diberikan lewat pinjaman sehingga memperburuk hutang negara-negara berkembang yang sudah memiliki beban hutang yang tinggi dalam konteks krisis berganda saat ini dan, meskipun tidak bertanggung jawab besar atas krisis iklim, sedang menanggung hutang iklim global north. Untuk memperoleh keluaran yang bermakna, kami mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk untuk memajukan rencana terukur dalam penanganan perubahan iklim, terutama bagi kelompok yang paling berisiko, dengan cara meningkatkan kapasitas mereka dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim, mengakui dan memformalkan peran anak-anak serta anak muda, terutama anak serta remaja perempuan; perempuan; masyarakat adat; orang tua; dan orang-orang dengan disabilitas dalam semua kerja iklim, termasuk pengambilan keputusan.


Selain itu, kurangnya diskusi antara Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CWSG) dengan Energy Transition Working Group (ETWG) dan Finance Track G20 Indonesia juga patut disoroti. Penanggulangan masalah iklim dan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari keluaran kebijakan energi dan ekonomi. Sektor energi adalah pengemisi GRK terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, Kelompok Kerja ECE mendesak para pemimpin negara-negara G20 untuk mengharmoniskan transisi energi berkeadilan dengan upaya memenuhi target 1,5 derajat celsius sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris dan berkomitmen pada tata kelola sumber daya berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara perlindungan lingkungan dengan percepatan pengembangan infrastruktur energi berkelanjutan, mengingat bahwa infrastruktur tersebut membutuhkan berbagai mineral dan sumber daya alam dalam jumlah besar. Kami juga meminta negara-negara G20 untuk menghentikan investasi pada industri bahan bakar fosil yang saat ini meningkat karena konflik antara Rusia dan Ukraina.


Menurut Laporan Transparansi Iklim 2021, tidak satupun negara G20 telah memiliki tingkat ambisi yang cukup untuk mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat celsius. Tanpa komitmen yang kuat dari para raksasa besar ekonomi dunia, negara-negara dan masyarakat yang kurang berandil dalam menyebabkan perubahan iklim akan lebih menanggung dampak-dampaknya. Laporan IPCC terbaru menunjukkan bahwa manusia memiliki kurang dari tiga tahun lagi untuk mengubah pola emisi GRK dunia dan mengingatkan bahwa cuaca ekstrem dan berbagai bencana alam akan terjadi lebih sering dan intens dan lebih berdampak pada kelompok-kelompok rentan di global south. Krisis ini telah menyebabkan kematian, kekeringan, kelaparan, kepunahan spesies pada tingkat lokal, migrasi, dan kerugian yang mencapai miliaran dolar A.S.

Masyarakat adat, lokal, dan sipil masih kurang dilibatkan dalam diskusi dan perencanaan penanggulangan perubahan iklim dan masalah-masalah lingkungan lainnya. Selama ini, pembangunan dan inisiatif-inisiatif iklim memperlakukan kelompok-kelompok rentan sebagai korban, bukan agen perubahan yang bisa memimpin dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Padahal, banyak proyek lingkungan yang direncanakan tanpa pelibatan masyarakat lokal telah menyebabkan maladaptasi yang memperburuk masalah, bukan menyelesaikannya. 

Negara-negara G20 juga seharusnya bisa menyepakati komitmen yang lebih ambisius untuk menghentikan perusakan ekosistem alam, baik ekosistem darat, pesisir, maupun laut, dan mempercepa pemulihan ekosistem yang  usak dalam rangka mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1.5 derajat celcius. Menjaga ekosistem alam, terutama hutan alam tersisa, merupakan upaya mitigasi krisis iklim yang efektif biaya dari sektor AFOLU. Untuk mewujudkan keadilan iklim dan lingkungan, upaya transisi energi dan pemulihan ekonomi harus selalu melibatkan dan menghormati hak-hak masyarakat serta sejalan dengan perlindungan dan pemulihan ekosistem,” terang Anggalia Putri, Koordinator Sub-Kelompok Kerja AFOLU dan Hak dari Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia, yang diundang dalam rapat ketiga EDM-CWSG Senin 29 Agustus lalu sebagai pengamat.


Terakhir, kami mendesak semua pemimpin di dunia, baik anggota maupun nonanggota G20, untuk memastikan perlindungan para pejuang lingkungan lewat upaya-upaya hukum dan menghentikan segala bentuk kekerasan, ancaman, intimidasi, dan kriminalisasi.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi kami via e-mail di wgecjet@civil-20.org

Berbagai desakan Kelompok Kerja ECE C20 Indonesisa yang diringkas dalam Executive Summary Policy Pack WG ECE C20 Indonesia bisa dibaca selengkapnya di sini.

Related Article

‘Hutan Kita Sultan’ Jadi Pesan Utama Dalam Perayaan Hari Hutan Indonesia 7 Agustus Tahun Ini

‘Hutan Kita Sultan’ Jadi Pesan Utama Dalam Perayaan Hari Hutan Indonesia 7 Agustus Tahun Ini

Jakarta, 4 Agustus 2022. Indonesia adalah negara yang memiliki luas hutan hujan tropis peringkat ketiga di dunia, yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Pada tahun ini Konsorsium Hari Hutan Indonesia kembali menggaungkan kampanye Hari Hutan Indonesia yang dilaksanakan tanggal 7 Agustus setiap tahunnya. Pada momentum kali ini ‘Hutan Kita Sultan’ jadi tema utama, yang harapannya menjadi pemantik bagi khalayak luas lebih peduli dan sadar akan upaya pelestarian hutan Indonesia, serta mendorong Hari Hutan Indonesia diresmikan oleh Pemerintah Indonesia.

Miftachur Ben Robani, Koordinator Konsorsium Hari Hutan Indonesia 2022 menyebutkan, “Hutan kita kaya, tempat beragam flora fauna. Letak Indonesia di daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi, sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain itu, hutan kita juga menjadi sumber pangan dan obat-obatan, sumber air, sumber udara bersih serta menjadi tempat tinggal dan akar budaya berbagai suku bangsa dan masyarakat adat di Indonesia, hingga menjadi penyerap karbon. Hutan kita kaya, memberikan beragam manfaat yang selama ini kita nikmati, baik yang berada di dalam hutan, di sekitar hutan, hingga masyarakat yang letaknya jauh dari hutan. Untuk itu, pelestarian hutan Indonesia harus terus dilakukan oleh kita semua.”

“Hari Hutan Indonesia juga merupakan momen refleksi tentang sejauh mana kita sudah berhasil melindungi hutan-hutan kita. Berdasarkan data KLHK yang diolah Yayasan Madani Berkelanjutan, Hutan Alam Indonesia menyusut 4 juta ha dari 2011 sampai 2019. Namun, pembukaan hutan dari tahun ke tahun tampak terus menurun. Hal ini kita perlu rayakan dan awasi agar tren penurunan perubahan tutupan hutan terus berlanjut sehingga target iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dan Kebijakan FOLU Net Sink 2030 bisa tercapai,” terang Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad.

Maria Dwianto, Direktur Komunikasi PT Rimba Makmur Utama turut menambahkan, “Kami mendukung penuh perayaan Hari Hutan Indonesia sebagai upaya untuk membangun kepedulian dan rasa cinta anak muda, khususnya kaum urban, terhadap hutan di Indonesia. Sangat penting bagi kita untuk membangun kesadaran anak muda tentang pentingnya pelestarian hutan Indonesia, karena merekalah yang kelak akan menjadi pengambil keputusan di negara kita. Restorasi dan konservasi hutan Indonesia merupakan agenda penting untuk memerangi perubahan iklim.”

“Hari ini membuat hutan dibicarakan oleh banyak orang dan organisasi, bukan karena kebakaran, kerusakan, atau konflik di hutan, melainkan karena ribuan kelompok dan jutaan orang aktif berkampanye kreatif dan beraksi kolaboratif minimal sehari dalam setahun di Hari Hutan Indonesia 7 Agustus ini. Tujuannya untuk membuat isu hutan jadi inklusif sehingga lebih banyak lagi penjaga hutan, walau juga tinggal jauh dari hutan,” kata Christian Natalie, Manajer Program Hutan itu Indonesia.

Dukungan perayaan Hari Hutan Indonesia juga datang dari kelompok urban, terutama dari para penggemar K-Pop di Indonesia. Nurul Sarifah, juru kampanye KPOP4PLANET menerangkan “Penggemar K-Pop datang dari generasi Z dan Millennial, di mana dampak krisis iklim yang semakin memburuk, termasuk deforestasi, mengancam masa depan kami. Penggemar K-Pop sendiri telah melakukan berbagai upaya dalam pelestarian hutan seperti adopsi hewan terlindungi, penanaman pohon, adopsi pohon, hingga penandatanganan petisi perlindungan hutan di Papua. Solidaritas penggemar K-Pop dalam perlindungan dan pelestarian hutan merupakan bentuk aksi iklim kami dalam mencegah krisis iklim semakin memburuk.”

“Hari Hutan Indonesia, 7 Agustus memperingatkan kita sebagai Manusia untuk menjaga ekosistem hutan dan lahan bagi kehidupan manusia di planet ini. Kita semua tahu, kontribusi hutan tropis Tanah Papua terhadap kehidupan yang sangat berarti bagi manusia dan biodiversity. Komitmen pemerintah untuk menjaga hutan dan biodiversitas tanah Papua akan membantu menyelamatkan flora dan fauna endemik serta menghormati hak-hak masyarakat hukum adat menjadi solusi. Bagi masyarakat hukum adat di Tanah Papua, hutan sebagai Mama bagi mereka, karena semua sumber penghidupan ada didalam ekosistem hutan, mulai dari kebutuhan obat-obatan tradisional, flora dan fauna, ritual adat dan masih banyak lagi. Kita berkomitmen menjaga wilayah adat (hutan dan lahan), wilayah adat menjaga kehidupan kita manusia,” Yanuarius Anouw, Direktur Bentara Papua.

Hari Hutan Indonesia merupakan inisiatif Konsorsium Hari Hutan Indonesia, sebuah forum kolaborasi yang terdiri dari 27 anggota dari lintas organisasi yang memiliki kesadaran dan misi yang sama untuk berkomitmen penuh dalam upaya pelestarian hutan Indonesia. Hutan Kita Sultan menjadi pesan utama kampanye Hari Hutan Indonesia dengan tujuannya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta mengkampanyekan bahwa Hutan Indonesia kaya akan keragaman hayati, budaya, potensi, nilai ekonomis. Karena jika tidak ada hutan, tidak ada kehidupan.

Pada perayaan Hari Hutan Indonesia tahun lalu konsorsium Hari Hutan Indonesia berhasil mewadahi 96 kolaborator lintas organisasi, 792 sukarelawan digital, dan diikuti oleh lebih dari 49.879 partisipan dari 42 acara, mulai dari pameran hari hutan, webinar, kompetisi, virtual series, dan konser.

Peringatan Hari Hutan Indonesia tahun ini akan dipusatkan di Hutan Kota Kemayoran-Jakarta, dan akan dimeriahkan dengan acara musik yang menghadirkan Feby Putri dan musisi lainnya untuk bernyanyi bersama melalui lagu tentang hutan dan lagu populer. Dilanjutkan dengan menonton film pendek yang berjudul Segala dalam Diam, yang berkisah tentang perjalanan anak muda di hutan Katingan, Kalimantan Tengah. Acara ini selain dilaksanakan di Hutan Kota Kemayoran-Jakarta, juga disiarkan secara daring melalui akun Instagram @harihutan_id.

Selain itu, terdapat jamuan ala hutan dan pameran perjalanan Hari Hutan Indonesia dari tahun ke tahun. Jamuan ala hutan akan menghadirkan kuliner-kuliner lokal dengan sebagian olahan dari hasil hutan bukan kayu (HHBK).

*Kontak Media : Sdri. Luluk Uliyah – 0815-1986-8887 atau melalui email harihutan.id@gmail.com

Catatan untuk editor:
Tentang Konsorsium Hari Hutan Indonesia

Konsorsium Hari Hutan Indonesia (HHI) merupakan kolaborasi lintas organisasi dengan membawa pesan penting terkait kampanye Hari Hutan Indonesia ke ruang lingkup lebih luas dan berkelanjutan. Konsorsium HHI merupakan bagian dari tindak lanjut perayaan Hari Hutan Indonesia yang untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 2020. Tujuan Konsorsium HHI adalah untuk membuka jaringan dan potensi kolaborasi yang berdampak strategis dengan organisasi yang mempunyai visi misi yang sama, dan juga memiliki komitmen penuh untuk menjadi penggerak pelestarian hutan Indonesia. Melalui konsorsium HHI diharapkan muncul aksi konkrit yang berdampak langsung baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah maupun dampak bagi masyarakat. Saat ini, ada 27 organisasi dari bidang lingkungan dan non-lingkungan yang bergabung menjadi anggota Konsorsium Hari Hutan Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Hari Hutan Indonesia dapat mengakses laman website www.harihutan.id

Related Article

Berikan Generasi Mendatang Indonesia Kesempatan Berjuang Untuk Bertahan Hidup

Berikan Generasi Mendatang Indonesia Kesempatan Berjuang Untuk Bertahan Hidup

[Jakarta, Selasa, 5 April 2022] Laporan IPCC tentang Mitigasi yang  keluar pada 4 April 2022 dengan tegas menyatakan bahwa kita harus beraksi sekarang untuk mengurangi emisi global hingga setengahnya pada 2030 agar dapat menahan laju pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat. Komitmen iklim (NDC) negara-negara saat ini akan membawa kita ke pemanasan global 2,8 derajat pada 2100, jauh di atas batas aman 1,5 derajat. Laporan ini dengan tegas juga menyatakan bahwa pengurangan emisi di sektor pertanian, kehutanan, dan lahan (AFOLU) dapat membantu mengurangi emisi global dalam skala besar, tapi tidak dapat mengkompensasi penundaan pengurangan emisi di sektor lain.

Oleh karena itu, agar generasi mendatang Indonesia memiliki peluang untuk selamat, pemerintah harus melakukan dua hal sekaligus: mengurangi energi fosil secara drastis serta menjaga dan memulihkan ekosistem alam tersisa yang berperan besar dalam menyerap emisi GRK dari atmosfer. Hal ini termasuk melindungi seluruh bentang hutan alam tersisa, tidak lagi membuka dan mengeringkan gambut, dan menjaga dan memulihkan mangrove secara masif,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Laporan IPCC tentang Mitigasi yang telah dikeluarkan pada 4 April 2022.

Saat ini, kajian spasial Madani menemukan bahwa sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,9 juta hektare ekosistem gambut yang berada di luar izin/konsesi dan wilayah yang dialokasikan untuk perhutanan sosial masih belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru. Hutan-hutan alam ini perlu segera dilindungi oleh berbagai instrumen kebijakan. Selain itu, ada hutan-hutan alam di dalam izin/konsesi (sawit, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, konsesi minerba dan konsesi migas) sebesar 27,2 juta hektare yang juga perlu dipikirkan strategi menjaganya. 

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target Indonesia FOLU Net Sink 2030 yang berambisi agar sektor hutan dan lahan Indonesia tidak lagi menjadi pengemisi melainkan menjadi penyerap karbon pada 2030. Salah satu sasaran kerjanya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Ambisi ini layak diapresiasi dan didukung implementasinya. Namun, ambisi ini perlu tercermin dalam dokumen NDC Indonesia yang sedianya akan diperbarui pada 2022 (Second Updated NDC),” kata Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai target NDC Indonesia dan mengendalikan emisi dalam pembangunan. “Mengingat urgensi untuk mengurangi emisi dan adanya target 2030, Nilai Ekonomi Karbon (NEK) harus diprioritaskan untuk aksi yang betul-betul mengurangi emisi dari atmosfer – termasuk yang dijalankan masyarakat adat dan masyarakat lokal selaku penjaga hutan – dan tidak bisa bertumpu pada offset yang tanpa aturan yang ketat dan transparansi justru dapat mengurangi ambisi iklim,” tambah Yosi Amelia.

Dalam IPCC Report juga disebutkan bahwa untuk memaksimalkan potensi mitigasi sektor AFOLU, diperlukan kebijakan yang secara langsung menangani emisi dan mendorong penerapan opsi mitigasi berbasis lahan – salah satunya melalui penetapan dan penghormatan hak tenurial dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. 

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia perlu diapresiasi mengingat dokumen Updated NDC Indonesia telah menekankan penghormatan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal melalui pemberdayaan dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pembangunan. Sejalan dengan ini, Pemerintah juga telah membuka peluang pemberian hak pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial. Akan tetapi, sampai saat ini, pemberian izin pengelolaan perhutanan sosial bagi masyarakat pengelola hutan masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, dalam target Indonesia FOLU Net Sink 2030, program perhutanan sosial menjadi salah satu strategi kunci untuk pencapaiannya. Agar target ini dapat selaras, Pemerintah perlu mempercepat pemberian izin Perhutanan Sosial bagi masyarakat adat dan lokal serta memperkuat pendampingan dalam implementasinya,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah daerah sebagai salah satu Non-Party Stakeholders, menjadi kunci dalam menjalankan aksi-aksi pengendalian emisi di wilayahnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian target komitmen iklim, pemerintah daerah telah dimandatkan untuk turut andil dalam penyelenggaraan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta berperan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) seperti yang tertuang dalam Perpres 98/2021. Lebih spesifik lagi, Perpres NEK mewajibkan pemerintah provinsi untuk menyusun baseline, target dan rencana aksi pengurangan emisi GRK, melakukan pembinaan, inventarisasi, memonitor dan melaporkan aksi pengendalian emisi GRK. Namun, untuk menjalankan mandat tersebut, penting untuk memastikan keselarasan kebijakan nasional dan daerah,  peningkatan kemampuan dan kapasitas daerah dalam penyusunan perencanaan yang berkelanjutan,  penguatan sumber pendanaan hijau, serta keterlibatan multisektor lainnya baik akademisi maupun swasta untuk menjalankan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.

M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, menambahkan bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dapat menjadi peluang strategis Indonesia untuk mendorong transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati sebagai energi transisi. “Namun, agar kebijakan BBN nasional selaras dengan pencapaian komitmen iklim Indonesia serta emisi nol bersih, RUU EBT perlu memasukkan pengaturan pemenuhan prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam pengembangan BBN baik aspek hulu hingga hilir serta mengedepankan diversifikasi komoditas bahan baku dengan menekankan pada pemanfaatan teknologi BBN generasi 2 atau limbah,” kata M. Arief Virgy. [ ] 

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Pentingnya Kebijakan Pembangunan yang Konsisten dengan Agenda Net Sink FOLU dan Mengakhiri Deforestasi pada 2030

Pentingnya Kebijakan Pembangunan yang Konsisten dengan Agenda Net Sink FOLU dan Mengakhiri Deforestasi pada 2030

[Jakarta, 2 November 2021] Dalam National Statement-nya di World Leaders Summit COP26, Presiden Joko Widodo bertekad agar sektor hutan dan lahan Indonesia menjadi penyerap karbon (net carbon sink) selambat-lambatnya di tahun 2030. Hal ini juga sejalan dengan Global Forest Deal yang diluncurkan di Glasgow di mana 100 negara termasuk Indonesia menjanjikan akan mengakhiri deforestasi pada tahun 2030. Hal ini tentu merupakan kemajuan positif yang layak diapresiasi, namun tanpa langkah-langkah yang tegas, pencapaian target tersebut bisa tidak tercapai. “Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan – termasuk pemulihan ekonomi nasional – yang konsisten dengan agenda net sink FOLU dan tujuan untuk mengakhiri deforestasi pada 2030. Melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa akan membantu Indonesia mencapai aspirasi tersebut. Saat ini masih ada 9,6 juta hektare bentang hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Selain itu, Presiden harus mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi hak masyarakat adat yang berada di garis depan perlindungan hutan alam tersisa, juga mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial yang berpotensi berkontribusi hingga 34,6% terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi,” tambah Nadia Hadad.

Sementara itu Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menambahkan bahwa untuk mencegah karhutla, Pemerintah juga harus mempercepat restorasi gambut dengan memasukkan seluruh area terbakar pada 2015-2019 dan mendorong realisasi restorasi gambut di area izin dan konsesi. Serta memperkuat Pemerintah Daerah dalam menjalankan aksi adaptasi dan mitigasi di wilayahnya dan meningkatkan pendanaan hijau ke daerah. 

Presiden juga harus menghentikan rencana alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan tujuan net sink FOLU 2030. Hutan alam, ekosistem gambut, dan wilayah Masyarakat Adat di dalam Area of Interest Food Estate harus dikeluarkan dan dilindungi agar tidak dikonversi. Saat ini ada 1,5 juta hektare hutan alam di Area of Interest Food Estate di 4 provinsi saja,” tambah Yosi Amelia.

Tidak hanya itu, pasca-moratorium sawit, perlu ada kebijakan tegas dan tertulis untuk tidak memberikan izin perkebunan sawit baru di wilayah yang berhutan alam dan ekosistem gambut dan fokus sepenuhnya pada peningkatan produktivitas. “Jika tidak dihentikan, sekitar 1,73 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang tidak terlindungi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), di luar Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), dan di luar izin eksisting bisa terancam,” kata Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Jika penyelesaian keterlanjuran izin sawit di Kawasan Hutan turut mencakup area yang masih berhutan alam dan ekosistem gambut, sekitar 0,76 juta hektare hutan alam juga bisa terdampak pelepasan Kawasan Hutan. Jika seluruh hutan alam di atas hilang, hingga 78% “jatah” deforestasi Indonesia untuk mencapai target Updated NDC pada 2020-2030 akan habis,” tambah Trias Fetra.

Komitmen Presiden Joko Widodo untuk memanfaatkan energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati (biofuel) juga memerlukan ketegasan untuk menegakkan safeguards untuk tidak membuka hutan alam dan ekosistem gambut. “Mendiversifikasi bahan baku biofuel agar tidak hanya berfokus pada minyak sawit menjadi penting agar tidak ada kompetisi bahan baku untuk pangan dan energi sehingga dapat mencegah ekspansi lahan pada hutan alam dan lahan gambut,” kata M. Arief Virgy, Program Officer Tata Kelola Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan. [ ]

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081

  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803 

  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.  0877 4403 0366

  • M. Arief Virgy, Program Officer Tata Kelola Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0877 0899 4241

Related Article

Pak Jokowi, Mari Bersama Cegah Darurat Emisi

Pak Jokowi, Mari Bersama Cegah Darurat Emisi

Jakarta, 27 Oktober 2021. Krisis Iklim di depan mata. Tahun lalu cuaca ekstrem dan pandemi COVID-19 menjadi hantaman ganda bagi jutaan warga berbagai benua. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 2020 menjadi satu dari tiga tahun terhangat yang pernah tercatat meski La Nina yang dingin sedang berlangsung. Lebih dari 30 juta orang menyingkir akibat peristiwa bencana yang dipicu cuaca buruk. Dan di Indonesia, sekitar 6,3 juta penduduk mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.

Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era pra-industri (1850–1900). Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius sembari membidik Net Zero Emission (NZE) pada 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.

Dalam konteks ini, Indonesia berperan penting untuk ikut mengerem peningkatan suhu bumi. Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang bakal menentukan arah untuk menghadapi krisis iklim.

Misi sedemikian dapat dirintis pada 31 Oktober–12 November 2021 dalam acara UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) ke-26 yang bakal digelar di Glasgow, Skotlandia. COP26, sebagai bagian dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), merupakan forum tingkat tinggi signifikan bagi 197 negara untuk membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari Krisis Iklim. Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir di sana.

Namun, menyumbang peran dalam hal sebegitu besar bukan perkara mudah. Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapai target dimaksud, demikian komentar Chenny Wongkar, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Rencana pembangunan harus hijau, adil, dan seimbang. Tidak hanya memburu pertumbuhan, tapi pun mesti bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.

Pembangunan semacam ini harus mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim,” kata Chenny.

Untuk menunjukkan capaian atas pembangunan semacam itu, terdapat sejumlah indikator yang dapat ditengok. Di antara yang bisa digarisbawahi adalah masyarakat memiliki udara bersih dan bebas dari pencemaran, pembangunan tidak mengeksploitasi sumber daya esensial dan merusak lingkungan, serta kebutuhan dasar seperti energi, pangan, kesehatan, dan sanitasi dapat terjamin pemenuhannya. Hemat Chenny, Indonesia perlu menghentikan model ekonomi ekstraktif yang berfokus pada keuntungan jangka pendek dan beralih pada ekonomi hijau dengan keuntungan jangka panjang.

Langkah yang bisa diambil adalah segera beralih dari sumber energi berbasis fosil—seperti batu bara dan turunannya—menuju energi terbarukan. Sebab, sektor energi harus menjadi fokus peningkatan ambisi kebijakan iklim Indonesia.

Menurut Deon Arinaldo, Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengutip pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050 (LTS-LCCR 2050/ Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development), sektor energi pada 2030 diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton CO2e. Sementara, ketika itu Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum 2060. Di sisi lain, 91% transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil.

Dampak praktik tersebut buruk bagi lingkungan, sosial, dan keuangan negara. Seperti kerusakan hutan, korban lubang tambang, dan besarnya impor BBM.  Jika transisi energi hanya dilakukan pada sumber energi tak terbarukan seperti batu bara cair atau gas, peralihan menuju energi terbarukan sesungguhnya malah akan terhambat.  “Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan,” kata Deon.

Satu hal bertaut dengan hal lain. Untuk mencapai target NZE, hutan diperlukan sebagai penyerap emisi. Sedangkan, industri energi berbasis fosil terbukti merusaknya. Dalam perang melawan krisis iklim, kunci kemenangan bisa diraih dengan melindungi dan memulihkan ekosistem alam, begitu pendapat Salma Zakiyah, dari Program Hutan dan Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan. “Ekosistem gambut, hutan, mangrove, dan laut adalah penyerap karbon yang luar biasa dan vital dalam melindungi masyarakat dari dampak krisis iklim,” ujarnya.

Dalam empat tahun terakhir Indonesia mampu meredam laju deforestasi. Namun, belum semua bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa Indonesia terlindungi. Artinya, sekitar 9,6 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,8 juta hektare ekosistem gambut masih terancam mengalami penggundulan.

Pemerintah juga harus merealisasikan target 12,7 juta hektare perhutanan sosial, agar masyarakat adat atau warga lokal bisa turut menjaga hutan. Selain itu, hutan-hutan yang telah rusak dan terbakar juga perlu direhabilitasi.

Target NZE alias nol emisi pun perlu didorong dari sektor sampah. Pengelolaan sampah seharusnya dilakukan secara menyeluruh sejak dari produksi hingga konsumsi. Menurut Yobel Novian Putra, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, selama ini ada kesalahan fokus pengelolaan sampah di Indonesia. Seyogianya, pengelolaan sampah harus difokuskan sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang. Semua kemasan yang diproduksi harus bisa didaur ulang, atau tidak menggunakan bahan berbahaya.

Di sisi hilir atau konsumen, sanksi tegas harus dijatuhkan bagi mereka yang tak memilah sampah. Konsumen juga perlu difasilitasi untuk mendaur ulang sampahnya. “Jika hanya fokus pada hilir, tak akan menyelesaikan masalah,” kata Yobel.

Pemerintah juga perlu menghapus teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator ). Sebab, cara ini menghasilkan emisi gas rumah kaca dan abu yang serius.  Langkah yang perlu ditempuh adalah memacu pengomposan sampah domestik.  Dengan menerapkan metode tersebut, maka volume sampah bisa berkurang. Lahan uruk saniter (sanitary landfill) dan lahan uruk terkontrol  (controlled landfill) juga perlu dioptimalkan untuk mengurangi pelepasan gas metana dari sampah. Saat ini, ada 514 TPA (tempat pembuangan akhir) sampah kota/kabupaten yang masih memberlakukan sistem terbuka (open dumping) dan diproyeksikan melepas gas metana 296 MT CO2e pada 2030.

Jika langkah-langkah di atas kurang mengena, maka pemerintah bisa mendorong skema pembiayaan  yang merangsang ekonomi hijau. Brurce Mecca, analis Climate Policy Initiative (CPI), mengatakan banyak anggaran yang beralih ke sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Alhasil, anggaran iklim tidak menjadi prioritas. “Tantangannya, jangan sampai pergeseran ini terjadi untuk jangka panjang. Anggaran jangka panjang tetap difokuskan untuk ekonomi hijau,” kata dia.

Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menarik bagi investasi hijau. Misalnya dengan memberi insentif bagi investasi hijau dan disinsentif bagi investasi sektor kotor. Insentif ini bisa dilakukan bagi pemerintah daerah. Misal dengan mendorong Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus untuk penganggaran energi hijau. Dengan kebijakan ini, investasi hijau dari swasta dan luar negeri diharapkan dapat terbetot.

Maka, kami Komunitas Peduli Krisis Iklim meminta pemerintahan Joko Widodo:

Memastikan arah pembangunan ekonomi hijau yang inklusif, berkeadilan, berorientasi pada pertumbuhan kesejahteraan, dan responsif terhadap Krisis Iklim, melalui pemenuhan ambisi Net Zero Emission lebih cepat dari 2060 melalui peta jalan yang jelas dan terukur;

Memastikan peralihan segera dari sumber energi berbasis fosil seperti batu bara dan turunannya menuju energi terbarukan, dengan kebijakan transisi energi yang inklusif, terdesentralisasi, terukur, dan berkeadilan;

Memastikan penguatan upaya perlindungan ekosistem alam, termasuk menghentikan alih guna lahan yang tidak selaras dengan aspirasi Indonesia mencapai Net Zero Emission lebih cepat dari 2060.

Memastikan pengelolaan sampah yang menyeluruh, mulai dari pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.

Memastikan Indonesia menjadi negara tujuan investasi hijau yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, dengan memperbesar insentif aliran pendanaan hijau dan disinsentif pendanaan kotor.

* * * *

Tentang Komunitas

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan.

Pihak yang bisa dihubungi:

Related Article

PALM OIL MORATORIUM, IMPORTANT TO BE EXTENDED AND STRENGTHENED

PALM OIL MORATORIUM, IMPORTANT TO BE EXTENDED AND STRENGTHENED

Jakarta, 18 September 2021. Palm oil moratorium policy will expire in the coming hours. But till now, there is no official statement from the government. So far this moratorium policy is yet to show significant progress to improve the governance in the palm oil sector in Indonesia. The Palm Oil Moratorium Coalition consists of many CSOs who have concerns on the palm oil governance in Indonesia and argue that the palm oil moratorium should be extended as well as strengthened in many aspects.

 

Agung Ady, a campaigner at Forest Watch Indonesia said, ”We support the palm oil moratorium to be extended with notes that it has to be implemented more seriously and more transparently. The public should know more and be involved in the process, in the permit evaluation and information dissemination should reach local government on time, and no excuses of not to implement the moratorium due to those issues. The central government should be open if there are problems in the implementation. If the CSOs are involved and there is a check and balance mechanism, ensuring that nobody throws responsibility (blaming) to others and the objectives of this presidential instruction are achieved to improve the governance of palm oil towards sustainable palm oil”.

READ ALSO: Strategi Penguatan Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Agar Berdampak Terhadap Pembangunan Daerah 

 

One thing that often to be missed is the responsibility on the law enforcement aspect. This regulation obliges the Ministry of Environment and Forestry to take action and/or demand compensation against the use of forests into palm oil plantations. But there is no further instruction given to the law enforcers such as the attorney and police. Moreover, there is no information open to the public with regard to the implementation of the moratorium. Adrianus Eryan, Head of Forestry and Land Division at Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) states that law enforcement becomes the relevant and important aspect if the government is serious about improving the governance of palm oil via this presidential instruction, therefore it will be more relevant and urgent for the President to extend as well as strengthen the palm oil moratorium.

 

Rahmadha, a campaigner at Kaoem Telapak said, “The importance of improving governance on palm oil will affect the acceptance of Indonesia palm oil in the global market. Market countries like the EU, UK, and US at the moment are undergoing their due diligence regulation to ensure that the commodities entering their market are free from deforestation and land degradation. Palm oil is one of the five commodities proposed. Kaoem analyses that this step will potentially add the benchmarking scheme imposed on the countries with historical high deforestation with more stringent reports and traceability. If the palm oil moratorium is extended and strengthened will impact the good governance and grouping Indonesia to have lower risk and easier acceptance, added by Rahmadha.

 

Inda Fatinaware, The Director of Sawit Watch said,” Even Though it is yet optimal, the achievement in the implementation of this moratorium should be appreciated, the improvement that visioned is still far away. If the Inpres is ended, it is worrying, forests are under threat, palm oil expansion will continue and potentially increase social conflict. We value the palm oil moratorium to be extended with the notes that all the mandate holders are seriously implementing it, having the specific target for achievement, to leverage transparency and open the chance for collaboration with multi-stakeholders toward palm oil good governance.”

READ ALSO: Urgensi Perpanjangan Moratorium Sawit untuk Mempercepat Perbaikan Tata Kelola Sawit Indonesia

 

Andi Muttaqien, the Deputy Director of Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) said,”As the biggest exporter country in the world, the improvement of palm oil industry governance will be the urgent agenda for GoI in the market that currency develop towards environment friendly products, sustainable and non exploitative. The Palm oil moratorium can be one of the important scenarios developed by the government to respond to many issues of sustainability in the palm oil industry sector like the overlapping palm oil plantation with the Forests area that impact human rights issues. Another, the Moratorium Inpres is the manifestation of government responsibility and part of human rights due diligence to protect the community in the area with high Human right violation, including the palm oil plantation. Therefore it is important for the Indonesian Government to continue and strengthen this moratorium policy”.

 

The support for the Palm Oil Moratorium to be prolonged is also coming from general individuals in Indonesia via change.org platform entitled “ Mr. Jokowi, Please extend the Moratorium for Indonesia’s forests” with around 3,000 voices calling for moratorium extension.

 

On Friday, 17 September 2021, the Palm Oil Moratorium coalition sent an open letter to the President Joko Widodo to extend the moratorium. We are hopeful to see the response and decision from the government to extend it. The future of Indonesia’s forests is now in the hands of the government.

 

###

Contact persons at The Palm Oil Moratorium Coalition:

●      Agung Ady, Forest Watch Indonesia (FWI) | agung_ady@fwi.or.id | 085334510487

●      Adrianus Eryan, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), adri@icel.or.id, 0813-8629-9786

●      Rahmadha, Kaoem Telapak (KT),  rahmadha.syah@kaoemtelapak.org, 0881-0241-17796

●      Hadi Saputra, Sawit Watch, hadi@sawitwatch.or.id, 082154574142

●      M.B. Fuad, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 0856-5500-4863


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Moratorium Sawit, Penting Diperpanjang dan Diperkuat

Moratorium Sawit, Penting Diperpanjang dan Diperkuat

[Jakarta, 18 September 2021], Kebijakan moratorium sawit akan berakhir dalam hitungan beberapa jam kedepan. Namun hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah terkait status kebijakan ini. Sejauh ini kebijakan moratorium belum menunjukkan kemajuan berarti dałam perbaikan tata kelola Sawit di Indonesia. Kami Koalisi Moratorium Sawit yang terdiri dari beberapa kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian akan kondisi tata kelola sawit Indonesia menilai bahwa kebijakan moratorium sawit penting untuk diperpanjang sekaligus diperkuat dalam berbagai aspek.

Agung Ady, Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, “Kami sangat mendukung moratorium sawit untuk diperpanjang, namun dengan catatan harus dilaksanakan secara serius dan lebih transparan. Publik harus lebih banyak dilibatkan dalam prosesnya, baik dalam hal evaluasi perizinan hingga penyebarluasan informasi hingga ke level daerah. Sehingga tidak ada lagi kepala daerah yang tidak menjalankan kebijakan ini karena telat mendapatkan informasi. Pemerintah pusat juga harus mau terbuka jika menemukan kendala dalam mengimplementasikan kebijakan ini, jika semua pihak (termasuk CSO) turut dilibatkan, ada mekanisme check & balance yang bisa memastikan tidak adanya saling lempar tanggung jawab dan tujuan inpres moratorium sawit dapat dilaksanakan sesuai dengan mandatnya, yaitu memperbaiki tata kelola perkebunan sawit menuju sawit berkelanjutan.”

Satu hal yang seringkali luput adalah adanya kewajiban dalam aspek penegakan hukum. Inpres menginstruksikan KLHK untuk mengambil langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Namun, tidak ada instruksi lebih lanjut yang diberikan kepada aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan/atau Kepolisian untuk tindak lanjutnya. Bahkan sampai saat ini belum ada informasi yang dibuka ke publik perihal pelaksanaannya. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyatakan bahwa konteks penegakan hukum menjadi relevan dan penting apabila pemerintah memang serius melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit melalui pelaksanaan Inpres. Jika memang kewajiban dalam Inpres belum seluruhnya selesai dilaksanakan, maka menjadi semakin relevan dan mendesak bagi presiden untuk memperpanjang sekaligus memperkuat Inpres Moratorium Sawit.

 

Rahmadha, Juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak (KT) menambahkan. “Pentingnya perbaikan tata kelola sawit berpengaruh terhadap keberterimaan sawit Indonesia di pasar global. Negara-negara pasar seperti Uni Eropa (UE), Inggris, dan Amerika Serikat saat ini sedang mengembangkan legislasi uji tuntasnya untuk memastikan bahwa semua komoditas produk yang dijual di pasar mereka bebas dari deforestasi dan degradasi lahan. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang diusulkan bersama lima komoditas lainnya.” Sejauh ini Kaoem mencatat uji tuntas yang sedang disusun UE dan Amerika Serikat kemungkinan besar akan menambahkan skema benchmarking di mana negara-negara dengan sejarah  deforestasi yang tinggi akan memiliki persyaratan pelaporan dan penelusuran yang lebih ketat pula. “Jika moratorium sawit diperpanjang dan diperkuat sehingga berdampak pada perbaikan tata kelola, maka sawit Indonesia berpeluang tergolong komoditas low risk dan tingkat keberterimaan nya akan semakin mudah,” tambah Rahmadha.

 

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, “Walau belum optimal, capaian implementasi moratorium sawit patut diapresiasi, perbaikan tata kelola sawit yang menjadi cita-cita besar masih jauh dari harapan. Jika inpres ini benar-benar tidak dilanjutkan maka ini akan sangat mengkhawatirkan, hutan akan terancam, ekspansi sawit akan terus terjadi serta dapat berujung pada meningkatkan konflik di masyarakat. Untuk itu kami melihat moratorium sawit penting untuk dilanjutkan dengan catatan seluruh pihak yang dimandatkan dapat menjalankan kebijakan ini dengan serius, memiliki target capaian yang spesifik dan langkah-langkah mewujudkannya, meningkatkan transparansi dan membuka peluang kolaborasi para pihak demi mewujudkan tata kelola sawit yang semakin baik”.

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menegaskan, “Sebagai negara eksportir terbesar minyak sawit dunia, perbaikan tata Kelola industri perkebunan sawit menjadi agenda yang kian mendesak bagi Pemerintah Indonesia ditengah kecenderungan pasar global yang tengah berupaya mengembangkan produk-produk ramah lingkungan, berkelanjutan dan tidak eksploitatif. Inpres Moratorium Sawit merupakan salah satu skenario penting yang telah disusun oleh Pemerintah dalam merespon berbagai isu keberlanjutan di sektor perkebunan sawit seperti persoalan tumpang tindih perkebunan sawit di kawasan hutan yang juga berdampak pada persoalan HAM.  Selain itu, Inpres Moratorium Sawit pula merupakan manifestasi dari kewajiban Negara dan bagian proses uji tuntas HAM dalam melindungi keberlanjutan masyarakat khususnya di wilayah yang memiliki pelanggaran HAM yang tinggi, tidak terkecuali di area perkebunan sawit. Untuk itu, penting bagi Pemerintah untuk melanjutkan dan memperkuat kebijakan moratorium ini kedepan”.

 

Dukungan perpanjangan kebijakan moratorium sawit juga datang dari masyarakat secara umum. Melalui petisi change.org yang bertajuk “Pak Jokowi Tolong Perpanjang Moratorium Sawit, Supaya Hutan Indonesia Tetap Lestari”, terdapat sebanyak 3.461 orang yang menuntut moratorium sawit tetap terus dilakukan.

 

Selain itu pada Jumat, 17 September 2021 Koalisi Moratorium Sawit juga telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk melakukan perpanjangan kebijakan moratorium sawit. Harapan dari Koalisi Moratorium Sawit, Presiden dapat memperpanjang dan memperkuat kebijakan moratorium sawit untuk masa depan hutan Indonesia. [ ]

### 

Narahubung Koalisi Moratorium Sawit :

  • Agung Ady, Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) | agung_ady@fwi.or.id | 085334510487

  • Adrianus Eryan, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), adri@icel.or.id, 0813-8629-9786

  • Rahmadha, Kaoem Telapak (KT),  rahmadha.syah@kaoemtelapak.org, 0881-0241-17796

  • Hadi Saputra, Sawit Watch, hadi@sawitwatch.or.id, 082154574142

  • M.B. Fuad, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 0856-5500-4863

Related Article

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Juli 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam memperbarui komitmen iklim Indonesia melalui Updated Nationally Determined Contribution (Updated NDC). Dalam dokumen Updated NDC yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC 21 Juli 2021 lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, termasuk adaptasi di sektor kelautan, pengurangan deforestasi dan degradasi, perhutanan sosial, serta integrasi dengan isu-isu penting lainnya seperti keanekaragaman hayati.

Beyond 2030, Updated NDC Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut. Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Updated NDC Indonesia yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC.

Selain itu, pemenuhan target NDC membutuhkan kolaborasi semua pihak. Oleh karenanya, keterbukaan data dan informasi, serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat penting agar semua pihak termasuk masyarakat, masyarakat sipil dan sektor swasta dalam berpartisipasi dalam pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim,” tambah Nadia Hadad. “Bayangan emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2060 juga merupakan langkah lebih maju dari rencana sebelumnya di tahun 2070. Namun akan lebih ideal jika Indonesia berkomitmen pada target yang lebih ambisius untuk emisi nol karbon (net zero emission) agar lebih cepat terjadi transformasi ke energi terbarukan dan perbaikan tata kelola penggunaan lahan di Indonesia.” 

Nadia Hadad menambahkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam mencapai Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. 

Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut. “Sekitar 1,5 juta hektare hutan alam tercakup dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi dengan estimasi nilai kayu lebih dari 200 triliun rupiah. Jika hutan alam dibuka, kebijakan ini akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim dan ketahanan pangan di masa depan. Penting juga untuk memperluas dan mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran hutan dan lahan, tidak hanya yang berada di bawah wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM (di luar konsesi), tapi juga restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan. Sangat penting untuk memastikan tidak ada lagi pembukaan dan pengeringan gambut oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energi,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan selaras NDC lain yang penting adalah mempercepat realisasi perhutanan sosial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak. Pendanaan lingkungan hidup dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk Oktober 2019 lalu seyogyanya difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat. 

Tidak kalah penting adalah memastikan kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bagian dari bauran energi (energy mix) termasuk biodiesel, agar tidak meningkatkan deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, memasang safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, dan yang  terpenting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, misalnya dari sampah/limbah,” kata M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan.

Transformasi sistem energi dan penggunaan lahan harus dimulai dari sekarang untuk mencapai visi Net Zero Emission lebih cepat, tidak bisa menunggu setelah 2030 untuk mengurangi emisi secara drastis. Hal ini harus dimulai dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pemerintah dengan komitmen iklim yang telah ditetapkan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 26 Juli 2021] Perpanjangan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Langkah ini dapat memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan, serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim (NDC). Demikian disampaikan oleh Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi tersebut masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% pada tahun 2030 mendatang. Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli 2021 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda “Indonesia FOLU 2030” dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030. Perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit. Perpanjangan ini akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan.

Masih ada sekitar 5,7 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia dapat terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” ujar Trias Fetra. Pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektare.

Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektare hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektare-nya tercatat sebagai hutan primer. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,43 juta hektare tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. Implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan. Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektare ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektare. Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering. Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektare luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias Fetra.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Inpres. “Perlu dicatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Semestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi. Bentuk transparansi seperti ini tentunya akan semakin membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres. Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang.”

Dari pengalaman selama 3 tahun ini, Pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit.  Pemerintah dan para pihak mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujar Agung Ady, Juru Kampanye FWI.  

Terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan. Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit.  Sehingga perpanjangan dan penguatan Moratorium kelapa sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” tutup Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak. [ ]

 

Kontak Media:

  1. Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan (fetra@madaniberkelanjutan.id / 0877-4403-0366)
  2. Agung Ady Setiyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia  (agung_ady@fwi.or.id / 085334510487)
  3. Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak (rahmadha.syah@kaoemtelapak.org / 081288135152)
  4. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL (adri@icel.or.id / 081386299786)

Related Article

id_IDID