Madani

Tentang Kami

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

Pada 6 Desember 2022, Parlemen dan Dewan Uni Eropa menyepakati aturan terkait produk-produk bebas deforestasi sebagai bentuk kontribusi negara-negara Eropa dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia dan mengendalikan perubahan iklim.

Aturan ini mewajibkan beberapa komoditas seperti cokelat, kopi, karet, kedelai, kayu, daging sapi, hingga sawit yang menjadi salah satu unggulan ekspor Indonesia, harus lulus beberapa persyaratan seperti harus berasal dari lahan yang bebas dari deforestasi, kejelasan legalitas, sampai dengan ketertelusuran hingga ke kebun, sebelum masuk ke pasar Eropa.

Aturan ini mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Di satu sisi, regulasi ini dinilai positif lantaran dibuat dengan alasan upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia. Di sisi lain, regulasi ini dinilai tidak bersahabat karena dianggap akan memberikan dampak buruk secara ekonomi, apalagi dibuat di tengah ketidakpastian ekonomi bahkan resesi yang mengancam banyak negara. 

Sebelum regulasi ini diresmikan, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah menggelar diskusi terfokus multipihak pada Selasa dan Rabu, 8-9 November 2022 di Jakarta untuk menanggapi rencana Uni Eropa atas kebijakan ini dengan mengusung tema “Menuju Keberterimaan Sawit Berkelanjutan di Pasar Eropa: Menakar Kesiapan Para Pihak Menghadapi Aturan Uji Tuntas Uni Eropa terkait Produk-Produk Bebas Deforestasi”.

Pandangan Para Pihak

Dalam diskusi multipihak tersebut, beberapa pandangan, baik positif maupun negatif mengapung ke permukaan. Dari sisi positif, peserta diskusi menganggap bahwa regulasi ini memiliki peluang berupa insentif maupun harga yang tinggi dari pasar Uni Eropa untuk para pelaku pasarnya. Kemudian, regulasi ini juga dinilai dapat mendukung upaya perlindungan hutan, adanya peluang kemitraan untuk mendukung petani, meningkatkan serta memperkuat upaya membangun tata kelola sawit yang berkelanjutan melalui penguatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), membantu Indonesia dalam membangun sistem ketertelusuran nasional, dan mempercepat perjanjian bilateral. 

Di sisi lain, regulasi ini dinilai dapat membatasi akses pasar Indonesia. Kemudian, motif regulasi yang tidak murni untuk melindungi hutan, kemungkinan dampak buruk bagi petani swadaya dan pendapatan daerah, bahkan dapat menciptakan keresahan sosial. Tidak hanya itu, perbedaan definisi deforestasi dan petani sawit swadaya juga menjadi pertanyaan, ditambah lagi dengan kemungkinan biaya yang besar untuk memenuhi persyaratan uji tuntas. Bahkan, dalam diskusi juga terkemuka pandangan untuk mempertimbangan pasar lain selain Eropa.

Pentingnya Keberpihakan Kepada Pekebun Swadaya

Studi Madani di 4 kabupaten penghasil sawit menemukan bahwa petani atau pekebun swadaya masih menghadapi tantangan untuk memenuhi syarat legalitas dan ketertelusuran  atau traceability. Dari lebih dari 500 pekebun swadaya yang disurvei, indeks kesiapan mereka dalam memenuhi rencana aturan ini berada dalam rentang 40,4-50,5% yang berarti “kurang siap” hingga “cukup siap.” 

Pekebun swadaya masih kesulitan untuk memenuhi persyaratan legalitas usaha, yakni Surat Tanda Daftar Budidaya atau STD-B dan surat pemantauan dan pengelolaan lingkungan atau SPPL. Selain itu, pekebun juga menghadapi tantangan memenuhi legalitas lahan dalam bentuk Surat Hak Milik (SHM) yang disyaratkan dalam sertifikasi ISPO. 

Pekebun swadaya juga menghadapi tantangan dalam ketertelusuran karena rantai pasok yang panjang dan banyaknya pekebun yang belum melakukan pencatatan saat melakukan transaksi. Di empat kabupaten yang di studi, hanya 0,17% responden yang memiliki akses penjualan TBS langsung ke perusahaan (PKS) maupun melalui koperasi. Panjangnya rantai pasok TBS ini juga mengurangi keuntungan pekebun. Selain itu, hanya 12,82% responden yang memiliki catatan penjualan di setiap transaksi. 

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten.

Selain itu, dari diskusi ini juga mengemuka beberapa pendapat terkait dengan kebutuhan, baik dari sisi pekebun maupun pemerintah daerah untuk dapat mengikuti aturan ini. Bagi pekebun sendiri sebagai pihak yang dianggap paling terdampak, hal yang paling dibutuhkan adalah insentif pasar maupun harga jual komoditas yang terbaik. Hal ini tentu berkait dengan sulitnya bagi pekebun untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. 

Kemudian, penting bagi pekebun untuk mendapatkan dukungan untuk memenuhi persyaratan seperti legalitas termasuk juga untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dukungan untuk praktik perkebunan yang baik, penguatan kelembagaan, bantuan operasional untuk mendukung ketertelusuran yang baik, dan mendorong kemitraan yang adil dengan perusahaan sebagai kunci membenahi ketertelusuran. 

Sementara itu, pemerintah daerah membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memahami regulasi ini. Pemerintah daerah juga perlu dukungan untuk memitigasi risiko terhadap pendapatan daerah, memberikan dukungan kepada petani untuk mencegah keresahan sosial, membantu masyarakat untuk mencari mata pencaharian alternatif saat ekspansi tidak diperbolehkan, serta untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan terkait, baik dalam hal pemahaman, anggaran, maupun sumber daya manusia. 

Mengapa Kemitraan yang Inklusif Penting 

Dengan adanya banyak kebutuhan untuk memenuhi regulasi bebas deforestasi ini, pihak Uni Eropa sebagai pembuat kebijakan harus mengedepankan prinsip kemitraan yang inklusif dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan di negara produsen sehingga kedua belah pihak, baik Uni Eropa sendiri maupun negara produsen, sama-sama diuntungkan. 

Tidak semata-mata upaya membersihkan rantai pasok Uni Eropa dari deforestasi, kebijakan ini juga seharusnya diartikan sebagai sebuah stimulus yang mampu mendongkrak perbaikan dalam negeri bagi negara-negara yang terdampak kebijakan ini. 

Pemerintah Indonesia telah menginisiasi beberapa inisiatif yang perlu didukung untuk mengurangi deforestasi dan mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan, antara lain Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang mencakup penguatan data perkebunan sawit, peningkatan kapasitas pekebun, pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian konflik, dan percepatan ISPO serta peningkatan akses pasar. 

Pemerintah juga telah menyatakan target mencapai net sink di sektor hutan dan lahan pada 2030 (Indonesia Net Sink FOLU) yang dapat mengurangi deforestasi lebih jauh melalui implementasi Rencana Operasionalnya. Penguatan standar ISPO dan sistem ketertelusuran sawit nasional pun sangat perlu didukung.  

Tanpa adanya perbaikan tata kelola dalam negeri yang didukung kemitraan, produk-produk terkait deforestasi memang tidak akan masuk ke pasar Eropa, namun, dapat berpindah ke pasar yang lain. Ini jelas bukan solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi lahan di dunia.

Penulis: Delly Ferdian

Editor: Anggalia Putri

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten di sini.

Related Article

PALM OIL MORATORIUM, IMPORTANT TO BE EXTENDED AND STRENGTHENED

PALM OIL MORATORIUM, IMPORTANT TO BE EXTENDED AND STRENGTHENED

Jakarta, 18 September 2021. Palm oil moratorium policy will expire in the coming hours. But till now, there is no official statement from the government. So far this moratorium policy is yet to show significant progress to improve the governance in the palm oil sector in Indonesia. The Palm Oil Moratorium Coalition consists of many CSOs who have concerns on the palm oil governance in Indonesia and argue that the palm oil moratorium should be extended as well as strengthened in many aspects.

 

Agung Ady, a campaigner at Forest Watch Indonesia said, ”We support the palm oil moratorium to be extended with notes that it has to be implemented more seriously and more transparently. The public should know more and be involved in the process, in the permit evaluation and information dissemination should reach local government on time, and no excuses of not to implement the moratorium due to those issues. The central government should be open if there are problems in the implementation. If the CSOs are involved and there is a check and balance mechanism, ensuring that nobody throws responsibility (blaming) to others and the objectives of this presidential instruction are achieved to improve the governance of palm oil towards sustainable palm oil”.

READ ALSO: Strategi Penguatan Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Agar Berdampak Terhadap Pembangunan Daerah 

 

One thing that often to be missed is the responsibility on the law enforcement aspect. This regulation obliges the Ministry of Environment and Forestry to take action and/or demand compensation against the use of forests into palm oil plantations. But there is no further instruction given to the law enforcers such as the attorney and police. Moreover, there is no information open to the public with regard to the implementation of the moratorium. Adrianus Eryan, Head of Forestry and Land Division at Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) states that law enforcement becomes the relevant and important aspect if the government is serious about improving the governance of palm oil via this presidential instruction, therefore it will be more relevant and urgent for the President to extend as well as strengthen the palm oil moratorium.

 

Rahmadha, a campaigner at Kaoem Telapak said, “The importance of improving governance on palm oil will affect the acceptance of Indonesia palm oil in the global market. Market countries like the EU, UK, and US at the moment are undergoing their due diligence regulation to ensure that the commodities entering their market are free from deforestation and land degradation. Palm oil is one of the five commodities proposed. Kaoem analyses that this step will potentially add the benchmarking scheme imposed on the countries with historical high deforestation with more stringent reports and traceability. If the palm oil moratorium is extended and strengthened will impact the good governance and grouping Indonesia to have lower risk and easier acceptance, added by Rahmadha.

 

Inda Fatinaware, The Director of Sawit Watch said,” Even Though it is yet optimal, the achievement in the implementation of this moratorium should be appreciated, the improvement that visioned is still far away. If the Inpres is ended, it is worrying, forests are under threat, palm oil expansion will continue and potentially increase social conflict. We value the palm oil moratorium to be extended with the notes that all the mandate holders are seriously implementing it, having the specific target for achievement, to leverage transparency and open the chance for collaboration with multi-stakeholders toward palm oil good governance.”

READ ALSO: Urgensi Perpanjangan Moratorium Sawit untuk Mempercepat Perbaikan Tata Kelola Sawit Indonesia

 

Andi Muttaqien, the Deputy Director of Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) said,”As the biggest exporter country in the world, the improvement of palm oil industry governance will be the urgent agenda for GoI in the market that currency develop towards environment friendly products, sustainable and non exploitative. The Palm oil moratorium can be one of the important scenarios developed by the government to respond to many issues of sustainability in the palm oil industry sector like the overlapping palm oil plantation with the Forests area that impact human rights issues. Another, the Moratorium Inpres is the manifestation of government responsibility and part of human rights due diligence to protect the community in the area with high Human right violation, including the palm oil plantation. Therefore it is important for the Indonesian Government to continue and strengthen this moratorium policy”.

 

The support for the Palm Oil Moratorium to be prolonged is also coming from general individuals in Indonesia via change.org platform entitled “ Mr. Jokowi, Please extend the Moratorium for Indonesia’s forests” with around 3,000 voices calling for moratorium extension.

 

On Friday, 17 September 2021, the Palm Oil Moratorium coalition sent an open letter to the President Joko Widodo to extend the moratorium. We are hopeful to see the response and decision from the government to extend it. The future of Indonesia’s forests is now in the hands of the government.

 

###

Contact persons at The Palm Oil Moratorium Coalition:

●      Agung Ady, Forest Watch Indonesia (FWI) | agung_ady@fwi.or.id | 085334510487

●      Adrianus Eryan, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), adri@icel.or.id, 0813-8629-9786

●      Rahmadha, Kaoem Telapak (KT),  rahmadha.syah@kaoemtelapak.org, 0881-0241-17796

●      Hadi Saputra, Sawit Watch, hadi@sawitwatch.or.id, 082154574142

●      M.B. Fuad, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 0856-5500-4863


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Moratorium Sawit, Penting Diperpanjang dan Diperkuat

Moratorium Sawit, Penting Diperpanjang dan Diperkuat

[Jakarta, 18 September 2021], Kebijakan moratorium sawit akan berakhir dalam hitungan beberapa jam kedepan. Namun hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah terkait status kebijakan ini. Sejauh ini kebijakan moratorium belum menunjukkan kemajuan berarti dałam perbaikan tata kelola Sawit di Indonesia. Kami Koalisi Moratorium Sawit yang terdiri dari beberapa kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian akan kondisi tata kelola sawit Indonesia menilai bahwa kebijakan moratorium sawit penting untuk diperpanjang sekaligus diperkuat dalam berbagai aspek.

Agung Ady, Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, “Kami sangat mendukung moratorium sawit untuk diperpanjang, namun dengan catatan harus dilaksanakan secara serius dan lebih transparan. Publik harus lebih banyak dilibatkan dalam prosesnya, baik dalam hal evaluasi perizinan hingga penyebarluasan informasi hingga ke level daerah. Sehingga tidak ada lagi kepala daerah yang tidak menjalankan kebijakan ini karena telat mendapatkan informasi. Pemerintah pusat juga harus mau terbuka jika menemukan kendala dalam mengimplementasikan kebijakan ini, jika semua pihak (termasuk CSO) turut dilibatkan, ada mekanisme check & balance yang bisa memastikan tidak adanya saling lempar tanggung jawab dan tujuan inpres moratorium sawit dapat dilaksanakan sesuai dengan mandatnya, yaitu memperbaiki tata kelola perkebunan sawit menuju sawit berkelanjutan.”

Satu hal yang seringkali luput adalah adanya kewajiban dalam aspek penegakan hukum. Inpres menginstruksikan KLHK untuk mengambil langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Namun, tidak ada instruksi lebih lanjut yang diberikan kepada aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan/atau Kepolisian untuk tindak lanjutnya. Bahkan sampai saat ini belum ada informasi yang dibuka ke publik perihal pelaksanaannya. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyatakan bahwa konteks penegakan hukum menjadi relevan dan penting apabila pemerintah memang serius melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit melalui pelaksanaan Inpres. Jika memang kewajiban dalam Inpres belum seluruhnya selesai dilaksanakan, maka menjadi semakin relevan dan mendesak bagi presiden untuk memperpanjang sekaligus memperkuat Inpres Moratorium Sawit.

 

Rahmadha, Juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak (KT) menambahkan. “Pentingnya perbaikan tata kelola sawit berpengaruh terhadap keberterimaan sawit Indonesia di pasar global. Negara-negara pasar seperti Uni Eropa (UE), Inggris, dan Amerika Serikat saat ini sedang mengembangkan legislasi uji tuntasnya untuk memastikan bahwa semua komoditas produk yang dijual di pasar mereka bebas dari deforestasi dan degradasi lahan. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang diusulkan bersama lima komoditas lainnya.” Sejauh ini Kaoem mencatat uji tuntas yang sedang disusun UE dan Amerika Serikat kemungkinan besar akan menambahkan skema benchmarking di mana negara-negara dengan sejarah  deforestasi yang tinggi akan memiliki persyaratan pelaporan dan penelusuran yang lebih ketat pula. “Jika moratorium sawit diperpanjang dan diperkuat sehingga berdampak pada perbaikan tata kelola, maka sawit Indonesia berpeluang tergolong komoditas low risk dan tingkat keberterimaan nya akan semakin mudah,” tambah Rahmadha.

 

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, “Walau belum optimal, capaian implementasi moratorium sawit patut diapresiasi, perbaikan tata kelola sawit yang menjadi cita-cita besar masih jauh dari harapan. Jika inpres ini benar-benar tidak dilanjutkan maka ini akan sangat mengkhawatirkan, hutan akan terancam, ekspansi sawit akan terus terjadi serta dapat berujung pada meningkatkan konflik di masyarakat. Untuk itu kami melihat moratorium sawit penting untuk dilanjutkan dengan catatan seluruh pihak yang dimandatkan dapat menjalankan kebijakan ini dengan serius, memiliki target capaian yang spesifik dan langkah-langkah mewujudkannya, meningkatkan transparansi dan membuka peluang kolaborasi para pihak demi mewujudkan tata kelola sawit yang semakin baik”.

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menegaskan, “Sebagai negara eksportir terbesar minyak sawit dunia, perbaikan tata Kelola industri perkebunan sawit menjadi agenda yang kian mendesak bagi Pemerintah Indonesia ditengah kecenderungan pasar global yang tengah berupaya mengembangkan produk-produk ramah lingkungan, berkelanjutan dan tidak eksploitatif. Inpres Moratorium Sawit merupakan salah satu skenario penting yang telah disusun oleh Pemerintah dalam merespon berbagai isu keberlanjutan di sektor perkebunan sawit seperti persoalan tumpang tindih perkebunan sawit di kawasan hutan yang juga berdampak pada persoalan HAM.  Selain itu, Inpres Moratorium Sawit pula merupakan manifestasi dari kewajiban Negara dan bagian proses uji tuntas HAM dalam melindungi keberlanjutan masyarakat khususnya di wilayah yang memiliki pelanggaran HAM yang tinggi, tidak terkecuali di area perkebunan sawit. Untuk itu, penting bagi Pemerintah untuk melanjutkan dan memperkuat kebijakan moratorium ini kedepan”.

 

Dukungan perpanjangan kebijakan moratorium sawit juga datang dari masyarakat secara umum. Melalui petisi change.org yang bertajuk “Pak Jokowi Tolong Perpanjang Moratorium Sawit, Supaya Hutan Indonesia Tetap Lestari”, terdapat sebanyak 3.461 orang yang menuntut moratorium sawit tetap terus dilakukan.

 

Selain itu pada Jumat, 17 September 2021 Koalisi Moratorium Sawit juga telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk melakukan perpanjangan kebijakan moratorium sawit. Harapan dari Koalisi Moratorium Sawit, Presiden dapat memperpanjang dan memperkuat kebijakan moratorium sawit untuk masa depan hutan Indonesia. [ ]

### 

Narahubung Koalisi Moratorium Sawit :

  • Agung Ady, Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) | agung_ady@fwi.or.id | 085334510487

  • Adrianus Eryan, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), adri@icel.or.id, 0813-8629-9786

  • Rahmadha, Kaoem Telapak (KT),  rahmadha.syah@kaoemtelapak.org, 0881-0241-17796

  • Hadi Saputra, Sawit Watch, hadi@sawitwatch.or.id, 082154574142

  • M.B. Fuad, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 0856-5500-4863

Related Article

Lomba Karya Tulis Mahasiswa: Masa Depan Sawit Indonesia di Penghujung Moratorium, Diperpanjang, Total Hadiah 20 Juta Rupiah!

Lomba Karya Tulis Mahasiswa: Masa Depan Sawit Indonesia di Penghujung Moratorium, Diperpanjang, Total Hadiah 20 Juta Rupiah!

Sobat Madani, ada kabar gembir untuk kalian semua. “Lomba Karya Tulis Mahasiswa: Masa Depan Sawit Indonesia di Penghujung Moratorium” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Tempo Media Group, diperpanjang hingga 12 Juli 2021.

Bukan hanya itu, total hadiah ditambah menjadi 20 juta rupiah. Buruan, jangan sampai ketinggalan. Berikut informasi lengkap lomba karya tulis, ya!

TUJUAN 

  1. Memberi ruang dan wadah ekspresi mahasiswa dalam menuangkan gagasan dan pengetahuan tentang isu sawit melalui karya tulis.

  2. Memberi apresiasi kepada para mahasiswa yang peduli terhadap lingkungan khususnya sawit, agar industri ini dapat lebih baik dan berkelanjutan.

  3. Memberi edukasi dan informasi kepada mahasiswa tentang isu sawit di Indonesia melalui kompetisi.

  4. Memberi referensi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan untuk pengambilan kebijakan dengan gagasan yang dikemukakan oleh mahasiswa sebagai generasi pemikir dan penerus bangsa 

Persyaratan: 

  1. Follow IG @madaniberkelanjutan dan @majalah.tempo , dan tag 3 temen untuk join lomba ini. 

  2. Karya tulis merupakan hasil Original dan Belum Pernah dipublikasikan dengan cara menandatangani surat pernyataan pada form yang telah disediakan (bit.ly/PernyataanKeaslianKaryaTulis).

  3. Kirim Hasil Karya Tulis dalam bentuk PDF.

  4. Deadline Kompetisi 12 Juli 2021.

  5. Pengumuman Pemenang Tahap 1 Menuju 10 besar Akan Diumumkan Melalui Email, Telepon dan Social Media Tempo, pada 16 Juli 2021. 

  6. Peserta yang terpilih masuk di tahap 10 besar, akan melaksanakan presentasi dan penjurian langsung (virtual) dengan Juri Utama pada tanggal 23 Juli.

  7. Registrasi di link pendaftaran Bit.ly/CCKaryaTulisTempo.

  8. Summary tulisan di capture dan di posting di IG Story, tag dan mention ke IG @madaniberkelanjutan dan @majalah.tempo dengan hastag #masadepansawitindonesia #indonesiatangguh.

  9. Referensi artikel harus mengutip salah satu hasil publikasi Madani (dapat diakses di www.madaniberkelanjutan.id).

  10. Menuliskan nama lengkap, asal kampus di awal karya tulis.

  11. Keputusan panitia bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat

 

Tema Karya Tulis: Masa Depan Sawit Indonesia di Penghujung Moratorium Sub Tema : 

  1. Moratorium Sawit: Langkah Memperbaiki Tata Kelola Sawit di Indonesia. Pada subtema ini, peserta dapat membahas peluang dan tantangan kebijakan moratorium sawit yang akan habis pada bulan September 2021 mendatang.

  2. Bagaimana Membangun Sawit Berkelanjutan di Indonesia. Pada subtema ini, peserta dapat membahas urgensi adanya produk- produk sawit yang  ramah lingkungan bagi generasi mendatang.

  1. Bagaimana Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Sawit. Pada subtema ini, peserta dapat membahas langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan  para pihak untuk berkolaborasi dalam meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

  1. Bagaimana Mengatasi Bencana Alam akibat Pembukaan Sawit. Pada subtema ini, peserta dapat membahas permasalahan bencana yang salah satunya  diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk sawit baru. Serta kondisi aktual pembangunan  desa yang dikelilingi sawit serta solusi inovatif untuk mengurai permasalahan tersebut.

  1. Membangun Perekonomian Masyarakat Berbasis Komunitas. Pada subtema ini, peserta dapat membahas dan merekomendasikan langkah konkrit agar daerah (provinsi/kabupaten/kota) tidak hanya menggantungkan pembangunan dari  salah satu sektor tertentu (sawit) semata.

 

Ketentuan Karya Tulis : 

  1. Maksimal karakter untuk karya tulis yaitu 3400 karakter dengan spasi.

  2. Karya tulis harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baku dan benar. 

  3. Artikel karya tulis harus memuat satu foto atau gambar yang sesuai dengan  bahasan.

  4. Di dalam artikel harus terdapat judul, serta caption foto yang jelas 

 

Syarat Pendaftaran :

Mengisi seluruh data-data dengan lengkap di form bit.ly/CCKaryaTulisTempo

 

Juri:

  1. Anton Septian, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo.

  2. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan 

Hadiah:  

  • Juara 1 (Uang tunai sebesar 3jt Rupiah, plakat, sertifikat dan karyanya dipublikasikan di  Majalah Tempo, Kelas Khusus Pelatihan Menulis Menembus dari Tempo, Free  Langganan 3 Bulan Tempo Digital, Merchandise Spesial dari Madani)

  • Juara 2 (Uang tunai sebesar 2jt Rupiah, plakat, sertifikat dan karyanya dipublikasikan di  Majalah Tempo, Kelas Khusus Pelatihan Menulis Menembus dari Tempo, Free  Langganan 3 Bulan Tempo Digital, Merchandise Spesial dari Madani)

  • Juara 3 (Uang tunai sebesar 1jt Rupaih, plakat, sertifikat dan karyanya dipublikasikan di  Majalah Tempo, Kelas Khusus Pelatihan Menulis Menembus dari Tempo, Free  Langganan 3 Bulan Tempo Digital, Merchandise Spesial dari Madani) 

  • Juara 4-10 (Uang elektronik masing-masing peserta/kelompok @500 ribu Rupiah, plakat, sertifikat, Kelas Khusus Pelatihan Menulis dari Tempo, Free  Langganan 3 Bulan Tempo Digital, Merchandise Special dari Madani)

  • Juara 11 – 30 (E-certificate, Free Langganan 3 Bulan Tempo Digital, Merchandise  Special dari Madani)

 

Target Peserta:

Mahasiswa Diploma dan Strata 1 Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta di Indonesia

 

Kriteria penilaian lomba karya tulis:

Penilaian terdiri dari 2 aspek (naskah karya tulis dan presentasi karya tulis).

  1. Penilaian ini dilaksanakan oleh juri yang telah ditentukan oleh panitia.

  2. Seleksi pada tahap awal (penyisihan ) dilakukan oleh panitia dan seleksi akhir (finalis) dilakukan oleh dewan juri.

  3. Tim juri akan menetapkan juara 1 s.d 30. Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari Pajak Karbon Hingga Dugaan Diskriminasi Sawit Oleh Uni Eropa

Update Ekonomi Politik, dari Pajak Karbon Hingga Dugaan Diskriminasi Sawit Oleh Uni Eropa

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (1 Juni- 7 Juni 2021), berikut cuplikannya:

1. Pemerintah Godok Pajak Karbon

Pemerintah sedang mempertimbangkan penerapan pajak karbon (carbon tax) untuk mengembalikan defisit fiskal mencapai 3 persen pada tahun 2023. Lebih dari itu, penerapan pajak karbon merupakan upaya pemerintah menekan emisi. Meski struktur pajaknya belum jelas, regulator telah mengumumkan akan mengenakan pajak karbon di beberapa industri, seperti pulp & kertas, semen, pembangkit listrik, serta industri petrokimia.

Menurut Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro, untuk negara berkembang seperti Indonesia, tarif karbon 5-10 dollar AS/ton CO2 akan masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di tempat lain. Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari penarikan pajak karbon digunakan untuk mendukung program energi bersih, menurunkan pajak, dan mengkompensasi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Nantinya pada tahun 2022, ada kemungkinan daftar industri di Indonesia yang terkena pajak karbon bakal diperluas ke sektor otomotif, minyak sawit, makanan & minuman (F&B), dan lain-lain. 

Berdasarkan studi Bank Dunia (World Bank), pajak karbon domestik sebesar 30 dollar AS/ton CO2 akan meningkatkan sumber daya lebih dari 1,5 persen dari PDB. Penerapan pajak karbon sendiri berpotensi akan berdampak luas pada ekonomi, baik dari sisi pendapatan dan inflasi. Dengan asumsi tarif pajak karbon yang dikenakan sebesar 5,10 dollar AS/ton CO2, pendapatan dari sektor ini bisa tembus hingga Rp 57 triliun. Dengan kata lain, potensi pendapatan dari pajak karbon mungkin saja lebih besar dibandingkan pendapatan pajak perusahaan digital.

Namun, pengenaan pajak karbon akan memiliki dampak negatif secara jangka pendek, yakni meningkatnya harga energi yang berdampak pada konsumsi rumah tangga. Menurut perkiraan IMF, jika Indonesia menerapkan pajak karbon sebesar 75 dollar AS/tCO2 secara menyeluruh, harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar.

2. Jadwal Pilpres dan Pilkada Serentak 2024

Komisi II DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilihan umum telah menyepakati hari pemungutan suara Pemilihan Umum 2024 (Pemilu Presiden dan Legislatif) akan jatuh pada Rabu (28/2/2024) sedangkan hari pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 jatuh pada Rabu (27/11/2024). Hal itu diputuskan dalam rapat antara Komisi II DPR, pemerintah, serta penyelenggara pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Kamis (3/6/2021).

Selain memutuskan hari pemungutan suara, rapat juga memutuskan tahapan Pemilu 2024 dimulai 25 bulan sebelum hari pemungutan suara yakni pada Maret 2022. Selain itu, rapat juga menyepakati bahwa dasar pencalonan pada Pilkada 2024 akan didasarkan pada hasil Pemilihan Legislatif 2024.

Jika merujuk pada Pemilu Serentak 2019, pemungutan suara dilaksanakan pada bulan April tepatnya pada 17 April. Namun menurut Pelaksana tugas Ketua KPU Ilham Saputra, gelaran pemungutan suara pada bulan April 2024 dikhawatirkan mengganggu tahapan pencalonan Pilkada 2024. Indonesia belum pernah menggelar pileg dan pilpres yang bersamaan dengan pilkada. Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan hari pemungutan suara lantaran jadwal ini akan berimplikasi cukup luas.

Faktor pertama yang harus dipertimbangkan, partai politik memerlukan cukup waktu untuk menyiapkan syarat pencalonan untuk Pilkada November 2024. Jika mengacu ke Undang-undang Pilkada, ada persyaratan minimal kursi bagi partai politik untuk dapat mengusung calon. Kedua, proses administrasi anggaran dikhawatirkan akan mengalami kendala jika dilaksanakan pada awal tahun di bulan Januari-Februari. Ketiga, ihwal kondisi cuaca yang akan mempengaruhi proses pelaksanaan tahapan, seperti distribusi logistik maupun pemungutan suara. Persoalan bencana non alam seperti pandemi Covid-19 pun turut menjadi pertimbangan.

Keempat
, hari libur keagamaan dan hari libur nasional juga perlu dipertimbangkan. Mobilisasi masyarakat pada hari libur dapat berdampak pada penggunaan hak pilih pada hari pemungutan suara.

3. Pemerintah berencana pangkas pungutan ekspor CPO

Pemerintah Indonesia berencana untuk menurunkan pungutan ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) demi meningkatkan ekspor komoditas ini. Pungutan maksimum ekspor CPO saat ini sebesar US$ 255 per ton dianggap terlalu tinggi dan mungkin akan dipotong menjadi US$ 175 per ton, yang akan dikenakan ketika harga referensi melebihi US$ 1.000 per ton. Selanjutnya, pungutan minimum senilai US$ 55 per ton untuk CPO akan dikenakan jika harga referensi ditetapkan sebesar US$ 750 per ton atau kurang. Kemudian, untuk setiap kenaikan US$ 50 harga minyak sawit, pungutan untuk produk mentah akan dinaikkan US$ 20 per ton, sedangkan untuk produk olahan atau olahan akan naik US$ 16 ton.

Saat ini, pemerintah Indonesia menetapkan pungutan ekspor CPO sebesar US$ 55 per ton ketika harga referensi mencapai US$ 670 atau kurang. Lalu, pungutan ekspor CPO maksimum ditetapkan sebesar US$ 255 per ton ketika harga referensi melebihi US$ 995 per ton.

Menurut Analis Henan Putihrai Sekuritas Meilki Darmawan, jika pemotongan pungutan ekspor resmi disahkan sesuai level yang direncanakan pemerintah, maka hal tersebut dapat mendorong ekspor CPO ke beberapa negara di Asia. Di samping itu, turunnya pungutan ekspor juga akan meringankan beban perusahaan sawit.

4. Pemerintah Target Porsi Energi Terbarukan Capai 48 Persen Hingga 2030

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan porsi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 48 persen atau 19.899 megawatt (MW). Hal itu tertuang dalam draft Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2021-2030. Adapun target itu meningkat dibanding RUPTL 2019-2028 yang masih di kisaran 30 persen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, usulan penambahan pembangkit mencapai 40.967 MW atau 41 gigawatt (GW).

Penyusunan RUPTL kali ini sejalan dengan target bauran EBT sebesar 23 persen di tahun 2025. Berbagai kebijakan ‘hijau’ yang terdapat dalam RUPTL 2021-2030 saat ini memang masih dalam pembahasan. Kebijakan tersebut antara lain konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT, co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, retirement pembangkit tua, dan relokasi pembangkit ke sistem yang memerlukan.

Sejalan dengan pembahasan RUPTL hijau, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM pun tengah merancang template Net Zero Emission (NZE), sebagai perwujudan realisasi komitmen Presiden Joko Widodo pada COP 21 tahun 2015.

5. Malaysia Sebut WTO Setuju Bentuk Panel untuk Selidiki Diskriminasi Sawit oleh Uni Eropa

Pemerintah Malaysia menyebutkan, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyetujui permintaan Malaysia untuk membentuk panel yang memeriksa undang-undang Uni Eropa yang membatasi penggunaan biofuel berbasis minyak sawit. Di bawah aturan energi terbarukan Uni Eropa, bahan bakar berbasis minyak sawit akan dihapuskan pada tahun 2030, karena minyak sawit telah diklasifikasikan Uni Eropa sebagai akibat dari deforestasi yang berlebihan. Selain itu, minyak sawit tidak dapat lagi dianggap sebagai bahan bakar transportasi yang dapat diperbarui.

Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, dan Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir telah meluncurkan kasus terpisah dengan WTO, dengan menyatakan bahwa tindakan Uni Eropa bersifat diskriminatif. Menurut Menteri Komoditas Malaysia Mohd Khairuddin Aman Razali, WTO pada Jumat (28/5/2021), menyetujui permintaan dari Malaysia agar sebuah panel dibentuk.

Related Article

Ekonomi Politik Updates, Jokowi Lantik Dua Menteri Hingga Industri Sawit Tidak Terdampak Covid-19

Ekonomi Politik Updates, Jokowi Lantik Dua Menteri Hingga Industri Sawit Tidak Terdampak Covid-19

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (26 April-2 Mei 2021), berikut cuplikannya:

1. Presiden Jokowi Lantik Dua Menteri dan Kepala BRIN

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi, di Istana Negara pada Rabu (28/4). Ini merupakan pos kementerian baru setelah Jokowi memutuskan menggabung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi serta membentuk Kementerian Investasi.

Ada pula nama Laksana Tri Handoko yang dilantik sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menggantikan Bambang Brodjonegoro. Handoko sebelumnya menjabat Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemisahan BRIN dari Kemenristek ini sendiri sudah sejak lama diusulkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, pada 2019. Alasannya, ini merupakan gagasan lama era Sukarno demi pembangunan yang berbasis inovasi.

Target Investasi dan Perbedaan Fungsi Kementerian Investasi

Menurut Bahlil, Presiden memberikan target pada dirinya untuk menjaring investasi senilai Rp 900 triliun sepanjang 2021 dan mengundang investor-investor besar yang salah satunya adalah Tesla. Salah satu langkah yang diambil Bahlil untuk memenuhi target tersebut adalah mengimplementasikan UU Cipta Kerja. Berbagai sumber daya juga harus ditingkatkan seperti penyempurnaan Online Single Submission (OSS).

Selanjutnya, menurut Bahlil, perbedaan antara BKPM dengan Kementerian Investasi adalah jika BKPM selama ini hanya mengeksekusi regulasi seperti Peraturan Menteri, Undang-Undang, atau Peraturan Pemerintah, maka Kementerian Investasi dapat membuat regulasi secara langsung sehingga tidak hanya berperan sebagai eksekutor saja. Selain itu, Kementerian Investasi juga dapat mengelaborasi investasi di kementerian lainnya.

2. Indonesia-AS Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim Melalui USAID BIJAK

Indonesia dan Amerika Serikat bekerja sama dalam mengatasi perubahan iklim melalui program Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Build Indonesia to Take Care of Nature for Sustainability (USAID BIJAK). Sejak 2016, program USAID BIJAK dengan dana USD19,6 juta (Rp284,2 miliar) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan mitra utama lainnya dalam merevisi kebijakan, pedoman, dan prosedur untuk memperkuat pelestarian lingkungan hidup.

Kemitraan ini membantu Indonesia melindungi ekosistem yang berisiko, menurunkan perambahan dan sengketa lahan, serta memanfaatkan data untuk mengelola sumber daya alam secara lebih efektif dan transparan. Menurut USAID, program ini juga meningkatkan permintaan aksi konservasi taman nasional dan satwa liar.

Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno mengatakan pemerintah Indonesia akan menggunakan instrumen yang dikembangkan bersama dengan USAID BIJAK untuk mencapai tujuan mengatasi sengketa lahan seluas 1,8 juta hektar di kawasan konservasi dan melindungi 43 juta hektar habitat dengan stok karbon dan nilai konservasi yang tinggi.

3. Standar Global tentang Risiko Perubahan Iklim Ditargetkan Terbit Pertengahan 2022

Dewan penyusun standar pengungkapan informasi keuangan perusahaan yang berhubungan dengan risiko perubahan iklim akan segera terbentuk. Pemerintah dan regulator keuangan dari berbagai negara telah meminta International Financial Reporting Standards Foundation (IFRS) yang berbasis di London untuk membentuk badan baru yang akan menyusun standar tentang bagaimana perusahaan terbuka harus mengungkapkan risiko dari perubahan iklim pada kegiatan operasi mereka. Mereka menginginkan seperangkat norma global yang konsisten untuk menggantikan pendekatan sektor publik dan swasta saat ini yang tambal sulam, dan mempersulit investor dalam melakukan perbandingan.

Kelompok pertama standar itu akan menyesuaikan norma yang telah ditetapkan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), yang merupakan regulator dunia saat ini. Beberapa perusahaan sudah menerapkan secara sukarela standar tersebut. Dewan Standar Keberlanjutan atau Sustainability Standard Board (SSB) akan menetapkan standar global minimum, yang bersifat sukarela dan penerapannya diserahkan ke setiap negara anggota. Pendekatan semacam ini memberi peluang ke setiap negara untuk meningkatkan standar yang disusun SSB.

SSB akan memiliki, setidaknya, ketua dan wakil ketua, atau bahkan seluruh anggota, pada konferensi perubahan iklim COP 26 PBB di Skotlandia pada November yang akan dihadiri oleh para pemimpin dunia. Dukungan pembentukan SSB datang dari berbagai kalangan seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, IMF, PBB, Inggris, dan badan pengatur keuangan global seperti IOSCO dan Dewan Stabilitas Keuangan yang mengkoordinasikan peraturan keuangan di kelompok G20.

4. Mayoritas Investasi Asing Sektor Pertanian di Kebun Sawit

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat mayoritas investasi asing di sektor pertanian masih berupa perkebunan sawit pada periode 2015-Maret 2021. Kepala Sub Direktorat Sektor Agribisnis Kementerian Investasi/BKPM Jumina Sinaga mengungkapkan sebagian besar investasi subsektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan di Indonesia berasal dari Singapura (53,7 persen) dan Malaysia (15,8 persen).


Jumina merinci realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sektor pertanian mencapai US$9,5 miliar atau berkontribusi sekitar 5,2 persen dari terhadap total PMA di Indonesia selama periode 2015-Maret 2021. Di sisi lain, penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada periode tersebut mencapai Rp173,9 triliun atau berkontribusi 9,1 persen terhadap total PMDN di Indonesia.

5. Industri sawit Indonesia Tidak Terdampak Covid-19

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan industri sawit Indonesia tidak terdampak covid-19. Ini menyebabkan jumlah ekspor minyak sawit melonjak tajam 62,7 persen secara bulanan (mtm) dari 1,99 juta ton menjadi 3,24 juta ton di Maret 2021. Sejalan dengan pertumbuhan ekspor, harga rata-rata minyak sawit pada sebesar US$1.116/ton di CIF Rotterdam, naik 19 persen atau US$21 dibandingkan Februari. Kombinasi kenaikan harga dan volume ekspor mendongkrak nilai ekspor sawit hingga 80 persen dari US$2,08 miliar menjadi sekitar US$3,74 miliar pada Maret 2021.

Sementara itu, produksi minyak sawit Indonesia naik lebih dari 20 persen menjadi 3,71 juta ton ribu ton pada Maret. Mukti mengatakan kenaikan ini merupakan limpahan produksi pada bulan sebelumnya. Namun, ia menyatakan ketersediaan akhir minyak sawit justru turun dari 4,02 juta ton menjadi 3,20 juta ton di Maret. Ini disebabkan kenaikan produksi pada Maret lalu lebih kecil dari kenaikan ekspor dan konsumsi dalam negeri yang totalnya diperkirakan mencapai sekitar 1,4 juta ton.

Related Article

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

[MadaniNews, 28/01/2021] Agar industri sawit Tanah Air mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara menyeluruh, maka perlu adanya komitmen bersama dalam memperbaiki tata kelola sawit nasional. Hal itu disampaikan Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Trias Fetra dalam diskusi Katadata Forum Virtual Series yang mengusung tema “Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah” yang dilaksanakan pada Rabu, 28 Januari 2020.

Trias mengungkapkan bahwa selama ini ekspansi sawit yang begitu masif ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pada kenyataannya hanya segelintir orang saja yang merasakan manfaat siginfikan dari ekspansi sawit tersebut.

Salah satu penyebab ketimpangan tersebut adalah penentuan harga Tandan Buah Segar (TBS) berdasarkan Indeks K hanya mempertimbangkan biaya produksi dari Pabrik kelapa sawit, bukan biaya produksi petani. Akibatnya, petani sangat dirugikan karena harga TBS menjadi lebih rendah. Biaya operasional perusahaan ditanggung petani sawit dan posisi tawar petani sawit sangat rendah”, ujar Trias.

Diskusi yang juga menyorot capaian Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan sawit (Inpres Moratorium Sawit) ini, dihadir oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero dan juga Kepala Pusat Kebijakan APBN Kemenkeu, Ubaidi Socheh Hamidi.

Terkait dengan inpres moratorium sawit, Heronimus Hero mengatakan bahwa meskipun moratorium sawit sudah selesai, pemerintah daerah khususnya Provinsi Kalimantan Barat juga tidak akan memberikan izin lagi karena tidak tersedianya lahan.

Sementara itu, Ubaidi Socheh Hamidi banyak menjelaskan terkait dengan kondisi fiskal dari sektor perkebunanan sawit di daerah. Ubaidi mengatakan bahwa tidak bisa menutup mata, dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat masih dominan. Hal tersebut lantaran PAD masih kecil. Di Kalimantan Barat, PAD hanya berkontribusi 16% terhadap pendapatan daerah.

Dapatkan materi dalam diskusi Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah dengan mengunduh bahan-bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 20 September 2020] September 2020, Kebijakan Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, atau yang dikenal dengan inpres moratorium sawit telah memasuki usia dua tahun pasca diterbitkan. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah perlu ‘tancap gas’ untuk menyelesaikan berbagai mandat Inpres moratorium sawit dalam memperbaiki tata kelola sawit Indonesia agar dapat menyelesaikan 1053 konflik di perkebunan sawit    serta berkontribusi optimal untuk pemulihan ekonomi nasional.

Dalam konteks terkini, pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi bersama sedikit banyak menjadi faktor eksternal yang berpengaruh terhadap proses pengimplementasian kebijakan. Dengan fokusnya pemerintah pusat dan daerah dalam hal menangani pandemi, maka proses pengimplementasian kebijakan ini agak sedikit tertunda. Harapannya pemerintah dapat menemukan mekanisme kerja implementasi yang lebih adaptif terhadap kondisi pandemi sehingga situasi ini tidak menjadi penghambat yang berarti.

Selama kurun waktu dua tahun, dinamika perkembangan dan capaian yang dilakukan dari Kementerian dan atau Lembaga di pemerintah pusat sampai pemerintah daerah belum memuaskan karena tiadanya capaian-capaian yang signifikan. Di tingkat nasional, pemerintah pusat yang digawangi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah membentuk tim kerja moratorium sawit yang beranggotakan perwakilan antar-kementerian. Tim ini diketahui telah menyelesaikan tutupan luasan sawit di Indonesia yang tertuang dalam Kepmentan No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yakni luas tutupan perkebunan sawit adalah 16,38 juta hektar. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah melakukan validasi data Hak Guna Usaha (HGU) di Kaltim, Kalteng, Sulbar, Papua dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan kawasan/tukar menukar kawasan hutan, telah menetapkan kebun-kebun sawit illegal dalam kawasan hutan serta menyusun rancangan perpres berkenaan dengan tipologi penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan.

Sementara di tingkat Provinsi dan Kabupaten, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara telah merespon kebijakan ini dengan menurunkannya ke dalam aturan di tingkat lokal dalam bentuk Surat Edaran (SE) maupun Peraturan Bupati (Perbup). Sementara daerah yang memiliki komitmen positif terhadap inpres ini terdapat lima Provinsi (Kaltim, Kalbar, Riau, Papua Barat dan Kepulauan Riau) dan enam Kota/Kabupaten (Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin). 

Sejumlah capaian baik ini tidak terlepas dari hambatan dan tantangan pengimplementasian yang perlu diperbaiki ke depan. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa hal diantaranya, Pertama, minimnya sosialisasi kebijakan. Beberapa kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum mengetahui terkait kebijakan ini. Hal ini menunjukkan proses sosialisasi yang kurang baik. Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah yang tidak tersinkronisasi. Pola kerja dalam inpres ini adalah dari daerah ke nasional artinya hasil temuan pemerintah daerah yang nantinya akan dibahas di tim kerja nasional untuk tindaklanjuti. Hal ini yang tidak terjadi. Pemerintah pusat hanya berfokus melakukan penyusunan tutupan luasan sawit. Bahkan strategi implementasi inpres tim kerja nasional dengan menetapkan tujuh provinsi prioritas (Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) tidak sejalan dengan inpres, karena didalam inpres tidak mengamanatkan hal demikian. 

Ketiga, belum adanya peta jalan pengimplementasian inpres moratorium sawit. Beberapa daerah yang semangat menjalankan inpres terkendala soal tidak adanya dokumen rujukan yang dapat menjadi acuan pengimplementasian inpres ini. Sehingga diperlukan hal semacam peta jalan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), termasuk alokasi anggaran yang tidak disebutkan dalam inpres ini.

Keempat, tidak mengedepankan prinsip keterbukaan data. Laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden sangat sulit untuk diakses kelompok masyarakat sipil. Walau tidak ada kewajiban untuk membuka dokumen ini ke publik tapi akan sangat baik jika hal tersebut dilakukan, agar kita dapat melihat proses secara utuh dan memberikan masukan-masukan yang sesuai. Selain itu, tidak adanya update yang diterima masyarakat sipil terkait perpindahan Deputi di Kemenko Perekonomian yang menangani Inpres ini juga sangat disayangkan. Padahal proses transparansi adalah faktor yang penting untuk mengetahui lubang yang selama ini ada dan bersama-sama menambalnya.

Hal lainnya, terkait tutupan luasan perkebunan sawit di Indonesia yang telah dirilis juga tidak menyampaikan detail terkait berapa dan dimana lokasi sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Padahal jika hal ini tertuang dalam tutupan tersebut maka akan sangat memudahkan bagi tim kerja melakukan evaluasi. Sehingga wajar saja, hingga saat ini belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyatakan bahwa terdapat 3,4 juta ha perkebunan sawit didalam kawasan hutan, namun faktanya hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait penyataan tersebut perihal dimana lokasinya, dimiliki oleh siapa apa dan bagaimana proses tindaklanjutnya.

Kelima, pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Artinya pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut. Dalam kacamata pemerintah peningkatan produktivitas hanya terbatas pada Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semata dengan memanfaatkan dana BPDP-KS. Yang mana realisasinya program ini masih minim, pada 2020 hanya seluas 20.469 ha atau 11,37% dari target yang telah ditetapkan.

Selain itu di sisi ekonomi, kontribusi sawit terhadap daerah masih dirasa kurang berdampak. Hal ini dikarenakan belum adanya skema bagi hasil yang berimbang antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat. Sistem pembagian hasil seperti ini tidak setara dengan dampak dari pengelolaan perkebunan sawit seperti kerusakan infrastruktur akibat pengangkutan CPO hingga kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air, tanah, dan udara, serta Karhutla.

Sejumlah catatan kritis di atas diharapkan dapat menjadi perhatian para penerima mandat dalam inpres ini.  Kami dari koalisi masyarakat sipil merekomendasikan beberapa hal diantaranya :

  1. Respon positif pemerintah daerah baik di tingkat provinsi/kabupaten/kota perlu disambut baik oleh pemerintah pusat dengan mensinergikan kerja-kerja serta memfasilitasi dengan menyiapkan aturan teknis implementasi inpres (juklak atau juknis)termasuk alokasi anggaran.
  2. Adanya target dan program peningkatan produktivitas oleh pemerintah yang lebih jelas dan terukur serta memiliki waktu dan lokasi (kabupaten/kota) pencapaian target tersebut.
  3. Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan perkebunan sawit.
  4. Melibatkan lintas stakeholder untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, seperti organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas keagamaan.
  5. Adanya skema dana bagi hasil yang berkeadilan antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat agar daerah memiliki dorongan untuk mengawasi dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan.
  6. Membuat peta jalan (road map) satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Hal ini diperlukan untuk mengefektikan proses moratorium sawit sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran.
  7. Pembahasan RUU Cipta Kerja semestinya tidak menjadi alasan bagi Pemerintah untuk menunda pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Penyelesaian moratorium dengan fokus terhadap konsolidasi data dan review perizinan harus menjadi langkah awal untuk menuntaskan permasalahan tata kelola perkebunan.
  8. Tidak memprioritaskan wilayah tertentu dalam pengimplementasian kebijakan inpres moratorium sawit, melainkan seluruh wilayah di Indonesia yang memiliki sawit.

Jika pemerintah masih menggunakan pendekatan dan strategi yang sama dalam menjalankan tugas dan amanah didalam inpres ini, maka perbaikan tata kelola sawit yang di impikan selama ini akan sangat sulit tercapai di waktu yang sempit ini. Koalisi Masyarakat Sipil melihat perpanjangan inpres moratorium sawit untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit Indonesia adalah sesuatu hal relevan dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dengan catatan harus memiliki capaian-capaian yang terukur dalam segala aspek serta turut mensinkronisasikan dan mengkonsolidasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan perbaikan tata kelola sawit, seperti misalnya dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN PSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal review perizinan serta bersama dengan ISPO dan RSPO dalam hal peningkatan produktivitas dan standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui mekanisme sertifikasi.

###

Atas Nama Koalisi Masyarakat Sipil :

Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan,

Forest Watch Indonesia dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

 

Narahubung :

Abu Meridian_Direktur Eksekutif Kaoem Telapak (082311600535 / abu.meridian@kaoemtelapak.org

Adrianus Eryan_Indonesian Center For Environmental Law (081386299786 / adrianuseryan@gmail.com)

Agung Ady Setiyawan_Perkampanye Forest Watch Indonesia (085783517913 / agung_ady@fwi.or.id )

Inda Fatinaware_Direktur Eksekutif Sawit Watch (0811448677 / inda@sawitwatch.or.id)

Teguh Surya_Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan (081294801453 / teguh@madaniberkelanjuan.id)

Related Article

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Niat dan upaya pemerintah untuk memperbaiki serta mewujudkan tata kelola industri sawit nasional yang baik, tentu patut kita acungi jempol. Karena pada dasarnya, industri sawit yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sudah harus dibenahi agar benar-benar matang secara keseluruhan.


Melalui rencana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ditopang Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), cita-cita mewujudkan tata kelola yang baik terlihat semakin nyata. Kebijakan ini pun disebut akan menjadi landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.


Walaupun dalam konteks energi terbarukan, sawit masih diragukan banyak pihak. Namun, dengan adanya inpres ini, dapat dikatakan pemerintah optimis bahwa sawit dapat menjadi energi terbarukan dan juga dapat benar-benar berkelanjutan. RAN-KSB ini sendiri memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Bukan hanya itu, RAN KSB juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit. Upaya mengimplementasikan sawit yang berkelanjutan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Kebijakan yang baik, harus diiringi oleh implementasi yang juga tepat. Karena pada dasarnya, permasalahan seputar sawit di Indonesia tidak lepas dari permasalahan yang itu-itu saja, artinya negeri ini tidak memiliki komitmen yang kuat untuk berbenah. Banyak orang yang sepakat jika persoalan sawit di tanah air selama ini adalah seputar tata kelola yang kurang baik. Aspek dalam tata kelola ini meliputi integritas, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas.

Sudah menjadi rahasia umum, jika indikator tersebut kerap disepelekan. Pasalnya sawit yang begitu menggiurkan berhasil membuat kebanyakan orang gelap mata dan akhirnya meminggirkan kepentingan lingkungan yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, jika dilihat lebih seksama, Inpres RAN KSB ini pun dapat dikatakan belum menyasar tiga permasalahan utama sistem pengelolaan kelapa sawit sebagaimana diidentifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni tidak akuntabelnya sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit, dan tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sederhananya, Inpres ini mencakup mandat kepada Menteri Keuangan, namun mandat tersebut hanya berupa alokasi pembiayaan dan tidak menyasar hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mencegah korupsi. Jelas bahwa dalam hal ini, RAN KSB harus dibenahi agar mencerminkan upaya untuk memperbaiki mekanisme perizinan perkebunan kelapa sawit sebagaimana rekomendasi KPK.

Kondisi Sawit Indonesia

Terkait dengan kondisi sawit saat ini, hingga 2019, Madani Berkelanjutan menemukan setidaknya terdapat 18.918.193,22 Ha izin sawit yang  terinventaris. Dari luasan tersebut 21,39 % berada dan saling berhimpitan dengan Kawasan Hutan. Kemudian, terdapat 18,34 % dalam izin tersebut masih berupa tutupan hutan alam.

Di sisi lain, sekitar 21,06 % izin sawit berada dan berhimpitan dengan fungsi ekosistem gambut. Rasanya, empat tahun lebih komitmen pemerintah untuk menjaga dan memulihkan gambut yang rusak dengan salah satunya mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), seolah sia-sia belaka karena Inpres ini. Bukan hanya itu, hal yang tidak kalah mengecewakannya adalah terdapat 2,42 % dalam izin tersebut merupakan area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi 04. Lahan-lahan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan ekonominya melalui program yang gencar digaungkan pemerintah yakni perhutanan sosial, malah dijadikan dilepas untuk ekspansi sawit.

Kemudian, sekitar 5,47 % merupakan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2019.  Kondisi tersebut tentu membuktikan bahwa sawit yang begitu menggoda, berhasil melunturkan komitmen pengelolaan sawit yang sudah disepakati. Tidak dapat dimungkiri bahwa komoditas sawit adalah komoditas terbaik yang pernah dihasilkan Indonesia sampai saat ini. Karena unggulnya komoditas ini, Indonesia pun dibuat ketergantungan sehingga sawit dapat dikatakan bahwa sawit sangat memengaruhi banyak aspek khususnya perekonomian. Salah satunya, pengaruh sawit terhadap devisa negara. Terakhir, kontribusi sawit terhadap devisa di 2017 tercatat mencapai USD 23 miliar atau naik 26% dari tahun sebelumnya. Tentu kontribusi tersebut tidak dapat disepelekan.

Namun, sangat disayangkan, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sawit membuat perekonomian pun rentan. Harga sawit global yang tidak dapat diprediksi karena ketidakpastian, membuat Indonesia harus selalu dihantui rasa takut apabila sawit tidak maksimal memberikan dampak untuk perekonomian. Salah satu contohnya, kebijakan uni eropa yang menahan ekspansi sawit Indonesia ke pasarnya, memaksa pemerintah putar otak mencari pasar untuk produksi sawit yang terus meningkat.


Bisa jadi, program Biofuel seperti B20, B30, bahkan rencananya hingga B100 adalah upaya pemerintah untuk mengatasi kondisi pasar global dengan membuka keran pasar domestik. Namun, sangat disayangkan jika program tersebut yang begitu gencar malah menjadi pemicu ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan yang tidak semestinya, seperti hutan lindung dan sebagainya. Sekarang, sudah saatnya kita berkolaborasi untuk mewujudkan industri sawit yang lebih baik. Semua orang bisa terlibat dengan caranya masing-masing, asalkan mau bekerja dan berkontribusi agar sawit kita benar-benar menjadi berkelanjutan, tidak sekadar branding belaka.(*)

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 24 Februari 2020

Related Article

id_IDID