Madani

Tentang Kami

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Saat ini, industri sawit memegang peranan penting dalam perekonomian baik nasional maupun daerah. Terlebih bagi Provinsi Riau yang saat ini menempati peringkat pertama provinsi dengan luas sawit terbesar di Indonsia (3,4 juta hektare).


Per 2018, terdapat tujuh kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Madani Berkelanjutan dengan tema “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit di Riau”, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, Intan Elvira menyampaikan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan.

Kerawanan pangan yang terjadi di Riau juga disinyalir lantaran Riau telalu bergantung kepada perekebunan kelapa sawit.

Terkait dengan hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, mengatakan bahwa menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah.

Menggantungkan harapan pada satu jenis komoditas itu keliru. Namun, belum terlambat bagi provinsi Riau, tetapi tetap harus ada siasat, keberanian, komitmen, dan kolaborasi agar keluar dari ketergantungan akan sawit”, Ujar Teguh Surya.

Dalam diskusi virtual ini, hadir beberapa narasumber lainnya seperti Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Siak, L Budi Yuwono, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak, Dr. Ir H. Wan Muhammad Yunus, Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Riau, Vera Virgianti S.Hut, MM, serta akademisi yang juga Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Dr. Pramono Hadi.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkai diskusi ini, silakan unduh beberapa materi yang terlampir di bahwa ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

[Jakarta, 6 Mei 2020] Kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan perlu digantungkan pada komoditas yang beragam dan seimbang antara komoditas perkebunan dan pertanian pangan. Menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit Riau” yang dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 6 Mei 2020.

Meskipun Provinsi Riau memiliki perkebunan sawit terluas nomor wahid di Indonesia, dengan luas mencapai 3,4 juta hektare, sektor ini terbukti belum mampu memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat maupun petani sawit di Riau. Per 2018, terdapat tujuh  kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

 

Kajian Madani menunjukkan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan,” kata Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sementara itu, dari sisi ekologis, kajian Madani menunjukkan korelasi erat antara hilangnya tutupan hutan dengan bencana ekologis di Riau. “Hilangnya tutupan hutan di Riau pada periode 2010-2013 telah memicu terjadinya bencana ekologis pada dua hingga tiga tahun setelahnya. Pada periode 2017 hingga 2019, Riau “memanen” bencana akibat hilangnya tutupan hutan pada kurun waktu 2011-2015. Rusaknya hutan di Riau tidak hanya mencederai ekosistemnya, tapi juga masyarakat karena terdapat 194 desa dan kelurahan di Riau yang keberlangsungan hidup masyarakatnya bergantung pada kawasan hutan,” tambah Intan.

 

Pada periode 2010-2018, tercatat 1,7 juta hektare tutupan hutan hilang di Riau. Artinya, rata-rata 190 ribu hektare tutupan hutan hilang setiap tahunnya. Kabupaten Pelalawan menduduki posisi pertama sebagai kabupaten dengan hilangnya tutupan hutan terluas di Riau, yakni 316 ribu ha atau setara dengan lima kali luas Singapura, dan berturut–turut diikuti oleh Rokan Hilir (220 ribu ha), Indragiri Hilir (212 ribu ha), Bengkalis (184 ribu ha), dan Indragiri Hulu (163 ribu ha).

Ancaman bencana ekologis sangat besar bagi desa-desa yang berada di sekitar perkebunan sawit, terutama bencana kekeringan dan kebakaran. “Dari 573 desa di sekitar perkebunan sawit di 6 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir, 82 persen (471 desa) terindikasi rawan bencana ekologis. Lima dari enam Kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Siak memiliki kerentanan bencana karhutla yang dominan. Sementara Kampar rentan akan bencana kekeringan yang dominan. Kerawanan bencana desa-desa di sekitar perkebunan sawit sangat tinggi, namun ironisnya, hanya 15 persen yang memiliki kapasitas manajemen bencana,” tambah Intan.

Bencana kebakaran hutan secara khusus sangat mengancam secara ekonomi. Potensi kerugian dari kebakaran gambut di wilayah perkebunan sawit di Riau pada tahun 2019 mencapai 1,5 Triliun dari sisi karbon saja hingga ekosistem gambut tersebut bisa kembali terpulihkan.

Terbitnya kebijakan moratorium sawit bisa menjadi pijakan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan membenahi produktivitas, modal usaha, legalitas lahan  dan keberlanjutan petani sawit untuk menciptakan daya saing dan mengurangi risiko tersingkirnya petani sawit dari pasar formal.

Sementara itu, untuk mengatasi minimnya kapasitas manajemen bencana di desa-desa sekitar perkebunan sawit, Pemda harus memprioritaskan kolaborasi dengan berbagai pihak melalui skema alokasi dana desa dan mengintegrasikan program TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan) perusahaan

Terakhir, mekanisme transfer fiskal ekologis dari Kementerian Keuangan melalui kerangka Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan dalam menjaga kelangsungan hutan dan hidrologis gambut.

ooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Sebagai komoditas terbesar di tanah air, sawit ternyata tidak benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat di akar rumput. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual The 9th Session of #LetsTalkAboutPalmOil yang diselenggarakan pada Kamis, 30 April 2020.

Dalam diskusi tersebut terungkap fakta bahwa pembangunan desa di provinsi yang kaya dengan komoditas ini, tidak berbanding lurus dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti halnya Kalimantan Barat dan Riau. Kedua provinsi ini sama-sama kaya dengan sawit, namun, daya dorong sawit terhadap perekonomian masyarakat desa masih terbilang sangat rendah.

Di Kalimantan Barat (2019), desa yang ditempati perusahaan sawit untuk beroperasi, hanya 3 persennya saja yang termasuk ke dalam kategori desa mandiri berdasarkan indeks desa membangun (IDM) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan, Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sebesar 6 persen berada pada kategori maju, 31 persen berkembang. Sedangkan 48 persennya masuk dalam kategori tertinggal, dan 11 persen sangat tertinggal.


Sementara itu, hanya 1 persen saja desa di Riau yang tergolong sebagai desa mandiri. Sekitar 6 persen maju, 64 persen berkembang. Sedangkan desa yang masuk dalam kategori tertinggal sebesar 27 persen dan 3 persennya sangat tertinggal.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait fakta sawit tersebut, silakan unduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia. Luas kebun sawitnya mencapai 1,5 juta hektare. Hanya kalah dari Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Namun produktivitas sawit Kalimantan Barat hanya menempati peringkat ke-10 dari provinsi-provinsi penghasil sawit di tanah air. Produktivitas sawit 2,35 ton/hektare di Kalimantan Barat ini ternyata jauh tertinggal dari Aceh yang luas kebun sawitnya hanya 514 ribu hektare.

Luas kebun sawit di Kalimantan Barat ini didominasi oleh perkebunan swasta. Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare. Ini disampaikan oleh Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online yang mengangkat tema “Masa Depan Kalimantan di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Dalam diskusi ini juga diikuti oleh beberapa narasumber lain yakni Bupati Sintang Dr. Jarot Winarno, M.Med.Ph., Kepala Dinas Perkebunan Sanggau Syafriansyah, SP, M.M, Manseutus Darto selaku Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, dan M. Teguh Surya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Bupati Sintang, Jarot Winarno menyampaikan berbagai inisiatif perbaikan tata kelola sawit yang dilakukan Pemerintah Daerah Sintang, peranan sawit bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Sintang serta inisiatif pemda dalam meminimalisir dampak sosial dan lingkungan di kabupaten Sintang.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Sanggau, Syafriansyah menyampaikan tentang inisiatif tata kelola industri sawit yang dilakukan Pemda Sanggau. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, Manseutus Darto menyampaikan perspesktif industri sawit dan kaitannya dengan ancaman virus corona (Covid-19) terhadap petani sawit di daerah. Serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan tentang tata kelola sawit di Kalimantan Barat.

Untuk Materi diskusi Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit tersebut dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

[Jakarta, 8 April 2020] Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan predikat luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia, namun dengan tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. “Perluasan wilayah perkebunan sawit di Kalimantan Barat selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Sehingga selayaknya pemerintah daerah memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu wilayah. Harapannya, komoditas perkebunan lainnya dapat turut bersaing sebagai kontributor perekonomian daerah sehingga daerah dapat lebih tahan menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak. Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada satu komoditas unggulan seperti sawit tentu bukan hal yang bijak saat ini,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Khusus untuk komoditas sawit, tantangan terbesar pemerintah daerah Kalimantan Barat saat ini adalah rendahnya tingkat produktivitas (baca: peringkat 10 dari 10 provinsi dengan sawit terluas). Pemerintah Daerah Kalimantan Barat perlu memprioritaskan peningkatan produktivitas sawit secara optimal dan mengurungkan ekspansi perkebunan sawit. Ini sejalan dengan amanat Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit,” tambah Teguh.

Saat ini, luasan area sawit tertanam di Kalimantan Barat masih didominasi oleh perkebunan swasta. “Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare,” tutur Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pada periode 2011-2018, perkebunan swasta di Kalimantan Barat mengalami peningkatan luas sawit tertanam yang paling signifikan, yakni 91,5 ribu hektare/tahun sementara luas perkebunan rakyat hanya bertambah rata-rata 19,7 ribu hektare/tahun dan perkebunan negara justru mengalami pengurangan luas sebesar 770 hektare per tahun. Fakta tersebut menunjukkan masih timpangnya penguasaan lahan sawit di Kalimantan Barat,” tambah Erlangga.

Dari segi produktivitas, hasil kajian Madani menemukan bahwa meskipun sering dipandang sebelah mata karena luasannya kecil, perkebunan negara di Kabupaten Landak dan Sanggau justru memiliki rata-rata produktivitas tertinggi jika dibandingkan dengan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Pada tahun 2017, produktivitas sawit perkebunan negara di dua kabupaten tersebut mencapai 3,3 ton/hektare sementara perkebunan swasta di Kalimantan Barat (kecuali Kota Singkawang) produktivitasnya hanya 2,2 ton/hektare dan perkebunan rakyat hanya 2,1 ton/hektare.

Di tahun 2018, produktivitas sawit di perkebunan negara mengalami penurunan menjadi 2,9 ton/hektare, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan swasta yang produktivitasnya hanya 2,6 ton/hektare dan perkebunan rakyat yang produktivitasnya 2,2 ton/hektare.

Peningkatan produktivitas menjadi kunci, bukan lagi perluasan lahan sawit. Hal lain adalah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang telah ada,” urai Erlangga.

Sementara itu, dari sisi pembangunan desa, kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan wilayah pedesaan masih belum optimal sebagaimana tercermin dari nilai Indeks Desa Membangun di desa-desa yang bersinggungan dengan perkebunan sawit.

Sebagian besar desa yang berada di sekitar perkebunan sawit justru memiliki nilai Indeks Ketahanan Ekonomi dan Lingkungan yang rendah,” ujar Erlangga.

Padahal, setidaknya ada lima regulasi yang mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas aspek sosial dan lingkungan pada masyarakat sekitar. Lima kebijakan tersebut adalah UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Jika sawit masih diharapkan untuk dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di tingkat tapak, maka perlu koreksi mendalam atas praktik tata kelola yang dijalankan saat ini.

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Masa Depan Sawit Indonesia Bisa Baik Jika Tata Kelola Hutan Diperbaiki Secara Mendasar dan Keberlanjutan Produksi Sawit Dapat Diverifikasi

Masa Depan Sawit Indonesia Bisa Baik Jika Tata Kelola Hutan Diperbaiki Secara Mendasar dan Keberlanjutan Produksi Sawit Dapat Diverifikasi

Jakarta, 10 Februari 2019 – Studi IUCN tentang kelapa sawit dan keanekaragaman hayati yang disampaikan kepada pemerintah minggu lalu disambut baik oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. (1) Dalam rilis tertanggal 4 Februari 2019, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyebutkan bahwa dampak kelapa sawit terhadap satwa liar dan keanekaragaman hayati lebih baik dibandingkan dengan minyak nabati lainnya karena sawit membutuhkan lahan yang lebih sedikit. 


Namun, pemerintah juga seharusnya memperhatikan poin-poin penting lainnya yang dimuat studi tersebut. Pertama, studi tersebut menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas perusakan besar-besaran hutan alam yang masih baik, yang merupakan rumah bagi Harimau, Orangutan, dan Gajah Sumatra, spesies-spesies terancam yang masuk dalam Daftar Merah IUCN. Di Kalimantan saja, 50 persen deforestasi antara 2005-2015 dipicu oleh kelapa sawit. (2).

Kedua, laporan tersebut menyoroti pentingnya menghentikan deforestasi dan mencegah ekspansi perkebunan kelapa sawit ke area hutan yang masih baik karena akan menghancurkan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, pemerintah dan produsen kelapa sawit harus menghentikan ekspansi sekarang juga dan memfokuskan diri pada intensifikasi untuk meningkatkan hasil produksi. Pemerintah juga harus menjunjung tinggi dan meningkatkan standar keberlanjutan kelapa sawit versi pemerintah, termasuk dengan menjalankan sistem penelusuran dan pelacakan dalam rantai pasok minyak sawit dan mengimplementasikan sistem monitoring, pelaporan dan verifikasi hutan/deforestasi yang kuat. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk menuju ke sana adalah membuka data konsesi untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas.


“Kami tidak menyangkal bahwa kelapa sawit adalah salah satu tanaman yang paling efisien dalam hal luas lahan yang dibutuhkan. Yang menjadi masalah adalah dalam sejarahnya, minyak kelapa sawit diproduksi dengan membabat hutan, termasuk jutaan hektar hutan di lahan gambut yang sangat kaya akan karbon. Selain itu, ada permasalahan lain berupa metode produksi yang tidak efisien dan mencemari lingkungan, misalnya akibat penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar,” ujar Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch dari jaringan masyarakat sipil pemerhati sawit di Indonesia.


“Tidak ada yang menyerukan pelarangan kelapa sawit. Sawit bisa baik untuk Indonesia, namun hanya jika dilakukan perbaikan menyeluruh dalam tata kelola hutan dan jika keberlanjutan produksinya betul-betul dapat diverifikasi,” ujar Indah.

Mengingat studi IUCN di Indonesia diluncurkan pada minggu yang sama dengan pemungutan suara Uni Eropa tentang apakah UE akan memajukan tanggal phase out penggunaan minyak sawit dalam biofuel dari 2030 menjadi 2023, Menteri Darmin Nasution harus mempertimbangkan keseluruhan rekomendasi IUCN secara serius dan menerapkannya sesegera mungkin untuk meyakinkan UE dan pasar ekspor besar lainnya bahwa Indonesia betul-betul berkomitmen untuk memproduksi minyak sawit secara
berkelanjutan. Tidak semata mementingkan pendapatan Negara tetapi juga mengutamakan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.


Di dalam negeri sendiri, langkah pemerintah untuk mempromosikan penggunaan biofuel dari minyak sawit untuk konsumsi domestik serta peningkatan permintaan yang diakibatkannya berisiko meningkatkan deforestasi hingga mencapai titik tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah memang telah mengambil langkah-langkah positif untuk memperbaiki tata kelola hutan, di antaranya moratorium penerbitan izin baru, moratorium sawit, dan restorasi gambut. Namun, implementasi berbagai kebijakan tersebut masih harus diperkuat karena masih meloloskan area hutan yang masih baik untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit seperti dalam kasus pelepasan kawasan hutan untuk PT Hardaya Inti Plantation di Buol, Sulawesi Tengah, baru-baru ini.


“Pada titik ini, sangat penting bagi negara kita untuk memperbaiki tata kelola hutan dan perkebunan secara mendasar dan meningkatkan keberlanjutan produksi kelapa sawit, dimulai dengan memperkuat implementasi moratorium sawit, memperkuat ISPO dan memprioritaskan dana BPDPKS untuk mendukung petani kecil untuk menjalankan praktik terbaik. Semuanya ini agar betul-betul dapat diverifikasi bahwa minyak sawit Indonesia dihasilkan secara berkelanjutan,” tutup Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.


—————————-
Catatan kaki:
(1) IUCN menyampaikan hasil studi terkait kelapa sawit dan keanekaragaman hayati kepada pemerintah Indonesia pada 4 Februari 2019. Lihat: https://www.ekon.go.id/berita/pdf/studi-iucn-kelapa-sawit.4578.pdf

(2) Salah satu penulis laporan IUCN, Eric Meijaard, menekankan dampak negatif produksi minyak sawit di Indonesia, “Afrika mungkin tampak luas dan tak berbatas sebagai lokasi penanaman sawit di masa depan, namun Kalimantan dan Sumatera dulu juga begitu. Sangat mungkin untuk mengelola sawit secara lebih baik.”

Lihat: Palm Oil Paradox: Sustainable Solutions to Save the Great Apes.


Narahubung:

  1. Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, +62811 448 677, inda@sawitwatch.or.id
  2. Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, +62819 1519 1979, teguh.surya@madaniberkelanjutan.id 
  3. Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 815-1986-8887, luluk@madaniberkelanjutan.id



Didukung oleh:

  1. Sawit Watch
  2. Yayasan Madani Berkelanjutan 
  3. Kaoem Telapak 
  4. Elsam 
  5. Greenpeace Indonesia 
  6. Forest Watch Indonesia 
  7. Indonesian Center for Environmental Law
  8. BYTRA Aceh

Related Article

Driving Deforestation: dampak meningkatnya permintaan minyak sawit melalui kebijakan biofuel

Driving Deforestation: dampak meningkatnya permintaan minyak sawit melalui kebijakan biofuel

Pada tahun 2015, sekitar 35 miliar liter biofuel (biodiesel dan diesel terbarukan) diproduksi dari lemak dan minyak nabati, terutama untuk konsumsi di Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Indonesia. Ini menciptakan permintaan akan minyak sawit kira-kira sebesar 8,2 juta ton untuk bahan baku biofuel (kebanyakan digunakan di Indonesia dan Uni Eropa) dan permintaan tidak langsung setidaknya sebesar 2,5 juta ton untuk menggantikan bahan baku biodiesel lainnya dalam berbagai penggunaan yang ada saat ini. Secara keseluruhan, 10,7 juta ton minyak sawit tersebut mewakili hampir seperlima dari total produksi minyak sawit dunia, yang menurut laporan FAO mencapai 57 juta ton pada tahun 2014 dan diperkirakan akan mencapai 65 juta ton pada tahun 2017. Secara global, produksi rata-rata minyak sawit selama 20 tahun terakhir kurang lebih stagnan. Dengan demikian, peningkatan produksi yang diperlukan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat ini dihasilkan melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang berdampak sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan simpanan karbon. Meningkatnya permintaan akan minyak sawit menjadi masalah, sebab ekspansi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia saat ini diasosiasikan secara endemik dengan deforestasi dan perusakan gambut. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam hal tata kelola, diperkirakan setidaknya sepertiga dari area perkebunan kelapa sawit yang baru akan dibuka dengan cara mengeringkan gambut, dan setengahnya akan menyebabkan deforestasi.

Untuk membaca selengkapnya, sila unduh laporan di bawah ini.

Related Article

id_IDID