Madani

Tentang Kami

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

In this paper, Madani compares the definitions of forest, deforestation, degradation, methodologies of calculating deforestation, and finally, deforestation figures from the following institutions: the Food and Agriculture Organization (FAO), the Ministry of Environment and Forestry (MoEF), and several Civil Society Organizations (CSO) while highlighting points of contentions among these institutions.

In defining forests, one of the main points of contention is the minimum limit of tree cover to be called forest, namely between 10 to 30%.

Another point of contention is the categorization of timber plantation as forest. CSOs in this study argue that timber plantation should not be included in the forest land class/category because they are monoculture and more akin to a plantation rather than biodiverse forest. CSOs fear that the inclusion of timber plantations to forest land class will conceal destruction of natural forests to make way to timber plantations, especially Industrial Timber Plantation, which is one of the main drivers of the natural forests’ loss in Indonesia.

Another point of contention is the dichotomy of natural forests into primary and secondary forests, in which the protection of secondary forests is weaker than primary natural forests. CSOs in this study are pushing for indiscriminate protection of natural forests without dichotomizing them into primary and secondary natural forests, especially in the context of halting new permits permanently.

The next point of contention highlighted in this study pertains to different definitions of primary forest used by the MoEF (Ministry of Environment and Forestry) and GFW (Global Forest Watch). GFW uses a broader definition for primary forests with deforestation values close to the overall value of natural forest deforestation coming from the MoEF.

When defining deforestation, some CSOs oppose the use of ‘net deforestation’ that has been used and highlighted by the government of Indonesia in their official public communications. Aside from the fact that the loss of forests in one area cannot be replaced by forest replanting in other areas due to the functions they serve, CSOs fear that this definition will conceal the destruction of natural forests converted into timber plantations, especially Industrial Timber plantations.

READ ALSO: Madani Insight Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Related to deforestation figures, the number of natural forest loss between 2006-2018 published by the MoEF is much lower than the number published by FWI (Forest Watch Indonesia). The MoEF data show a declining trend in terms of gross deforestation and the loss of natural forest in the period of 2006-2018. In contrast, FWI data show an increasing trend in the rate of natural forest loss in the same period.

For 3 periods (2011-2012, 2012-2013, and 2013-2014), the rate of natural forest loss published by the MoEF was close to the primary forest loss figures published by GFW. Both data sets from MoEF and GFW show a declining trend in terms of natural forest loss during the 2006-2018 period. However, while MoEF shows a declining trend in terms of gross deforestation in 2006-2018, the Tree Cover Loss data from GFW shows an opposing trend in the 2006-2018 period, keeping in mind that the definition of ‘Tree Cover Loss’ and ‘deforestation’ are not interchangeable.

When cross-examining spatial and statistical data published by MoEF, Madani’s analysis confirmed the MoEF’s data consistency in terms of gross deforestation. However, the consistency of natural forest loss and net deforestation data could not be confirmed due to limited access of natural forest loss and reforestation data.

Lastly, there are unanswered questions about the different definition of natural forest loss used by the MoEF in the Deforestation Book and in constructing FREL for REDD+. The study found that the rates of natural forest loss used in FREL construction are higher than the ones cited in the Deforestation Book for the following periods: 2006-2009, 2009-2011, and 2011-2012 where data were available.

To navigate the deforestation maze, different institutions that possess and produce different data and conclusions regarding the number and trends of deforestation need to sit together and publicly expose their methodology and sources to provide clearer information for the public regarding the current status and condition of Indonesia’s forests and to put more objectivity in assessing Indonesia’s success in reducing deforestation.

Get more about Madani Insight “Navigating The Deforestation Maze Comparison of Various Definitions And Figures Relating to Deforestation In Indonesia” by downloading the available report. 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

Pada Maret 2021, Pemerintah Indonesia merilis angka deforestasi Indonesia terbaru (2019-2020) dan mengumumkan penurunan deforestasi terbesar sepanjang sejarah sebesar 75%. Tentu, penurunan deforestasi yang signifikan ini, mendapatkan apresiasi internasional karena merupakan tren positif di tengah naiknya angka hilangnya hutan secara global.

Terkait dengan angka deforestasi tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tersebut merilis Madani Insight edisi April yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman publik terkait angka deforestasi Indonesia yang baru-baru ini diumumkan pemerintah dan maknanya bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia (NDC) serta target Persetujuan Paris untuk menahan kenaikan temperatur bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius.

Untuk mempermudah dalam memahami kajian ini, Madani Insight disajikan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama mengupas angka deforestasi Indonesia dan di mana deforestasi paling banyak terjadi, termasuk di dalam wilayah izin atau konsesi. Bagian kedua mengupas luas hutan alam Indonesia yang belum terproteksi dan oleh karenanya rentan terdeforestasi. Bagian ketiga mengupas makna penurunan deforestasi Indonesia dari kacamata pencapaian komitmen iklim dan target Persetujuan Paris. 

BACA JUGA: Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial Dalam Menjaga Iklim Bumi

Kemudian, untuk memahami makna angka deforestasi Indonesia, penting terlebih dahulu memahami berbagai definisi deforestasi yang berbeda yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

  • Deforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). 
  • Hutan: Kondisi penutupan lahan berupa hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan tanaman. 
  • Non Hutan: Bentuk penutupan lahan berupa semak/belukar, belukar rawa, savana/padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, rawa dan pelabuhan udara/laut. 
  • Deforestasi Netto: Perubahan/pengurangan luas penutupan lahan dengan kategori berhutan pada kurun waktu tertentu yang diperoleh dari perhitungan luas deforestasi bruto dikurangi dengan luas reforestasi.
  • Reforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan).
  • Deforestasi Bruto: perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan), tanpa memperhitungkan adanya reforestasi yang terjadi.
  • Deforestasi Hutan Alam/Deforestasi Gross: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (hanya) Alam menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). Deforestasi Bruto Hutan Alam dipakai untuk memisahkan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan Hutan menjadi kelas penutupan lahan Non Hutan, yang terjadi tidak sebagai akibat pemanenan hutan tanaman (harvesting). 

Kajian ini pun akan berfokus pada deforestasi gross atau deforestasi hutan alam yang sangat penting untuk menjaga kestabilan iklim global, menjaga keanekaragaman hayati, serta paling relevan dengan upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Dapatkan Madani’s Insight: Mengupas Fakta di Balik Deforestasi Indonesia 2019-2020 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

Pada 6 Desember 2022, Parlemen dan Dewan Uni Eropa menyepakati aturan terkait produk-produk bebas deforestasi sebagai bentuk kontribusi negara-negara Eropa dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia dan mengendalikan perubahan iklim.

Aturan ini mewajibkan beberapa komoditas seperti cokelat, kopi, karet, kedelai, kayu, daging sapi, hingga sawit yang menjadi salah satu unggulan ekspor Indonesia, harus lulus beberapa persyaratan seperti harus berasal dari lahan yang bebas dari deforestasi, kejelasan legalitas, sampai dengan ketertelusuran hingga ke kebun, sebelum masuk ke pasar Eropa.

Aturan ini mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Di satu sisi, regulasi ini dinilai positif lantaran dibuat dengan alasan upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia. Di sisi lain, regulasi ini dinilai tidak bersahabat karena dianggap akan memberikan dampak buruk secara ekonomi, apalagi dibuat di tengah ketidakpastian ekonomi bahkan resesi yang mengancam banyak negara. 

Sebelum regulasi ini diresmikan, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah menggelar diskusi terfokus multipihak pada Selasa dan Rabu, 8-9 November 2022 di Jakarta untuk menanggapi rencana Uni Eropa atas kebijakan ini dengan mengusung tema “Menuju Keberterimaan Sawit Berkelanjutan di Pasar Eropa: Menakar Kesiapan Para Pihak Menghadapi Aturan Uji Tuntas Uni Eropa terkait Produk-Produk Bebas Deforestasi”.

Pandangan Para Pihak

Dalam diskusi multipihak tersebut, beberapa pandangan, baik positif maupun negatif mengapung ke permukaan. Dari sisi positif, peserta diskusi menganggap bahwa regulasi ini memiliki peluang berupa insentif maupun harga yang tinggi dari pasar Uni Eropa untuk para pelaku pasarnya. Kemudian, regulasi ini juga dinilai dapat mendukung upaya perlindungan hutan, adanya peluang kemitraan untuk mendukung petani, meningkatkan serta memperkuat upaya membangun tata kelola sawit yang berkelanjutan melalui penguatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), membantu Indonesia dalam membangun sistem ketertelusuran nasional, dan mempercepat perjanjian bilateral. 

Di sisi lain, regulasi ini dinilai dapat membatasi akses pasar Indonesia. Kemudian, motif regulasi yang tidak murni untuk melindungi hutan, kemungkinan dampak buruk bagi petani swadaya dan pendapatan daerah, bahkan dapat menciptakan keresahan sosial. Tidak hanya itu, perbedaan definisi deforestasi dan petani sawit swadaya juga menjadi pertanyaan, ditambah lagi dengan kemungkinan biaya yang besar untuk memenuhi persyaratan uji tuntas. Bahkan, dalam diskusi juga terkemuka pandangan untuk mempertimbangan pasar lain selain Eropa.

Pentingnya Keberpihakan Kepada Pekebun Swadaya

Studi Madani di 4 kabupaten penghasil sawit menemukan bahwa petani atau pekebun swadaya masih menghadapi tantangan untuk memenuhi syarat legalitas dan ketertelusuran  atau traceability. Dari lebih dari 500 pekebun swadaya yang disurvei, indeks kesiapan mereka dalam memenuhi rencana aturan ini berada dalam rentang 40,4-50,5% yang berarti “kurang siap” hingga “cukup siap.” 

Pekebun swadaya masih kesulitan untuk memenuhi persyaratan legalitas usaha, yakni Surat Tanda Daftar Budidaya atau STD-B dan surat pemantauan dan pengelolaan lingkungan atau SPPL. Selain itu, pekebun juga menghadapi tantangan memenuhi legalitas lahan dalam bentuk Surat Hak Milik (SHM) yang disyaratkan dalam sertifikasi ISPO. 

Pekebun swadaya juga menghadapi tantangan dalam ketertelusuran karena rantai pasok yang panjang dan banyaknya pekebun yang belum melakukan pencatatan saat melakukan transaksi. Di empat kabupaten yang di studi, hanya 0,17% responden yang memiliki akses penjualan TBS langsung ke perusahaan (PKS) maupun melalui koperasi. Panjangnya rantai pasok TBS ini juga mengurangi keuntungan pekebun. Selain itu, hanya 12,82% responden yang memiliki catatan penjualan di setiap transaksi. 

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten.

Selain itu, dari diskusi ini juga mengemuka beberapa pendapat terkait dengan kebutuhan, baik dari sisi pekebun maupun pemerintah daerah untuk dapat mengikuti aturan ini. Bagi pekebun sendiri sebagai pihak yang dianggap paling terdampak, hal yang paling dibutuhkan adalah insentif pasar maupun harga jual komoditas yang terbaik. Hal ini tentu berkait dengan sulitnya bagi pekebun untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. 

Kemudian, penting bagi pekebun untuk mendapatkan dukungan untuk memenuhi persyaratan seperti legalitas termasuk juga untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dukungan untuk praktik perkebunan yang baik, penguatan kelembagaan, bantuan operasional untuk mendukung ketertelusuran yang baik, dan mendorong kemitraan yang adil dengan perusahaan sebagai kunci membenahi ketertelusuran. 

Sementara itu, pemerintah daerah membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memahami regulasi ini. Pemerintah daerah juga perlu dukungan untuk memitigasi risiko terhadap pendapatan daerah, memberikan dukungan kepada petani untuk mencegah keresahan sosial, membantu masyarakat untuk mencari mata pencaharian alternatif saat ekspansi tidak diperbolehkan, serta untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan terkait, baik dalam hal pemahaman, anggaran, maupun sumber daya manusia. 

Mengapa Kemitraan yang Inklusif Penting 

Dengan adanya banyak kebutuhan untuk memenuhi regulasi bebas deforestasi ini, pihak Uni Eropa sebagai pembuat kebijakan harus mengedepankan prinsip kemitraan yang inklusif dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan di negara produsen sehingga kedua belah pihak, baik Uni Eropa sendiri maupun negara produsen, sama-sama diuntungkan. 

Tidak semata-mata upaya membersihkan rantai pasok Uni Eropa dari deforestasi, kebijakan ini juga seharusnya diartikan sebagai sebuah stimulus yang mampu mendongkrak perbaikan dalam negeri bagi negara-negara yang terdampak kebijakan ini. 

Pemerintah Indonesia telah menginisiasi beberapa inisiatif yang perlu didukung untuk mengurangi deforestasi dan mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan, antara lain Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang mencakup penguatan data perkebunan sawit, peningkatan kapasitas pekebun, pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian konflik, dan percepatan ISPO serta peningkatan akses pasar. 

Pemerintah juga telah menyatakan target mencapai net sink di sektor hutan dan lahan pada 2030 (Indonesia Net Sink FOLU) yang dapat mengurangi deforestasi lebih jauh melalui implementasi Rencana Operasionalnya. Penguatan standar ISPO dan sistem ketertelusuran sawit nasional pun sangat perlu didukung.  

Tanpa adanya perbaikan tata kelola dalam negeri yang didukung kemitraan, produk-produk terkait deforestasi memang tidak akan masuk ke pasar Eropa, namun, dapat berpindah ke pasar yang lain. Ini jelas bukan solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi lahan di dunia.

Penulis: Delly Ferdian

Editor: Anggalia Putri

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten di sini.

Related Article

Bagaimana Pencegahan Pembukaan Hutan dalam FOLU Net Sink 2030?

Bagaimana Pencegahan Pembukaan Hutan dalam FOLU Net Sink 2030?

Selain berkomitmen untuk mengendalikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana tertuang di dalam Nationally Determined Contribution Republik Indonesia dan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, Indonesia juga menetapkan ambisi carbon net sink pada tahun 2030 khusus sektor hutan dan lahan. 

Foresty and other land uses (FOLU) net sink merupakan keadaan ketika jumlah karbon yang diserap oleh sektor hutan dan lahan sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkannya. Target ini sangat ambisius bagi Indonesia mengingat sektor hutan dan lahan masih menyumbang 40% dari total emisi GRK.

Pelajari bagaimana pencegahan pembukaan hutan berperan dalam FOLU Net Sink 2030 di bawah ini.

Related Article

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Juli 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam memperbarui komitmen iklim Indonesia melalui Updated Nationally Determined Contribution (Updated NDC). Dalam dokumen Updated NDC yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC 21 Juli 2021 lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, termasuk adaptasi di sektor kelautan, pengurangan deforestasi dan degradasi, perhutanan sosial, serta integrasi dengan isu-isu penting lainnya seperti keanekaragaman hayati.

Beyond 2030, Updated NDC Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut. Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Updated NDC Indonesia yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC.

Selain itu, pemenuhan target NDC membutuhkan kolaborasi semua pihak. Oleh karenanya, keterbukaan data dan informasi, serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat penting agar semua pihak termasuk masyarakat, masyarakat sipil dan sektor swasta dalam berpartisipasi dalam pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim,” tambah Nadia Hadad. “Bayangan emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2060 juga merupakan langkah lebih maju dari rencana sebelumnya di tahun 2070. Namun akan lebih ideal jika Indonesia berkomitmen pada target yang lebih ambisius untuk emisi nol karbon (net zero emission) agar lebih cepat terjadi transformasi ke energi terbarukan dan perbaikan tata kelola penggunaan lahan di Indonesia.” 

Nadia Hadad menambahkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam mencapai Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. 

Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut. “Sekitar 1,5 juta hektare hutan alam tercakup dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi dengan estimasi nilai kayu lebih dari 200 triliun rupiah. Jika hutan alam dibuka, kebijakan ini akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim dan ketahanan pangan di masa depan. Penting juga untuk memperluas dan mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran hutan dan lahan, tidak hanya yang berada di bawah wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM (di luar konsesi), tapi juga restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan. Sangat penting untuk memastikan tidak ada lagi pembukaan dan pengeringan gambut oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energi,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan selaras NDC lain yang penting adalah mempercepat realisasi perhutanan sosial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak. Pendanaan lingkungan hidup dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk Oktober 2019 lalu seyogyanya difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat. 

Tidak kalah penting adalah memastikan kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bagian dari bauran energi (energy mix) termasuk biodiesel, agar tidak meningkatkan deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, memasang safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, dan yang  terpenting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, misalnya dari sampah/limbah,” kata M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan.

Transformasi sistem energi dan penggunaan lahan harus dimulai dari sekarang untuk mencapai visi Net Zero Emission lebih cepat, tidak bisa menunggu setelah 2030 untuk mengurangi emisi secara drastis. Hal ini harus dimulai dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pemerintah dengan komitmen iklim yang telah ditetapkan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Setelah Joe Biden Summit, 4 Hal Ini Patut Menjadi Prioritas Pemerintah Untuk Tangani Krisis Iklim Dunia

Setelah Joe Biden Summit, 4 Hal Ini Patut Menjadi Prioritas Pemerintah Untuk Tangani Krisis Iklim Dunia

[MadaniNews, Jakarta, 23/04/2021] Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis, 22 April 2021, menunjukkan bahwa kesadaran global akan mitigasi krisis iklim semakin kuat. Konferensi yang diikuti oleh 41 kepala negara, kepala pemerintahan, dan ketua organisasi internasional ini juga menandai kembalinya Amerika Serikat (AS) pada komitmen Iklim dunia, Paris Agreement (Persetujuan Paris).

Kembalinya Negeri Paman Sam pada barisan perlawanan terhadap krisis iklim dunia ini patut menjadi stimulus dan dorongan bagi banyak negara untuk semakin optimis melawan krisis iklim.  Konferensi yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden juga dapat diartikan sebagai momentum untuk semakin memperkuat komitmen iklim banyak negara, salah satunya Indonesia. 

Terkait dengan komitmen Iklim atau Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Dalam Leaders Summit on Climate, Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, Jokowi mengajak para pemimpin dunia memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim – meski tidak meningkatkan ambisi mitigasi. Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang kemitraan global harus diperkuat. 

Sejalan dengan pemikiran Presiden Jokowi, Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkap empat hal yang patut menjadi prioritas pemerintah untuk menangani persoalan krisis iklim;

  1. Transformasi besar di sektor kehutanan. Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyebut bahwa untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia (NDC) dan net zero emission Indonesia, maka transformasi kebijakan penguatan perlindungan hutan dan lahan serta keseriusan dalam perluasan implementasi program rehabilitasi wilayah terdegradasi merupakan keniscayaan. Perlu ada komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut serta mengakui masyarakat adat dan lokal yang mengelola sumber daya alam sebagai pemangku kepentingan kunci dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

  1. Mewujudkan Nol Deforestasi. Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Persetujuan Paris. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 serta memperkuat kebijakan moratorium hutan dengan memasukkan 9,4 juta hektare hutan alam atau setara 16 kali Pulau Bali yang belum terlindungi dan rentan terdeforestasi ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). 

  1. Optimis mewujudkan Netral Karbon di 2050. Dengan mengimplementasikan kuota penurunan dokumen Updated NDC maka seharusnya target net zero emission pada 2050 sangatlah memungkinkan dibanding rencana penggunaan skenario net zero emission pada 2070 . Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.

  1. Mendorong Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan.  Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam siaran pers pada 3 Maret 2021. Menurut Madani, penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Ini membuktikan bahwa langkah nyata yang positif dapat dilakukan dan harapannya hal ini dapat dipertahankan ke depannya.

Related Article

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

[Jakarta, 26 Maret 2021] Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 menjadi 10,7 ribu hektar per tahun hingga nol. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan perlindungan hutan alam tersisa harus lebih diperkuat, antara lain dengan memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru ke hutan-hutan alam yang belum terlindungi, meneruskan kebijakan moratorium sawit, dan meninjau kembali berbagai program strategis dan pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan. Demikian disampaikan oleh Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

[Jakarta, 26 March 2021] Indonesia has the opportunity to achieve its Long-Term Vision in the country’s fight against climate change in line with the Paris Agreement by reducing Indonesia’s quota on deforestation to only 10.7 thousand hectares per year, even zero, under the Updated NDC for the year 2020-2030. To achieve the said target, Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate from Yayasan Madani Berkelanjutan stated that various policies to protect Indonesia’s remaining forests must be strengthened, such as expanding the policy to halt new licenses to forests that are not yet under any protection schemes, continuing palm oil moratorium, and reconsidering any national strategic programs or national economic recovery programs that threatenIndonesia’s forests.

Yosi also added, “In accordance with the Low Carbon Compatible with the Paris Agreement scenario, the rate of Indonesia’s natural forest loss for the period of 2020-2030 cannot exceed 241 thousand hectares per year. Therefore, Indonesia’s natural forest deforestation quota in that period is only 4.82 million hectares. According to the Ministry of Environment and Forestry data, Indonesia has lost more or less 4.71 million hectares of natural forests from the period of 2011-2012 to 2019-2020. Consequently, the remaining quota for deforestation for the period of 2020-2030 is only 107 thousand hectares or 10.7 thousand hectares per year. However, if we include natural forest loss data in 2010-2011 by taking the annual average of deforestation in 2009-2011 which is 196,750 hectares, Indonesia’s quota on deforestation subsequently becomes minus. That is to say, Indonesia no longer has any quota left for deforestation of natural forests until 2030.”

The Indonesian government has introduced three scenarios on the Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience in 2050 to achieve a net-zero emissions target by 2070, 20 years slower than what the UN has targeted. In the most ambitious scenario, known as Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP, Indonesia has targeted an emission peak for every sector with forestry and land sector becoming a net carbon sink by 2030.

Thus, Indonesia’s forests and land would be the most dependable sector for Indonesia in its fight against climate change, not only to reduce emissions from its own sector, but also to absorb carbon emissions from other sectors, such as energy, waste, industrial processes and product usage, and also agriculture.  

BACA JUGA: Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

According to Madani’s initial research, there are around 9.4 million hectares of natural forests or 16 times the island of Bali that have not been licensed out and are located outside the protection of PIPPIB (Indicative Map of Termination of New Permits) and social forestry indicative area – PIAPS. They are not under the protection of any policy to halt new licenses and therefore susceptible to deforestation.” Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist from Yayasan Madani Berkelanjutan said. He also added that those 9.4 million hectares of natural forests must be protected to achieve Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Paris Agreement.

Besides, it is also crucial for the government of Indonesia to review various development policies, from the National Economic Recovery Program (“PEN”), National Strategic Program (“PSN”), to food estate as to not further damage Indonesia’s natural forests. “Madani’s initial research also found around 1.5 million hectares of Indonesia’s natural forests included in the Area of Interest (AOI) of Food Estate in 4 provinces, namely Papua, Central Kalimantan, North Sumatra, and South Sumatra with a huge potential economic value of timber in those areas – reaching IDR 209 trillion,” Fadli added.

The government must also pay a keen attention on protecting Indonesia’s natural forests that have already been licensed out, including timber plantation concessions and Palm Oil Plantations. One of the ways to protect forests already under the license/concessions of Palm Oil Plantations is through the Palm Oil Moratorium, which unfortunately will end in September 2021. Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance of Yayasan Madani Berkelanjutan suggested that it is in the government’s utmost necessity to continue theits Palm Oil Moratorium, which includes elements on protecting Indonesia’s forest and increasing the productivity of palm oil plantations andplantations. aAnd thus, critical to achieving Indonesia’s long-term strategy on low carbon development.

To achieveaccomplish Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Pariswith Paris Agreement, Indonesia has to transform its strategy on land use by making use of the unproductive lands – both inside andor outside forest zonethe area of forest to achieve food and energy security, and also strengthen the protection of Indonesia’s remaining natural forests and peatland ecosystem.

Lastly, Yosi added, “Our future and the future of the forthcoming generations depends on the transformation of Indonesia’s economic development towards a no longer destructive development for our forests and environment. This transformation must start right now as the worsening impacts of the climate crisis no longer gives us the luxury of time.”

 

Contact Person:

  • Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62813 2217 1803

  • Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone: +62877 4403 0366

  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62815 1986 8887

 


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

[Jakarta, 11 Maret 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam releasenya pada 3 Maret 2021. Penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Selayaknya Indonesia dapat mempertahankan penurunan deforestasi ke depan agar menjadi rujukan keberhasilan negara-negara pemilik hutan tropis lainnya. “Untuk itu, mendesak bagi pemerintah untuk memastikan agar semua kebijakan pembangunan terkini, mulai dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga Program Ketahanan Pangan dan Energi – sejalan dan koheren dengan upaya pencapaian komitmen iklim,” ungkap Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi rilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) terkait deforestasi.

Namun sesungguhnya penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada deforestasi hutan tanaman sebesar 99%, jadi bukan hilangnya hutan alam. Sementara itu deforestasi hutan primer turun sebesar 48%, yakni dari 23,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sayangnya, deforestasi hutan sekunder tidak turun sebesar hutan primer, yakni hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. Ini menunjukan bahwa sangat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang berada dalam konsesi yang belum terlindungi oleh PIPPIB, salah satunya melalui inovasi kebijakan termasuk implementasi REDD+,” ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist.

Jika kita hanya melihat hilangnya hutan alam (deforestasi bruto hutan alam), betul terjadi penurunan deforestasi yang layak diapresiasi, namun hanya sebesar 38%, yakni dari 187,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin dan konsesi dan kawasan PIAPS dan PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru atau moratorium hutan sehingga rentan terdeforestasi,” tambah Fadli Ahmad Naufal.

Di sisi lain, disaat yang bersamaan pemerintah juga telah berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan bahwa berbagai program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.

Dalam waktu dekat, potensi naiknya angka deforestasi ke depan ditandai dengan luasnya hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi (Papua, Kalteng, Sumut, dan Sumsel). Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas pulau Bali. Kekhawatiran terjadinya deforestasi sangat beralasan karena besarnya potensi nilai ekonomi kayu pada luasan hutan alam tersebut, yaitu sebesar 209 triliun rupiah. 

Oleh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB. Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat yang didukung oleh transparansi data,” ungkap Yosi.

Madani akan berada di garda terdepan jika pemerintah membuka diri untuk kerja bersama dalam mengimplementasikan aksi untuk mengurangi deforestasi,” tambah Yosi. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

INDONESIA’S REDUCTION OF DEFORESTATION: A STEPPING STONE TOWARDS ENVIRONMENT AND FOREST PROTECTION ORIENTED ECONOMIC DEVELOPMENT

INDONESIA’S REDUCTION OF DEFORESTATION: A STEPPING STONE TOWARDS ENVIRONMENT AND FOREST PROTECTION ORIENTED ECONOMIC DEVELOPMENT

[Jakarta, March 11th, 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan appreciates the work of the Ministry of Environment and Forestry (MoEF) to reduce deforestation by 75% in the period of 2019-2020 as stated on their press release on March 3rd, 2021. This is a solid stepping stone for Indonesia to continue building its economy without deforestation and environmental degradation. Indonesia must maintain the reduction of deforestation in the future so that other tropical forest countries could look up to Indonesia’s success. 

Therefore, it is crucial for the government of Indonesia to ensure that every development policy, from the National Economic Recovery Program (“PEN”), National Strategic Program (“PSN”), to food estate and energy security, are in line with efforts to achieve Indonesia’s climate commitment.” said Yosi Amelia as Project Officer for Forest and Climate in Yayasan Madani Berkelanjutan in response to the MoEF press release on Indonesia’s deforestation. 

However, the largest reduction of deforestation was in the loss of ‘Plantation Forests,’ with a whopping 99% reduction from the previous year and not in the loss of natural forests, while  primary forest loss only declined 48% from 23,9 thousand hectares in the period of 2018-2019 to 12,3 thousand hectares in 2019-2020. Unfortunately, the decline in secondary forest loss is even lower, only 36% from 164 thousand hectares in 2018-2019 to 104,6 thousand hectares in 2019-2020. This shows a high urgency for Indonesia to improve its protection towards secondary forest, both that are already given to concessions and that are not yet protected by the policy to halt new permits or “PIPPIB.” One of the ways to do that is through policy innovations including the implementation of REDD+,” said Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist. 

READ ALSO: Omnibus Law on Job Creation: Injuring Climate Commitment, Accelerating Forest Loss, Perpetuating Disasters

Fadli also added, “If we only counted the loss of natural forest (gross natural forest deforestation), the percentage of deforestation’s reduction rate worthy of appreciation is actually 38%, from 187,9 thousand hectares loss in 2018-2019 to 116,9 thousand hectares loss in 2019-2020. According to Madani’s initial research, there are 9,4 million hectares natural forest or 16 times the island of Bali that have not been licensed out and outside PIPPIB and social forestry allocation – PIAPS are not under protection of any policy to halt new licenses and therefore susceptible to deforestation.”

On the other hand, the Indonesian government has formulated new policies which present high risks to increase deforestation in the next few years. Without strengthening environmental safeguards, it is feared that these recent development programs may jeopardize Indonesia’s climate commitment and low carbon development program; and worse, intensify conflicts with indigenous and  local communities. 

The country faces a risk of imminent  increase in deforestation within an extensive area of natural forests – around 1,5 million hectares or almost 3 times the island of Bali – are included in Area of Interest (AOI) of Food Estate in 4 provinces of Papua, Central Kalimantan, North Sumatra, and South Sumatra. Huge potential economic value of timber in those areas – reaching IDR 209 trillions – increases such risks.

Therefore it is urgent for the government to strengthen the protection of secondary natural forests, both already in concessions and those that are not yet protected by PIPPIB. One thing that can be done is through the implementation of REDD+ with the implementation of strong environmental and social safeguards supported by data transparency”, said Yosi.

Yosi also added that Madani would be at the forefront if the government opens up to protect Indonesia’s natural forests from further deforestation.

Contact Person:

  • Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate, Yayasan  Madani Berkelanjutan, Phone +62813 2217 1803

  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62815 1986 8887

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Namun sesungguhnya penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada deforestasi hutan tanaman sebesar 99%, jadi bukan hilangnya hutan alam. Sementara itu deforestasi hutan primer turun sebesar 48%, yakni dari 23,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sayangnya, deforestasi hutan sekunder tidak turun sebesar hutan primer, yakni hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. Ini menunjukan bahwa sangat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang berada dalam konsesi yang belum terlindungi oleh PIPPIB, salah satunya melalui inovasi kebijakan termasuk implementasi REDD+,” ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist.

Jika kita hanya melihat hilangnya hutan alam (deforestasi bruto hutan alam), betul terjadi penurunan deforestasi yang layak diapresiasi, namun hanya sebesar 38%, yakni dari 187,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin dan konsesi dan kawasan PIAPS dan PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru atau moratorium hutan sehingga rentan terdeforestasi,” tambah Fadli Ahmad Naufal.

Di sisi lain, disaat yang bersamaan pemerintah juga telah berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan bahwa berbagai program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.

Dalam waktu dekat, potensi naiknya angka deforestasi ke depan ditandai dengan luasnya hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi (Papua, Kalteng, Sumut, dan Sumsel). Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas pulau Bali. Kekhawatiran terjadinya deforestasi sangat beralasan karena besarnya potensi nilai ekonomi kayu pada luasan hutan alam tersebut, yaitu sebesar 209 triliun rupiah. 

Oleh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB. Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat yang didukung oleh transparansi data,” ungkap Yosi.

Madani akan berada di garda terdepan jika pemerintah membuka diri untuk kerja bersama dalam mengimplementasikan aksi untuk mengurangi deforestasi,” tambah Yosi.

Kontak Media:

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

id_IDID