Madani

Tentang Kami

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

In this paper, Madani compares the definitions of forest, deforestation, degradation, methodologies of calculating deforestation, and finally, deforestation figures from the following institutions: the Food and Agriculture Organization (FAO), the Ministry of Environment and Forestry (MoEF), and several Civil Society Organizations (CSO) while highlighting points of contentions among these institutions.

In defining forests, one of the main points of contention is the minimum limit of tree cover to be called forest, namely between 10 to 30%.

Another point of contention is the categorization of timber plantation as forest. CSOs in this study argue that timber plantation should not be included in the forest land class/category because they are monoculture and more akin to a plantation rather than biodiverse forest. CSOs fear that the inclusion of timber plantations to forest land class will conceal destruction of natural forests to make way to timber plantations, especially Industrial Timber Plantation, which is one of the main drivers of the natural forests’ loss in Indonesia.

Another point of contention is the dichotomy of natural forests into primary and secondary forests, in which the protection of secondary forests is weaker than primary natural forests. CSOs in this study are pushing for indiscriminate protection of natural forests without dichotomizing them into primary and secondary natural forests, especially in the context of halting new permits permanently.

The next point of contention highlighted in this study pertains to different definitions of primary forest used by the MoEF (Ministry of Environment and Forestry) and GFW (Global Forest Watch). GFW uses a broader definition for primary forests with deforestation values close to the overall value of natural forest deforestation coming from the MoEF.

When defining deforestation, some CSOs oppose the use of ‘net deforestation’ that has been used and highlighted by the government of Indonesia in their official public communications. Aside from the fact that the loss of forests in one area cannot be replaced by forest replanting in other areas due to the functions they serve, CSOs fear that this definition will conceal the destruction of natural forests converted into timber plantations, especially Industrial Timber plantations.

READ ALSO: Madani Insight Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Related to deforestation figures, the number of natural forest loss between 2006-2018 published by the MoEF is much lower than the number published by FWI (Forest Watch Indonesia). The MoEF data show a declining trend in terms of gross deforestation and the loss of natural forest in the period of 2006-2018. In contrast, FWI data show an increasing trend in the rate of natural forest loss in the same period.

For 3 periods (2011-2012, 2012-2013, and 2013-2014), the rate of natural forest loss published by the MoEF was close to the primary forest loss figures published by GFW. Both data sets from MoEF and GFW show a declining trend in terms of natural forest loss during the 2006-2018 period. However, while MoEF shows a declining trend in terms of gross deforestation in 2006-2018, the Tree Cover Loss data from GFW shows an opposing trend in the 2006-2018 period, keeping in mind that the definition of ‘Tree Cover Loss’ and ‘deforestation’ are not interchangeable.

When cross-examining spatial and statistical data published by MoEF, Madani’s analysis confirmed the MoEF’s data consistency in terms of gross deforestation. However, the consistency of natural forest loss and net deforestation data could not be confirmed due to limited access of natural forest loss and reforestation data.

Lastly, there are unanswered questions about the different definition of natural forest loss used by the MoEF in the Deforestation Book and in constructing FREL for REDD+. The study found that the rates of natural forest loss used in FREL construction are higher than the ones cited in the Deforestation Book for the following periods: 2006-2009, 2009-2011, and 2011-2012 where data were available.

To navigate the deforestation maze, different institutions that possess and produce different data and conclusions regarding the number and trends of deforestation need to sit together and publicly expose their methodology and sources to provide clearer information for the public regarding the current status and condition of Indonesia’s forests and to put more objectivity in assessing Indonesia’s success in reducing deforestation.

Get more about Madani Insight “Navigating The Deforestation Maze Comparison of Various Definitions And Figures Relating to Deforestation In Indonesia” by downloading the available report. 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

Pada Maret 2021, Pemerintah Indonesia merilis angka deforestasi Indonesia terbaru (2019-2020) dan mengumumkan penurunan deforestasi terbesar sepanjang sejarah sebesar 75%. Tentu, penurunan deforestasi yang signifikan ini, mendapatkan apresiasi internasional karena merupakan tren positif di tengah naiknya angka hilangnya hutan secara global.

Terkait dengan angka deforestasi tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tersebut merilis Madani Insight edisi April yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman publik terkait angka deforestasi Indonesia yang baru-baru ini diumumkan pemerintah dan maknanya bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia (NDC) serta target Persetujuan Paris untuk menahan kenaikan temperatur bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius.

Untuk mempermudah dalam memahami kajian ini, Madani Insight disajikan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama mengupas angka deforestasi Indonesia dan di mana deforestasi paling banyak terjadi, termasuk di dalam wilayah izin atau konsesi. Bagian kedua mengupas luas hutan alam Indonesia yang belum terproteksi dan oleh karenanya rentan terdeforestasi. Bagian ketiga mengupas makna penurunan deforestasi Indonesia dari kacamata pencapaian komitmen iklim dan target Persetujuan Paris. 

BACA JUGA: Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial Dalam Menjaga Iklim Bumi

Kemudian, untuk memahami makna angka deforestasi Indonesia, penting terlebih dahulu memahami berbagai definisi deforestasi yang berbeda yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

  • Deforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). 
  • Hutan: Kondisi penutupan lahan berupa hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan tanaman. 
  • Non Hutan: Bentuk penutupan lahan berupa semak/belukar, belukar rawa, savana/padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, rawa dan pelabuhan udara/laut. 
  • Deforestasi Netto: Perubahan/pengurangan luas penutupan lahan dengan kategori berhutan pada kurun waktu tertentu yang diperoleh dari perhitungan luas deforestasi bruto dikurangi dengan luas reforestasi.
  • Reforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan).
  • Deforestasi Bruto: perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan), tanpa memperhitungkan adanya reforestasi yang terjadi.
  • Deforestasi Hutan Alam/Deforestasi Gross: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (hanya) Alam menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). Deforestasi Bruto Hutan Alam dipakai untuk memisahkan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan Hutan menjadi kelas penutupan lahan Non Hutan, yang terjadi tidak sebagai akibat pemanenan hutan tanaman (harvesting). 

Kajian ini pun akan berfokus pada deforestasi gross atau deforestasi hutan alam yang sangat penting untuk menjaga kestabilan iklim global, menjaga keanekaragaman hayati, serta paling relevan dengan upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Dapatkan Madani’s Insight: Mengupas Fakta di Balik Deforestasi Indonesia 2019-2020 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

[Jakarta, 11 Maret 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam releasenya pada 3 Maret 2021. Penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Selayaknya Indonesia dapat mempertahankan penurunan deforestasi ke depan agar menjadi rujukan keberhasilan negara-negara pemilik hutan tropis lainnya. “Untuk itu, mendesak bagi pemerintah untuk memastikan agar semua kebijakan pembangunan terkini, mulai dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga Program Ketahanan Pangan dan Energi – sejalan dan koheren dengan upaya pencapaian komitmen iklim,” ungkap Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi rilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) terkait deforestasi.

Namun sesungguhnya penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada deforestasi hutan tanaman sebesar 99%, jadi bukan hilangnya hutan alam. Sementara itu deforestasi hutan primer turun sebesar 48%, yakni dari 23,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sayangnya, deforestasi hutan sekunder tidak turun sebesar hutan primer, yakni hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. Ini menunjukan bahwa sangat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang berada dalam konsesi yang belum terlindungi oleh PIPPIB, salah satunya melalui inovasi kebijakan termasuk implementasi REDD+,” ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist.

Jika kita hanya melihat hilangnya hutan alam (deforestasi bruto hutan alam), betul terjadi penurunan deforestasi yang layak diapresiasi, namun hanya sebesar 38%, yakni dari 187,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin dan konsesi dan kawasan PIAPS dan PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru atau moratorium hutan sehingga rentan terdeforestasi,” tambah Fadli Ahmad Naufal.

Di sisi lain, disaat yang bersamaan pemerintah juga telah berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan bahwa berbagai program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.

Dalam waktu dekat, potensi naiknya angka deforestasi ke depan ditandai dengan luasnya hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi (Papua, Kalteng, Sumut, dan Sumsel). Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas pulau Bali. Kekhawatiran terjadinya deforestasi sangat beralasan karena besarnya potensi nilai ekonomi kayu pada luasan hutan alam tersebut, yaitu sebesar 209 triliun rupiah. 

Oleh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB. Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat yang didukung oleh transparansi data,” ungkap Yosi.

Madani akan berada di garda terdepan jika pemerintah membuka diri untuk kerja bersama dalam mengimplementasikan aksi untuk mengurangi deforestasi,” tambah Yosi. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Sinkronisasi Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat Dengan Deklarasi Manokwari dan Dokumen Perencanaan Daerah

Sinkronisasi Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat Dengan Deklarasi Manokwari dan Dokumen Perencanaan Daerah

Madani Berkelanjutan merilis dokumen analisis sinkronisasi sasaran strategis Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat yang disusun oleh masyarakat sipil terhadap dokumen perencanaan daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2017-2022 yang meliputi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD), Rencana Strategis, (Renstra) dan Rencana Kerja, (Renja) BAPPEDA, Renstra dan Renja Dinas Kehutanan, Renstra dan Renja Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan.

Analisis ini bertujuan untuk 1) melakukan penyisiran dokumen untuk sinkronisasi penyusunan Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat, 2) menyediakan matriks analisis untuk melihat apakah tujuh sasaran strategis dalam Peta Jalan Nol Deforestasi dan 14 Poin Deklarasi Manokwari telah terakomodasi dalam dokumen RPJMD Papua Barat, Renstra dan Renja Bappeda, Dinas Kehutanan,dan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat serta 3) membuat rekomendasi dan kesimpulan terkait apa yang belum singkron dan apa saja yang diperlukan untuk singkronisasi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka analisis ini akan menjabarkan terlebih dahulu temuan-temuan terhadap dokumen (melihat hubungan dan apa yang sudah dan belum sinkron antara peta jalan dengan setiap dokumen perencanaan OPD) dan kemudian menganalisis sinkronisasi peta jalan dengan mengelompokkan program-program yang relevan dan mendukung Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat serta menemukan rekomendasi terhadap upaya sinkronisasi dan strategi mewujudkan sinkronisasi tersebut.

Untuk mengetahui isi dokumen lebih lengkap, silakan unduh dokumen yang tersedia di tautan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Laporan Terkini REDD+: Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi Indonesia

Laporan Terkini REDD+: Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi Indonesia

Definisi hutan, deforestasi, serta bagaimana cara menghitungnya masih menjadi perdebatan di antara para pihak yang berkepentingan. Hingga saat ini, belum ada konsensus di tingkat nasional mengenai angka deforestasi Indonesia di luar dari angka yang dipublikasikan oleh pemerintah setiap tahunnya. Padahal, kesepakatan mengenai angka deforestasi yang terjadi dan yang telah berhasil diturunkan adalah salah satu penentu keberhasilan pelaksanaan REDD+. Di samping itu, dialog yang sehat mengenai bagaimana deforestasi didefinisikan, dihitung, serta apa maknanya bagi lingkungan hidup dan masyarakat Indonesia menjadi penting untuk terus dilakukan agar angka-angka deforestasi yang termuat dalam berbagai publikasi resmi dan media massa lebih mencerminkan kondisi yang sesungguhnya ketimbang hanya menjadi guratan di atas kertas.

Tulisan ini mencoba membandingkan angka deforestasi versi pemerintah dengan masyarakat sipil untuk mengetahui letak perbedaan atau kesenjangan, baik dalam definisi yang digunakan, metode penghitungan, maupun hasil akhir. Data yang digunakan adalah data resmi pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dahulu Kementerian Kehutanan) dan Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta data yang dikeluarkan oleh organisasi masyarakat sipil yang memiliki fokus pada pemantauan hutan dan deforestasi. Madani Berkelanjutan berharap ia dapat menjadi bahan untuk mendorong dialog di antara para pihak guna menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga kelak Indonesia memiliki angka deforestasi yang kredibel dengan keterlibatan publik yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Laporan tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Related Article

id_IDID