Madani

Tentang Kami

[Siaran Pers] Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

[Siaran Pers] Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023
Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

[Siaran Pers, 5 Desember 2023] Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menunjukan bahwa Indonesia jadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.

Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.

Siaran Pers selengkapnya dapat diunduh di file di bawah ini.

Related Article

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28

Perubahan iklim sudah menjadi krisis global. Sekjen PBB menyebut dunia telah memasuki
era pendidihan global.

Dampak krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan masyarakat
Indonesia, seperti meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, topan, badai,
gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrim lainnya, termasuk memburuknya karhutla
yang telah melalap 1 juta ha lahan di 2023, gagal panen, menyebarnya penyakit dan
pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau
dan daerah di Indonesia.

Dalam momen COP28 pada 30 November hingga 12 Desember ini,
masyarakat sipil Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia untuk
mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim
secara berkeadilan. Politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.

Related Article

Apa Kata Visi-Misi Calon Presiden & Wakil Presiden Mendatang Soal Lingkungan dan Krisis Iklim

Apa Kata Visi-Misi Calon Presiden & Wakil Presiden Mendatang Soal Lingkungan dan Krisis Iklim

Apa Kata Visi-Misi Calon Presiden & Wakil Presiden Mendatang Soal Lingkungan dan Krisis Iklim?

Bumi dan kita sedang tidak baik-baik saja

Saat ini, dunia kita dihadapkan pada tiga krisis skala global atau planetary crisis yang amat mengkhawatirkan: polusi, krisis iklim, dan punahnya keanekaragaman hayati. Perubahan iklim telah menjadi krisis iklim karena laju pemanasan bumi semakin tidak terkendali. Krisis ini akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia, terutama Indonesia sebagai negara dengan risiko iklim ketiga tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021).

Sebagai warga Indonesia, kita sudah merasakan dampak nyata dari krisis ini. Mulai dari suhu panas yang ekstrim, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, kekeringan dan kelangkaan air, kenaikan permukaan air laut, banjir, dan berbagai cuaca ekstrim lain yang membuat jantung kita berdegup kencang karena makin khawatir. Semakin banyak generasi muda yang merasakan kecemasan  akan masa depan mereka. Seperti apa dunia tempat tinggal kami dan anak-cucu kami nanti?

Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan marginal, hingga mereka yang pekerjaan dan penghidupannya terdampak cuaca ekstrim seperti mereka yang harus bekerja di luar ruangan, nelayan dan petani tradisional, pekerja sektor pariwisata, serta masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang paling merasakan beratnya dampak krisis iklim.

Tanpa mengatasi krisis iklim secara serius, Indonesia pada 2045 diproyeksikan tidak akan lagi utuh sebagai 17.508 kesatuan gugusan pulau-pulau dari ujung barat hingga timur Indonesia (Kemhan, 2010). Setidaknya, 115 pulau akan hilang (Tempo, 2021). Kota-kota besar pun berisiko tenggelam. Sebut saja, Jakarta yang saat ini sudah semakin mengalami penurunan 0,1-8 cm per tahun (CNN, 2022).

Di tengah berbagai tantangan tersebut, calon pemimpin Indonesia mendatang harus memiliki visi-misi dan kemauan politik yang kuat untuk mengubah pola pembangunan ekonomi yang selama ini mengutamakan pertumbuhan tanpa mengindahkan batasan-batasan planet bumi menjadi pembangunan ekonomi yang memulihkan. Pemimpin Indonesia mendatang juga harus memiliki nurani dan keberanian untuk menghentikan pola-pola pembangunan yang menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan yang menyebabkan sebagian masyarakat harus menanggung dampak terburuk krisis iklim.

Oleh karena itu, melalui seri infografis visi-misi Capres & Cawapres 2024-2029 ini, Yayasan MADANI Berkelanjutan berupaya mendedahkan janji Calon Presiden & Wakil Presiden Indonesia pada periode 2024-2029 mendatang terkait adaptasi dan mitigasi krisis iklim, upaya menjaga hutan dan menghentikan deforestasi, transisi energi berkeadilan, pangan dan pertanian berkelanjutan, penanganan sampah, dan pengakuan, pelibatan, dan afirmasi bagi kelompok rentan demi mewujudkan keadilan iklim. #AgarKitaTetapAda

Ringkasan ini belum memuat elaborasi visi-misi pasangan calon no urut 3 yang dimuat dalam dokumen berjudul Buku Penjelasan, yang dirilis setelah tanggal penyusunan ringkasan ini.

Related Article

The Dynamics of the Discourse on Biofuels in Indonesia in Its Ecological, Economic, and Social Contexts

The Dynamics of the Discourse on Biofuels in Indonesia in Its Ecological, Economic, and Social Contexts

 

Indonesia is among the countries with the most serious efforts to develop their biofuel (Vegetable Fuel or BBN) policy and standing at the forefront of global biofuel mixture levels, especially palm oil-based. However, before attaining this position, the Indonesian biofuel industry went through quite a long history. The development of biofuels in Indonesia can be traced back to the 1990s, where several institutions conducted research on the potential of biofuels from various raw materials such as palm oil, jatropha, used cooking oil and so on. In 2006, when President Susilo Bambang Yudhoyono issued several regulations regarding the National Energy Policy and the use of biofuels, this became a milestone in the development of biofuels in Indonesia.

Since then, the landscape of national biofuel development has seen significant evolution, encompassing improvements in quality, production volume, biofuel varieties, and a notable increase in the participation of companies. This transformation initially aimed to advance poverty reduction and bolster the nation’s energy self-sufficiency.

Throughout its development, Biofuels (BBN) have grown to be intricately tied to the energy transition and the imperative of reducing carbon emissions. Globally, the continued use of fossil fuels to meet future energy requirements is acknowledged as unsustainable, primarily due to the depletion of finite resources and the environmental harm it inflicts. Ideally, there should be efforts to curtail energy consumption. However, it’s crucial to recognize that worldwide energy demand is projected to surge by an estimated 47% by 2050. Consequently, biofuels have emerged as a prominent component of the energy transition strategies being explored, not least in Indonesia.

Indonesia’s interest in diminishing its reliance on petroleum and mitigating emissions within the transportation sector has spurred the swift growth of the biofuel industry. Nevertheless, the advancement of biofuels is not devoid of its dilemmas. A growing unease revolves around the use of vegetable oils, which also serve as essential food resources, in biofuel production and its potential implications on food security and the environment.

This concern is well-founded, as the ever-increasing demand for vegetable oils, coupled with the tendency of productivity to plateau, inevitably forces the government into a challenging conundrum. It must decide between enhancing productivity, potentially impacting another sector, or allocating additional land to meet these escalating demands. Despite the various potential challenges that may arise from the development of biofuels, these challenges do not justify reverting to fossil fuels and abandoning the pursuit of biofuels.

The solution to the challenges posed by the energy transition may still find answers, at least in part, through biofuels. The critical focus lies in determining how the governance of BBN in Indonesia can effectively strike a balance between the interest of energy security and environmental sustainability. Therefore, Madani Berkelanjutan has meticulously curated a comprehensive synthesis of diverse dialogues and scholarly analyses concerning the dynamics of biofuel development in Indonesia, drawn from a multitude of published sources and research studies.

Related Article

Karhutla Semakin Menggila

Karhutla Semakin Menggila

Area indikatif Terbakar dari Januari hingga akhir September telah mencapai 800 ribu ha, 4 kali lipat dari luas terbakar tahun lalu. AIT terluas berada di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Marauke (Papua). Di izin/konsesi yang tidak tumpang tindih, AIT terluas di izin sawit dan migas. MADANI menyerukan bagi Pemerintah untuk mempercepat review izin secara partisipatif dan melakukan langkah mitigasi berbasis lanskap.

Related Article

Tanpa Perubahan Sistemik, Perdagangan Karbon Rentan Perparah Ketidakadilan

Tanpa Perubahan Sistemik, Perdagangan Karbon Rentan Perparah Ketidakadilan

[Siaran Pers] Jakarta, 26 September 2023. Tanpa perubahan sistemik, peluncuran bursa karbon yang ditandai dengan penunjukan  Bursa Efek Indonesia sebagai penyelenggara bursa karbon oleh Otoritas Jasa Keuangan dipandang berpotensi menjadi sarana mencari keuntungan semata tanpa berkontribusi pada penyelamatan umat manusia dari perubahan iklim. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan menanggapi Peluncuran Bursa Karbon Indonesia.

Saat ini, suhu bumi sudah naik 1.1°C dan diperkirakan akan melampaui suhu 1.5°C pada awal dekade 2030. Dampak perubahan iklim sudah tidak terhindarkan. Oleh karenanya, tindakan mitigasi dan adaptasi secara simultan serta mendalam bukanlah pilihan melainkan sebuah tindakan wajib,” tambah Nadia Hadad.

“Indonesia sebagai negara kepulauan merasakan dampak signifikan dari krisis iklim, terutama pada masyarakat yang tergolong sebagai kelompok rentan seperti kelompok miskin, penyandang disabilitas, anak-anak, lansia, perempuan, masyarakat adat dan lokal, serta masyarakat yang berada di garis depan wilayah yang terdampak bencana iklim seperti kekeringan, banjir, angin ribut, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan dan lahan, dan lain sebagainya. Dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekam terjadinya bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian yang mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3,5 juta lebih orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia. Bahkan Bappenas juga memprediksi kerugian ekonomi mencapai Rp. 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim,” urai Nadia Hadad.

Perdagangan karbon adalah satu dari tiga mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Perdagangan karbon dapat dilakukan secara langsung maupun melalui bursa karbon. Ada dua jenis perdagangan karbon, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi GRK. Dalam perdagangan emisi, pihak yang terlalu banyak mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dapat membeli izin untuk mempolusi atau batas atas emisi GRK (PTBAU-PU). Dalam skema offset, pihak yang mengeluarkan emisi GRK dapat mengkompensasi emisi yang dikeluarkannya dengan membeli kredit offset (SPE-GRK).

Sementara itu, Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur MADANI Berkelanjutan, memaparkan bahwa ada tujuh poin yang harus diperhatikan agar perdagangan karbon tidak menjadi praktik pencitraan atau greenwashing. “Yang pertama, semua negara, termasuk Indonesia, harus meningkatkan ambisi kontribusi nasionalnya (NDC) agar selaras dengan jalan menuju 1,5 derajat Celcius dan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam negeri di seluruh sektor dengan komitmen iklim tersebut. Kedua, perlu ada penetapan batas atas emisi GRK yang ketat dan transparan. Saat ini, baru PLTU yang dikenai batas atas emisi. Penetapan kewajiban pengurangan emisi GRK kepada Pelaku Usaha di sektor kehutanan juga perlu dipertegas karena Pelaku Usaha menguasai hutan dan lahan dalam jumlah besar.”

“Ketiga, offset harus dibatasi hanya untuk emisi residual, yaitu emisi yang masih tersisa setelah pencemar melakukan aksi penurunan emisi GRK secara optimal. Tanpa pembatasan ini, skema offset justru berisiko menjadi insentif yang sesat jalan, yang dapat menghambat pelaksanaan aksi mitigasi yang ambisius. Keempat, aturan perdagangan karbon perlu memastikan integritas sosial dan lingkungan, termasuk nilai tambah (additionality), keterandalan (reliability), dan kelestarian (permanence). Mengkompensasi emisi di sektor energi dengan kredit offset dari sektor hutan dan lahan perlu dihindari karena berbagai masalah terkait integritas yang belum terselesaikan. Pengaturan kerangka pengaman sosial dan lingkungan yang diserahkan pada berbagai standar nasional dan internasional yang ada juga perlu diperjelas,” tambah Giorgio Budi Indarto.

Kerangka aturan perdagangan karbon kehutanan juga harus mendorong kebijakan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan hutan dan lahan yang jadi penghambat utama partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat adat dan lokal, mempercepat realisasi perhutanan sosial dan reforma agraria sejati, memprioritaskan hutan untuk masyarakat tak bertanah ketika terjadi konflik klaim dengan perusahaan, serta mengembangkan standar publik untuk mengembangkan aset karbon yang absah secara ilmiah dan dapat diakses cuma-cuma oleh komunitas penjaga hutan.

Pemerintah juga harus memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam keseluruhan rantai perdagangan karbon, mulai dari penyusunan peta jalan perdagangan karbon, perizinan proyek karbon, pengalokasian batas atas emisi, hingga penyelenggaraan bursa karbon itu sendiri, termasuk dengan mencegah praktik-praktik yang mengarah pada spekulasi dan manipulasi pasar karbon, serta  potensi konflik kepentingan regulator atau para pihak terkait lainnya.

Terakhir, mengingat hutan dan ekosistem itu sendiri sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, membangun ketahanan atau resiliensi ekosistem dan masyarakat menjadi sangat penting. Untuk itu, Nilai Ekonomi Karbon sebagai instrumen untuk mencapai target NDC dan mengendalikan emisi GRK perlu memastikan pendanaan yang memadai untuk adaptasi perubahan iklim yang efektif dan berkeadilan. Tanpa pemenuhan berbagai prakondisi dan persyaratan di atas, akan sangat sulit bagi perdagangan karbon untuk menjadi bagian dari perwujudan keadilan iklim.

Keadilan iklim adalah prinsip penting di tengah ketidakadilan lingkungan dan ekologis, yang polanya dapat dikenali dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh ekstraksi, perusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati, pengabaian hak asasi manusia, serta melepaskan emisi gas rumah kaca. Dampaknya adalah ketidakadilan, ketidakmerataan, kemiskinan, dan menurunnya kemampuan warga untuk bertahan dan kehilangan sumber penghidupan serta ruang hidup yang sehat.

Bentuk dan pola ketidakadilan iklim  ini pada akhirnya menurunkan kemampuan lingkungan dan masyarakat untuk dapat bertahan dan mengatasi dampak krisis iklim.  Dengan demikian, semua upaya intervensi mitigasi maupun adaptasi krisis iklim harus mengadopsi azas keadilan sebagai prinsip aplikatif utama, termasuk implementasi dan tata kelola Bursa Karbon.

[ ]

***

Manusia dan Alam untuk Indonesia (MADANI) Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi. Didirikan pada 2016, MADANI Berkelanjutan berupaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Kami merumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. Saat ini, fokus kerja MADANI Berkelanjutan meliputi isu hutan dan iklim, komoditas berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan pada tingkat daerah, dan biofuel.

Related Article

Menakar Perdagangan Karbon dari Kacamata Keadilan Iklim

Menakar Perdagangan Karbon dari Kacamata Keadilan Iklim

Tepat pada 26 September 2023, Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan bursa karbon sebagai salah satu langkah Indonesia dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca demi memerangi krisis iklim dunia. 

Terkait dengan hal ini, OJK sendiri telah menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (SEOJK 12/2023) sebagai aturan teknis dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023.

Sederhananya, bursa karbon merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon atau catatan kepemilikan unit karbon. Sistem inilah yang diharapkan Pemerintah Indonesia mampu menjadi salah satu instrumen untuk memerangi krisis iklim yang sifatnya makin genting. 

Kendati demikian, perlu diketahui bahwa krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan sekadar menurunkan emisi global, tetapi juga harus ditanggulangi secara berkeadilan. Tidak dapat dimungkiri, krisis iklim terjadi akibat pembangunan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan tanpa memperhatikan batas kemampuan Bumi. Penguasaan sumber daya yang terpusat pada segelintir ‘elit’ mendorong pola produksi dan konsumsi menjadi semakin tidak terkendali, yang akhirnya meningkatkan emisi karbon.

Untuk mewujudkan keadilan iklim, segala upaya untuk menurunkan emisi dan membatasi kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5 ℃ harus dilakukan secara demokratis dan tidak terpusat pada kekuatan ‘elit’

Lantaran ketidakadilan ini, masyarakat miskin dan rentan selalu menjadi kelompok yang menerima dampak terburuk dari keadaan. Mulai dari fenomena kekeringan, kelaparan, kehilangan tempat tinggal, serta berbagai bentuk bencana lainnya, menjadi pil pahit yang harus dinikmati kelompok masyarakat ini.

Meskipun solusi untuk mengatasi krisis iklim banyak bermunculan, akan tetapi justru berpotensi memperlebar jurang ketidakadilan. Situasi ini harus dijawab dengan keadilan iklim, yaitu cara pandang yang menekankan hubungan antara pembangunan berkelanjutan dan hak asasi manusia untuk kehidupan dan lingkungan yang baik dan sehat.

Dalam konteks ini, bursa karbon yang hadir sebagai wadah perdagangan karbon hendaknya mampu menjadi solusi konkrit yang tentunya berkeadilan dan berkelanjutan. 

Langkah untuk mengatasi persoalan krisis iklim melalui perdagangan karbon harus dipastikan berkeadilan, berintegritas, dan konsisten pada tujuan awal. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini tentu lantaran adanya ketakutan bahwa perdagangan karbon yang niat awalnya ingin menyelesaikan persoalan krisis iklim, malah lebih fokus untuk menyedot pundi-pundi rupiah sehingga meminggirkan keadilan dari proses perdagangan itu sendiri. 

Terkait hal ini, Yayasan Madani Berkelanjutan mencoba menyigi perdagangan karbon melalui kajian dengan judul “Menakar Perdagangan Karbon dari Kacamata Keadilan Iklim” yang dapat diunduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini:

Related Article

Menyambut Perubahan dari Pertalite ke Pertamax Green 92: Antara Harapan Lingkungan dan Tantangan Berkelanjutan

Menyambut Perubahan dari Pertalite ke Pertamax Green 92: Antara Harapan Lingkungan dan Tantangan Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) mengumumkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menggantikan Pertalite, salah satu jenis bahan bakar yang umum digunakan, dengan Pertamax Green 92. Langkah ini telah menarik perhatian masyarakat dan memunculkan berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.

Tindakan berani yang diambil oleh pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Kebijakan ini muncul setelah adanya kajian yang dikenal sebagai Program Langit Biru Tahap 2, yang bertujuan untuk menggalakkan penggunaan Pertamax Green sebagai pengganti Pertalite, dengan tujuan utama mengurangi dampak lingkungan dari sektor energi. Namun, ketika kita memeriksa lebih rinci, ada sejumlah aspek penting yang perlu diperhatikan lebih mendalam.

Kesenjangan antara Konsep “Green” dan Penurunan Tingkat Polusi

Konsep “green” merujuk pada pendekatan yang berfokus pada perlindungan lingkungan dan keberlanjutan. Ini mencakup praktik, produk, teknologi, dan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat. Di sisi lain, penurunan tingkat polusi berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah polutan yang dibuang ke lingkungan, baik melalui udara, air, atau tanah. Perlu diketahui bahwa kandungan emisi gas buang Pertalite berada lebih rendah dari Premium dan lebih tinggi dari Pertamax yaitu pada putaran mesin 3000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 5.5% dan pada putaran mesin 5000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 4.5%.

Meski Pertamax Green mengklaim dirinya sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan, pertanyaannya adalah sejauh mana “green” dalam produk ini sebanding dengan dampak nyata penurunan polusi? Apakah Pertamax Green hanyalah hasil dari strategi pemasaran yang cerdik, dengan bahan aditif yang ditambahkan sebagai upaya kosmetik tanpa adanya perubahan fundamental dalam komposisi bahan bakar atau teknologi pembakaran? Jika demikian, maka dampaknya terhadap pengurangan emisi polusi akan diragukan. Untuk mencapai penurunan tingkat polusi, diperlukan langkah-langkah yang lebih dalam seperti pengembangan bahan bakar yang lebih bersih atau pengadopsian teknologi pembakaran canggih.

Oleh karena itu, tanggung jawab juga ada pada pemerintah untuk memverifikasi bahwa produk seperti Pertamax Green tidak hanya menggembirakan dari perspektif promosi lingkungan, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam mengurangi jejak karbon dan mengendalikan polusi udara. Dengan memastikan adanya solusi yang lebih substantif, pemerintah bisa memastikan bahwa janji-janji lingkungan tidak hanya sekadar retorika, tetapi juga mendorong perubahan yang positif dalam perjuangan global melawan polusi dan perubahan iklim.

Tata Niaga Biofuel (Ethanol) Harus Dibarengi dengan Perhitungan Matang dari Sisi Feedstock

Pengembangan dan penerapan Biofuel (etanol) untuk Pertamax Green memerlukan pendekatan yang cermat, terutama dalam hal mengelola stok bahan baku yang diperlukan. Peningkatan produksi biofuel yang tidak terencana dapat memiliki konsekuensi yang merugikan, terutama dalam hal persediaan pangan yang dapat berdampak langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan suatu negara.

Ketika mempertimbangkan implementasi massal Biofuel (etanol), pemerintah dan pemangku kepentingan harus menjalankan analisis mendalam tentang ketersediaan bahan baku yang digunakan untuk produksi biofuel tersebut. Melalui penghitungan matang stok bahan baku, implementasi biofuel (etanol) dalam Pertamax Green dapat diarahkan menuju solusi yang berkelanjutan dan efektif. Dengan perencanaan yang cermat dan kolaborasi yang baik, dampak negatif terhadap ketahanan pangan dan lingkungan dapat diminimalkan, sementara manfaat biofuel sebagai sumber energi terbarukan tetap dapat direalisasikan.

Mendesak agar Indonesia Memiliki Dedicated Area untuk Feedstock BBN

Dalam konteks perkembangan Pertamax Green, meningkatnya kebutuhan untuk feedstock Biofuel menjadi semakin penting. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat terhadap penggunaan lahan serta memastikan bahwa perluasan feedstock biofuel tidak mengabaikan sektor lain yang memiliki tingkat kepentingan yang setara. Pendirian dedicated area yang khusus untuk produksi feedstock BBN mungkin dapat menjadi alternatif solusi, namun langkah ini juga harus didukung oleh pertimbangan yang cermat mengenai dampaknya terhadap keselarasan penggunaan lahan dan keberlanjutan lingkungan.

Keberhasilan penerapan dedicated area untuk feedstock BBN akan tergantung pada kualitas perencanaan dan pelaksanaannya. Selain itu, pendekatan ini juga harus mencerminkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk ilmuwan, kelompok petani, organisasi lingkungan, dan sektor swasta. Dengan pendekatan yang matang dan terpadu, Indonesia dapat memastikan bahwa pengembangan feedstock BBN tidak hanya berkontribusi pada tujuan energi terbarukan, tetapi juga terjaga keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Keputusan pemerintah untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 adalah langkah yang signifikan dalam upaya menuju bahan bakar yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan Pertamax Green menjadi angin segar dalam menghadapi tantangan lingkungan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, untuk mencapai perubahan yang nyata dan bermakna, kebijakan ini harus lebih dari sekadar slogan “Green” dan memperhatikan implikasi praktisnya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat secara menyeluruh.

kebijakan ini juga perlu dievaluasi dengan cermat, dan implementasinya harus disertai dengan perencanaan yang matang untuk mengatasi tantangan seperti penurunan polusi yang efektif, pengelolaan stok bahan baku biofuel, dan pengalokasian lahan yang bijak untuk feedstock BBN. Kesadaran dan partisipasi publik juga akan memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan lingkungan.

Related Article

ANCAMAN KARHUTLA DI KALA EL-NINO MENERPA: UPDATE KARHUTLA INDONESIA JANUARI-AGUSTUS 2023

ANCAMAN KARHUTLA DI KALA EL-NINO MENERPA: UPDATE KARHUTLA INDONESIA JANUARI-AGUSTUS 2023

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melanda berbagai daerah di Indonesia sejak beberapa bulan lalu. MADANI Berkelanjutan mengkaji tren-tren karhutla di Indonesia selama Januari—Agustus 2023 dan menemukan beberapa temuan kunci berikut:

  1. Akumulasi angka Area Indikatif Terbakar di Indonesia selama Januari—21 Agustus  2023 telah mencapai 262 ribu ha. Angka ini sudah melampaui luas lahan terbakar tahun lalu, yakni 204 ribu ha. Karena El-Nino diprediksi BMKG akan mencapai puncaknya pada Agustus—September, angka karhutla dikhawatirkan masih akan meningkat tajam apabila upaya penanggulangan karhutla kurang intensif.

  2. Kenaikan luas Area Indikatif Terbakar yang cukup ekstrem terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dengan kenaikan 30 kali lipat pada Agustus 2023 dibandingkan Juni 2023. Sementara itu, dua (2) dari sepuluh (10) provinsi dengan total Area Indikatif Terbakar terluas, yaitu Aceh dan Papua, belum menetapkan status Siaga Darurat Karhutla.

  3. Angka Area Indikatif Terbakar di wilayah izin dan konsesi melejit berkali-kali lipat selama Juni—Agustus. Luas AIT di izin perkebunan sawit naik 24 kali lipat, di PBPH-HA (logging) naik 17 kali lipat, di PBPH-HT (hutan tanaman) dan konsesi minerba masing-masing naik 15 kali lipat, dan di konsesi migas naik 10 kali lipat.

  4. Meskipun turun dibandingkan tahun sebelumnya, masih tingginya Area Indikatif Terbakar di wilayah ekosistem gambut, PIPPIB, dan PIAPS tetap harus menjadi perhatian karena merupakan area prioritas untuk dilindungi.

Baca selengkapnya dengan unduh publikasi di bawah.

Related Article

Perdagangan Karbon Harus Dijalankan Secara Berkeadilan

Perdagangan Karbon Harus Dijalankan Secara Berkeadilan

Perdagangan karbon harus diletakkan dalam upaya mencapai NZE (Net Zero Emission) Indonesia karena pada dasarnya perdagangan karbon hanya satu dari banyak instrumen untuk membantu penurunan emisi. Hal ini disampaikan oleh Knowledge Management Manager MADANI Berkelanjutan, Anggalia Putri, saat Serial TalkShop Menjaga yang Tersisa: “Menakar Kebijakan Perdagangan Karbon di Indonesia dari Kacamata Keadilan Iklim” pada 1 Agustus 2023 di Jakarta.

Menjelang Bursa Karbon diluncurkan Pemerintah Indonesia pada September 2023, semarak perdagangan karbon tanah air makin meriah. Banyak pihak mulai melihat peluang ganda dari proses ini karena tidak hanya dinilai dapat membantu mengatasi krisis iklim, tetapi juga membantu meraih pendapatan dari pemanfaatan potensi hutan yang ada.

Kendati demikian, publik tidak boleh kehilangan arah karena esensi perdagangan karbon bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Anggalia Putri, biasa dipanggil Anggi, menambahkan bahwa keadilan iklim juga harus menjadi napas perdagangan karbon karena dampak perubahan iklim dirasakan lebih dan semakin berat oleh kelompok-kelompok rentan.

“Sebenarnya, tidak hanya perdagangan karbon, tetapi seluruh aksi penanggulangan perubahan iklim harus adil terutama untuk kelompok masyarakat yang paling rentan”, tegas Anggi.

TalkShop yang kali ini berformat chatham house dihadiri oleh berbagai penanggap yang mewakili pemerintah, akademisi, praktisi, dan pelaku bisnis perdagangan karbon.

Beberapa ahli berpandangan bahwa perdagangan karbon di Indonesia akan berfokus pada pembiayaan untuk menurunkan emisi. Pembiayaan untuk mencapai target NDC hanya bisa ditanggung APBN kurang dari 30%, sehingga perdagangan karbon dibutuhkan untuk menambah pendanaan ini. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dari kelompok pelaku usaha bisa menutup kekurangan dana tersebut.

Salah satu peserta diskusi mengatakan bahwa pasar karbon sendiri diciptakan untuk membuat penurunan emisi menjadi lebih murah, bukan untuk menurunkan emisi secara langsung, sehingga perlu ada kebijakan khusus untuk mendorong penurunan emisi.

Sementara itu, peserta yang lain juga menjelaskan bahwa keadilan dalam proses perdagangan karbon juga patut menjadi perhatian pemerintah. “Ada ketidakadilan berupa perdagangan karbon yang merusak di lokasi yang berbeda dengan lokasi ‘offset’, seharusnya di lokasi yang ada industri ekstraktif juga ada aksi [‘offset’], bukan hanya di luar areanya. Pelaku [emisi] itu harus menanggung beban paling banyak sementara yang paling rentan itu harus dapat manfaat yang paling besar,” jelas salah satu peserta.

Perdagangan karbon memang seharusnya dijalankan secara berkeadilan agar tidak sekadar membantu pengurangan emisi dalam rangka menanggulangi krisis iklim, tetapi juga memberikan rasa adil bagi pihak-pihak yang dirugikan oleh para pengemisi.

Dapatkan materi kegiatan ini lewat tautan di bawah.

Related Article

id_IDID