Madani

Tentang Kami

Perundingan Iklim Global Berakhir Tanpa Mandat Tegas Akhiri Bahan Bakar Fosil: Haruskah Kita Mempersiapkan Kematian Bumi?

Perundingan Iklim Global Berakhir Tanpa Mandat Tegas Akhiri Bahan Bakar Fosil: Haruskah Kita Mempersiapkan Kematian Bumi?

Siaran Pers, 14 Desember 2023Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir (13/12) tanpa mandat tegas untuk mengakhiri bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia diminta untuk menggalakkan komitmen iklim dalam negeri serta bersuara lebih keras mendesak negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka. Masa depan negosiasi iklim harus dipimpin oleh negara-negara berkembang, negara-negara miskin, dan negara-negara yang paling terdampak krisis iklim.

COP-28 Dubai adalah momen penting di mana negara-negara mendapatkan “rapor buruk”  dalam capaian kolektif mereka dalam mengatasi krisis iklim yang mengancam nasib generasi mendatang. Keputusan COP 28 juga terlihat kontradiktif dan timpang; yang menyebut diri  harus selaras dengan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa menetapkan target yang cukup ambisius.

Hasil penilaian global atau global stocktake (GST) menemukan bahwa implementasi kebijakan dalam komitmen iklim (NDC) negara-negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris hanya akan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 2% pada 2030 dibandingkan tingkat tahun 2019. Padahal, untuk memastikan laju peningkatan global tidak lebih dari batas aman 1,5C pada akhir abad ini, emisi GRK global harus turun sebesar 50% pada 2030 dan mencapai net zero emissions pada 2050.

“Dunia sangat kecewa karena COP 28 tidak menghasilkan mandat tegas untuk mengakhiri (phasing out) bahan bakar fosil, yaitu batubara, minyak bumi, dan gas alam. Meski ada seruan untuk beralih dari energi fosil untuk mencapai net zero sekitar tahun 2050, banyak sekali hal-hal kompromis seperti penggunaan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), transitional fuels yang tidak jelas definisi batasannya, bahkan memasukkan  nuklir sebagai solusi,” ujar Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Apabila benar-benar mengacu kepada ilmu pengetahuan, dunia harus mengurangi penggunaan batubara sebesar 95%, minyak bumi 60%, dan gas alam 45% pada 2050. 

Lambannya aksi iklim membuat masyarakat semakin terjepit dalam menghadapi berbagai dampak krisis iklim, seperti cuaca panas ekstrim, banjir, gelombang tinggi, kekeringan, meluasnya penyakit, hingga hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian, dan bahkan situs budaya. Dampak paling parah dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan – termasuk remaja perempuan- masyarakat adat dan lokal, petani dan nelayan tradisional, serta buruh. Berdasarkan data BNPB, selama 10 tahun terakhir lebih dari 90% bencana yang terjadi adalah bencana terkait iklim dan telah memakan korban lebih dari 32 juta orang.

Sementara itu, dalam agenda Global Goals on Adaptation, COP 28 baru berhasil merumuskan cakupan tujuan adaptasi namun tanpa disertai target yang jelas. Pun, meski ada pengakuan terhadap pengetahuan lokal dalam beradaptasi dan kepemimpinan masyarakat adat dalam beradaptasi, namun tidak disebutkan mengenai perlindungan tenurial sebagai prasyarat adaptasi berbasis pengetahuan lokal dan tradisi.

Untuk memastikan solusi iklim yang adil dan berkelanjutan, seluruh pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat rentan harus dilibatkan secara bermakna. Namun demikian, negara tidak boleh angkat tangan dalam menyelesaikan situasi krisis iklim.

“Pertanyaan paling mendasar adalah siapa pihak yang seharusnya beradaptasi terhadap situasi krisis hari ini? Mereka adalah pemerintah dan korporasi, sebab kebijakan, program serta keputusan politik yang mereka hasilkan justru menghancurkan daya adaptif rakyat, dan aksi mitigasi yang selama ini mereka lakukan,” lanjut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Rencana dan implementasi aksi mitigasi juga harus terintegrasi dengan aksi adaptasi sehingga tidak semakin memperlemah kemampuan masyarakat untuk mempertahankan diri mereka dalam menghadapi dampak krisis iklim. Realita yang terjadi justru sebaliknya, seperti kasus-kasus perusakan masif dalam pemenuhan kebutuhan elektrifikasi yang mengancam pulau-pulau kecil di Indonesia Timur serta pembangunan infrastruktur yang justru menciptakan kasus-kasus mal-adaptasi di Indonesia yang cukup tinggi.

“Meski COP-28 menghasilkan satu keputusan penting terkait dampak krisis iklim yang sudah terjadi dan tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu operasionalisasi pendanaan untuk mengatasi Kehancuran dan Kerusakan atau Loss and Damage. Namun, prosesnya belum memberikan kepastian bagi mereka yang telah mengalami Kehancuran dan Kerusakan. Hal ini menunjukkan masih curamnya jalan menuju keadilan iklim,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Kembali dari Dubai, negara-negara memiliki pekerjaan rumah untuk memperkuat komitmen iklimnya agar selaras dengan target 1,5C.

“Klaim keberhasilan Indonesia menurunkan emisi sebesar 42% seharusnya menjadikan Indonesia lebih berani dan tegas dalam menangani krisis iklim, di antaranya dengan meningkatkan ambisi kontribusi nasional dalam NDC Kedua sesuai target 1,5C,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan.

Abimanyu Sasongko Aji, Manager Program Pendanaan Perubahan Iklim Kemitraan, menambahkan, “perencanaan dan implementasi aksi iklim harus dibuat lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif, terutama terhadap kelompok rentan. Selama ini, aspek inklusif dan partisipatif itu yang seringkali terlupakan.”

Sebagai negara dengan hutan tropis kedua terluas di Dunia, Indonesia menjadikan sektor Kehutanan dan Lahan (Forestry and Land Use/FOLU) sebagai tumpuan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak krisis iklim, terutama dengan semakin meningkatnya kenaikan muka air laut yang dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil dan risiko kehilangan tempat tinggal.

“Delegasi Indonesia yang baru pulang dari perundingan di Dubai harus membuka mata akan realita di lapangan. Hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, dan mangrove pun terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang,” pungkas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL. “Tidak hanya itu, masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat pun masih terus diintimidasi dan dikriminalisasi,” tambah Torry.

Masyarakat sipil mencatat, selama periode 2001-2022 telah terjadi kehilangan 6,5 juta hektare tutupan hutan alam, termasuk mangrove. Seluas 176 ribu hektare di antaranya hilang dalam tiga tahun terakhir (Mapbiomas, 2023). Selain itu, setidaknya terdapat 26 kasus hukum yang dihadapi pembela lingkungan pada 2021, meningkat 10 kasus dibandingkan tahun sebelumnya (Environmentaldefender, 2021).

Masyarakat sipil menuntut agar Indonesia memiliki agenda prioritas dalam penanganan krisis iklim. Pertama, melakukan pemensiunan batu bara lebih cepat termasuk captive coal power plant untuk kepentingan hilirisasi. Kedua, menghentikan deforestasi serta memulihkan dan melindungi seluruh ekosistem alam tersisa dengan menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, bersiap untuk menghadapi bencana iklim yang sudah semakin sering terjadi melalui adaptasi efektif dan berkeadilan, serta menghindari terjadinya maladaptasi. Keempat, menyalurkan pendanaan iklim yang dapat diakses langsung masyarakat terdampak di tingkat tapak. Kelima, pemerintah harus menjamin dan melindungi hak setiap warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, yaitu dengan menghentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada masyarakat pembela lingkungan dan HAM.

Hasil perundingan di Dubai ini memperkuat bukti bahwa negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dalam upaya mengatasi krisis iklim global. “Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara berkembang, miskin, dan terdampak merebut kepemimpinan negosiasi iklim dan bersuara lebih keras menuntut negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka dalam mengurangi emisi GRK, membantu negara-negara berkembang dalam hal beradaptasi, maupun mengatasi kehancuran dan kerusakan atau Loss and Damage akibat krisis iklim,” tutup Nadia.

Narahubung:

 

Seruan untuk Delegasi Republik Indonesia yang Baru Kembali dari Dubai

  1. Kembali ke lapangan: hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, mangrove terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang. Data masyarakat sipil mencatat, selama periode 2001-2022 telah terjadi kehilangan 6,5 juta hektare tutupan hutan alam, termasuk mangrove. Seluas 176 ribu hektare di antaranya hilang dalam tiga tahun terakhir (Mapbiomas, 2023).
  2. Menindaklanjuti dan memasukkan pertimbangan evaluasi GST untuk memperkuat ambisi Second NDC Indonesia sesuai dengan pathway 1,5C dengan implementasi yang lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif. Proses penyusunan Second NDC harus melibatkan kelompok rentan dan paling terdampak, masyarakat sipil, serta pemangku kepentingan di daerah. Second NDC juga harus menekankan kewajiban mitigasi dan adaptasi beserta pendanaannya kepada pihak-pihak yang paling banyak berkontribusi pada krisis.
  3. Selaraskan seluruh rencana, kebijakan, dan proyek pembangunan dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dan peningkatan ketahanan iklim secara berkeadilan serta koreksi mendasar terhadap sistem dan model ekonomi yang tinggi karbon. Hentikan proyek pembangunan yang bertentangan dengan upaya mengatasi krisis iklim seperti Proyek Strategis Nasional untuk perluasan bisnis berbasis lahan dan hasil hutan, antara lain Food Estate, infrastruktur jalan dan bendungan, pembangunan kawasan industri ekonomi baru dan pertambangan, serta pemberian kemudahan kebijakan dan fasilitas pendukung PSN yang justru menurunkan kapasitas adaptif masyarakat, meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca, dan melanggar HAM.
  4. Adaptasi dan mitigasi tidak boleh dilakukan secara terpisah, tapi harus selalu bersama-sama agar aksi mitigasi tidak mengurangi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi dapat berkontribusi pada penurunan emisi dengan alokasi sumber daya pendanaan yang seimbang.
  5. Jalankan transisi energi yang adil dan inklusif, baik dari kebijakan yang mendukung ekosistem hulu ke hilir, pendanaan, terobosan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, partisipasi, kondisi pemungkin, dan akses sumber daya, serta dukung upaya transisi energi yang ditentukan di tingkat lokal dan komunitas. Transisi energi harus memasukkan elemen pengentasan ketidakadilan eksisting serta meninggalkan sistem pengelolaan energi yang eksploitatif. Pentingnya transisi energi tidak hanya terfokus pada pengembalian investasi semata, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai social return of investment.
  6. Lindungi dan pulihkan ekosistem alam  tidak terbatas pada hutan, gambut, ekosistem pesisir, dan laut namun meliputi kekayaan hayati di dalamnya dengan menghentikan alih guna lahan yang menurunkan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi, memicu kepunahan satwa secara cepat dan tidak sesuai dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.
  7. Bersiap dan mengantisipasi bencana iklim yang akan semakin sering terjadi dengan mendorong adaptasi yang dipimpin dan sesuai konteks lokal serta menyiapkan mekanisme penyaluran dana Loss and Damage yang bisa sampai di tingkat lokal. Selain itu, fokus utama dalam prosesnya perlu diberikan pada kelompok rentan, termasuk tapi tidak terbatas pada penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan termasuk remaja perempuan, masyarakat adat, petani, nelayan, buruh dan pekerja (formal dan non-formal).
  8. Akui dan lindungi hak-hak masyarakat adat, petani, dan masyarakat lokal (MAPKL) termasuk hak atas tanah, serta hak-hak kelompok rentan sebagai prakondisi aksi adaptasi dan mitigasi yang efektif. Aksi adaptasi dan mitigasi berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan pengetahuan tradisional dari MAPKL perlu diakui dan diakomodasi selaras dengan pengalaman dan pembelajaran komunitas di masa lalu/lampau dan masa kini.
  9. Lindungi hak-hak seluruh warga melalui uji tuntas hak asasi manusia dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi. Perlindungan juga perlu dilakukan melalui penguatan jaminan atas hak asasi manusia termasuk hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, terutama bagi mereka yang akan terdampak oleh transisi energi termasuk sektor dan para pelaku non-formal yang terdampak dan tidak terlihat dalam sistem. Reformasi atas peraturan perburuhan termasuk UU Cipta Kerja ke arah yang lebih melindungi hak-hak buruh dan hak pekerja adalah sebuah keharusan dalam menjalankan transisi energi.
  10. Hentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada setiap warga yang berupaya untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat untuk generasi kini dan mendatang.
  11. Alihkan aliran pendanaan sektor-sektor yang intensif emisi ke sektor-sektor yang berfokus pada pemulihan dan restorasi lingkungan. Sediakan pendanaan iklim yang tidak hanya adil, tapi juga mudah diakses untuk masyarakat tapak terdampak dan jaringan orang muda yang ingin berpartisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Hindari jebakan utang (“debt trap”) dalam pendanaan iklim.
  12. Pemerintahan baru harus lebih tegas dalam mengantisipasi risiko bencana iklim dan menyusun rencana aksi iklim yang lebih ambisius dan terukur hingga 2030
  13. Memastikan setiap solusi yang diajukan berdampak nyata pada penurunan emisi dan menahan kenaikan temperatur. Menyerahkan solusi hanya pada mekanisme dan kepentingan pasar adalah sebuah kemunduran.
 
 

Related Article

[Siaran Pers] Klaim Penurunan Emisi dan Deforestasi Harus Bermuara Pada Kondisi net-zero Tanpa Bahan Bakar Fosil: Indonesia di COP28

[Siaran Pers] Klaim Penurunan Emisi dan Deforestasi Harus Bermuara Pada Kondisi net-zero Tanpa Bahan Bakar Fosil: Indonesia di COP28

Klaim Penurunan Emisi dan Deforestasi Harus Bermuara Pada Kondisi net-zero Tanpa Bahan Bakar Fosil: Indonesia di COP28

[Siaran Pers, 5 Desember 2023] Klaim kesuksesan Presiden Jokowi terhadap upaya penurunan emisi karbon dan deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun, tidak boleh membuat negara ini lengah terhadap krisis iklim yang makin mengkhawatirkan. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam menanggapi pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G77 dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam rangkaian World Climate Action Summit (WCAS) COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).

Sejumlah data dan fakta terkait dengan kesuksesan Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca dan deforestasi sudah dibeberkan Presiden Jokowi pada COP28. Namun, Indonesia harus tetap tegas menuju titik akhir net-zero emisi dengan menyapih bahan bakar fosil, apalagi mengingat bahwa data dan fakta harus dilihat utuh dari berbagai perspektif”, ujar Nadia.

Laporan terbaru Global Carbon Project (GCP) menunjukkan bahwa di tahun 2023 ini Indonesia menduduki sepuluh besar penyumbang emisi terbesar di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3% dari tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Kenaikan emisi berasal dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.

Di kesempatan sebelumnya, Presiden Jokowi mengklaim kesuksesan Indonesia dalam menurunkan emisi karbon hingga 42 persen pada 2022, dibandingkan dengan perencanaan Business as Usual (BAU) tahun 2015. Jokowi juga menyebut sudah bekerja keras untuk memperbaiki pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Ia menyebut dalam pengelolaan FOLU, Indonesia terus menjaga dan memperluas mangrove dan merehabilitasi hutan dan lahan, serta menurunkan deforestasi pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.

Menurut Nadia dari pencapaian yang disampaikan tersebut, masih banyak catatan dan pekerjaan rumah yang masih tertinggal. “Mencermati klaim penurunan emisi tersebut bersama dengan laporan GCP terbaru, kita menggarisbawahi pentingnya pembukaan data tersebut kepada publik sebagai bentuk transparansi dan memberikan ruang partisipasi bagi publik untuk memvalidasi capaian tersebut di tingkat tapak. Selanjutnya, kita memang harus mengapresiasi keberhasilan pemerintah Indonesia karena telah mampu menekan laju deforestasi. Meskipun demikian, masih banyak ketidaksesuaian antar kebijakan penurunan emisi Indonesia yang justru berpotensi memberikan tekanan untuk pengalihfungsian hutan,” tegas Nadia.

Sebagai contoh, dokumen Enhanced NDC masih memberikan kuota deforestasi 359 ribu hektar per tahun hingga 2030. Padahal untuk mencapai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, sudah tidak ada lagi ruang deforestasi bagi Indonesia hingga 2030. Belum lagi, ketidakselarasan antar target pengurangan emisi dari sektor energi dan kehutanan juga berpotensi memberikan ancaman deforestasi yang lebih lanjut. “Untuk menjalankan kebijakan bauran energi baru terbarukan, salah satunya melalui co-firing biomassa, kebutuhan pelet kayu salah satunya akan dipenuhi melalui hutan tanaman energi. Indonesia melalui kebijakan FOLU Net Sink 2030 mengejar target pembangunan hutan tanaman yang belum terealisasi seluas 6,11 juta hektar. Namun, terdapat catatan hanya ada 2,04 juta hektar yang sudah jelas dapat dikelola. Dari mana selisih kebutuhan tersebut akan diperoleh?” tambah Nadia.

Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan MADANI Berkelanjutan menambahkan bahwa pembangunan hutan tanaman energi untuk memenuhi target co-firing biomassa akan berpotensi menimbulkan deforestasi baru. “Kebijakan pengurangan emisi di sektor energi seharusnya tidak membebani upaya pengurangan emisi di sektor kehutanan dan lahan, agar tidak terjadi trade off pengurangan emisi Indonesia. Saat ini masih terdapat setidaknya 9,7 juta hektar hutan alam yang harus segera dilindungi untuk mencegah situasi di mana emisi hanya dipindahkan dari sektor ke sektor lain.” 

Salma menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan. “Upaya komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim harus dilakukan secara berkeadilan dengan melindungi hak-hak penerima yang paling terdampak dan yang berkontribusi paling sedikit, termasuk buruh, petani, nelayan dan masyarakat adat, dengan memperhatikan hak-hak gender dan sosial, termasuk hak-hak atas tanah, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi pemimpin untuk memberikan contoh konkret bagi perlindungan hutan dan pencapaian komitmen terhadap krisis iklim.

***

Manusia dan Alam untuk Indonesia (MADANI) Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi. Didirikan pada 2016, MADANI Berkelanjutan berupaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Kami merumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. Saat ini, fokus kerja MADANI Berkelanjutan meliputi isu hutan dan iklim, komoditas berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan pada tingkat daerah, dan biofuel.

Related Article

[Siaran Pers] Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

[Siaran Pers] Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023
Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi

[Siaran Pers, 5 Desember 2023] Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menunjukan bahwa Indonesia jadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.

Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.

Siaran Pers selengkapnya dapat diunduh di file di bawah ini.

Related Article

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa berencana menaikkan target pemangkasan emisi karbonnya dari 40% menjadi 55% di 2030. Target ini untuk mencapai tujuan utamanya yaitu nol emisi pada 2050, dan memperkuat statusnya sebagai pemimpin global dalam mencegah perubahan iklim.

Target ini masih dalam pembicaraan dan dapat berubah. Rencana ini membutuhkan persetujuan dari pemerintah negara-negara dan parlemen Uni Eropa. Pemotongan emisi dapat terjadi jika semua negara sepakat untuk memotong emisi karbon dioksida dari sektor industri dan pembangkit listrik. 

Di saat yang sama, Jerman akan menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung. Tahun depan Jerman akan menghentikan secara bertahap energi nuklir dan batu bara, sambil meningkatkan investasi energi terbarukan. Tahun lalu Jerman telah menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung menjadi 25 euro per ton. Langkah tersebut dilakukan setelah Partai Hijau mengkritik harga awalnya yang hanya 10 euro terlalu murah. 

Dampak Harga Karbon Terhadap Emisi Laporan World Economic Forum pada 4 September 2020 menunjukkan hubungan penetapan harga karbon terhadap emisi. Dengan menaikkan harga karbon 1 euro per ton maka terjadi penurunan emisi sebesar 0,3%. Negara-negara yang memakai harga emisi karbon memiliki laju pertumbuhan emisi tahunan 2 poin lebih rendah dibandingkan yang tanpa harga karbon. Tingkat pertumbuhan emisi tahunan rata-rata untuk 142 negara adalah 2%. Rata-rata emisi CO2 turun 2% per tahun selama 2007 sampai 2017 di negara yang memiliki harga karbon. Di negara yang tanpa harga tersebut terjadi peningkatan emisi sebesar 3% per tahun. Perbedaan antara kenaikan 3% dan penurunan 2% per tahun adalah lima poin secara persentase. 

Studi World Economic Forum menemukan sekitar dua poin persentase itu disebabkan oleh harga karbon.  Indonesia mengantongi dana US$ 103,8 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dari Green Climate Fund karena mampu mengurangi emisi gas hingga 20,3 juta ton pada periode 2014 sampai 2016. Dana ini berasal dari skema pembayaran berdasarkan hasil (RBP) dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dana ini nilainya paling besar dibandingkan dengan negara lain dalam skema serupa.

Pemberian dana bagi Kolombia dan Ekuador tercatat paling rendah. Keduanya baru mengurangi emisi gas masing-masing 7 juta ton dan 3,6 juta ton. Negara ini berpotensi memperoleh tambahan dana US$ 160 juta untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund Berdasarkan data KLHK, capaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2017 mencapai 24,7%. Sesuai arahan Presiden, dana-dana REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. 

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh materi yang terlampir di bawah ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

Manfaat Instrumen Ekonomi Karbon Bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim

Manfaat Instrumen Ekonomi Karbon Bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim

[MadaniNews, Jakarta] Dalam Ratas 6 Juli 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan rencana pemerintah untuk mengeluarkan instrumen kebijakan Nilai Ekonomi Karbon untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Instrumen kebijakan ini didasarkan pada perlunya keterlibatan seluruh pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat di tingkat global, nasional, dan lokal untuk menjaga peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius menuju 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu pra industrialisasi. Dalam rencana kebijakan ini, manfaat bagi komunitas disebutkan akan menjadi salah satu penekanan.

Untuk membahas lebih mendalam terkait dengan nilai ekonomi karbon, Yayasan Madani Berkelanjutan yang bekerja sama dengan KKI Warsi, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Kemitraan menggelar diskusi virtual yang mengangkat tema “Rencana Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon: Potensi Manfaat serta Dampaknya bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim?” pada 12 Agustus 2020.

Dalam diskusi tersebut, Direktur Pengembangan Strategis Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengungkap bahwa ada 4 hal yang perlu dipastikan dalam aturan mengenai nilai ekonomi karbon. Keempat nilai tersebut yakni transisi cepat ke ekonomi rendah karbon, pengurangan emisi secara actual, hutan alam dan keanekaragaman hayati terlindungi, dan masyarakat menjadi subjek bukan objek.

Diskusi ini dihadiri oleh beberapa narasumber yakni, Peneliti dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto, Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudy Syaf, dan Presiden Direktur PT.Rimba Makmur Utama (RMU), Dharsono Hartono. Kemudian, hadir juga sebagai penanggap diskusi, Perwakilan dari Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto, dan Perwakilan Komunitas Pengelola Hutan, Rio Laman Panjang Kabupaten Bungo, Jamris.

Peneliti BKF, Joko Tri Haryanto menyebut bahwa prinsip dasar dari nilai ekonomi karbon (NEK) adalah sebagai instrumen untuk mendukung pencapaian target NDC. Joko juga mengatakan bahwa perlu adanya kesempatan bagi banyak pihak untuk berkolaborasi, hal ini disebabkan oleh kapasitas fiskal negara yang terbatas. Opsi insentif bagi para pemangku kepentingan yang berperilaku positif dalam mendukung target pemenuhan komitmen perubahan iklim juga harus menjadi perhatian khusus.

Direktur Eksekutif KK Warsi, Rudy Syaf menyampaikan pentingnya keterlibatan komunitas dalam mekanisme pasar karbon. Rudy Syaf mengatakan bahwa keterlibatan tersebut bukan hanya memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat, tapi juga memberikan kelestarian untuk lingkungan khususnya hutan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT.Rimba Makmur Utama (RMU), Dharsono Hartono menyampaikan perspektif dari pelaku usaha terhadap nilai ekonomi karbon. Sebagai pegelut usaha yang memberikan jasa lingkungan, Dharsono mengatakan bahwa mengubah cara pandang dan perilaku di tingkat masyarakat dan pemerintah adalah kesulitan utama dalam menjalankan bisnis jasa lingkungan.

Dhasono juga menyebut bahwa kebiasaan petani membakar lahan adalah salah satu persoalan yang ingin dirubah olehnya. Oleh karena itu, RMU pendorong edukasi dengan membuka sekolah agroekologi. Keberlangsungan hidup manusia bergantung pada alam dan kita harus memberikan nilai pada alam. []

Related Article

INGGRIS DIDESAK CEPAT UNTUK MENGURANGI EMISI KARBON

INGGRIS DIDESAK CEPAT UNTUK MENGURANGI EMISI KARBON

Pemberitaan Media edisi Minggu II Maret 2020 memuat tentang desakan kepada pemerintah Inggris untuk menggunakan kebijakan cepat mengurangi emisi karbon, sehingga Inggris dapat memimpin dengan contoh terdepan ketika menjadi tuan rumah KTT iklim di Glasgow pada November 2020.

Pemberitaan lainnya terkait kebakaran hutan dan lahan di Riau yang mulai meningkat. Dan juta terkait grand design upaya pencegahan karhutla yang belum optimal.

Pemberitaan selanjutnya adalah dua hutan adat di Kampar yang telah ditetapkan. Dan hasil penelitian Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) bahwa sedikitnya ada 308 komunitas adat di Riau. Sementara itu, empat desa di Kabupaten Nunukan telah mendapatkan SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Untuk pemberitaan media di Minggu II Maret 2020 selengkapnya dapat diunduh di tautan berikut ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

id_IDID