Madani

Tentang Kami

Menakar Perdagangan Karbon dari Kacamata Keadilan Iklim

Menakar Perdagangan Karbon dari Kacamata Keadilan Iklim

Tepat pada 26 September 2023, Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan bursa karbon sebagai salah satu langkah Indonesia dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca demi memerangi krisis iklim dunia. 

Terkait dengan hal ini, OJK sendiri telah menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (SEOJK 12/2023) sebagai aturan teknis dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023.

Sederhananya, bursa karbon merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon atau catatan kepemilikan unit karbon. Sistem inilah yang diharapkan Pemerintah Indonesia mampu menjadi salah satu instrumen untuk memerangi krisis iklim yang sifatnya makin genting. 

Kendati demikian, perlu diketahui bahwa krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan sekadar menurunkan emisi global, tetapi juga harus ditanggulangi secara berkeadilan. Tidak dapat dimungkiri, krisis iklim terjadi akibat pembangunan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan tanpa memperhatikan batas kemampuan Bumi. Penguasaan sumber daya yang terpusat pada segelintir ‘elit’ mendorong pola produksi dan konsumsi menjadi semakin tidak terkendali, yang akhirnya meningkatkan emisi karbon.

Untuk mewujudkan keadilan iklim, segala upaya untuk menurunkan emisi dan membatasi kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5 ℃ harus dilakukan secara demokratis dan tidak terpusat pada kekuatan ‘elit’

Lantaran ketidakadilan ini, masyarakat miskin dan rentan selalu menjadi kelompok yang menerima dampak terburuk dari keadaan. Mulai dari fenomena kekeringan, kelaparan, kehilangan tempat tinggal, serta berbagai bentuk bencana lainnya, menjadi pil pahit yang harus dinikmati kelompok masyarakat ini.

Meskipun solusi untuk mengatasi krisis iklim banyak bermunculan, akan tetapi justru berpotensi memperlebar jurang ketidakadilan. Situasi ini harus dijawab dengan keadilan iklim, yaitu cara pandang yang menekankan hubungan antara pembangunan berkelanjutan dan hak asasi manusia untuk kehidupan dan lingkungan yang baik dan sehat.

Dalam konteks ini, bursa karbon yang hadir sebagai wadah perdagangan karbon hendaknya mampu menjadi solusi konkrit yang tentunya berkeadilan dan berkelanjutan. 

Langkah untuk mengatasi persoalan krisis iklim melalui perdagangan karbon harus dipastikan berkeadilan, berintegritas, dan konsisten pada tujuan awal. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini tentu lantaran adanya ketakutan bahwa perdagangan karbon yang niat awalnya ingin menyelesaikan persoalan krisis iklim, malah lebih fokus untuk menyedot pundi-pundi rupiah sehingga meminggirkan keadilan dari proses perdagangan itu sendiri. 

Terkait hal ini, Yayasan Madani Berkelanjutan mencoba menyigi perdagangan karbon melalui kajian dengan judul “Menakar Perdagangan Karbon dari Kacamata Keadilan Iklim” yang dapat diunduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini:

Related Article

Menyambut Perubahan dari Pertalite ke Pertamax Green 92: Antara Harapan Lingkungan dan Tantangan Berkelanjutan

Menyambut Perubahan dari Pertalite ke Pertamax Green 92: Antara Harapan Lingkungan dan Tantangan Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) mengumumkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menggantikan Pertalite, salah satu jenis bahan bakar yang umum digunakan, dengan Pertamax Green 92. Langkah ini telah menarik perhatian masyarakat dan memunculkan berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.

Tindakan berani yang diambil oleh pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Kebijakan ini muncul setelah adanya kajian yang dikenal sebagai Program Langit Biru Tahap 2, yang bertujuan untuk menggalakkan penggunaan Pertamax Green sebagai pengganti Pertalite, dengan tujuan utama mengurangi dampak lingkungan dari sektor energi. Namun, ketika kita memeriksa lebih rinci, ada sejumlah aspek penting yang perlu diperhatikan lebih mendalam.

Kesenjangan antara Konsep “Green” dan Penurunan Tingkat Polusi

Konsep “green” merujuk pada pendekatan yang berfokus pada perlindungan lingkungan dan keberlanjutan. Ini mencakup praktik, produk, teknologi, dan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat. Di sisi lain, penurunan tingkat polusi berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah polutan yang dibuang ke lingkungan, baik melalui udara, air, atau tanah. Perlu diketahui bahwa kandungan emisi gas buang Pertalite berada lebih rendah dari Premium dan lebih tinggi dari Pertamax yaitu pada putaran mesin 3000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 5.5% dan pada putaran mesin 5000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 4.5%.

Meski Pertamax Green mengklaim dirinya sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan, pertanyaannya adalah sejauh mana “green” dalam produk ini sebanding dengan dampak nyata penurunan polusi? Apakah Pertamax Green hanyalah hasil dari strategi pemasaran yang cerdik, dengan bahan aditif yang ditambahkan sebagai upaya kosmetik tanpa adanya perubahan fundamental dalam komposisi bahan bakar atau teknologi pembakaran? Jika demikian, maka dampaknya terhadap pengurangan emisi polusi akan diragukan. Untuk mencapai penurunan tingkat polusi, diperlukan langkah-langkah yang lebih dalam seperti pengembangan bahan bakar yang lebih bersih atau pengadopsian teknologi pembakaran canggih.

Oleh karena itu, tanggung jawab juga ada pada pemerintah untuk memverifikasi bahwa produk seperti Pertamax Green tidak hanya menggembirakan dari perspektif promosi lingkungan, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam mengurangi jejak karbon dan mengendalikan polusi udara. Dengan memastikan adanya solusi yang lebih substantif, pemerintah bisa memastikan bahwa janji-janji lingkungan tidak hanya sekadar retorika, tetapi juga mendorong perubahan yang positif dalam perjuangan global melawan polusi dan perubahan iklim.

Tata Niaga Biofuel (Ethanol) Harus Dibarengi dengan Perhitungan Matang dari Sisi Feedstock

Pengembangan dan penerapan Biofuel (etanol) untuk Pertamax Green memerlukan pendekatan yang cermat, terutama dalam hal mengelola stok bahan baku yang diperlukan. Peningkatan produksi biofuel yang tidak terencana dapat memiliki konsekuensi yang merugikan, terutama dalam hal persediaan pangan yang dapat berdampak langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan suatu negara.

Ketika mempertimbangkan implementasi massal Biofuel (etanol), pemerintah dan pemangku kepentingan harus menjalankan analisis mendalam tentang ketersediaan bahan baku yang digunakan untuk produksi biofuel tersebut. Melalui penghitungan matang stok bahan baku, implementasi biofuel (etanol) dalam Pertamax Green dapat diarahkan menuju solusi yang berkelanjutan dan efektif. Dengan perencanaan yang cermat dan kolaborasi yang baik, dampak negatif terhadap ketahanan pangan dan lingkungan dapat diminimalkan, sementara manfaat biofuel sebagai sumber energi terbarukan tetap dapat direalisasikan.

Mendesak agar Indonesia Memiliki Dedicated Area untuk Feedstock BBN

Dalam konteks perkembangan Pertamax Green, meningkatnya kebutuhan untuk feedstock Biofuel menjadi semakin penting. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat terhadap penggunaan lahan serta memastikan bahwa perluasan feedstock biofuel tidak mengabaikan sektor lain yang memiliki tingkat kepentingan yang setara. Pendirian dedicated area yang khusus untuk produksi feedstock BBN mungkin dapat menjadi alternatif solusi, namun langkah ini juga harus didukung oleh pertimbangan yang cermat mengenai dampaknya terhadap keselarasan penggunaan lahan dan keberlanjutan lingkungan.

Keberhasilan penerapan dedicated area untuk feedstock BBN akan tergantung pada kualitas perencanaan dan pelaksanaannya. Selain itu, pendekatan ini juga harus mencerminkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk ilmuwan, kelompok petani, organisasi lingkungan, dan sektor swasta. Dengan pendekatan yang matang dan terpadu, Indonesia dapat memastikan bahwa pengembangan feedstock BBN tidak hanya berkontribusi pada tujuan energi terbarukan, tetapi juga terjaga keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Keputusan pemerintah untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 adalah langkah yang signifikan dalam upaya menuju bahan bakar yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan Pertamax Green menjadi angin segar dalam menghadapi tantangan lingkungan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, untuk mencapai perubahan yang nyata dan bermakna, kebijakan ini harus lebih dari sekadar slogan “Green” dan memperhatikan implikasi praktisnya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat secara menyeluruh.

kebijakan ini juga perlu dievaluasi dengan cermat, dan implementasinya harus disertai dengan perencanaan yang matang untuk mengatasi tantangan seperti penurunan polusi yang efektif, pengelolaan stok bahan baku biofuel, dan pengalokasian lahan yang bijak untuk feedstock BBN. Kesadaran dan partisipasi publik juga akan memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan lingkungan.

Related Article

ANCAMAN KARHUTLA DI KALA EL-NINO MENERPA: UPDATE KARHUTLA INDONESIA JANUARI-AGUSTUS 2023

ANCAMAN KARHUTLA DI KALA EL-NINO MENERPA: UPDATE KARHUTLA INDONESIA JANUARI-AGUSTUS 2023

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melanda berbagai daerah di Indonesia sejak beberapa bulan lalu. MADANI Berkelanjutan mengkaji tren-tren karhutla di Indonesia selama Januari—Agustus 2023 dan menemukan beberapa temuan kunci berikut:

  1. Akumulasi angka Area Indikatif Terbakar di Indonesia selama Januari—21 Agustus  2023 telah mencapai 262 ribu ha. Angka ini sudah melampaui luas lahan terbakar tahun lalu, yakni 204 ribu ha. Karena El-Nino diprediksi BMKG akan mencapai puncaknya pada Agustus—September, angka karhutla dikhawatirkan masih akan meningkat tajam apabila upaya penanggulangan karhutla kurang intensif.

  2. Kenaikan luas Area Indikatif Terbakar yang cukup ekstrem terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dengan kenaikan 30 kali lipat pada Agustus 2023 dibandingkan Juni 2023. Sementara itu, dua (2) dari sepuluh (10) provinsi dengan total Area Indikatif Terbakar terluas, yaitu Aceh dan Papua, belum menetapkan status Siaga Darurat Karhutla.

  3. Angka Area Indikatif Terbakar di wilayah izin dan konsesi melejit berkali-kali lipat selama Juni—Agustus. Luas AIT di izin perkebunan sawit naik 24 kali lipat, di PBPH-HA (logging) naik 17 kali lipat, di PBPH-HT (hutan tanaman) dan konsesi minerba masing-masing naik 15 kali lipat, dan di konsesi migas naik 10 kali lipat.

  4. Meskipun turun dibandingkan tahun sebelumnya, masih tingginya Area Indikatif Terbakar di wilayah ekosistem gambut, PIPPIB, dan PIAPS tetap harus menjadi perhatian karena merupakan area prioritas untuk dilindungi.

Baca selengkapnya dengan unduh publikasi di bawah.

Related Article

Perdagangan Karbon Harus Dijalankan Secara Berkeadilan

Perdagangan Karbon Harus Dijalankan Secara Berkeadilan

Perdagangan karbon harus diletakkan dalam upaya mencapai NZE (Net Zero Emission) Indonesia karena pada dasarnya perdagangan karbon hanya satu dari banyak instrumen untuk membantu penurunan emisi. Hal ini disampaikan oleh Knowledge Management Manager MADANI Berkelanjutan, Anggalia Putri, saat Serial TalkShop Menjaga yang Tersisa: “Menakar Kebijakan Perdagangan Karbon di Indonesia dari Kacamata Keadilan Iklim” pada 1 Agustus 2023 di Jakarta.

Menjelang Bursa Karbon diluncurkan Pemerintah Indonesia pada September 2023, semarak perdagangan karbon tanah air makin meriah. Banyak pihak mulai melihat peluang ganda dari proses ini karena tidak hanya dinilai dapat membantu mengatasi krisis iklim, tetapi juga membantu meraih pendapatan dari pemanfaatan potensi hutan yang ada.

Kendati demikian, publik tidak boleh kehilangan arah karena esensi perdagangan karbon bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Anggalia Putri, biasa dipanggil Anggi, menambahkan bahwa keadilan iklim juga harus menjadi napas perdagangan karbon karena dampak perubahan iklim dirasakan lebih dan semakin berat oleh kelompok-kelompok rentan.

“Sebenarnya, tidak hanya perdagangan karbon, tetapi seluruh aksi penanggulangan perubahan iklim harus adil terutama untuk kelompok masyarakat yang paling rentan”, tegas Anggi.

TalkShop yang kali ini berformat chatham house dihadiri oleh berbagai penanggap yang mewakili pemerintah, akademisi, praktisi, dan pelaku bisnis perdagangan karbon.

Beberapa ahli berpandangan bahwa perdagangan karbon di Indonesia akan berfokus pada pembiayaan untuk menurunkan emisi. Pembiayaan untuk mencapai target NDC hanya bisa ditanggung APBN kurang dari 30%, sehingga perdagangan karbon dibutuhkan untuk menambah pendanaan ini. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dari kelompok pelaku usaha bisa menutup kekurangan dana tersebut.

Salah satu peserta diskusi mengatakan bahwa pasar karbon sendiri diciptakan untuk membuat penurunan emisi menjadi lebih murah, bukan untuk menurunkan emisi secara langsung, sehingga perlu ada kebijakan khusus untuk mendorong penurunan emisi.

Sementara itu, peserta yang lain juga menjelaskan bahwa keadilan dalam proses perdagangan karbon juga patut menjadi perhatian pemerintah. “Ada ketidakadilan berupa perdagangan karbon yang merusak di lokasi yang berbeda dengan lokasi ‘offset’, seharusnya di lokasi yang ada industri ekstraktif juga ada aksi [‘offset’], bukan hanya di luar areanya. Pelaku [emisi] itu harus menanggung beban paling banyak sementara yang paling rentan itu harus dapat manfaat yang paling besar,” jelas salah satu peserta.

Perdagangan karbon memang seharusnya dijalankan secara berkeadilan agar tidak sekadar membantu pengurangan emisi dalam rangka menanggulangi krisis iklim, tetapi juga memberikan rasa adil bagi pihak-pihak yang dirugikan oleh para pengemisi.

Dapatkan materi kegiatan ini lewat tautan di bawah.

Related Article

Pemerintah Luncurkan Pertamax Green 95 dari Tetes Tebu: Penganekaragaman Sumber Bahan Bakar Nabati Perlu Diperluas

Pemerintah Luncurkan Pertamax Green 95 dari Tetes Tebu: Penganekaragaman Sumber Bahan Bakar Nabati Perlu Diperluas

Jakarta, 18/07/2023–Pada akhir Juli 2023, PT Pertamina berencana meluncurkan bahan bakar Pertamax Green 95 yang merupakan campuran antara bensin Pertamax dengan bioetanol berbahan dasar tetes tebu. MADANI Berkelanjutan memandang bahwa kebijakan tersebut bisa membawa Indonesia satu  langkah lebih dekat kepada transisi energi dan  kemandirian energi apabila ditindaklanjuti dengan penganekaragaman sumber bahan bakar nabati.

PT Pertamina melalui anak perusahaan PT Pertamina Niaga akan mulai mengedarkan secara terbatas Pertamax Green 95 yang terbuat dari campuran bensin Pertamax (95%) dengan bioetanol (5%) pada Juli ini. Bioetanolnya berbahan dasar molase atau tetes tebu yang merupakan produk sampingan atau sisa dari proses pembuatan gula.

“Campuran energi berkelanjutan Indonesia masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, inovasi berbahan dasar tetes tebu ini bisa dilihat sebagai langkah kecil awal menuju  pemanfaatan sumber-sumber bahan bakar berkelanjutan lainnya, terutama yang berasal dari residu atau limbah,” jelas Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, dalam menanggapi peluncuran Pertamax Green 95.

Ini bukan kali pertama PT Pertamina membaurkan bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati (BBN). Sejak 2008, PT Pertamina mencampurkan diesel dengan biodiesel berbahan dasar minyak sawit yang baurannya saat ini mencapai 35%, sesuai dengan kebijakan B35 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sampai saat ini, minyak sawit adalah satu-satunya bahan baku BBN yang pemanfaatannya mendapatkan mandat dan insentif dari pemerintah.

“Ekspansi perkebunan sawit masih memiliki risiko sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, selagi terus memperbaiki tata kelola sawit, pemerintah juga perlu mengoptimalkan penggunaan aneka sumber bahan baku dalam pengembangan BBN generasi kedua, yang berasal dari sampah atau limbah. Sumber-sumber lain tersebut bisa berupa minyak jelantah; tongkol jagung; tetes tebu, seperti yang digunakan Pertamax Green 95; limbah-limbah pertanian; dan lain sebagainya,” terang Giorgio Budi Indrarto.

Giorgio Budi Indrarto juga menekankan bahwa diversifikasi atau penganekaragaman sumber bahan bakar sejalan dengan target Indonesia untuk beralih kepada energi berkelanjutan dalam rangka mengurangi emisi. Di dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, Indonesia menargetkan agar, pada tahun 2050, BBN menyumbang 46% dari total energi sektor transportasi.

“Pencapaian target LTS-LCCR 2050 tersebut memerlukan andil berbagai bahan baku agar Indonesia tidak bergantung kepada minyak sawit saja. Karena ketergantungan berlebihan terhadap satu bahan baku memiliki banyak risiko dari sisi ekonomi, sosial dan ekologi,” tambah Giorgio Budi Indrarto.

Selain mendukung transisi energi, Giorgio Budi Indrarto juga menyoroti keunggulan lain dari diversifikasi bahan baku BBN, yakni mendukung kemandirian energi. “Diversifikasi bahan baku BBN merupakan wujud upaya memaksimalkan sumber daya energi domestik yang kemudian bisa memberikan stimulus bagi perekonomian di berbagai daerah. Perlu diingat, berbagai daerah di Indonesia memiliki potensi sumber BBN yang berbeda-beda yang patut, tetapi belum, dikembangkan,” jelas Giorgio Budi Indrarto.

Menutup responnya, Giorgio Budi Indrarto juga mendorong masyarakat untuk memilih bahan bakar yang berkelanjutan. “Dengan cara tersebut, masyarakat bisa ambil andil dalam meningkatkan demand domestik terhadap energi berkelanjutan.”

Masyarakat dan Alam Indonesia (MADANI) Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi. Didirikan pada 2016, MADANI Berkelanjutan berupaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Kami merumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. Saat ini, fokus kerja MADANI Berkelanjutan meliputi isu hutan dan iklim, komoditas berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan pada tingkat daerah, dan biofuel.

                                                                                      ###

Kontak media: Luluk Uliyah, Media & Stakeholder Engagement MADANI Berkelanjutan, via  surel: luluk@madaniberkelanjutan.id.

Related Article

PANGGILAN ALAM – JELAJAHI UJUNG KULON BERSAMA MADANI BERKELANJUTAN

PANGGILAN ALAM – JELAJAHI UJUNG KULON BERSAMA MADANI BERKELANJUTAN

Mau Ikut Jelajah Alam bersama Madani Berkelanjutan di Ujung Kulon? Gratis, Lho!

Madani Berkelanjutan mengajak orang-orang muda yang peduli terhadap lingkungan untuk ikut kegiatan jelajah alam bernama “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” ke Taman Nasional Ujung Kulon pada 16-23 Juli 2023.

Selain gratis, para peserta juga tentunya bisa memperkaya pengetahuan tentang perubahan iklim, krisis iklim, dan hubungannya dengan masyarakat lokal LANGSUNG dari masyarakat Ujung Kulon. 

Peserta juga akan diajak berpetualang ke berbagai lokasi indah dan must-visit di Taman Nasional Ujung Kulon, termasuk pantai & hutan 😍 

Kegiatan ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan diri, memperluas relasi, dan membangun jiwa kepemimpinan. Tentunya, kalian juga akan menjadi bagian dari #SobatMadani yang dekat dengan kami! 

Yuk, daftarkan dirimu segera untuk ikut dalam “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” dan mari jelajahi Ujung Kulon! Daftarkan dirimu sebelum 3 Juli 2023, ya!

Isi survey ini terlebih dahulu lalu daftarkan dirimu sekarang juga melalui https://forms.gle/sYSnoDx4oJpzXJEN7

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

RISIKO PENGRUSAKAN HUTAN MENINGKAT JELANG PEMILU 2024, ISU LINGKUNGAN WAJIB DIPRIORITASKAN PEMERINTAH DAN PARA PESERTA PEMILU

Perlindungan lingkungan hidup dalam rangka menanggulangi krisis iklim, termasuk perlindungan hutan serta lahan dan hak-hak masyarakat adat serta kelompok rentan, harus menjadi perhatian dalam momen politik 2024. Komitmen politik para calon legislatif dan eksekutif perlu tercermin tidak hanya selama periode pencalonan, tetapi harus berlanjut pasca pemilihan. Pemerintah saat ini juga perlu berkomitmen tinggi untuk mencegah “obral” izin pembukaan lahan yang kerap terjadi pada tahun-tahun politik sebelumnya.

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

MENEROPONG KEBIJAKAN IKLIM DALAM TAHUN POLITIK

MENEROPONG KEBIJAKAN IKLIM DALAM TAHUN POLITIK

Sepanjang 2022, terdapat banyak perkembangan berarti terkait agenda perubahan iklim. Berbagai kesepakatan global yang memuat agenda perubahan iklim pada Konferensi Tingkat Tinggi G20, COP27 UNFCCC, dan COP15 UNCBD harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmen, kebijakan, dan aksi iklim di dalam negeri.

Pemerintah Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca melalui
Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Namun, masih terdapat banyak catatan pada kebijakan-kebijakan sektoral untuk mencapai target tersebut, terutama pada sektor Kehutanan dan Lahan (Forest and Other Land Uses/FOLU) dan Energi yang menjadi dua sektor kunci.

Pada sektor energi, beberapa kebijakan yang masih banyak menghadapi tantangan dalam konteks penurunan emisi adalah penghentian bertahap penggunaan batubara, kontroversi kebijakan bioenergi, serta lika-liku pengesahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

Untuk sektor FOLU, berbagai kebijakan pembangunan yang digenjot pasca Undang-Undang Cipta Kerja seperti Proyek Strategis Nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional berpotensi berbenturan dengan rencana ambisius Indonesia dalam perlindungan hutan alam tersisa.

Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan pendukung untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC), yaitu Nilai Ekonomi Karbon. Namun, masih banyak catatan terhadap rencana implementasinya, terutama terhadap mekanisme perdagangan karbon; kurangnya pelibatan masyarakat, hak atas karbon komunitas, pelaksanaan rambu pengaman sosial dan lingkungan, dan risiko pelemahan ambisi karena diperbolehkannya offset emisi
adalah beberapa di antaranya.

Dalam geliat tahun politik, ada tiga hal krusial yang harus diantisipasi. Pertama, potensi meningkatnya pemberian izin usaha eksploitatif yang dapat merusak hutan alam menjelang dan setelah masa pemilihan. Kedua, menyempitnya ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan selama beberapa tahun ke belakang yang menjadikan kebijakan yang di Indonesia masih abai terhadap hak-hak masyarakat. Ketiga, kontinuitas kebijakan iklim dalam periode pemerintahan selanjutnya. Harus dipastikan bahwa berbagai kebijakan penurunan emisi, perlindungan hutan alam, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal terus dijalankan dan diperkuat pada periode pemerintahan berikutnya, siapapun yang akan terpilih.

Baca selengkapnya dengan unduh publikasi di bawah.

Related Article

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

In this paper, Madani compares the definitions of forest, deforestation, degradation, methodologies of calculating deforestation, and finally, deforestation figures from the following institutions: the Food and Agriculture Organization (FAO), the Ministry of Environment and Forestry (MoEF), and several Civil Society Organizations (CSO) while highlighting points of contentions among these institutions.

In defining forests, one of the main points of contention is the minimum limit of tree cover to be called forest, namely between 10 to 30%.

Another point of contention is the categorization of timber plantation as forest. CSOs in this study argue that timber plantation should not be included in the forest land class/category because they are monoculture and more akin to a plantation rather than biodiverse forest. CSOs fear that the inclusion of timber plantations to forest land class will conceal destruction of natural forests to make way to timber plantations, especially Industrial Timber Plantation, which is one of the main drivers of the natural forests’ loss in Indonesia.

Another point of contention is the dichotomy of natural forests into primary and secondary forests, in which the protection of secondary forests is weaker than primary natural forests. CSOs in this study are pushing for indiscriminate protection of natural forests without dichotomizing them into primary and secondary natural forests, especially in the context of halting new permits permanently.

The next point of contention highlighted in this study pertains to different definitions of primary forest used by the MoEF (Ministry of Environment and Forestry) and GFW (Global Forest Watch). GFW uses a broader definition for primary forests with deforestation values close to the overall value of natural forest deforestation coming from the MoEF.

When defining deforestation, some CSOs oppose the use of ‘net deforestation’ that has been used and highlighted by the government of Indonesia in their official public communications. Aside from the fact that the loss of forests in one area cannot be replaced by forest replanting in other areas due to the functions they serve, CSOs fear that this definition will conceal the destruction of natural forests converted into timber plantations, especially Industrial Timber plantations.

READ ALSO: Madani Insight Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Related to deforestation figures, the number of natural forest loss between 2006-2018 published by the MoEF is much lower than the number published by FWI (Forest Watch Indonesia). The MoEF data show a declining trend in terms of gross deforestation and the loss of natural forest in the period of 2006-2018. In contrast, FWI data show an increasing trend in the rate of natural forest loss in the same period.

For 3 periods (2011-2012, 2012-2013, and 2013-2014), the rate of natural forest loss published by the MoEF was close to the primary forest loss figures published by GFW. Both data sets from MoEF and GFW show a declining trend in terms of natural forest loss during the 2006-2018 period. However, while MoEF shows a declining trend in terms of gross deforestation in 2006-2018, the Tree Cover Loss data from GFW shows an opposing trend in the 2006-2018 period, keeping in mind that the definition of ‘Tree Cover Loss’ and ‘deforestation’ are not interchangeable.

When cross-examining spatial and statistical data published by MoEF, Madani’s analysis confirmed the MoEF’s data consistency in terms of gross deforestation. However, the consistency of natural forest loss and net deforestation data could not be confirmed due to limited access of natural forest loss and reforestation data.

Lastly, there are unanswered questions about the different definition of natural forest loss used by the MoEF in the Deforestation Book and in constructing FREL for REDD+. The study found that the rates of natural forest loss used in FREL construction are higher than the ones cited in the Deforestation Book for the following periods: 2006-2009, 2009-2011, and 2011-2012 where data were available.

To navigate the deforestation maze, different institutions that possess and produce different data and conclusions regarding the number and trends of deforestation need to sit together and publicly expose their methodology and sources to provide clearer information for the public regarding the current status and condition of Indonesia’s forests and to put more objectivity in assessing Indonesia’s success in reducing deforestation.

Get more about Madani Insight “Navigating The Deforestation Maze Comparison of Various Definitions And Figures Relating to Deforestation In Indonesia” by downloading the available report. 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

id_IDID