Madani

Tentang Kami

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

Pada 6 Desember 2022, Parlemen dan Dewan Uni Eropa menyepakati aturan terkait produk-produk bebas deforestasi sebagai bentuk kontribusi negara-negara Eropa dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia dan mengendalikan perubahan iklim.

Aturan ini mewajibkan beberapa komoditas seperti cokelat, kopi, karet, kedelai, kayu, daging sapi, hingga sawit yang menjadi salah satu unggulan ekspor Indonesia, harus lulus beberapa persyaratan seperti harus berasal dari lahan yang bebas dari deforestasi, kejelasan legalitas, sampai dengan ketertelusuran hingga ke kebun, sebelum masuk ke pasar Eropa.

Aturan ini mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Di satu sisi, regulasi ini dinilai positif lantaran dibuat dengan alasan upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia. Di sisi lain, regulasi ini dinilai tidak bersahabat karena dianggap akan memberikan dampak buruk secara ekonomi, apalagi dibuat di tengah ketidakpastian ekonomi bahkan resesi yang mengancam banyak negara. 

Sebelum regulasi ini diresmikan, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah menggelar diskusi terfokus multipihak pada Selasa dan Rabu, 8-9 November 2022 di Jakarta untuk menanggapi rencana Uni Eropa atas kebijakan ini dengan mengusung tema “Menuju Keberterimaan Sawit Berkelanjutan di Pasar Eropa: Menakar Kesiapan Para Pihak Menghadapi Aturan Uji Tuntas Uni Eropa terkait Produk-Produk Bebas Deforestasi”.

Pandangan Para Pihak

Dalam diskusi multipihak tersebut, beberapa pandangan, baik positif maupun negatif mengapung ke permukaan. Dari sisi positif, peserta diskusi menganggap bahwa regulasi ini memiliki peluang berupa insentif maupun harga yang tinggi dari pasar Uni Eropa untuk para pelaku pasarnya. Kemudian, regulasi ini juga dinilai dapat mendukung upaya perlindungan hutan, adanya peluang kemitraan untuk mendukung petani, meningkatkan serta memperkuat upaya membangun tata kelola sawit yang berkelanjutan melalui penguatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), membantu Indonesia dalam membangun sistem ketertelusuran nasional, dan mempercepat perjanjian bilateral. 

Di sisi lain, regulasi ini dinilai dapat membatasi akses pasar Indonesia. Kemudian, motif regulasi yang tidak murni untuk melindungi hutan, kemungkinan dampak buruk bagi petani swadaya dan pendapatan daerah, bahkan dapat menciptakan keresahan sosial. Tidak hanya itu, perbedaan definisi deforestasi dan petani sawit swadaya juga menjadi pertanyaan, ditambah lagi dengan kemungkinan biaya yang besar untuk memenuhi persyaratan uji tuntas. Bahkan, dalam diskusi juga terkemuka pandangan untuk mempertimbangan pasar lain selain Eropa.

Pentingnya Keberpihakan Kepada Pekebun Swadaya

Studi Madani di 4 kabupaten penghasil sawit menemukan bahwa petani atau pekebun swadaya masih menghadapi tantangan untuk memenuhi syarat legalitas dan ketertelusuran  atau traceability. Dari lebih dari 500 pekebun swadaya yang disurvei, indeks kesiapan mereka dalam memenuhi rencana aturan ini berada dalam rentang 40,4-50,5% yang berarti “kurang siap” hingga “cukup siap.” 

Pekebun swadaya masih kesulitan untuk memenuhi persyaratan legalitas usaha, yakni Surat Tanda Daftar Budidaya atau STD-B dan surat pemantauan dan pengelolaan lingkungan atau SPPL. Selain itu, pekebun juga menghadapi tantangan memenuhi legalitas lahan dalam bentuk Surat Hak Milik (SHM) yang disyaratkan dalam sertifikasi ISPO. 

Pekebun swadaya juga menghadapi tantangan dalam ketertelusuran karena rantai pasok yang panjang dan banyaknya pekebun yang belum melakukan pencatatan saat melakukan transaksi. Di empat kabupaten yang di studi, hanya 0,17% responden yang memiliki akses penjualan TBS langsung ke perusahaan (PKS) maupun melalui koperasi. Panjangnya rantai pasok TBS ini juga mengurangi keuntungan pekebun. Selain itu, hanya 12,82% responden yang memiliki catatan penjualan di setiap transaksi. 

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten.

Selain itu, dari diskusi ini juga mengemuka beberapa pendapat terkait dengan kebutuhan, baik dari sisi pekebun maupun pemerintah daerah untuk dapat mengikuti aturan ini. Bagi pekebun sendiri sebagai pihak yang dianggap paling terdampak, hal yang paling dibutuhkan adalah insentif pasar maupun harga jual komoditas yang terbaik. Hal ini tentu berkait dengan sulitnya bagi pekebun untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. 

Kemudian, penting bagi pekebun untuk mendapatkan dukungan untuk memenuhi persyaratan seperti legalitas termasuk juga untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dukungan untuk praktik perkebunan yang baik, penguatan kelembagaan, bantuan operasional untuk mendukung ketertelusuran yang baik, dan mendorong kemitraan yang adil dengan perusahaan sebagai kunci membenahi ketertelusuran. 

Sementara itu, pemerintah daerah membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memahami regulasi ini. Pemerintah daerah juga perlu dukungan untuk memitigasi risiko terhadap pendapatan daerah, memberikan dukungan kepada petani untuk mencegah keresahan sosial, membantu masyarakat untuk mencari mata pencaharian alternatif saat ekspansi tidak diperbolehkan, serta untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan terkait, baik dalam hal pemahaman, anggaran, maupun sumber daya manusia. 

Mengapa Kemitraan yang Inklusif Penting 

Dengan adanya banyak kebutuhan untuk memenuhi regulasi bebas deforestasi ini, pihak Uni Eropa sebagai pembuat kebijakan harus mengedepankan prinsip kemitraan yang inklusif dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan di negara produsen sehingga kedua belah pihak, baik Uni Eropa sendiri maupun negara produsen, sama-sama diuntungkan. 

Tidak semata-mata upaya membersihkan rantai pasok Uni Eropa dari deforestasi, kebijakan ini juga seharusnya diartikan sebagai sebuah stimulus yang mampu mendongkrak perbaikan dalam negeri bagi negara-negara yang terdampak kebijakan ini. 

Pemerintah Indonesia telah menginisiasi beberapa inisiatif yang perlu didukung untuk mengurangi deforestasi dan mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan, antara lain Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang mencakup penguatan data perkebunan sawit, peningkatan kapasitas pekebun, pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian konflik, dan percepatan ISPO serta peningkatan akses pasar. 

Pemerintah juga telah menyatakan target mencapai net sink di sektor hutan dan lahan pada 2030 (Indonesia Net Sink FOLU) yang dapat mengurangi deforestasi lebih jauh melalui implementasi Rencana Operasionalnya. Penguatan standar ISPO dan sistem ketertelusuran sawit nasional pun sangat perlu didukung.  

Tanpa adanya perbaikan tata kelola dalam negeri yang didukung kemitraan, produk-produk terkait deforestasi memang tidak akan masuk ke pasar Eropa, namun, dapat berpindah ke pasar yang lain. Ini jelas bukan solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi lahan di dunia.

Penulis: Delly Ferdian

Editor: Anggalia Putri

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten di sini.

Related Article

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa berencana menaikkan target pemangkasan emisi karbonnya dari 40% menjadi 55% di 2030. Target ini untuk mencapai tujuan utamanya yaitu nol emisi pada 2050, dan memperkuat statusnya sebagai pemimpin global dalam mencegah perubahan iklim.

Target ini masih dalam pembicaraan dan dapat berubah. Rencana ini membutuhkan persetujuan dari pemerintah negara-negara dan parlemen Uni Eropa. Pemotongan emisi dapat terjadi jika semua negara sepakat untuk memotong emisi karbon dioksida dari sektor industri dan pembangkit listrik. 

Di saat yang sama, Jerman akan menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung. Tahun depan Jerman akan menghentikan secara bertahap energi nuklir dan batu bara, sambil meningkatkan investasi energi terbarukan. Tahun lalu Jerman telah menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung menjadi 25 euro per ton. Langkah tersebut dilakukan setelah Partai Hijau mengkritik harga awalnya yang hanya 10 euro terlalu murah. 

Dampak Harga Karbon Terhadap Emisi Laporan World Economic Forum pada 4 September 2020 menunjukkan hubungan penetapan harga karbon terhadap emisi. Dengan menaikkan harga karbon 1 euro per ton maka terjadi penurunan emisi sebesar 0,3%. Negara-negara yang memakai harga emisi karbon memiliki laju pertumbuhan emisi tahunan 2 poin lebih rendah dibandingkan yang tanpa harga karbon. Tingkat pertumbuhan emisi tahunan rata-rata untuk 142 negara adalah 2%. Rata-rata emisi CO2 turun 2% per tahun selama 2007 sampai 2017 di negara yang memiliki harga karbon. Di negara yang tanpa harga tersebut terjadi peningkatan emisi sebesar 3% per tahun. Perbedaan antara kenaikan 3% dan penurunan 2% per tahun adalah lima poin secara persentase. 

Studi World Economic Forum menemukan sekitar dua poin persentase itu disebabkan oleh harga karbon.  Indonesia mengantongi dana US$ 103,8 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dari Green Climate Fund karena mampu mengurangi emisi gas hingga 20,3 juta ton pada periode 2014 sampai 2016. Dana ini berasal dari skema pembayaran berdasarkan hasil (RBP) dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dana ini nilainya paling besar dibandingkan dengan negara lain dalam skema serupa.

Pemberian dana bagi Kolombia dan Ekuador tercatat paling rendah. Keduanya baru mengurangi emisi gas masing-masing 7 juta ton dan 3,6 juta ton. Negara ini berpotensi memperoleh tambahan dana US$ 160 juta untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund Berdasarkan data KLHK, capaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2017 mencapai 24,7%. Sesuai arahan Presiden, dana-dana REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. 

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh materi yang terlampir di bawah ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

Lembar Fakta: ‘Larangan’ Impor Minyak Sawit Indonesia oleh Uni Eropa

Lembar Fakta: ‘Larangan’ Impor Minyak Sawit Indonesia oleh Uni Eropa

Lembar fakta ini menangkap sejumlah sisi keresahan publik Indonesia mengenai Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa mengenai usulan penghapusan kontribusi bahan bakar nabati berbahan dasar minyak kelapa sawit. Pemerintah dan industri kelapa sawit Indonesia telah bereaksi cukup keras dan tegasatas isu ini, termasuk dalam liputan media massa. Lembar fakta ini disusun oleh delapan organisasi masyarakat sipil yang aktif mengupayakan perbaikan tata kelola sawit di Indonesia, serta menjawab kegelisahan sejumlah pihak mengenai keberlangsungan bisnis lini ini.Tim Penyusun:
1. Anggalia Putri Permatasari (Yayasan Madani Berkelanjutan), anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id
2. Teguh Surya (Yayasan Madani Berkelanjutan), teguh.surya@madaniberkelanjutan.id
3. Giorgio Budi Indarto (Spesialis Kebijakan Hutan dan Perkelapasawitan), giorgio.gbi@gmail.com
4. Abimanyu Sasongko Aji (Kemitraan), abimanyu.aji@kemitraan.or.id
5. Isna Fatimah (Indonesian Center for Environmental Law/ICEL), isna@icel.or.id
6. Mardi Minangsari (Kaoem Telapak), minangsari@gmail.com
7. Kania Mezariani (Institute for Policy Research and Advocacy/ELSAM), kania@elsam.or.id

Related Article

id_IDID