Madani

Tentang Kami

Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Hasil COP26 tak memuaskan bagi pencapaian target dunia untuk keluar dari Krisis Iklim. Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret yang bisa berkontribusi bagi bumi. Dengan semangat kolaborasi dan pelibatan aktor non pemerintah, langkah konkret akan lebih mudah diimplementasikan. 

Jakarta, 18 November 2021. Conference of the Parties ke-26 (COP26) UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, telah berakhir pada 13 November 2021. Pertemuan itu menghasilkan Pakta Iklim Glasgow, namun belum memuaskan banyak pihak. Usaha untuk menyelamatkan bumi dari Krisis Iklim, perlu melibatkan banyak pihak agar kerja menyelamatkan bumi lebih konkret, bisa dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan. 

COP26 menghasilkan Pakta Iklim Glasgow. Poin-poin penting dari Pakta Iklim Glasgow antara lain, mengakui bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara selama ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet, tidak cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri. Kedua, secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil, utamanya batu bara. Ketiga, penegasan akan perlunya komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim. 

Namun, untuk bisa keluar dari Krisis Iklim dan mencegah dampak yang lebih besar di masa depan, hasil COP26 ini memang masih jauh dari harapan dan dinilai masih mengecewakan. Menurut Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, COP26 memang memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Tapi implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Menurut Dewi, Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim. “Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujarnya. NDC adalah dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. Dalam COP26 ditekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Peran NPS (non-party stakeholders) seperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, swastas, harus dibuka. Agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan. “Kuncinya semua sektor harus dilibatkan,” kata Dewi.  

Utamanya sektor energi.  Salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara. Dalam Pakta iklim Glasgow, gagal menghentikan penggunaan batubara secara penuh. Batu bara selama ini adalah penyebab karbon yang memicu pemanasan global. Pada menit-menit akhir penandatanganan draf kesepakatan, India dan Cina melobi untuk melemahkan penghentian secara penuh itu. Kedua negara itu bersikeras menghapus kata “menghentikan” penggunaan batubara dan menggantinya dengan kata “mengurangi” secara bertahap.

Masalah bantuan dana dari negara-negara maju juga berpengaruh bagi Indonesia. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, secara akumulatif Indonesia butuh dana sebesar Rp3.779,63 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2030. Dari biaya adaptasi iklim sebanyak Rp3.779,63 triliun itu, pos paling besar adalah sektor transportasi dan energi. Porsinya sebesar 92 persen atau sekitar Rp3.500 triliun. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya. 

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Tahun 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton, atau 102 persen dari target. Hal ini menunjukkan, dari sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan. 

Batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Fabby menjelaskan, batu bara kontribusi 40 persen pada emisi global. Indonesia memiliki kemajuan dengan rencana akan mempensiunkan dini beberapa PLTU (pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang memakai batu bara. “Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” kata Fabby. 

Langkah peralihan ini bisa dimulai dengan melakukan disinsentif pada sektor yang bergantung pada energi batu bara. Sektor transportasi juga perlu beranjak dari energi fosil. Agar bumi tak makin kotor karena emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Di sisi lain, Pemerintah perlu  memberikan insentif pada sektor yang menggunakan energi ramah lingkungan. Sehingga, penggunaan energi hijau makin banyak yang batu bara makin dijauhi. 

COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam. “Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Selain itu, Nadia juga mendorong pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa, dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia. Selain itu, penting untuk mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial. Langkah ini mempunyai potensi untuk berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi restorasi gambut, terutama di area izin dan konsesi serta pemulihan mangrove yang menjadi target pemerintah pada 2021-2024.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin, melalui pencegahan karhutla, manajemen gambut, Moratorium Hutan Alam dan Gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum (law enforcement). Untuk mencapai target net sink FOLU 2030, maka dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah, termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan. “Selain itu, Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki safeguards yang kuat agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tambah Nadia Hadad.

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup dan masyarakat Adat Dayak menjelaskan, COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. “Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka,” ujarnya.  

Menurut Belai, partisipasi kaum muda dalam aksi iklim perlu didefinisikan ulang. Apakah hanya sekadar konsultasi atau sampai ikut terlibat dalam kepemimpinan.  Keterlibatan kaum muda perlu dilembagakan secara nasional. Agar masukan dari kaum muda diperhatikan secara nasional. “Dewan nasional ini  perlu agar anak muda memiliki perwakilan suara yang resmi,” kata Belai. Kerja-kerja itu harus diturunkan dalam aksi yang konkret, detail, dan transparan. Agar tak ada lagi isu ketidak percayaan  dalam kerja-kerja aksi iklim. 

Hasil kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow, tentu akan sia-sia jika hanya digubris oleh para pemerhati iklim. Kepedulian sekecil apapun wujudnya, akan turut membantu memperbaiki bumi.  Mulai mengurangi konsumsi energi atau sekadar mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Kini sudah waktunya bagi kita bergerak menyelamatkan bumi #TimeforActionIndonesia

* * *

Tentang Komunitas

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan. 

Kontak yang bisa dihubungi:

Luluk Uliyah (MADANI): email  luluk@madaniberkelanjutan.id kontak: +62 815-1986-8887

Dewi Rizki (KEMITRAAN): 08118453112

 

Related Article

Krisis Iklim dan Buruknya Tata Kelola Lingkungan

Krisis Iklim dan Buruknya Tata Kelola Lingkungan

Baru-baru ini di media sosial beredar video mengenai banjir bandang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, banjir juga terjadi di Gorontalo, Sulawesi. Di saat yang hampir bersamaan, banjir bandang juga melanda Aceh Utara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menyatakan sebanyak 1.853 jiwa mengungsi di dua titik pengungsian karena banjir melanda daerah itu. Bahkan banjir sudah menjadi ritual tahunan di Ibukota Jakarta.

Pada 2020, banjir yang menenggelamkan Ibukota di awal tahun 2020.  Data Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa hingga 2 Januari 2020 pukul 12.00 WIB, sebanyak 35.557 orang di wilayah Jakarta yang mengungsi. 

Bencana ekologi kini seakan menjadi bagian dari keseharian kita. Banjir, tanah longsor, kabut asap, pencemaran air dan udara sering terjadi di negeri ini. Tak terhitung banyaknya jumlah korban yang berjatuhan akibat bencana ekologi itu.

Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Di Indonesia, bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim. Bencana ekologi itu disebabkan oleh perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari hancurnya daya dukung ekologi di Ibukota. Hancurnya daya dukung ekologi itu adalah dampak dari kebijakan kebijakan pembangunan yang sudah bertahun-tahun. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan oleh maraknya alih fungsi daerah resapan air menjadi kawasan komersial. Hilangnya daerah resapan air ini akan memperbesar volume air larian (run off). Semakin besar volume air larian, akan semakin memperbesar kerentanan kota ini dari banjir. 

Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan setiap 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007).

Pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta. Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Namun, di kawasan itu kini telah muncul  berbagai kawasan komersial. 

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi kawasan komersial. Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.

Kehancuran alam yang menyebabkan bencana ekologi tidak hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis.  Meningkatnya bencana ekologi salah satunya disebabkan karena laju deforestasi di Indonesia mencapai 750.00 hektar per tahun. Namun, kemampuan pemerintah rehabilitasi hutan dan lahan hanya 250.000 hektar per tahun hingga ada kesenjangan angka 500.000 hektar per tahun, yang terus berlipat setiap tahun.

Seperti halnya di Kalimantan, kehancuran hutan di Sumatera juga sangat massif. Di Provinsi Jambi, luas hutan di wilayah yang semula mencapai 2,2 juta hektar kini hanya tersisa sekitar 500.000 hektar. Di Provinsi Lampung, sekitar 65 persen atau 650.000 hektar dari 1,004 juta hektar hutan dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan di Provinsi Aceh juga meningkat. Di provinsi itu, sejak 2006 kerusakan hutan rata-rata 32.200 hektar per tahun.

Menurut data Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, kehancuran hutan Indonesia kira-kira seluas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.

Namun data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) cukup melegakan. Data itu menyebutkan bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha.

Meskipun data dari KLHK menunjukan laju deforestasi mengalami penurunan, Laju deforestasi hutan primer Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Global Forest Watch, laju deforestasi Indonesia masih masuk daftar 10 terbesar di dunia pada tahun 2020. Indonesia menempati posisi keempat, diapit oleh Bolivia dan Peru. Pada tahun 2020, lahan hutan primer Indonesia tercatat berkurang 270 ribu hektare (ha). Bukan sebuah angka kecil bagi upaya menjaga keberlanjutan alam.

Jadi sudah sejak lama pemerintah tutup mata dalam tata kelola lingkungan hidup. Buruknya tata kelola lingkungan hidup yang sudah terjadi sejak lama itu kini berpadu dengan krisis iklim global. Akibatnya sudah bisa ditebak, sebuah bencana ekologi terjadi dengan tak terkendali.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis iklim itu. Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Sebagai warga negara dan juga pembayar pajak kita harus senantiasa mendesak para pemegang kebijakan di negeri ini untuk segera membenahi tata kelola lingkungan hidup yang carut marut. Kita harus menyuarakan ke para pemegang kebijakan itu bahwa, waktu yang penduduk bumi benar-benar makin terbatas untuk mengatasi krisis iklim. Tanpa pembenahan tata kelola lingkungan hidup, bencana ekologi akan menimpa kita semua dengan skala yang masif dan mematikan. 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

From 31 October to 12 November, the UK will host the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) located in Glasgow, Scotland. COP26 aims to accelerate climate action to achieve the goals of the Paris Agreement and the UNFCCC. COP26 is important because this decade is the last opportunity for us to scale up climate action to achieve the 1.5-degree goal.

In order to welcome this grand agenda, civil society organizations, Madani Berkelajutan Foundation, Walhi, Kemitraan, and LTKL took part in the Indonesian pavilion at COP26.

READS ALSO: Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy

One of the activities that will be held is a discussion with the theme Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy, On Tuesday, 9, November 13.20 to 14.40 WIB.

In this discussion, a number of presenters were present, namely the Executive Director of the Partnership, Laode Muhammad Syarif, Adat Women Leaders Ammatoa Kajang Community, Ramlah, Prokilm-Social Forestry of Nagari Sirukam West Sumatra, Selfi Suryani, Head of Gorontalo District, Prof. Nelson Promalingo, Adat Youth Leaders from Dusun Silit West Kalimantan, and Duayam x Krealogi, Hanna Keraf.

Register yourself to take part in the event at the following link www.indonesiaunfccc.com

Related Article

id_IDID