Madani

Tentang Kami

Kemiskinan Membayangi Provinsi Kaya Sawit

Kemiskinan Membayangi Provinsi Kaya Sawit

Meskipun kaya akan sawit, masyarakat yang berada di provinsi dengan tutupan sawit terbesar belum sejahtera. Empat dari sepuluh provinsi kaya sawit memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi dari rata-rata nasional. 

Sumatra Selatan memiliki persentase kemiskinan penduduk tertinggi yang angkanya mencapai 12,6 persen. Tiga provinsi kaya sawit lainnya juga berada di atas rata-rata kemiskinan nasional, yaitu Jambi, Aceh dan Sumatra Utara dengan persentase masing-masing sebesar 10,41 persen, 9,84 persen, dan 8,73 persen. Adapun rata-rata presentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 7,38 persen. 

Selain kemiskinan, ketimpangan ekonomi juga masih terjadi di berbagai daerah kaya sawit. Tujuh dari sepuluh provinsi memiliki rata-rata konsumsi non pangan lebih rendah dari rata-rata nasional. Tak hanya itu, terdapat 18,12 triliun potensi Pajak Bumi Bangunan (PBB) Perkebunan yang tidak terpungut pada 2019 lalu.  

Riset ini telah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

[1000 gagasan] SECURITISE NATURE: PROTEKSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DENGAN MENINGKATKAN VALUE

[1000 gagasan] SECURITISE NATURE: PROTEKSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DENGAN MENINGKATKAN VALUE

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia adalah berkah yang tidak ternilai harganya. Namun, ketidakpahaman atau kesalahpahaman kerap membuat SDA hanya diharga sebatas sudut pandang ekonomi tanpa melihat sisi lainya.  Padahal, SDA sendiri dapat dikatakan sebagai modal yang memberikan layanan kepada banyak orang berupa pelayanan ekosistem ecosystem service. 

Kendati demikian, sangat sulit untuk mengukur nilai SDA berupa pelayanan ekosistem tersebut karena pasar saat ini tidak mengakuinya lantaran tidak terdefinisi. Persoalan ini dinilai banyak pihak sebagai kegagalan pasar yang menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan. Alhasil, wajar jika lingkungan sering dipandang sebelah mata, dinilai tidak penting bahkan cenderung menjadi isu yang dibelakangkan karena dianggap persoalannya dapat dikerjakan dilain hari.  

BACA JUGA: Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan)

Terdapat tiga ide utama dalam mengembangkan pelayanan ekosistem ini sehingga tercipta public privat partnership dalam upaya proteksi SDA. Pertama, perubahan pola pikir SDA sebagai sebuah aset. Kedua, membuka jalan sistem pasar berbasis solusi untuk lingkungan, hutan, dan alam. Ketiga, mengoptimalkan peran private sector dalam penggunaan SDA secara berkelanjutan. 

Oleh: Diah Putri Utami

Japan International Cooperation Agency

 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Pendapat Hukum Atas Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2020 Tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pendapat Hukum Atas Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2020 Tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pada 14 September 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menggantikan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015. Peraturan tersebut tentu memberikan konsekuensi dalam perlindungan hutan alam, ekosistem gambut, masyarakat adat/lokal, dan pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Terkait dengan penggantian peraturan presiden tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan merilis pendapat hukum agar banyak pihak mampu melihat dengan seksama dan secara komprehensif memahami situasi yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. 

Permalasahan hukum yang dilihat dalam kebijakan tersebut adalah terkait dengan apa yang berubah dari Perpres 92 tahun 2020 dibandingkan Perpres 16 tahun 2016. Kemudian, potensi dampak atau implikasi dari perubahan mendasar dari peraturan di atas terhadap seperti 1) pemberian izin-izin kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan sumber daya alam lain; 2) Perlindungan hutan alam; c. Perlindungan ekosistem gambut; d. Perlindungan masyarakat adat dan lokal; dan e. Pencapaian komitmen iklim. 3) Penguatan dan pelemahan kewenangan KLHK.

Dapatkan Pendapat Hukum Atas Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2020 Tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan mengunduh dokumen yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Deforestasi dan Kebakaran Hutan Mengancam 5 Provinsi dengan Tutupan Sawit Terluas

Deforestasi dan Kebakaran Hutan Mengancam 5 Provinsi dengan Tutupan Sawit Terluas

Deforestasi dan kebakaran hutan menjadi ancaman di lima provinsi dengan tutupan sawit terluas di Indonesia. Riau sebagai provinsi dengan tutupan sawit terluas mengalami deforestasi sebesar 24.400 hektare (ha). Selain deforestasi, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di provinsi tersebut sebesar 90.550 ha. Sementara di Sumatera Utara, luas karhutla sebesar 2.514 ha dan angka deforestasi sebanyak 7.080 ha.

Deforestasi tertinggi terdapat di Kalimantan Tengah dengan luas hingga 45.300 ha. Tak hanya deforestasi, luas karhutla di provinsi tersebut mencapai 317.749 ha sepanjang bulan Januari hingga Desember 2019. Adapun Kalimantan Barat menjadi provinsi kedua dengan deforestasi tertinggi dengan luas mencapai 35.700 ha pada 2019 lalu. Sementara luas karhutla di provinsi tersebut mencapai 151.919 ha.

Riset ini telah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

Pendapat Hukum Atas Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 11 Tahun 2020 Tentang Hutan Tanaman Rakyat

Pendapat Hukum Atas Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 11 Tahun 2020 Tentang Hutan Tanaman Rakyat

Pada 12 Mei 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan Peraturan Menteri No. P.11 Tahun 2020 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan tersebut tentu memberikan konsekuensi dalam perlindungan hutan alam dan masyarakat adat/lokal di Indonesia khususnya dalam pemanfaatan hutan sebagai Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Sangat diketahui bahwa pengelolaan Hutan Taman Rakyat di satu sisi dapat berperan sebagai kendaraan pengakuan hak masyarakat adat dan lokal terhadap sumber daya hutan sebagai bagian dari skema perhutanan sosial, namun di sisi lain dapat menjadi pendorong deforestasi dan degradasi hutan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, Yayasan Madani Berkelanjutan merilis pendapat hukum mengenai Peraturan Menteri ini agar dapat menjadi rujukan bagi publik dalam melihat isi dari kebijakan secara komprehensif.

Hal yang menjadi pertanyaan kunci dari kajian ini adalah apa perubahan mendasar dari P. 11 Tahun 2020 dibandingkan pengaturan tentang HTR sebelumnya? Kemudian, potensi dampak atau implikasi dari perubahan mendasar dari kedua peraturan di atas terhadap; pemberian izin-izin kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan sumber daya alam lain, perlindungan hutan alam, perlindungan ekosistem gambut, perlindungan masyarakat adat dan lokal, dan pencapaian komitmen iklim. 

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sendiri adalah pengelolaan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan produksi dan potensi kayu lewat cara-cara silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pengaturan tentang HTR ini pertama kali tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (P.23/2007), yang kemudian digantikan dengan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 (P.55/2011). 

Pada 2016 lahirlah Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No. P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial (P.83/2016) yang di dalamnya mencakup pengaturan tentang HTR, sebelum kemudian pada tahun ini terbit Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No. 11 Tahun 2020 tentang Hutan Tanaman Rakyat (P.11/2020). Dalam HTR sasarannya adalah masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak dan diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan. Pembangunan HTR dilakukan perorangan/kelompok tani atau koperasi masyarakat yang mendapat izin pengelolaan hutan.  

Dapatkan dokumen Pendapat Hukum Atas Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 11 Tahun 2020 Tentang Hutan Tanaman Rakyat dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

5 Provinsi dengan Tutupan Sawit Terbesar

5 Provinsi dengan Tutupan Sawit Terbesar

Menurut data Kementerian Pertanian, terdapat lima provinsi yang memiliki luas tutupan sawit terbesar pada tahun 2019. Riau merupakan provinsi dengan luas tutupan sawit terbesar di Tanah Air dengan luasan mencapai 3,4 juta hektare (ha). Sementara dua provinsi dengan luas tutupan sawit terbesar lainnya adalah Sumatra Utara dan Kalimantan Barat dengan luas masing-masing sebesar 2,1 juta ha dan 1,8 juta ha.

Selain itu, Kalimantan Tengah juga termasuk lima provinsi dengan luas tutupan sawit terbesar dengan luas mencapai 1,7 juta ha. Sementara di Sumatra Selatan luas tutupan sawit mencapai 1,5 juta ha.

Riset ini telah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

Pilkada Usai, Saatnya Untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pilkada Usai, Saatnya Untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pagelaran akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah usai, saatnya move on dan bangkit. Move on berarti legowo atas hasil pilkada serta melupakan benturan politik yang terjadi akibat silang pendapat antar kandidat. Sedangkan bangkit dari keterpurukan adalah bangkit dalam beragam krisis atau krisis multidimensi yang sedang kita hadapi. Krisis tersebut termasuk krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, krisis perekonomian, dan krisis lingkungan akibat semakin memudarnya komitmen terhadap pelestarian alam.

Dari sisi ekonomi, COVID-19 berhasil membuat babak belur perekonomian dunia. Faktnya, hampir semua sektor perekonomian terkapar, bahkan sampai saat ini pemulihan ekonomi masih sangat lamban dan begitu dramatis.

Di Indonesia sendiri, ekonomi 2020 yang awalnya diprediksi akan tumbuh hingga 5,3 persen year on year (yoy) atau lebih tinggi daripada realisasi pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02 persen. Namun nyatanya, ekonomi Indonesia berjalan minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen di tahun 2020. Sungguh catatan yang kelam. Dengan kondisi dan realita yang begitu mengkhawatirkan, Indonesia butuh tidak sekadar kebijakan pemulihan semata, tapi butuh kebijakan yang mampu membawa perubahan yakni dengan melakukan lompatan.

Kita sangat tahu bahwa persoalan krisis kesehatan dan perekonomian harus segera diurai, namun, bukan berarti persoalan lainnya tidak menjadi perhatian bahkan tidak dipedulikan. Oleh sebab itu, tantangan terbesar para pemenang Pilkada 2020 tidak hanya memulihkan kondisi seperti sediakala tapi juga melompati krisis multidimensi.

Krisis Lingkungan

Sebelum pandemi COVID-19 menggerogoti dunia, krisis lingkungan seperti krisis iklim sudah menjadi ancaman nyata yang tidak bisa dielakkan. Cuaca ekstrem sampai dengan bencana yang kerap terjadi, bahkan kemunculan COVID-19 dianggap sebagai bagian dari dampak krisis iklim yang begitu menakutkan.

World Economic Forum dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 sempat menyebut bahwa ekonomi dunia akan terpukul oleh isu-isu lingkungan semakin mengkhawatirkan. Riset ini menyebut isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim, mendominasi menjadi lima besar indikator risiko jangka panjang kategori likelihood sebagai penghambat utama ekonomi global. Kelima indikator tersebut yakni; cuaca ekstrim (extreme weather), kegagalan aksi iklim (climate action failure), bencana alam (natural disaster), hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters).

Di Indonesia sendiri, persoalan krisis lingkungan yang berakibat fatal pada krisis iklim terlihat dari kondisi hutan alam yang kian terancam. Bukan hanya karena ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tapi juga ancaman deforestasi dan ekspansi investasi skala besar, pembukaan lahan, dan banyak ancaman lainnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan terungkap bahwa sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada (pemilihan gubernur dan wakil gubernur) memiliki hutan alam mencapai 21 juta hektar  Sementara 10 kabupaten pelaksana pilkada (pemilihan bupati dan wakil bupati) tercatat memiliki lebih dari 20 juta ha hutan alam.

Kondisi ini tentu menggambarkan bahwa kesembilan provinsi dan 10 kabupaten ini memiliki isu yang sangat besar yakni isu kelestarian hutan dan isu ini seharusnya menjadi gagasan yang ada dalam visi-misi para kandidat. Dari luasan hutan alam secara total tersebut, riset Madani membagi empat tingkatan risiko deforestasi dan degradasi untuk beberapa daerah tersebut. Daerah berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Hasilnya, dari sembilan provinsi tersebut terdapat 12,5 juta hektar hutan alam yang berada pada kategori beresiko; 2,6 juta hektar di tingkat terancam; dan 1,2 juta hektar di tingkat sangat terancam.

Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara menjadi provinsi penyumbang hutan alam terbesar. Sementara kategori paling terancam seluas 2,6 juta hektar juga terdapat di Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan di tingkat kabupaten, 10 kabupaten penyelenggara pilkada dengan hutan alam terluas menyumbang 11,9 juta hektar hutan alam berisiko, 1,23 juta hektar hutan alam terancam, 521 ribu hektar hutan alam sangat terancam, dan 3 juta hektar hutan alam paling terancam.

Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Ancaman terhadap hutan alam tersebut seharusnya menjadi patokan bagi para pemenang pilkada nantinya. Suatu kepastian ekonomi berbasis ekologi atau ekonomi hijau berkelanjutan harus menjadi target agar keluar dari krisis. Menurut hemat penulis, model ekonomi hijau berkelanjutan dapat dimulai dengan menggerakkan beberapa model bisnis yang bersifat kreatif, mendorong inovasi kemandirian, dan tidak sekedar bertumpu pada ekstraktif sumber daya alam, seperti:

Pertama, bisnis jasa lingkungan. Kerusakan lingkungan yang semakin parah akan mendorong menculnya kepedulian atas lingkungan, hal inilah yang membuat bisnis jasa lingkungan di masa yang akan datang mampu tumbuh positif. Misalnya saja, bisnis pengelolaan sampah seperti bank sampah. Selain dapat menyelamatkan mengurangi beban lingkungan atas sampah, bank sampah dapat memberikan manfaat secara perekonomian.

Kedua, perhutanan sosial. Model bisnis perhutanan sosial ini adalah langkah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjaga hutan. Perhutanan sosial sendiri mampu merubah mitos bahwa hutan adalah kutukan menjadi hutan adalah anugerah karena selain bermanfaat untuk menahan dampak perubahan iklim, hutan juga mampu memberikan manfaat secara ekonomis.

Ketiga, pengembangan energi baru terbarukan. Meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi yang ramah lingkungan adalah keniscayaan. Pertimbangan keberlanjutan dari sumber energi adalah faktor utama yang harus diprioritaskan, tentu bergatung dengan sumber daya fossil sudah tidak relevan di tengah krisis seperti saat ini. Beralih ke sumber energi seperti panel surya adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan.

Kini ,sudah saatnya semua pihak sadar bahwa Pilkada Serentak 2020 harus menjadi momentum bagi para kepala daerah terpilih untuk memperkuat komitmen perlindungan lingkungan, hutan, dan alam agar ekonomi hijau berkelanjutan dapat diwujudkan.

Konsep ini bukan hanya membuat perekonomian yang tahan bating oleh krisis tapi juga berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim di Indonesia di sektor kehutanan. Bukankah ini impian kita untuk masa depan?

Oleh: Delly Ferdian

Aktivis di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di mongabay.co.id pada 5 Januari 2020.

Related Article

id_IDID