Madani

Tentang Kami

FOOD TECHNOLOGY STARTUP BERORIENTASI LINGKUNGAN

FOOD TECHNOLOGY STARTUP BERORIENTASI LINGKUNGAN

Dewasa ini, eksistensi perusahaan rintisan (startup) kian menjamur. Dilansir dari laman Tech in Asia yang merupakan salah satu komunitas online pelaku startup di Asia, menyatakan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih kondusif meskipun situasi ekonomi Indonesia saat ini terombang-ambing akibat pandemi. Bahkan masih banyak startup yang mendapatkan pendanaan dari para venture capital meskipun cenderung menurun. Hal yang membedakan ialah saat ini pihak venture capital akan lebih teliti dalam meninjau rencana profitabilitas startup sekaligus potensi sektor yang digelutinya.

Kehadiran inovasi-inovasi teknologi melalui layanan startup di berbagai sektor sangat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, baik skala mikro maupun makro. Menurut riset INDEF, ekonomi digital telah berkontribusi sebesar 5,5% atau sekitar Rp 814 triliun untuk PDB Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan riset yang sama, sektor ekonomi digital juga telah membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru. Menurut laporan yang bertajuk eConomy SEA 2019, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 nanti.

Perhatian yang serius terhadap pertumbuhan startup tentu diperlukan dalam rangka memajukan perekonomian bangsa.  Menurut William Gozali, Ketua I Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), terdapat tiga sektor yang potensial untuk digarap di tahun 2021, yaitu : digitalisasi UMKM, social commerce, dan food technology. 

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Sektor terakhir, food technology startup ataupun food and beverage startup, memang terlihat menjanjikan akhir-akhir ini. Salah satunya ditandai dengan keberhasilan Kopi Kenangan mendapatkan suntikan dana sebesar $109 juta atau setara Rp 1,6 triliun di tengah situasi pandemi. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan model bisnis industri pangan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya terdapat 3 lingkup industri pangan yang perlu didisrupsi dengan menghadirkan inovasi yang lebih ramah lingkungan:

1. Optimalisasi pangan lokal

Mengkonsumsi pangan lokal dapat didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diproduksi di sekitar tempat tinggal. Di Amerika Serikat, para pelakunya disebut sebagai locavore, umumnya mereka mengonsumsi makanan yang diproduksi pada jarak radius 100 mil dari kediaman masing-masing.

Distribusi dan transportasi bahan makanan yang umumnya berjarak jauh berasosiasi terhadap tingginya konsumsi bahan bakar, meningkatnya polusi udara serta emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Dengan mengkonsumsi pangan lokal, dampak buruk tersebut dapat berkurang. Selain itu, mengkonsumsi pangan lokal berarti membantu petani lokal atau pemilik lahan skala kecil yang umumnya mempraktikkan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan dibanding pemilik lahan besar. Umumnya, model produksi petani lokal bersifat agroekologis dan multikultur dan minim pemakaian input kimia sehingga kesuburan tanah lebih terjaga. Konsumsi pangan lokal yang identik dengan diversifikasi pangan juga dapat membantu merawat keanekaragaman varietas genetika (biodiversitas). 

2. Reduksi angka food loss dan food waste

Diperkirakan sepertiga dari total makanan yang diproduksi dunia per tahunnya (sekitar 1,3 miliar ton) terbuang, baik berupa food loss maupun food wasteFood loss merupakan sampah bahan pangan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah sehingga akhirnya dibuang. Penyebabnya bisa berupa terjadinya pembusukan pasca panen, mutu rendah, ataupun permintaan pasar yang rendah. Adapun food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.

Limbah makanan tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dikutip dari FAO, produksi agrikultur bertanggung jawab terhadap 92% water footprint. Water footprint pada suatu produk didefinisikan sebagai total  volume air segar  yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Masalah lingkungan terjadi jika penggunaan air lebih banyak menggunakan blue water (irigasi) daripada green water (air hujan). Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi tanah, penipisan air dan salinisasi. Faktanya, secara global, blue water footprint untuk produksi agrikultur dari makanan yang terbuang mencapai sekitar 250 km3 pada tahun 2007.

Masalah besar lainnya ialah carbon footprint. Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Kedua senyawa tersebut tidak sehat bagi lingkungan karena berpotensi merusak lapisan ozon. Rata-rata carbon footprint yang dihasilkan sekitar 500 kg CO2 per kapita per tahun. Selain itu, limbah pangan juga berasosiasi terhadap pembukaan lahan yang sia-sia. Padahal, pembukaan lahan umumnya mengorbankan penyusutan biodiversitas.

3. Substitusi bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan

Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Penumpukan sampah plastik yang sulit terurai dapat mencemari lingkungan. Polimer sintesis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, dikembangkanlah biodegradable plastic, yaitu plastik yang mudah terurai kembali oleh mikro organisme di tanah menjadi senyawa ramah lingkungan. Biodegradable plastic terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan biodegradable plastic adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Harga biodegradable plastic lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga berpengaruh. 

Ketiga lingkup tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran inovasi berupa food technology startup berorientasi lingkungan dapat menjadi solusi. Layanan digital dapat menghubungkan petani lokal dengan konsumen secara mudah, memungkinkan traceability suatu bahan pangan, mengelola daur ulang sampah makanan secara optimal, mengolah hasil panen bermutu rendah namun masih layak konsumsi, serta menggiatkan penelitian dan pemakaian kemasan ramah lingkungan sehingga harganya lebih terjangkau.

Layanan-layanan di atas merupakan beberapa contoh dari apa yang dapat  dilakukan untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya. Fleksibilitas startup dalam menyusun business model menjadi salah satu keuntungan tersendiri, sehingga dapat dengan cepat mengadopsi sistem perekonomian yang ramah lingkungan. 

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, hingga konsumen. Kini saatnya mengarahkan kemajuan teknologi untuk mentransformasikan sistem pangan dan perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan.  

Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman

Mahasiswa IPB University

Related Article

[1000 gagasan] JALAN TENGAH PENERAPAN EXTENDED PRODUCERS RESPONSIBILITY PRODUSEN PLASTIK

[1000 gagasan] JALAN TENGAH PENERAPAN EXTENDED PRODUCERS RESPONSIBILITY PRODUSEN PLASTIK

Bila suatu waktu mendapati sampah botol plastik berserakan di jalan atau terdampar di bibir pantai, yang pertama kali disalahkan biasanya soal minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan indeks perilaku ketidakpedulian Lingkungan Hidup yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan bahwa 72% orang Indonesia tidak peduli akan sampah. Membuang sampah sembarangan bisa jadi sudah menjadi “budaya” yang biasa kita temui dan menjadi hal yang lumrah.

Tapi, ketidakpedulian soal sampah ini tidak hanya dialamatkan kepada masyarakat. Mereka bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas persoalan sampah botol plastik yang tidak mudah diurai oleh proses alam ini. Jauh sebelum plastik berada di genggaman masyarakat selaku konsumen lalu akhirnya dibuang, ada proses produksi yang sebelumnya dilakukan oleh produsen kemasan atau produk. 

Penentuan soal material kemasan, misalnya air minum dalam kemasan (AMDK) yang digunakan masyarakat adalah tanggung jawab produsen. Karena itu, penentuan material yang ramah atau tidak ramah lingkungan menjadi penting dipertimbangkan untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Tanggung jawab produsen haruslah diperluas, tidak semata sampai pada produksi dan distribusi saja, tetapi lebih dari itu, juga bagaimana memastikan produk tersebut tidak mencemari lingkungan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban produsen. 

Mengenal Extended Producers Responsibility (EPR)

Tanggung jawab yang diperluas ini dikenal sebagai Extended Producers Responsibility (EPR). EPR secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk dari pada fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang.

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Kota yang Berkelanjutan

EPR merupakan mekanisme atau kebijakan di mana produser diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah. Dengan kata lain, produser membantu menanggung biaya untuk mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup barang tersebut.

Pada proses pengembangan dan perancangan produk, keputusan untuk mengurangi dampak lingkungan dari sebuah produk sebenarnya sudah dapat diprediksi. Karena itu, titik awal ini adalah titik yang krusial di mana pengurangan limbah, dan pengaplikasian penggunaan kembali, pengurangan, dan daur ulang produk dapat direncanakan sejak awal. 

Lebih jauh, tujuan dari EPR untuk mempromosikan upaya pembatasan dan pengurangan sampah melalui internalisasi biaya lingkungan dan ekonomi ke dalam kegiatan daur ulang produk, artinya dalam pembuatan suatu produk harus menyertakan biaya lingkungan agar life cycle produk tersebut dapat terjamin. 

Tantangan Penerapan EPR di Indonesia

Kebijakan soal EPR sebenarnya sudah diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya pada Pasal 1 yang berbunyi: “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Walau secara tekstual pasal ini tidak menyebutkan EPR, hadirnya undang-undang ini menjadi landasan hukum untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkannya, adalah salah satu sumber penghasil sampah. 

Namun, walaupun sudah diamanatkan dalam undang-undang, diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012, penerapan EPR belum menjadi mandatori (wajib). EPR masih dilaksanakan secara sukarela. Dalam kacamata produsen, penerapan EPR akan menaikkan ongkos produksi sebuah produk, belum lagi pilihan penggunaan produk yang biodegradable (dapat terurai dengan hayati) yang biayanya tidak murah. Dengan penggunaan produk biodegradable, teknologi yang digunakan juga akan beralih dan ini tentu akan menyulitkan dan tidak efisien secara ekonomi.  

Di samping itu, produsen juga melihat bahwa EPR harus dilihat dalam sebuah ekosistem penanganan yang lebih besar, tidak hanya menjadi kewajiban pihak produsen saja, tetapi pemerintah dan masyarakat punya andil dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam pengelolaan sampah. 

Jalan Tengah Extended Producers Responsibility

Walaupun belum secara masif dilakukan, praktik perluasan tanggung jawab perusahaan sebenarnya sudah mulai diterapkan. Tanggung jawab fisik di mana produsen terlibat dalam pengelolaan fisik produk atau efek dari produk sudah mulai diimplementasikan. Ini dilihat dari mekanisme  Take Back oleh perusahaan seperti penggunaan galon isi ulang air minum kemasan, atau penggunaan botol kaca untuk kemasan minuman menjadi salah satu praktik baik dalam pembatasan timbulan sampah dan bagian yang tidak terpisahkan dari EPR. Di samping itu, mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan dengan mengurangi atau mengganti penggunaan produk plastik dengan penggunaan tumbler, sedotan daur ulang, dan food container menjadi kekuatan bagi penerapan EPR ke depan. 

Namun, dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk tiap tahunnya, mekanisme Take Back belum cukup untuk mengatasi persoalan pelik soal sampah, terutama sampah botol plastik yang sulit diurai alam. Namun, berharap EPR dapat diimplementasikan secara komprehensif tentu bukan perkara mudah. Karena itu perlu jalan tengah untuk menjembatani antara kepentingan perlindungan di satu sisi, dan iklim ekonomi investasi di sisi lain.

BACA JUGA: Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan 

Dalam pembatasan produk botol plastik, produsen dapat mengaplikasikan adanya Water Station yang ditempatkan di supermarket maupun kios warung. Bila penggunaan tumbler oleh individu dan masyarakat sudah mulai masif, masalah yang timbul berikutnya adalah isi ulang air, apalagi bila melakukan aktivitas di luar ruangan. Belum adanya Water Station membuat kebutuhan terhadap botol plastik sekali pakai masih tinggi. Dengan adanya Water Station, konsumen tetap membayar dalam isi ulang air, tetapi tentu lebih murah bila dibandingkan membeli dengan botol plastik, ini akan merangsang individu atau masyarakat untuk beralih ke penggunaan produk berulang ketimbang produk sekali pakai. 

Di samping itu, produsen juga dapat mengimplementasikan Bulk StoreBulk Store adalah semacam swalayan isi ulang produk seperti sabun, shampo dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang selama ini kerap masih menggunakan produk plastik. Dengan adanya Bulk Store, masyarakat cukup membawa kemasan produk yang kosong atau wadah sendiri untuk diisi ulang kembali. Dengan ini tentunya akan mengurangi potensi timbulan sampah plastik. 

Pada akhirnya, walaupun belum komprehensif sejatinya praktik EPR tetap dapat dilaksanakan. Pendekatan perluasan tanggung jawab perusahaan sebaiknya tidak dilihat saat produk tersebut telah diproduksi dan didistribusi saja, namun dengan pembatasan potensi sampah di awal, praktik EPR dapat lebih mudah diimplementasikan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga, berikut pula iklim investasi.

Oleh: Muhammad Wahdini

Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan 

Related Article

[1000 gagasan] SECURITISE NATURE: PROTEKSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DENGAN MENINGKATKAN VALUE

[1000 gagasan] SECURITISE NATURE: PROTEKSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DENGAN MENINGKATKAN VALUE

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia adalah berkah yang tidak ternilai harganya. Namun, ketidakpahaman atau kesalahpahaman kerap membuat SDA hanya diharga sebatas sudut pandang ekonomi tanpa melihat sisi lainya.  Padahal, SDA sendiri dapat dikatakan sebagai modal yang memberikan layanan kepada banyak orang berupa pelayanan ekosistem ecosystem service

Kendati demikian, sangat sulit untuk mengukur nilai SDA berupa pelayanan ekosistem tersebut karena pasar saat ini tidak mengakuinya lantaran tidak terdefinisi. Persoalan ini dinilai banyak pihak sebagai kegagalan pasar yang menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan. Alhasil, wajar jika lingkungan sering dipandang sebelah mata, dinilai tidak penting bahkan cenderung menjadi isu yang dibelakangkan karena dianggap persoalannya dapat dikerjakan dilain hari.  

BACA JUGA: Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan)

Terdapat tiga ide utama dalam mengembangkan pelayanan ekosistem ini sehingga tercipta public privat partnership dalam upaya proteksi SDA. Pertama, perubahan pola pikir SDA sebagai sebuah aset. Kedua, membuka jalan sistem pasar berbasis solusi untuk lingkungan, hutan, dan alam. Ketiga, mengoptimalkan peran private sector dalam penggunaan SDA secara berkelanjutan. 

Oleh: Diah Putri Utami

Japan International Cooperation Agency

 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang lebih dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) kini memasuki periode Dekade Aksi (Decade of Action) pada 2020-2030 sehingga sudah saatnya bagi seluruh negara di dunia terutama negara berkembang (developing countries) dan negara berkembang cepat (emerging markets) untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang mampu mengakomodir 3 prinsip dan kepentingan utama yaitu lingkungan hidup (planet), sosial (people), dan ekonomi (prosperity). Ini menjadi hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi mengingat dinamika global kontemporer yang terjadi memerlukan shifting atau perubahan dalam rangka menciptakan dunia yang lebih baik.  

Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi pembangunan ekonomi dari yang hanya berbasiskan pada aspek eksploitasi sumber daya alam, industri berkapasitas rendah-menengah, dan sektor ekonomi tradisional menuju pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, industri berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, serta ekonomi digital atau elektronik. Tiga hal tersebut menjadi sorotan mengingat status Indonesia yang masih menjadi negara ambang industri, namun memiliki kapasitas ekonomi yang besar dan sangat potensial. Kunci utamanya terletak pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan norma dan prinsip yang mengacu pada perlindungan lingkungan hidup dan ekosistem sehingga menghasilkan ekonomi nasional yang berkelanjutan di mana ekonomi sirkular menjadi salah satu pilar utamanya. 

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Terkait ekonomi sirkular, tiga kutub ekonomi dunia sudah memiliki kebijakannya masing-masing yakni Eropa dengan Green Deal untuk tingkat kawasan (regional), Cina dengan Circular Economy Promotion Law untuk tingkat negara (nasional), dan Amerika Serikat yang menyerahkan kebijakannya di tingkat yang lebih spesifik yakni kota. Hal ini perlu dicermati oleh Indonesia karena penyusunan dan penerapan kebijakan circular economy harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nasionalnya sehingga bersifat holistik, efisien, dan berdampak positif langsung untuk sektor usaha dan masyarakat luas. 

Berdasarkan analisis yang ada saat ini, maka kebijakan di tingkat kota/kabupaten seperti di Amerika Serikat yang lebih tepat karena proses pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian menjadi lebih cepat dan terarah. Terlebih desentralisasi yang terus berkembang semakin memampukan kota/kabupaten untuk memiliki inisiatif-inisiatif kebijakan pembangunan yang lebih progresif dan solutif yang tentunya harus mengadopsi pendekatan banyak pemangku kepentingan (multi-stakeholders approach) sehingga akan lebih komprehensif sekaligus inklusif. Ruang kebijakan yang lebih bebas di tingkat kota/kabupaten akan memacu akselerasi dalam implementasi ekonomi sirkular yang tentunya dapat disinergikan dan diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah. 

Kebijakan ekonomi sirkular yang berorientasi efisiensi sumber daya alam dan minimalisasi sampah sangatlah vital bagi akselerasi pembangunan Indonesia dan membutuhkan banyak dukungan dari sektor usaha (untuk permodalan dan teknis pelaksanaan), organisasi non-pemerintah/masyarakat sipil (untuk sosialisasi, kampanye, dan edukasi publik), akademisi (untuk kepakaran dan pengembangan iptek), filantropi (untuk jejaring dan tanggung jawab sosial), dan akhirnya generasi muda yang potensial untuk berkiprah dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kebudayaan, kewirausahaan, hingga penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.   

Selain potensi ekonomi sirkular yang besar, Indonesia kini juga sedang menyambut fenomena bonus demografi di mana jumlah populasi muda akan mencapai klimaks pada 2030 mendatang sesuai statistik piramida penduduk. Saat ini, satu dari empat orang Indonesia adalah pemuda (berusia 15-30 tahun) di mana dari jumlah populasi sekitar 270 juta jiwa, lebih dari 65 juta jiwa adalah pemuda. Pemanfaatan bonus demografi ini tentu harus diintegrasikan ke dalam berbagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah, hingga lokal sehingga generasi muda mampu mengembangkan potensinya dan berkontribusi untuk pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan global Youth 2030 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di mana berbagai agensi PBB didorong untuk mengadopsi pendekatan merangkul pemuda dalam berbagai kebijakan dan programnya di seluruh dunia terutama di kawasan Asia Pasifik (khususnya Asia Tenggara dan Asia Selatan) serta Afrika yang sedang mengalami ledakan populasi muda. 

BACA JUGA: Green Millennialnomi: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Berkaitan dengan optimalisasi ekonomi sirkular dan bonus demografi, maka perlu dilakukan perbaikan hal-hal fundamental sebagai berikut:

  • Dalam bidang pendidikan (Goal 4 SDGs), sinergitas mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dan Ekonomi Kewirausahaan di tingkat SMP dan SMA atau sederajat sangatlah diperlukan, sehingga generasi muda menjadi lebih peka dan sadar akan potensi ekonomi sirkular lebih dini dan mampu mempraktikkannya di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun dengan proporsi praktik lebih banyak daripada teori dan mengedepankan sistem belajar secara lokakarya (workshop) daripada pengajaran (lecturing).  

  • Dalam bidang kewirausahaan (Goal 8 SDGs), perlu adanya kebijakan dukungan administratif dan suntikan modal bagi rintisan usaha/start-up (baik yang beraksi nyata langsung di lapangan maupun melalui dunia digital) yang khususnya bergerak dalam manajemen sampah yang profesional, efektif, dan berkelanjutan. Dukungan tersebut tentu tidak hanya diberikan oleh pemerintah saja, namun juga melalui kemitraan dengan swasta (sebagai investor atau donor) sehingga akan lebih aplikatif.

  • Dalam bidang ekonomi industri (Goal 9 & 12 SDGs), perlu ditinjau ulang untuk strategi produksi, distribusi, dan konsumsi bagi sektor-sektor yang potensial dan mampu menerapkan ekonomi sirkular seperti tekstil, produk pangan, otomotif, elektronik, dan pariwisata demi efisiensi sumber daya dan minimalisasi sampah. Insentif dari pemerintah seperti keringanan pajak, kemudahan berusaha, serta dukungan promosi dan pemasaran tentu akan mendorong sektor industri yang terlibat ekonomi sirkular lebih bergairah terlebih jika didukung oleh sumber daya manusia muda dan berkualitas.  

  • Dalam bidang lingkungan hidup (Goal 1, 11 & 13 SDGs), terutama manajemen sampah, mobilisasi terstruktur untuk para pengumpul sampah dan pemulung sampah dalam rangka pemberdayaan mereka sebagai salah satu aktor utama dalam pondasi praktis ekonomi sirkular. Ini tentu juga akan berdampak untuk pengurangan kemiskinan ekstrem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan sangat rendah terutama di wilayah perkotaan.

  • Dalam bidang ekonomi pembangunan dan politik luar negeri (Goal 17 SDGs), perlu disusun sistem database dan data centre baik secara lokal di tingkat kabupaten/kota yang mampu menghimpun dan mengukur berbagai target, indikator dan variabel pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian dari penerapan ekonomi sirkular. Akumulasi data dari tingkat kabupaten/kota akan dilanjutkan ke national data centre for circular economy di mana penggunaan data tersebut dapat dioptimalkan untuk posisi Indonesia yang lebih kredibel di dunia internasional melalui bermacam ragam pertemuan resmi dan ajang diplomasi. Dalam hal ini, lulusan SMK bidang teknologi informasi dan lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) dapat dioptimalkan perannya untuk pendirian dan operasional data centre tersebut.

Pada kesimpulannya, mengacu pada potensi ekonomi sirkular dan bonus demografi yang dimiliki, maka optimisme untuk menjadikan Indonesia lebih berkelanjutan pada 2030 bukanlah mimpi belaka. Tidak hanya sekedar political will namun juga policy consistency sehingga pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia karena mampu bersinergi dengan pencapaian sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang relevan secara simultan.  

Oleh: Stevie Leonard Harison

Founder Inspirator Muda Nusantara

Related Article

id_IDID