Madani

Tentang Kami

Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan

Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan

[MadaniNews] Pemerirah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan bahwa dokumen penyerapan bersih (net sink) karbon sektor hutan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use atau FoLU) akan membawa Indonesia menuju capaian komitmen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) pada 2030.

Net sink FoLU merupakan bagian strategi Indonesia untuk menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement dengan menahan kenaikan laju suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dan menjadi panduan Indonesia dalam melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim. Dalam melaksanakan agenda net sink FoLu2030 juga merupakan bagian dari aspirasi Indonesia menuju  Long-term Strategy on  Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) pada 2050.

Satu hal yang pasti jika pemerintah Indonesia membayangkan untuk mewujudkan net sink di 2030, maka kontribusi dari perbaikan tata kelola di lahan gambut itu menjadi unsur penting penunjang yang harus diperhatikan. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi publik “Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan” yang diselenggarakan secara virtual oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada Jumat, 24 September 2021. 

Ada beberapa prioritas di sektor FOLU seperti pemulihan gambut dan pengendalian kebakaran hutan. Restorasi gambut ini seharusnya menjadi tumpuan untuk mencapai net sink Indonesia.” Ujar Nadia.

Sementara itu, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia menyampaikan bahwa ada dua kunci yang dapat dilakukan dalam upaya memperkuat perlindungan gambut di tanah air. Menurut Yosi, dua kunci tersebut yakni; pertama, urgensi untuk memperluas target restorasi 2021-2024 di area krusial seperti area bekas terbakar, lahan izin/konsesi, termasuk yang tumpang tindih dan gambut fungsi lindung.

Kedua, pentingnya mengoptimalkan implementasi restorasi 2021-2024 terutama di area PIPPIB, PIAPS, dan AOI Food Estate. Food Estate menjadi tantangan tersendiri dalam upaya merestorasi gambut saat ini. 

Dalam upaya memperkuat perlindungan ini ada dua opsi, jangan sampai food estate masuk ke lahan gambut, kemudian perlu memperpanjang moratorium sawit demi menyelesaikan permasalahan tumpang tindih.” tambah Yosi. 

Dalam diskusi ini, hadir beberapa pembicara utama seperti Gubenur Riau, Drs.H.Syamsuar,M.Si, Deputi Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangove, Prof.Dr.Satyawan Pudyatmoko,S.Hut,M.Sc, GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda, dan Pegiat Penyelamatan Lahan Gambut Riau, Abdul Manan. 

Saksikan siaran ulang Diskusi Publik Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan di saluran youtube Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dapatkan bahan presentari narasumber Diskusi Publik Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan di lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

[1000 gagasan]SAGU GAMBUT: ALTERNATIF PANGAN BERKELANJUTAN DALAM MENGHADAPI KRISIS LINGKUNGAN

[1000 gagasan]SAGU GAMBUT: ALTERNATIF PANGAN BERKELANJUTAN DALAM MENGHADAPI KRISIS LINGKUNGAN

Pernahkan kita mendengar anggapan “kalo orang Indonesia gak makan kalo bukan nasi?” Ternyata itu bisa dibilang hampir 100 persen benar, jika dilihat rata-rata konsumsi langsung rumah tangga pada tahun 2019, data BPS menyebutkan beras menjadi sumber penyedia energi dan karbohidrat tertinggi dengan besaran 94,9 kg/kapita/tahun. Ini sama saja kurang lebih diperlukan 2,5 juta ton beras per bulan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tapi seiring perkembangan saat ini, pola konsumsi nasi perlahan sudah beralih ke gandum.

Pemerintahan Presiden Jokowi  mengeluarkan kebijakan mencetak sawah dalam proyek Food Estate salah satunya di Provinsi Kalimantan Tengah, guna mengantisipasi kelangkaan pangan dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang dan menangani masa pandemi Covid-19 yang katanya mengancam produksi beras nasional.

Proyek ini, mendapatkan kritikan dan kecaman bertubi-tubi dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan lingkungan termasuk penolakan dari masyarakat adat, mengingat proyek serupa saat pemerintahan Presiden Soeharto  yaitu pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektare yang sembarangan dan berakhir pada krisis ekologi terparah di negeri ini.

Usaha mengganti sifat alami gambut yang seharusnya basah menjadi kering untuk tanaman pangan seperti padi menjadi sumber utama kerusakan gambut. Gambut yang kering sangat rentan tersulut api, merambat sangat cepat, sulit dipadamkan dan kerap kali menimbulkan polusi asap hingga melepaskan emisi ke atmosfer. Beberapa pengamat menyatakan proyek food estate ini dianggap populis, kajian serba cepat tanpa menganalisis dampak yang ditimbulkan di masa yang akan datang.

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Padahal seperti yang banyak dikembangkan oleh peneliti tanaman pangan dalam mendukung upaya restorasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat, lahan gambut basah tetap bisa menjadi andalan dalam produksi pangan, salah satunya adalah sagu, ada beberapa faktor kuat tanaman yang disebut rumbia ini juga dianggap yang paling menguntungkan. Sifat sagu yang menyesuaikan pada hampir semua jenis lahan termasuk gambut, serta tidak perlu ada perlakuan khusus dan minim input eksternal, berbeda dengan  tanaman pangan lainnya sehingga dapat menekan biaya produksi. 

Sagu di Lahan Gambut: Optimalisasi bagian Hulu

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana sagu mampu menyelamatkan pangan Indonesia yang selama ini bergantung pada beras, namun di satu sisi juga berperan dalam penyelamatan ekosistem gambut? Dalam mencermatinya perlu dilihat dari masyarakat yang hidup di lahan gambut, yang justru memiliki ketergantungan makanan pokok pada beras yang begitu tinggi, padahal seperti yang dijelaskan sebelumnya, sagu bisa menjadi pilihan selain beras itulah yang terjadi di Papua. 

Lahan gambut yang ditanami wajib hukumnya di lahan budidaya, yang memang pemanfaatannya untuk produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, bukan di kawasan konservasi dan area lindung yang seharusnya difungsikan untuk menjaga ekosistem. Realisasi di lapangan perlu memenuhi kaidah berkelanjutan, yang meliputi tiga aspek sederhana yaitu: 

  1. Pertama aspek ekologis, bagaimana menjaga gambut agar tetap basah sesuai dengan karakteristik aslinya, 

  2. Kedua berkaitan dengan peran sosial di mana masyarakat adat maupun komunitas lokal juga dilibatkan secara partisipatif, 

  3. Terakhir praktik tanamnya, lamanya waktu panen mulai dari 8 sampai 12 tahun perlu diatur waktu penanamannya, penyesuaian bibit, pupuk alami serta, yang tentunya berdampak pada keberlangsungan profitabilitas yang dihasilkan. 

Sagu sebagai Pilihan: Bekerja dari Hilir

Sebesar 83 persen lahan sagu dunia ada di Indonesia, mencapai lebih dari 5 juta hektare dan potensi produksi yang mencapai seratus juta ton tiap tahunnya (Nasution, 2020). Peluang tersebut menandakan jika sagu dioptimalkan, terutama bagi sebagian masyarakat yang mengkonsumsi sagu, dapat menyeimbangkan dominasi beras di dalam negeri sebagai sumber makanan pokok. 

Masih rendahnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan sagu terlihat dari tidak terserapnya produksi sagu di sungai Tohor, Riau untuk pangan lokal, pasokan yang melimpah banyak menumpuk karena terkendala ekspor akibat pandemi korona.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut berperan melakukan inovasi produk dari sagu sebagai substitusi terigu. Mengingat permintaan masyarakat Indonesia sebagai konsumen mie instan tertinggi kedua di dunia. Di sisi lain sudah banyak terobosan inovatif yang mencampurkan tepung sagu sebagai bahan substitusi tepung gandum dalam membuat mie, kue, maupun makanan berbahan terigu lainnya.

Tantangan tersulit dalam memasarkan sagu di Indonesia adalah masih menguatnya politik beras serta mafia tani dan impor dengan mencari keuntungan di tengah produksi yang terus menurun. Merebaknya Covid-19 menjadi pembelajaran bahwa yang ditanam langsung di lahan paling dekat dengan masyarakat adalah sumber pangan paling efisien.

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Dari segi harga pasaran, tepung sagu lebih mahal dibandingkan dengan beras dan gandum. Selisih harga dapat mencapai dua kali lipat. Daya saing harga bisa ditingkatkan produksi dan konsumsi secara massif, sehingga menjadi lebih terjangkau. 

Berbagai aspek yang diperlukan dalam mendukung sagu baik dari hulu maupun hilir adalah sarana-prasarana pendukung dan pelatihan intensif terhadap masyarakat yang berpartisipasi dalam budidaya maupun pengolahan sagu menjadi makanan jadi.

Langkah Ke depan bersama Madani Berkelanjutan

Ketergantungan pada satu jenis pangan tidak bisa dilepas dari pemerintah dalam menyamakan jenis makanan pokok hanya pada beras, hal tersebut berdampak pada skala prioritas pengembangan padi yang jauh lebih diutamakan dibanding pangan lokal lainnya. Namun saat ini inisiasi untuk kembali meragamkan panganan khususnya di tingkat masyarakat dan daerah terus digalakkan khususnya saat Covid-19 mewabah yang tiba-tiba terjadi di daerah bergambut. Selain pembangunan sarana-prasarana dan pendampingan masyarakat, diperlukan juga terobosan kebijakan dan program yang berani mengangkat sagu sebagai makanan sehari-hari seperti pembangunan kawasan terintegrasi yang berfokus produksi serta pengolahan dan pemasaran. 

Bersama Madani Berkelanjutan, kampanye sagu yang kreatif dan tepat-guna di lahan gambut budidaya adalah salah satu upaya yang paling memungkinkan, melalui pendekatan ke anak muda yang saat ini sedang booming di media sosial salah satunya #tiktokchallange atau bisa kreasi konten visual dalam mempromosikan sagu sebagai alternatif makanan pengganti nasi.

Di tingkat lokal, kampanye berbasis kearifan lokal, kebudayaan, kesejarahan bisa jadi andalan dalam merayu warga agar ikut andil dalam budidaya dan konsumsi sagu, di waktu yang bersamaan juga didorong pemahaman terkait sumber daya pangan lokal dan restorasi ekosistem, sekaligus memulihkan ekonomi masyarakat daerah pasca-Covid 19. 

Oleh:  Andika Julianto Trilaksana

Pegiat Lingkungan Youth for Peatland

Related Article

id_IDID