Madani

Tentang Kami

Selamat Hari Masyarakat Adat Internasional, Mari Bahu-Membahu Mempercepat Pengesahaan RUU Masyarakat Adat!

Selamat Hari Masyarakat Adat Internasional, Mari Bahu-Membahu Mempercepat Pengesahaan RUU Masyarakat Adat!

[Madani News, 09/08/2021] Tepat pada 9 Agustus setiap tahunnya, International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia diperingati. Hari ini tentu merupakan bentuk solidaritas atas keberadaan masyarakat adat saat ini serta bentuk perjuangan untuk melawan ketidakadilan yang masih saja menimpa masyarakat adat di dunia termasuk juga di Indonesia tentunya. 

Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menyampaikan bahwa keberadaan masyarakat adat sangat penting, karena masyarakat adat adalah pondasi dari kebinekaan Indonesia. Sehingga menurut Giorgio, kalau masyarakat adat  tidak diurus dan dilindungi secara tepat dan tidak sesegera mungkin untuk diprioritaskan, maka nasib masyarakat saat ini sedang di ujung tanduk.

Kita perlu bicara bahwa ini adalah urgensi yang perlu kita lakukan, narasi yang harus kita pasang adalah masyarakat adat adalah fondasi kebinekaan. Sehingga tidak lagi masyarakat adat dicurigai, urusan politis, separatisme, dan banyak lainnya. Ini adalah lembaran yang harus sudah dibalik. Indonesia adalah masyarakat adat, masyarakat adat adalah Indonesia” ujar Giorgio Budi Indrarto dalam diskusi virtual “Bahu-Membahu Dalam Mempercepat Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Ekologi di Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Jumat, 6 Agustus 2021.

Dalam diskusi ini, hadir sejumlah narasumber seperti Willy Aditya, Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat DPR RI, Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen Bidang Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Prof.Dr.Ir.Agustinus Kastanya, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN, dan Yeryana, Ketua Umum Pengurus Harian Daerah Perempuan Aman Barito Timur. Kemudian, pemapar kajian diskusi disampaikan oleh Arief Virgy dari Yayasan Madani Berkelanjutan juga hadir sebagai penanggap diskusi Bernadinus Steni dari Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam kajian tentang masyarakat adat yang disampaikan Arief Virgy, ditemukan bahwa secara spasial, dari 9,3 juta hektar wilayah adat yang teridentifikasi, terdapat 8,5 juta hektar area yang tumpang-tindih dengan izin atau konsesi dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut.

Tumpang-tindih terluas terjadi antara wilayah adat dengan PIPPIB, yaitu seluas 4,1 juta hektar, disusul izin perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektar, dan konsesi migas seluas 1 juta hektar. Selain itu, terdapat 190 ribu hektar wilayah adat yang tercakup ke dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua), terluas di Papua sebesar 123 ribu hektar, disusul Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektar” ujar Arief Virgy.

Arief Virgy pun menegaskan bahwa mempercepat pengesahaan RUU Masyarakat Adat adalah solusi terbaik untuk mengatasi persoalan yang saat ini sedang menimpa masyarakat adat. “Mempercepat RUU Masyarakat Adat adalah karena adanya tumpang tindih kondisi wilayah masyarakat adat dengan izin/konsesi serta dengan Area of Interest Food Estate. Hal ini jelas membuat masyarakat hukum adat semakin terancam. Kalau kita ingin mencapai komitmen iklim Indonesia, pengesahan RUU MA dapat menjadi salah satu untuk mencapai target tersebut”, Tegas Arief Virgy.

Dengan peringatan hari masyarakat adat internasional, banyak pihak berharap agar momentum ini tidak hanya sebagai peringatan semata, tapi juga sebagai momentum untuk mempercepat pengesahaan RUU Masyarakat Adat. Selamat hari masyarakat adat sedunia. 

Dapatkan materi narasumber dalam diskusi Bahu-Membahu Dalam Mempercepat Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Ekologi di Indonesia dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

RUU Masyarakat Adat Menyatukan Keberagaman, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Memperkuat Prinsip-prinsip Kebangsaan

RUU Masyarakat Adat Menyatukan Keberagaman, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Memperkuat Prinsip-prinsip Kebangsaan

[Jakarta, 9 September 2020] Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta agar Pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Perwakilan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian ATR/BPN RI, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan mendukung percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam paparannya pada Talkshow RUU Masyarakat Adat dengan tema #SahkanRUUMasyarakatAdat yang dilaksanakan pada 9 September 2020.

Rukka Sombolinggi,Sekretaris Jenderal AMAN menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat dimaksudkan untuk menjembatani hubungan antara Masyarakat Adat dan negara agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Effendy Buhing di Laman Kinipan Lamandau karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya.

Apalagi saat pandemi ini membuktikan bahwa masyarakat adat mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan,” kata Rukka.

Namun Draft RUU Masyarakat Adat ini masih jauh dari harapan, karena masih belum mampu menjawab permasalahan terkait Masyarakat Adat. “Perlu untuk menambahkan klausul restitusi dan rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen,” tambah Rukka. “Serta penting untuk memastikan bahwa dalam RUU ini perlu mengatur perlindungan terhadap perempuan adat.”

Pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat.

Demikian pula pemerintah harus mencegah pengusiran Masyarakat Adat atas ruang hidupnya, melindungi Masyarakat Adat dari perampasan tanah oleh korporasi dan kebijakan pemerintah, dan memberikan pengakuan atas keberadaan beserta hak-haknya.

Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah. Pengakuan harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN menekankan perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi Masyarakat Adat menjadi jelas. “Selain itu, penting juga menambahkan hak kolektif perempuan adat secara spesifik diatur dalam UU Masyarakat Adat,” ungkap Devi.

Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan Huma meminta pemerintah agar melihat kembali TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang memandatkan penyelesaian konflik agraria termasuk di wilayah Masyarakat Adat.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyatakan bahwa Permendagri No. 52 Tahun 2014 adalah hasil kesepakatan lintas kementerian dan lembaga yang prosesnya difasilitasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu. “Permendagri ini adalah kesepakatan untuk menerobos biaya yang sangat besar dan proses politik yang rumit di tingkat daerah, dengan cukup lewat SK Bupati atau SK Gubernur untuk penetapan keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya. Maka seharusnya KLHK mengikuti kesepakatan itu,” kata Abdon.

Selain itu, One Map Policy harusnya memasukkan peta wilayah adat bersama peta-peta lainnya. Dengan One Map Policy, seharusnya seluruh tumpang tindih akan terlihat. Namun sayangnya One Map Policy sendiri saat ini menjadi tertutup, dan hanya bisa diakses oleh pejabat-pejabat pemerintah. Demikian pula Wali Data untuk wilayah adat sampai hari ini belum ada kejelasan. Karena itu, lewat Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini bisa memperjelas bagaimana mekanisme penyediaan peta dan Wali Datanya,” tambah Abdon.

Hingga saat ini, sudah terpetakan wilayah adat yang dikonsolidasikan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) seluas 11,1 juta Ha dan sudah diserahkan kepada walidata di Kementerian terkait. Peta-peta dan data tersebut merupakan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun lokal.

Ini membuktikan bahwa Masyarakat Adat sungguh-sungguh mendorong Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) sebagai dasar untuk menata ulang pembangunan nasional yang selama ini penuh konflik, tumpang tindih ruang maupun kerusakan lingkungan” ujar Deny Rahadian, Koordinator Nasional JKPP.

Untuk itu, Koalisi juga menuntut agar Kementerian ATR/BPN mengedepankan prinsip transparansi dengan membuka data HGU dalam penyelesaian konflik agraria di wilayah adat, serta mengembalikan tanah-tanah adat yang dirampas oleh korporasi,” kata Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik WALHI.

Demi terwujudnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta seluruh hak konstitusionalnya, penyusunan RUU Masyarakat Adat bersama masyarakat menjadi prioritas DPR RI saat ini. RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat bukan saja membantu DPR RI dalam proses penyusunan, melainkan proses membangun demokratisasi rakyat dalam pembentukan perundang-undangan yang lebih baik.

Menunda-nunda pengesahan RUU Masyarakat Adat berarti negara telah gagal melindungi masyarakat adat. Pemerintah harus tahu adat dalam bernegara.” kata Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. [ ]

oooOOOooo

Koalisi KOALISI CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari 30 koalisi yang terdiri dari AMAN, BRWA, Debtwatch Indonesia, Epistema, Forum Masyarakat Adat Pesisir dan pulau-pulau kecil, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, Kemitraan, Koalisi Perempuan Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Lakpesdam, Yayasan Madani Berkelanjutan, Lokataru, merDesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia (YPII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, RMI, Sawit Watch, Satu Nama, Walhi, Yayasan Jurnal Perempuan, YLBHI, BPAN, Kaoem Telapak, KP-KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan EcoNusa.

Kontak Media:

Luluk Uliyah, 0815 1986 8887

Muntaza 0822 1325 6387

Edo Rahman, 0813-5620-8763

Related Article

Panja DPR Sepakat RUU Masyarakat Adat Jadi Usul Inisiatif DPR

Panja DPR Sepakat RUU Masyarakat Adat Jadi Usul Inisiatif DPR

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan sebanyak 8 dari 9 fraksi di DPR RI menyatakan sepakat RUU Masyarakat Adat menjadi usul inisiatif DPR.

Kesepakatan itu diambil dalam rapat Pleno Panja RUU tentang Masyarakat Adat yang dilaksanakan di kompleks DPR RI di Jakarta, Jumat. Dari 9 fraksi yang ada di DPR RI, hanya Fraksi Partai Golkar yang belum bersikap atas RUU Masyarakat Adat tersebut.

Sebelum disahkan pada rapat pleno di Badan Legislasi, Panja RUU Masyarakat Adat telah melakukan seluruh prosedur pembahasan. Prosedur tersebut mulai dari harmonisasi, pembulatan, sampai pemantapan konsepsi yang dilakukan secara intensif dan mendalam dalam rapat-rapat secara fisik maupun virtual mulai 16 April, 22 April, dan 6 Juli 2020.

Ada 14 hal pokok yang mengemuka dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU ini seperti pengaturan norma, penambahan substansi dan penambahan bab baru. RUU tersebut akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. 

Setelah itu DPR akan mengirimkan surat kepada pemerintah agar Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Masyarakat Hukum Adat segera diserahkan ke DPR. RUU Masyarakat Hukum Adat terdiri dari 17 BAB dan 58 pasal dan telah masuk RUU Prolegnas prioritas 2020 serta diusulkan Fraksi Partai NasDem.

Dapatkan pemberitaan media edisi 31 Agustus sampai 6 September 2020 dengan mengunduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

#Vote4Forest Kajian II: RUU Konservasi

#Vote4Forest Kajian II: RUU Konservasi

Dalam rangka menyediakan informasi terkait rekam jejak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke publik secara luas terhadap isu lingkungan hidup menjelang Pemilu 2019, #Vote4Forest melakukan kajian keberpihakan anggota DPR terhadap isu lingkungan, dengan studi kasus kedua yakni RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE). Studi ini menunjukkan bahwa terdapat 34 anggota DPR yang terlibat aktif dalam pembahasan RUU KSDAHE. Sebanyak 31 anggota akan kembali mencalonkan diri dalam Pileg 2019 dan 29 anggota tersebut memiliki Dapil dimana terdapat kawasan konservasi dengan berbagai kompleksitas masalah. Meskipun mayoritas anggota DPR terlibat menunjukkan sikap setuju untuk mengundangkan RUU ini, hingga saat ini RUU ini masih mandeg ditengah jalan. Lebih dari itu, terdapat beberapa anggota yang memiliki kecenderungan netral meskipun Dapil mereka terdapat kawasan konservasi berkonflik. Payung hukum konservasi yang digunakan Indonesia telah usang dan tidak lagi relevan dengan kompleksitas permasalahan di tingkat tapak.

#Vote4Forest adalah inisiatif kolaborasi dari Yayasan Madani Berkelanjutan, WikiDPR dan Change.org Indonesia untuk memberikan informasi publik terkait rekam jejak anggota DPR pada isu lingkungan jelang Pemilu 2019

Related Article

id_IDID