Madani

Tentang Kami

Open Letter Joe Biden

Open Letter Joe Biden

Open Letter

April 21, 2021 

The Honorable Joseph R. Biden 

President of the United States of America 

The White House 

Washington DC

Dear Mr. President, 

First, we would like to offer our sincere congratulations to you and to Vice President-elect Kamala Harris. We greatly appreciate your action on convening global leaders by inviting 40 world leaders to the Leaders Summit on Climate promptly after you took office. This has been such a difficult time for so many around the world to limit the planetary warming to 1.5 degrees Celsius in order to stave off the worst impacts of climate change and with your commitment to bring the United States back to the global race against time we believe you will be able to bring positive impacts to other global leaders to take more earnest actions against climate crisis which impacts we are already experiencing.  

Representing the other 270 million people of Indonesia, we offer you our gratitude for taking the time to pay attention to the status of Indonesia’s climate commitment. You are right, Indonesia is in a grave need to up its climate policy. Believing in your and the US power to spread positive impacts throughout the world, we are asking you to: 

1. Consistently be a role-model for sustainable development for the world. As a major economic country, the US is also the second largest contributor for global emissions. The US must enhance its own mitigation ambition and support vulnerable countries to adapt to climate crisis. It is undeniable that the US has a large investment value in Indonesia in both the private and public sectors. Therefore, we urge you to transform US foreign investment into green investments. US investment must rapidly shift from the fossil fuel industry to renewable energy. We also need you to encourage the implementation of policies on the use of 100% renewable energy in every investment made in Indonesia. Accordingly, Indonesia’s emissions from the energy sector will also be reduced. 

2. Proactively ask Indonesia to commit to achieve net zero emissions in 2050. According to scientists, Indonesia’s NDC target needs to be ramped up to achieve the 1.5 degree target. In addition, our government has not yet officially stated when Indonesia will achieve its net zero emissions target. If recent seminars and discussions that are held by our government are true, and the government is not willing to change its target, Indonesia will achieve its net zero emissions target by 2070. It is indubitably too late and the climate crisis will certainly win the race against time. During the Leaders Summit on Climate, we are asking you to support Indonesia’s President, Mr. Joko Widodo, to expedite Indonesia’s net zero emission target. 

3. Continuously increase the opportunities for green investments in Indonesia. The agreement between the US and China to provide green funds is a great stepping stone to help other countries in energy transition. Currently, Indonesia is facing obstacles to phase out from fossil fuel to renewable energy as 85% of our energy production is still generated from fossil fuels. The existence of green investment financial support will unquestionably encourage Indonesia to accelerate our transformation to renewable energy development and enhance the Environmental, Social, and Good Governance (ESG) sector and Indonesia’s NDC. 

4. Support sustainable development programs from the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector by investing on conservation programs and through technology and knowledge transfer. Although we are grateful on your administration’s advice for Indonesia to try reducing emissions to 43% and 48% for 2030 outside the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector, it is important to note that the LULUCF sector is still the biggest contributor for the entirety of Indonesia’s greenhouse gas emissions. Your support for Indonesia to achieve its climate commitment from the energy and LULUCF sector will definitely be welcomed. As important as it is to start transitioning to renewable energy, our entire ecosystem will also be saved from the dreadful future of the climate crisis if our government ensures zero deforestation of forests and peatland. Your support for Indonesia to save and rehabilitate its remaining natural forests, peatland, and mangrove will certainly contribute to creating more resilient communities against climate crisis. It is imperative, however, that your support in this sector is not used as an excuse to slow down transition in the energy sector in the US. 

5. Guarantee the survival of indigenous peoples and the sustainability of local resources through socially and environmentally responsible investments. We believe that US investments in Indonesia can have a positive impact and support the welfare of indigenous peoples and not take away the rights to manage local resources. 

We believe that now is the time for the US to go hand in hand with Indonesia in an equal partnership to transition to green investment and create a more sustainable development and more resilient communities, the first step of which is by stepping up US and Indonesia’s climate ambition. Quoting your statement in the Executive Order, “Together, we must listen to science and meet the moment.” Indeed, listening to science and meeting the moment requires global collaboration to stave off the worst impacts of the climate crisis and we believe that US timely leadership can help the world win the race against time.


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Banyak Kajian Tunjukkan Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070

Banyak Kajian Tunjukkan Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070

Jakarta, 9 April 2021- Institute for Essential Services Reform (IESR), Madani Berkelanjutan, ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), WALHI, dan Thamrin School mendesak pemerintah untuk lebih ambisius memenuhi amanat Persetujuan Paris dalam diskusi daring dengan tema “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070”.

Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris. 

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, menegaskan bahwa keterlambatan ini akan merugikan banyak negara berkembang, utamanya bila perdagangan karbon dan carbon capture yang dipilih menjadi salah satu cara untuk mencapai “net zero”.  

Selain itu banyak celah untuk mengelak pengurangan emisi yang ambisius seperti offset perdagangan karbon ke negara berkembang, bukan transformasi secara struktural model bisnis. Jika ini dipilih maka negara berkembang akan nantinya mendapat beban ganda yaitu beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi di negara masing-masing,” jelas Yuyun.

Lebih lanjut, LTS-LCCR 2050 memaparkan bahwa dari 5 sektor penyumbang emisi yang menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NCD), hanya sektor kehutanan dan lahan lainnya (FOLU) yang akan mencapai net sink pada tahun 2030. Sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi (peaking) pada tahun 2030. 

Pemerintah Indonesia Perlu Tetapkan Target Lebih Ambisius di Sektor Energi dan Kehutanan 

Hasil analisa IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050, di antaranya dengan menekan emisi GRK di sektor pembangkit listrik, transportasi dan industri yang berkontribusi total 406.8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi GRK sektor energi di tahun 2015.

Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal,” tandas Deon Arinaldo , Manager Program Transformasi Energi, IESR. 

Deon juga memaparkan bahwa berbagai pemodelan global untuk mencapai target Persetujuan Paris menunjukkan upaya lebih ambisius akan bisa membuat setidaknya bauran batubara pada pembangkit berada di sekitar 5-10% pada tahun 2030. Hasil lainnya menyatakan setidaknya bauran bahan bakar bersih pada transportasi mencapai 20-25% pada tahun 2030 dari total permintaan energi sektor transportasi. Namun dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan bahwa dengan skenario ambisius berdasarkan Persetujuan Paris (LCCP), bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, dan energi terbarukan hanya 33% di tahun 2050. Jika dibandingkan dengan target NDC saat ini, kenaikan target energi terbarukan hanya sebanyak 10% dalam 25 tahun. 

Sementara itu, dalam dokumen yang sama, di sektor kehutanan, skenario paling ambisius (LCCP) menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu ha per tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. Hal ini berarti Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha atau lebih dari 12x Pulau Bali pada periode 2010-2050. Karena Indonesia telah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-2020 1 , kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta ha atau 71 ribu ha per tahun. 

Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut, namun ini belum cukup.

Agar Indonesia dapat mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC, bahkan hingga nol karena sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah kita habiskan di dekade lalu,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru hingga meliputi hutan alam tersisa akan membantu Indonesia menekan deforestasinya.

Perhitungan awal Madani, ada sekitar 9,4 juta ha hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi perhutanan sosial (PIAPS), dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tidak terdeforestasi,” tambah Anggalia Putri. Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. 

Melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut yang telah ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 juga dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Hampir setengah juta hektare (498.500 ha) ekosistem gambut yang terbakar pada 2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020. Oleh karena itu, seluruh ekosistem gambut yang terbakar pada 2019, baik di dalam maupun di luar konsesi, harus masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area tersebut tidak berulang.  

Pemerintah Daerah Berpeluang Besar Implementasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 

Upaya yang lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus tergambar dalam LTC-LCCR 2050, sehingga, terutama tingkat daerah, semakin banyak pemerintah daerah yang berkomitmen kuat mengimplementasi pembangunan daerah yang memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. 

ICLEI Indonesia meyakini bahwa Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari 34 pemerintah provinsi dan 514 pemerintah kota/kabupaten mampu mencapai karbon netral sebelum 2070 dengan memperkuat tata kelola multi level, khususnya pelibatan dewan perwakilan rakyat di tingkat nasional maupun daerah serta pelaku bisnis atau pihak swasta untuk menetapkan target yang optimis dan lebih ambisius. 

Beberapa pemerintah daerah yang ICLEI Indonesia dampingi, kepala daerahnya telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim, baik itu dari aksi adaptasi maupun mitigasi. Mereka yakin bahwa isu dan agenda perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan yang harus direspon secara positif,” ujar Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia.

Berdasarkan laporan dari UN-Habitat, 70% emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari aktivitas perkotaan (pemerintah daerah). Data ini menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot dari perubahan iklim. Meskipun demikian, pemerintah daerah berpeluang besar menjadi pemimpin (leader) dalam membatasi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang baik ini dengan menempatkan pemerintah daerah sebagai “Jantung Strategi Nasional” dalam rangka mendukung komitmen nasional yang tertuang dalam NDC dan menuju netral karbon di masa depan. 

Dalam tataran implementasi, pemerintah nasional perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan perangkat pendukung (enabling environment) dan kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan iklim. ICLEI Indonesia merekomendasikan penyusunan perangkat pendukung secara sistematis, terstruktur, selalu diperbaharui dan mudah dimengerti oleh pembaca dan/atau pengguna (utamanya staf pemerintah daerah) dari ragam latar belakang pendidikan. 

Dukungan ini akan menjawab beberapa tantangan yang pemerintah daerah hadapi seperti, pertama, lemahnya kapasitas sumber daya manusia dalam melakukan perhitungan pengurangan emisi GRK dan/atau pemantauan terhadap tingkat adaptasi dan kerentanan serta kelembagaan yang menangani perubahan iklim secara umum masih bersifat ad-hoc. Kedua, ketersediaan panduan dalam menerjemahkan strategi, rencana, program dan kegiatan yang bersifat transformatif serta pemilihan teknologi hijau yang tepat guna masih terbatas. Ketiga, belum adanya indikator yang seragam untuk melacak anggaran untuk program dan kegiatan yang sedang dijalankan serta kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan (hibah atau pinjaman) dari pihak ketiga.  

Narahubung Media: 

Lisa Wijayani, Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828 

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan, Yayasan Madani Berkelanjutan, anggi@madaniberkelanjutan.id, 08562118997 

Ari Mochamad, Country Manager, ICLEI Indonesia, ari.mochamad@iclei.org 

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, harmono@gmail.com

Related Article

id_IDID