Madani

Tentang Kami

DUKUNG KOMITMEN IKLIM INDONESIA, YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN GELAR PENGUATAN PROGRAM HIJAU DAN BIMBINGAN TEKNIS AKSARA DI PROVINSI MALUKU

DUKUNG KOMITMEN IKLIM INDONESIA, YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN GELAR PENGUATAN PROGRAM HIJAU DAN BIMBINGAN TEKNIS AKSARA DI PROVINSI MALUKU

Dalam mendukung upaya pemerintah mencapai komitmen iklim Indonesia atau dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditingkatkan (enhanced) yakni sebesar 31,89% dari sebelumnya 29% tanpa syarat (dengan kemampuan sendiri), dan 43,20% dari 41% dengan dukungan internasional, Yayasan Madani Berkelanjutan ikut berkontribusi dalam penguatan program hijau yang salah satunya diimplementasikan di Provinsi Maluku.

Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai masyarakat sipil berkomitmen mendukung berbagai upaya pemerintah dalam implementasi program komitmen iklim dalam mencapai target NDC yang makin serius”, ujar Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan dalam acara Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan pada 15-17 Februari 2023 di Ambon, Maluku.

Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, menjelaskan tentang
keikutsertaan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai bagian masayrakat sipil dalam mendukung 
pemerintah daerah mewujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Giorgio atau yang akrab dipanggil “Jojo” juga menyampaikan bahwa selama ini Yayasan Madani Berkelanjutan percaya bahwa berbagai komitmen yang telah ditetapkan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga harus dikolaborasikan dengan berbagai pihak, salah satunya tentu bersama masyarakat sipil.

BACA JUGA: Sumatera dan Kalimantan Dominasi Area Sawit Terluas

Oleh karena itu, Jojo menekankan bahwa Yayasan Madani Berkelanjutan sangat berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam implementasi program demi pencapaian komitmen Indonesia. 

Penguatan Program Hijau dan Bimbingan Teknis AKSARA

Dalam rangkaian acara Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan dalam 3 hari secara hybrid (online dan offline), Yayasan Madani Berkelanjutan menghadirkan narasumber dari Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). Kemudian narasumber dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan RI, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI, dan Tim Ahli Low Carbon Development Indonesia (LCDI), dari Bappenas RI.

Di hari pertama dan sesi pertama, peserta mendapatkan materi mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dalam mendukung pembangunan rendah karbon untuk mencapai komitmen iklim yang disampaikan oleh Dyah Sih Irawati S.Si.,MA, selaku Kepala Sub Direktorat Kehutanan, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI.

Dyah Sih Irawati menyebut bahwa perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai target komitmen iklim. “Untuk mencapai komitmen iklim, maka perlu adanya koordinasi antara Pusat dan Daerah. Hal itu karena masing-masing instansi memiliki instrumen yang berbeda-beda sehingga diperlukan adanya sinkronisasi antar sektor juga”, ujar Dyah Sih Irawati.

BACA JUGA: Lembar Fakta FOLU Net Sink 2030

Kemudian di sesi kedua, peserta mendapatkan materi mengenai Peluang Alternatif Pendanaan Iklim di Daerah untuk Pelestarian Lingkungan Hidup yang disampaikan oleh Lia Kartikasari selaku Kepala Divisi Penghimpunan dan Pengembangan Layanan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan RI.

Lia Kartikasari mengatakan ada banyak peluang pendanaan untuk pelestarian lingkungan yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah. “Untuk mendapatkan pendanaan, provinsi harus sudah memiliki rencana aksi, kebutuhannya berapa, dan apa yang akan dicapai”, pungkas Lia Kartikasari.

Peserta kegiatan Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan pada 15-17 Februari 2023 di Ambon, Maluku.

Untuk kegiatan di hari kedua dan ketiga, peserta akan mendapatkan bimbingan teknis penggunaan Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon atau AKSARA. Aplikasi ini adalah aplikasi atau tools yang membantu melakukan monitoringevaluation, and reporting (MER) dalam menyukseskan kerangka Pembangunan Rendah Karbon.

Dalam mekanisme pelaporan AKSARA, perlu adanya pembinaan serta koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku pemantau dan pelapor kegiatan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan berketahanan iklim. Hal ini tentu terkait dengan transparansi dan akuntabilitas dari AKSARA itu sendiri.

Related Article

Pemerintah Berencana Menerapkan Pajak Karbon

Pemerintah Berencana Menerapkan Pajak Karbon

Kebijakan penerapan pajak karbon tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Beleid ini rencananya akan dibahas di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh parlemen.

Dalam Pasal 44G, subjek pajak karbon adalah jenis pajak yang akan dikenakan untuk orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan atau melakukan aktivitas menghasilkan karbon. Dalam Pasal 44G ayat (3), Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Tujuannya untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh emisi karbon.

Dari sisi administrasi perpajakannya, pajak karbon terutang dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon atau pada periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Kelak, bila beleid ini diundangkan, maka pemerintah akan segera menurunkan peraturan pemerintah (PP) terkait sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan objek pajak yang dikenai karbon.

Objek pajak karbon

Usulan mengenai pajak karbon tertuang dalam pasal 44G. Pajak karbon akan dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pada ayat (2) dari pasal tersebut, pemerintah mengusulkan pihak-pihak yang akan dikenakan pajak karbon antara lain orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

hampir semua aktivitas di sektor industri menghasilkan emisi karbon. Mulai dari konstruksi, barang konsumsi dan juga kemasannya, makanan dan minuman, kimia, tekstil, perabotan rumah tangga, otomotif, dan sebagainya. Untuk produk yang menghasilkan emisi karbon yang pada umumnya diketahui masyarakat itu sendiri adalah kendaraan bermotor, dan juga bahan bakarnya itu sendiri.

Tarif pajak karbon

Pada ayat (3), pajak karbon akan dikenakan atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang mengandung karbon. Berikut bunyi ayat tersebut: “Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu,” bunyi pasal 44G ayat (3). 

Adapun bunyi pasal 44G ayat (4) sebagai berikut: “Saat terutang pajak karbon: a. pada saat pembelian barang yang mengandung karbon; b. pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau c. saat lain, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.” Tarif dari pajak karbon itu sendiri yang terendah ialah sebesar Rp75 per kilogram (Kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Dapatkan Pemberitaan Media Edisi 7-13 Juni 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Sumber Gambar: EcoLifeZone - Carbon Offcetting

Related Article

Komitmen Indonesia untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Penerapan Energi Bersih

Komitmen Indonesia untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Penerapan Energi Bersih

Dalam Dialog Iklim Tingkat Tinggi Tri Hita Karana yang bertajuk Transisi Energi Bersih Indonesia dan Ambisi Iklim untuk Emisi Nol Bersih, yang digelar secara virtual pada 15 April 2021, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui penerapan energi bersih.

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen dengan menggunakan sumber daya dalam negeri dan hingga 41 persen dengan bantuan internasional, termasuk keuangan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030. Luhut menyampaikan bahwa pemerintah berencana mengurangi 198,27 juta ton pada tahun 2025 dan hingga 314 juta ton pada tahun 2030. Hingga saat ini gugus tugas lintas Kemenko Marves sedang menyiapkan peta jalan Nationally Determined Contributions (NDC) atau kontribusi yang ditentukan secara nasional.

Sektor energi tercatat menyumbang 11 dari 29 persen dalam NDC tersebut. Sektor energi berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sekitar 314 juta ton CO2 hingga 398 juta ton CO2 atau sekitar 38 persen pada tahun 2030 melalui energi terbarukan pengembangan, efisiensi energi, dan konservasi energi. Saat ini, pemerintah tengah merancang bauran energi nasional untuk mencapai 23 persen dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

Strategi energi terbarukan meliputi panas bumi, tenaga air, solar PV, bioenergi, dan angin. Dan berkomitmen untuk mempercepat pengembangan proyek energi terbarukan di Indonesia dan membuka calon investor untuk berpartisipasi dalam proyek energi terbarukan di masa depan. Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mempercepat kemajuan, termasuk menjajaki kemungkinan mencapai Emisi Nol Bersih lebih awal dari yang direncanakan. Kawasan Bali, Danau Toba, dan kawasan ekonomi khusus, dapat menjadi percontohan upaya percepatan tersebut.

Dapatkan Pemberitaan Media edisi 12-18 April 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Banyak Kajian Tunjukkan Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070

Banyak Kajian Tunjukkan Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070

Jakarta, 9 April 2021- Institute for Essential Services Reform (IESR), Madani Berkelanjutan, ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), WALHI, dan Thamrin School mendesak pemerintah untuk lebih ambisius memenuhi amanat Persetujuan Paris dalam diskusi daring dengan tema “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070”.

Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris. 

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, menegaskan bahwa keterlambatan ini akan merugikan banyak negara berkembang, utamanya bila perdagangan karbon dan carbon capture yang dipilih menjadi salah satu cara untuk mencapai “net zero”.  

Selain itu banyak celah untuk mengelak pengurangan emisi yang ambisius seperti offset perdagangan karbon ke negara berkembang, bukan transformasi secara struktural model bisnis. Jika ini dipilih maka negara berkembang akan nantinya mendapat beban ganda yaitu beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi di negara masing-masing,” jelas Yuyun.

Lebih lanjut, LTS-LCCR 2050 memaparkan bahwa dari 5 sektor penyumbang emisi yang menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NCD), hanya sektor kehutanan dan lahan lainnya (FOLU) yang akan mencapai net sink pada tahun 2030. Sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi (peaking) pada tahun 2030. 

Pemerintah Indonesia Perlu Tetapkan Target Lebih Ambisius di Sektor Energi dan Kehutanan 

Hasil analisa IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050, di antaranya dengan menekan emisi GRK di sektor pembangkit listrik, transportasi dan industri yang berkontribusi total 406.8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi GRK sektor energi di tahun 2015.

Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal,” tandas Deon Arinaldo , Manager Program Transformasi Energi, IESR. 

Deon juga memaparkan bahwa berbagai pemodelan global untuk mencapai target Persetujuan Paris menunjukkan upaya lebih ambisius akan bisa membuat setidaknya bauran batubara pada pembangkit berada di sekitar 5-10% pada tahun 2030. Hasil lainnya menyatakan setidaknya bauran bahan bakar bersih pada transportasi mencapai 20-25% pada tahun 2030 dari total permintaan energi sektor transportasi. Namun dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan bahwa dengan skenario ambisius berdasarkan Persetujuan Paris (LCCP), bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, dan energi terbarukan hanya 33% di tahun 2050. Jika dibandingkan dengan target NDC saat ini, kenaikan target energi terbarukan hanya sebanyak 10% dalam 25 tahun. 

Sementara itu, dalam dokumen yang sama, di sektor kehutanan, skenario paling ambisius (LCCP) menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu ha per tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. Hal ini berarti Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha atau lebih dari 12x Pulau Bali pada periode 2010-2050. Karena Indonesia telah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-2020 1 , kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta ha atau 71 ribu ha per tahun. 

Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut, namun ini belum cukup.

Agar Indonesia dapat mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC, bahkan hingga nol karena sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah kita habiskan di dekade lalu,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru hingga meliputi hutan alam tersisa akan membantu Indonesia menekan deforestasinya.

Perhitungan awal Madani, ada sekitar 9,4 juta ha hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi perhutanan sosial (PIAPS), dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tidak terdeforestasi,” tambah Anggalia Putri. Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. 

Melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut yang telah ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 juga dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Hampir setengah juta hektare (498.500 ha) ekosistem gambut yang terbakar pada 2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020. Oleh karena itu, seluruh ekosistem gambut yang terbakar pada 2019, baik di dalam maupun di luar konsesi, harus masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area tersebut tidak berulang.  

Pemerintah Daerah Berpeluang Besar Implementasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 

Upaya yang lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus tergambar dalam LTC-LCCR 2050, sehingga, terutama tingkat daerah, semakin banyak pemerintah daerah yang berkomitmen kuat mengimplementasi pembangunan daerah yang memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. 

ICLEI Indonesia meyakini bahwa Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari 34 pemerintah provinsi dan 514 pemerintah kota/kabupaten mampu mencapai karbon netral sebelum 2070 dengan memperkuat tata kelola multi level, khususnya pelibatan dewan perwakilan rakyat di tingkat nasional maupun daerah serta pelaku bisnis atau pihak swasta untuk menetapkan target yang optimis dan lebih ambisius. 

Beberapa pemerintah daerah yang ICLEI Indonesia dampingi, kepala daerahnya telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim, baik itu dari aksi adaptasi maupun mitigasi. Mereka yakin bahwa isu dan agenda perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan yang harus direspon secara positif,” ujar Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia.

Berdasarkan laporan dari UN-Habitat, 70% emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari aktivitas perkotaan (pemerintah daerah). Data ini menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot dari perubahan iklim. Meskipun demikian, pemerintah daerah berpeluang besar menjadi pemimpin (leader) dalam membatasi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang baik ini dengan menempatkan pemerintah daerah sebagai “Jantung Strategi Nasional” dalam rangka mendukung komitmen nasional yang tertuang dalam NDC dan menuju netral karbon di masa depan. 

Dalam tataran implementasi, pemerintah nasional perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan perangkat pendukung (enabling environment) dan kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan iklim. ICLEI Indonesia merekomendasikan penyusunan perangkat pendukung secara sistematis, terstruktur, selalu diperbaharui dan mudah dimengerti oleh pembaca dan/atau pengguna (utamanya staf pemerintah daerah) dari ragam latar belakang pendidikan. 

Dukungan ini akan menjawab beberapa tantangan yang pemerintah daerah hadapi seperti, pertama, lemahnya kapasitas sumber daya manusia dalam melakukan perhitungan pengurangan emisi GRK dan/atau pemantauan terhadap tingkat adaptasi dan kerentanan serta kelembagaan yang menangani perubahan iklim secara umum masih bersifat ad-hoc. Kedua, ketersediaan panduan dalam menerjemahkan strategi, rencana, program dan kegiatan yang bersifat transformatif serta pemilihan teknologi hijau yang tepat guna masih terbatas. Ketiga, belum adanya indikator yang seragam untuk melacak anggaran untuk program dan kegiatan yang sedang dijalankan serta kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan (hibah atau pinjaman) dari pihak ketiga.  

Narahubung Media: 

Lisa Wijayani, Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828 

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan, Yayasan Madani Berkelanjutan, anggi@madaniberkelanjutan.id, 08562118997 

Ari Mochamad, Country Manager, ICLEI Indonesia, ari.mochamad@iclei.org 

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, harmono@gmail.com

Related Article

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

[Jakarta, 26 Maret 2021] Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 menjadi 10,7 ribu hektar per tahun hingga nol. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan perlindungan hutan alam tersisa harus lebih diperkuat, antara lain dengan memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru ke hutan-hutan alam yang belum terlindungi, meneruskan kebijakan moratorium sawit, dan meninjau kembali berbagai program strategis dan pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan. Demikian disampaikan oleh Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

[Jakarta, 26 March 2021] Indonesia has the opportunity to achieve its Long-Term Vision in the country’s fight against climate change in line with the Paris Agreement by reducing Indonesia’s quota on deforestation to only 10.7 thousand hectares per year, even zero, under the Updated NDC for the year 2020-2030. To achieve the said target, Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate from Yayasan Madani Berkelanjutan stated that various policies to protect Indonesia’s remaining forests must be strengthened, such as expanding the policy to halt new licenses to forests that are not yet under any protection schemes, continuing palm oil moratorium, and reconsidering any national strategic programs or national economic recovery programs that threatenIndonesia’s forests.

Yosi also added, “In accordance with the Low Carbon Compatible with the Paris Agreement scenario, the rate of Indonesia’s natural forest loss for the period of 2020-2030 cannot exceed 241 thousand hectares per year. Therefore, Indonesia’s natural forest deforestation quota in that period is only 4.82 million hectares. According to the Ministry of Environment and Forestry data, Indonesia has lost more or less 4.71 million hectares of natural forests from the period of 2011-2012 to 2019-2020. Consequently, the remaining quota for deforestation for the period of 2020-2030 is only 107 thousand hectares or 10.7 thousand hectares per year. However, if we include natural forest loss data in 2010-2011 by taking the annual average of deforestation in 2009-2011 which is 196,750 hectares, Indonesia’s quota on deforestation subsequently becomes minus. That is to say, Indonesia no longer has any quota left for deforestation of natural forests until 2030.”

The Indonesian government has introduced three scenarios on the Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience in 2050 to achieve a net-zero emissions target by 2070, 20 years slower than what the UN has targeted. In the most ambitious scenario, known as Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP, Indonesia has targeted an emission peak for every sector with forestry and land sector becoming a net carbon sink by 2030.

Thus, Indonesia’s forests and land would be the most dependable sector for Indonesia in its fight against climate change, not only to reduce emissions from its own sector, but also to absorb carbon emissions from other sectors, such as energy, waste, industrial processes and product usage, and also agriculture.  

BACA JUGA: Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

According to Madani’s initial research, there are around 9.4 million hectares of natural forests or 16 times the island of Bali that have not been licensed out and are located outside the protection of PIPPIB (Indicative Map of Termination of New Permits) and social forestry indicative area – PIAPS. They are not under the protection of any policy to halt new licenses and therefore susceptible to deforestation.” Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist from Yayasan Madani Berkelanjutan said. He also added that those 9.4 million hectares of natural forests must be protected to achieve Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Paris Agreement.

Besides, it is also crucial for the government of Indonesia to review various development policies, from the National Economic Recovery Program (“PEN”), National Strategic Program (“PSN”), to food estate as to not further damage Indonesia’s natural forests. “Madani’s initial research also found around 1.5 million hectares of Indonesia’s natural forests included in the Area of Interest (AOI) of Food Estate in 4 provinces, namely Papua, Central Kalimantan, North Sumatra, and South Sumatra with a huge potential economic value of timber in those areas – reaching IDR 209 trillion,” Fadli added.

The government must also pay a keen attention on protecting Indonesia’s natural forests that have already been licensed out, including timber plantation concessions and Palm Oil Plantations. One of the ways to protect forests already under the license/concessions of Palm Oil Plantations is through the Palm Oil Moratorium, which unfortunately will end in September 2021. Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance of Yayasan Madani Berkelanjutan suggested that it is in the government’s utmost necessity to continue theits Palm Oil Moratorium, which includes elements on protecting Indonesia’s forest and increasing the productivity of palm oil plantations andplantations. aAnd thus, critical to achieving Indonesia’s long-term strategy on low carbon development.

To achieveaccomplish Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Pariswith Paris Agreement, Indonesia has to transform its strategy on land use by making use of the unproductive lands – both inside andor outside forest zonethe area of forest to achieve food and energy security, and also strengthen the protection of Indonesia’s remaining natural forests and peatland ecosystem.

Lastly, Yosi added, “Our future and the future of the forthcoming generations depends on the transformation of Indonesia’s economic development towards a no longer destructive development for our forests and environment. This transformation must start right now as the worsening impacts of the climate crisis no longer gives us the luxury of time.”

 

Contact Person:

  • Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62813 2217 1803

  • Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone: +62877 4403 0366

  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62815 1986 8887

 


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa berencana menaikkan target pemangkasan emisi karbonnya dari 40% menjadi 55% di 2030. Target ini untuk mencapai tujuan utamanya yaitu nol emisi pada 2050, dan memperkuat statusnya sebagai pemimpin global dalam mencegah perubahan iklim.

Target ini masih dalam pembicaraan dan dapat berubah. Rencana ini membutuhkan persetujuan dari pemerintah negara-negara dan parlemen Uni Eropa. Pemotongan emisi dapat terjadi jika semua negara sepakat untuk memotong emisi karbon dioksida dari sektor industri dan pembangkit listrik. 

Di saat yang sama, Jerman akan menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung. Tahun depan Jerman akan menghentikan secara bertahap energi nuklir dan batu bara, sambil meningkatkan investasi energi terbarukan. Tahun lalu Jerman telah menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung menjadi 25 euro per ton. Langkah tersebut dilakukan setelah Partai Hijau mengkritik harga awalnya yang hanya 10 euro terlalu murah. 

Dampak Harga Karbon Terhadap Emisi Laporan World Economic Forum pada 4 September 2020 menunjukkan hubungan penetapan harga karbon terhadap emisi. Dengan menaikkan harga karbon 1 euro per ton maka terjadi penurunan emisi sebesar 0,3%. Negara-negara yang memakai harga emisi karbon memiliki laju pertumbuhan emisi tahunan 2 poin lebih rendah dibandingkan yang tanpa harga karbon. Tingkat pertumbuhan emisi tahunan rata-rata untuk 142 negara adalah 2%. Rata-rata emisi CO2 turun 2% per tahun selama 2007 sampai 2017 di negara yang memiliki harga karbon. Di negara yang tanpa harga tersebut terjadi peningkatan emisi sebesar 3% per tahun. Perbedaan antara kenaikan 3% dan penurunan 2% per tahun adalah lima poin secara persentase. 

Studi World Economic Forum menemukan sekitar dua poin persentase itu disebabkan oleh harga karbon.  Indonesia mengantongi dana US$ 103,8 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dari Green Climate Fund karena mampu mengurangi emisi gas hingga 20,3 juta ton pada periode 2014 sampai 2016. Dana ini berasal dari skema pembayaran berdasarkan hasil (RBP) dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dana ini nilainya paling besar dibandingkan dengan negara lain dalam skema serupa.

Pemberian dana bagi Kolombia dan Ekuador tercatat paling rendah. Keduanya baru mengurangi emisi gas masing-masing 7 juta ton dan 3,6 juta ton. Negara ini berpotensi memperoleh tambahan dana US$ 160 juta untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund Berdasarkan data KLHK, capaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2017 mencapai 24,7%. Sesuai arahan Presiden, dana-dana REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. 

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh materi yang terlampir di bawah ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

Pemerintah Butuh Investasi 3.500 Triliun Rupiah Untuk Turunkan Emisi Karbon 314 Juta Ton

Pemerintah Butuh Investasi 3.500 Triliun Rupiah Untuk Turunkan Emisi Karbon 314 Juta Ton

Pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton karbon dioksida atau CO2 pada tahun 2030. Hal tersebut sesuai dengan ratifikasi Paris Agreement pada bulan November 2016 lalu. Indonesia berkomitmen untuk mengurasi emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.


Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukkan Dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mengatakan, untuk merealisasikan target tersebut, pemerintah membutuhkan biaya investasi hingga Rp 3.500 triliun.

Targetnya, pembangkit listrik berbasis EBT dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta ton CO2 atau 49,8 persen dari total aksi mitigasi sektor energi, dengan kebutuhan investasi sebesar Rp 1.690 triliun.


ESDM akan menyelaraskan target porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dengan upaya menekan kenaikan suhu rata-rata global di kisaran 1,5-2 derajat celcius. Kementerian ESDM mencatat, sampai dengan paruh pertama tahun ini, kapasitas pembangkit listrik terpasang berbasis EBT mencapai 10,4 giga watt (GW). Jumlah tersebut didominasi oleh energi hidro dengan komposisi sekitar 6,07 GW dan selanjutnya diikuti oleh energi panas bumi sebesar 2,13 GW.

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Manfaat Instrumen Ekonomi Karbon Bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim

Manfaat Instrumen Ekonomi Karbon Bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim

[MadaniNews, Jakarta] Dalam Ratas 6 Juli 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan rencana pemerintah untuk mengeluarkan instrumen kebijakan Nilai Ekonomi Karbon untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Instrumen kebijakan ini didasarkan pada perlunya keterlibatan seluruh pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat di tingkat global, nasional, dan lokal untuk menjaga peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius menuju 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu pra industrialisasi. Dalam rencana kebijakan ini, manfaat bagi komunitas disebutkan akan menjadi salah satu penekanan.

Untuk membahas lebih mendalam terkait dengan nilai ekonomi karbon, Yayasan Madani Berkelanjutan yang bekerja sama dengan KKI Warsi, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Kemitraan menggelar diskusi virtual yang mengangkat tema “Rencana Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon: Potensi Manfaat serta Dampaknya bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim?” pada 12 Agustus 2020.

Dalam diskusi tersebut, Direktur Pengembangan Strategis Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengungkap bahwa ada 4 hal yang perlu dipastikan dalam aturan mengenai nilai ekonomi karbon. Keempat nilai tersebut yakni transisi cepat ke ekonomi rendah karbon, pengurangan emisi secara actual, hutan alam dan keanekaragaman hayati terlindungi, dan masyarakat menjadi subjek bukan objek.

Diskusi ini dihadiri oleh beberapa narasumber yakni, Peneliti dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto, Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudy Syaf, dan Presiden Direktur PT.Rimba Makmur Utama (RMU), Dharsono Hartono. Kemudian, hadir juga sebagai penanggap diskusi, Perwakilan dari Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto, dan Perwakilan Komunitas Pengelola Hutan, Rio Laman Panjang Kabupaten Bungo, Jamris.

Peneliti BKF, Joko Tri Haryanto menyebut bahwa prinsip dasar dari nilai ekonomi karbon (NEK) adalah sebagai instrumen untuk mendukung pencapaian target NDC. Joko juga mengatakan bahwa perlu adanya kesempatan bagi banyak pihak untuk berkolaborasi, hal ini disebabkan oleh kapasitas fiskal negara yang terbatas. Opsi insentif bagi para pemangku kepentingan yang berperilaku positif dalam mendukung target pemenuhan komitmen perubahan iklim juga harus menjadi perhatian khusus.

Direktur Eksekutif KK Warsi, Rudy Syaf menyampaikan pentingnya keterlibatan komunitas dalam mekanisme pasar karbon. Rudy Syaf mengatakan bahwa keterlibatan tersebut bukan hanya memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat, tapi juga memberikan kelestarian untuk lingkungan khususnya hutan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT.Rimba Makmur Utama (RMU), Dharsono Hartono menyampaikan perspektif dari pelaku usaha terhadap nilai ekonomi karbon. Sebagai pegelut usaha yang memberikan jasa lingkungan, Dharsono mengatakan bahwa mengubah cara pandang dan perilaku di tingkat masyarakat dan pemerintah adalah kesulitan utama dalam menjalankan bisnis jasa lingkungan.

Dhasono juga menyebut bahwa kebiasaan petani membakar lahan adalah salah satu persoalan yang ingin dirubah olehnya. Oleh karena itu, RMU pendorong edukasi dengan membuka sekolah agroekologi. Keberlangsungan hidup manusia bergantung pada alam dan kita harus memberikan nilai pada alam. []

Related Article

Intensitas Emisi Diproyeksikan Turun 22 Persen dengan Pelaksanaan LCDI

Intensitas Emisi Diproyeksikan Turun 22 Persen dengan Pelaksanaan LCDI

Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan intensitas emisi gas rumah kaca Indonesia dapat turun 22 persen jika menjalankan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (Low Carbon Development Indonesia/LCDI).

Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia dikembangkan berdasarkan kajian berbasis bukti dan diintegrasikan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Berdasarkan kajian di bawah Bappenas, perencanaan pembangunan rendah karbon tersebut dibuat dapat mengakomodasi ekonomi dan sosial, namun tetap mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dalam LCDI, proyeksi pertumbuhan ekonomi cukup baik rata-rata enam persen, begitu pula untuk Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkat dengan baik. Terjadi penurunan tingkat kemiskinan 4,2 persen sebagai dampak positif perbaikan lingkungan.


Dengan LCDI, harapannya target penurunan emisi GRK Indonesia di 2030 untuk memenuhi Paris Agreement terpenuhi dan di saat yang sama intensitas emisi turun 22 persen. Tantangan pembangunan berkelanjutan saat ini banyak, salah satunya pandemi COVID-19, sehingga perlu kebijakan pembangunan yang lebih adaptif dalam LCDI.

Untuk mengetahui pemberitaan media periode ini dengan lebih lengkap, silakan unduh materi yang tersedia di lampiran. Semoga bermanfaat.

Related Article

id_IDID