Madani

Tentang Kami

Leaders Summit on Climate Diharapkan Mampu Memberikan Solusi Nyata Bagi Perubahan Iklim

Leaders Summit on Climate Diharapkan Mampu Memberikan Solusi Nyata Bagi Perubahan Iklim

KTT Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate (LSC) yang diselenggarakan pada 22 hingga 23 April 2021 dan dihadiri pemimpin dari 40 negara, ini diharapkan mampu memberikan solusi nyata bagi perubahan iklim yang tengah melanda.

Forum ini digelar untuk membahas kesiapan negara-negara menghadapi perubahan iklim yang ekstrim, di mana emisi gas rumah kaca (GRK) begitu tinggi dan menciptakan dampak iklim bagi berbagai negara-negara di dunia. LSC sebagai wahana diskusi ini juga menjadi tempat persiapan menuju konferensi PBB Perubahan Iklim (COP 26) pada bulan November 2021 mendatang di Glasgow.

Presiden Jokowi hadir bersama beberapa menteri lainnya, yaitu Menko Maritim dan Investasi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Menteri ESDM. Dalam forum tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata. 

Kedua, Jokowi mengajak para pemimpin dunia memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim – meski tidak meningkatkan ambisi mitigasi. Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang kemitraan global harus diperkuat. 

Pada kesempatan yang sama, konferensi tersebut juga menghasilkan sebuah pembentukan Koalisi LEAF (The Lowering Emissions by Accelerating Forest), sebuah inisiatif baru yang ambisius antara sektor publik dan swasta yang dirancang untuk mengakselerasi aksi iklim. Kedua pihak sepakat untuk menyediakan mekanisme pembiayaan berbasis hasil bagi negara-negara yang berkomitmen untuk melestarikan hutan tropisnya.

Inisiatif ini bertujuan untuk memobilisasi pembiayaan dengan dana sebesar 1 miliar dolar, dan menandai salah satu upaya publik dan swasta dalam skala terbesar guna melestarikan hutan tropis, yang dapat bermanfaat bagi milyaran jiwa sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.

Dapatkan Pemberitaan Media edisi 19-25 April dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Ekonomi Politik Updates, dari Leaders Summit on Climate Hingga KTT ASEAN

Ekonomi Politik Updates, dari Leaders Summit on Climate Hingga KTT ASEAN

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (19-26 April 2021), berikut cuplikannya:

1. Leader Summit on Climate

Amerika Serikat mengadakan Leaders’ Summit on Climate pada 22-23 April 2021 yang diadakan selama dua hari dan dihadiri 40 negara perwakilan dari seluruh dunia. Leaders’ Summit on Climate membahas pentingnya negara-negara dunia mempertahankan batas kenaikan suhu global di 1,5°C agar tidak menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang diundang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi memaparkan upaya Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Presiden Jokowi mengatakan Indonesia berhasil menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 66 juta hektare serta mampu menekan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin negara yang hadir untuk memajukan pembangunan hijau. Presiden Jokowi juga menyebutkan, Indonesia telah memutakhirkan NDC untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Sayangnya, dalam pidatonya, tidak seperti beberapa negara lain yang menargetkan net zero emission di tahun yang spesifik, Presiden Jokowi tidak menyatakan secara eksplisit target net zero emission Indonesia yang akan dicapai.

2. Peringatan Hari Bumi

Peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April menuai sejumlah kritik terkait komitmen Pemerintah soal Perubahan Iklim. Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana menyebutkan bahwa pemerintah tak responsif dalam beberapa hal.

Salah satunya yaitu sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengacu pada standar lama yang membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat Celcius. Padahal Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau panel iklim PBB telah merekomendasikan batas rata-rata kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius.

Dampak perubahan iklim ini, telah dirasakan masyarakat. Merujuk pada data-data yang dihimpun Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim. Bencana tersebut antara lain seperti angin topan, siklon, dan bencana ekologis lainnya. BMKG sendiri mengonfirmasi salah satu faktor yang membuat fenomena siklon tropis terjadi masih di wilayah Indonesia dan berdampak pada bencana hidrometeorologi itu tak lepas dari pemanasan global.

Senada dengan Wahyu, Direktur Lingkungan Hidup Partai Solidaritas Indonesia, Mikhail Gorbachev Dom mengatakan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini juga merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan dan tingkah laku manusia dalam mengelola alam. Global Climate Risk Index 2021 sendiri menempatkan Indonesia dalam ranking 3 dunia untuk resiko bencana. Karena itu, menurut Gorba sangat tidak layak KLHK mengeluarkan target 2070 untuk Indonesia nol emisi dalam Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience Indonesia (LTS LCCR) Indonesia.

3. KTT ASEAN soal Myanmar

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang membahas krisis Myanmar digelar di Jakarta pada Sabtu (24/4) dan dihadiri oleh petinggi-petinggi negara ASEAN termasuk Pemimpin Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.

Dalam konferensi ini disepakati lima konsensus, yakni kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar. Terkait pertemuan ini, pihak oposisi junta militer Myanmar bernama NUG, yang merupakan pemerintahan sipil sebagai tandingan dari pemerintahan junta militer menyebut bahwa KTT ASEAN sudah gagal. Menurut NUG, poin-poin perjanjian tadi berpihak pada junta militer yang justru sudah melakukan pelanggaran HAM.

KTT ini juga menjadi sorotan global maupun domestik lantaran dihadiri oleh pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Di Indonesia sendiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat sipil juga menolak kehadiran junta militer. Koalisi itu terdiri dari KontraS, Amnesty International Indonesia, FORUM ASIA, AJAR, Milk Tea Alliance Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Human Rights Working Group, Migrant CARE, Asia Democracy Network, Kurawal Foundation, hingga SAFEnet. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pun menganggap keputusan ASEAN mengundang Aung Hlaing akan menghalangi hubungan blok Asia Tenggara tersebut dengan rakyat Myanmar.

Related Article

Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global

Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global

[Jakarta, 23 April 2021] Indonesia sangat berpotensi memimpin negara-negara di dunia dalam menangani krisis iklim. Selain merupakan negara ketiga terbesar pemilik hutan hujan tropis di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia juga berhasil dalam menurunkan deforestasi hingga 75 persen di periode 2019-2020. “Capaian tersebut adalah wujud komitmen dan aksi nyata  bagi Indonesia dalam menangani krisis iklim dunia. Apalagi Pemerintah Indonesia juga telah menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut”. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate tanggal 22 April 2021. 

Namun sangat disayangkan, Pidato Presiden Joko Widodo pada forum Leaders Summit on Climate yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden tak menyiratkan hal tersebut. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektare yang mana lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia. Namun, hanya dengan pencapaian itu saja belum cukup. Masih diperlukan upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan Kehutanan (LULUCF) tersebut. “Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru dengan menambahkan 9,4 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi dalam PIPPIB, PIAPS, serta di luar izin dan konsesi akan membantu Indonesia menekan kembali angka deforestasinya. Serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang terdepan dalam menangani krisis iklim dunia,” ungkap Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia telah menargetkan di sektor kehutanan skenario paling ambisius (LCCP) terhadap laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan di periode tahun 2031-2050 sebesar 99 ribu hektare per tahun. “Dengan skenario ini, Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2070, dengan syarat Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC,” tambah Yosi Amelia.

Presiden Joko Widodo pada pidatonya juga menyebutkan mengenai target pemulihan mangrove seluas 620 ribu hektare yang memang patut diapresiasi. “Namun perlu adanya peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres BRGM, target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020. Sayangnya, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara itu di sisi lain 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak,” ujar Yosi Amelia.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera merealisasikan target restorasi gambut yang telah ada dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 lalu tidak hanya pada ekosistem gambut yang berada di luar area izin/konsesi namun juga ekosistem gambut yang berada di dalam area izin/konsesi,” tambah Yosi Amelia. 

Presiden Joko Widodo juga menyampaikan terkait peluang dan rencana pengembangan biofuel di Indonesia. “Upaya penurunan emisi karbon sektor energi dengan menggunakan energi terbarukan biofuel harus dilakukan dengan hati-hati, karena jangan sampai upaya pengembangan biofuel ini mengorbankan hutan alam Indonesia dengan menggantikan hutan alam menjadi hutan tanaman energi atau memperluas perkebunan sawit guna memenuhi bahan baku biofuel. Pembukaan hutan dan lahan untuk biofuel akan berisiko meningkatkan deforestasi sehingga Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya serta mencapai net zero emission di tahun 2050,” ungkap Yosi Amelia.

Negara-negara peserta KTT telah menyampaikan komitmen yang lebih ambisius mengurangi emisi dalam upaya memerangi krisis iklim, termasuk negara Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Namun, Indonesia sendiri belum berani menunjukkan komitmen yang ambisius untuk mencapai net zero emission sebelum tahun 2050. “Seharusnya Pertemuan Leaders Summit on Climate ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim, serta menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyampaikan pencapaian netral karbon (net zero emission) di tahun 2050 sebagaimana ditargetkan di dalam Persetujuan Paris,” tutup Nadia Hadad.[ ] 

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Open Letter Joe Biden

Open Letter Joe Biden

Open Letter

April 21, 2021 

The Honorable Joseph R. Biden 

President of the United States of America 

The White House 

Washington DC

Dear Mr. President, 

First, we would like to offer our sincere congratulations to you and to Vice President-elect Kamala Harris. We greatly appreciate your action on convening global leaders by inviting 40 world leaders to the Leaders Summit on Climate promptly after you took office. This has been such a difficult time for so many around the world to limit the planetary warming to 1.5 degrees Celsius in order to stave off the worst impacts of climate change and with your commitment to bring the United States back to the global race against time we believe you will be able to bring positive impacts to other global leaders to take more earnest actions against climate crisis which impacts we are already experiencing.  

Representing the other 270 million people of Indonesia, we offer you our gratitude for taking the time to pay attention to the status of Indonesia’s climate commitment. You are right, Indonesia is in a grave need to up its climate policy. Believing in your and the US power to spread positive impacts throughout the world, we are asking you to: 

1. Consistently be a role-model for sustainable development for the world. As a major economic country, the US is also the second largest contributor for global emissions. The US must enhance its own mitigation ambition and support vulnerable countries to adapt to climate crisis. It is undeniable that the US has a large investment value in Indonesia in both the private and public sectors. Therefore, we urge you to transform US foreign investment into green investments. US investment must rapidly shift from the fossil fuel industry to renewable energy. We also need you to encourage the implementation of policies on the use of 100% renewable energy in every investment made in Indonesia. Accordingly, Indonesia’s emissions from the energy sector will also be reduced. 

2. Proactively ask Indonesia to commit to achieve net zero emissions in 2050. According to scientists, Indonesia’s NDC target needs to be ramped up to achieve the 1.5 degree target. In addition, our government has not yet officially stated when Indonesia will achieve its net zero emissions target. If recent seminars and discussions that are held by our government are true, and the government is not willing to change its target, Indonesia will achieve its net zero emissions target by 2070. It is indubitably too late and the climate crisis will certainly win the race against time. During the Leaders Summit on Climate, we are asking you to support Indonesia’s President, Mr. Joko Widodo, to expedite Indonesia’s net zero emission target. 

3. Continuously increase the opportunities for green investments in Indonesia. The agreement between the US and China to provide green funds is a great stepping stone to help other countries in energy transition. Currently, Indonesia is facing obstacles to phase out from fossil fuel to renewable energy as 85% of our energy production is still generated from fossil fuels. The existence of green investment financial support will unquestionably encourage Indonesia to accelerate our transformation to renewable energy development and enhance the Environmental, Social, and Good Governance (ESG) sector and Indonesia’s NDC. 

4. Support sustainable development programs from the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector by investing on conservation programs and through technology and knowledge transfer. Although we are grateful on your administration’s advice for Indonesia to try reducing emissions to 43% and 48% for 2030 outside the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector, it is important to note that the LULUCF sector is still the biggest contributor for the entirety of Indonesia’s greenhouse gas emissions. Your support for Indonesia to achieve its climate commitment from the energy and LULUCF sector will definitely be welcomed. As important as it is to start transitioning to renewable energy, our entire ecosystem will also be saved from the dreadful future of the climate crisis if our government ensures zero deforestation of forests and peatland. Your support for Indonesia to save and rehabilitate its remaining natural forests, peatland, and mangrove will certainly contribute to creating more resilient communities against climate crisis. It is imperative, however, that your support in this sector is not used as an excuse to slow down transition in the energy sector in the US. 

5. Guarantee the survival of indigenous peoples and the sustainability of local resources through socially and environmentally responsible investments. We believe that US investments in Indonesia can have a positive impact and support the welfare of indigenous peoples and not take away the rights to manage local resources. 

We believe that now is the time for the US to go hand in hand with Indonesia in an equal partnership to transition to green investment and create a more sustainable development and more resilient communities, the first step of which is by stepping up US and Indonesia’s climate ambition. Quoting your statement in the Executive Order, “Together, we must listen to science and meet the moment.” Indeed, listening to science and meeting the moment requires global collaboration to stave off the worst impacts of the climate crisis and we believe that US timely leadership can help the world win the race against time.


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

id_IDID