Madani

Tentang Kami

DUKUNG KOMITMEN IKLIM INDONESIA, YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN GELAR PENGUATAN PROGRAM HIJAU DAN BIMBINGAN TEKNIS AKSARA DI PROVINSI MALUKU

DUKUNG KOMITMEN IKLIM INDONESIA, YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN GELAR PENGUATAN PROGRAM HIJAU DAN BIMBINGAN TEKNIS AKSARA DI PROVINSI MALUKU

Dalam mendukung upaya pemerintah mencapai komitmen iklim Indonesia atau dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditingkatkan (enhanced) yakni sebesar 31,89% dari sebelumnya 29% tanpa syarat (dengan kemampuan sendiri), dan 43,20% dari 41% dengan dukungan internasional, Yayasan Madani Berkelanjutan ikut berkontribusi dalam penguatan program hijau yang salah satunya diimplementasikan di Provinsi Maluku.

Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai masyarakat sipil berkomitmen mendukung berbagai upaya pemerintah dalam implementasi program komitmen iklim dalam mencapai target NDC yang makin serius”, ujar Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan dalam acara Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan pada 15-17 Februari 2023 di Ambon, Maluku.

Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, menjelaskan tentang
keikutsertaan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai bagian masayrakat sipil dalam mendukung 
pemerintah daerah mewujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Giorgio atau yang akrab dipanggil “Jojo” juga menyampaikan bahwa selama ini Yayasan Madani Berkelanjutan percaya bahwa berbagai komitmen yang telah ditetapkan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga harus dikolaborasikan dengan berbagai pihak, salah satunya tentu bersama masyarakat sipil.

BACA JUGA: Sumatera dan Kalimantan Dominasi Area Sawit Terluas

Oleh karena itu, Jojo menekankan bahwa Yayasan Madani Berkelanjutan sangat berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam implementasi program demi pencapaian komitmen Indonesia. 

Penguatan Program Hijau dan Bimbingan Teknis AKSARA

Dalam rangkaian acara Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan dalam 3 hari secara hybrid (online dan offline), Yayasan Madani Berkelanjutan menghadirkan narasumber dari Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). Kemudian narasumber dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan RI, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI, dan Tim Ahli Low Carbon Development Indonesia (LCDI), dari Bappenas RI.

Di hari pertama dan sesi pertama, peserta mendapatkan materi mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dalam mendukung pembangunan rendah karbon untuk mencapai komitmen iklim yang disampaikan oleh Dyah Sih Irawati S.Si.,MA, selaku Kepala Sub Direktorat Kehutanan, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI.

Dyah Sih Irawati menyebut bahwa perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai target komitmen iklim. “Untuk mencapai komitmen iklim, maka perlu adanya koordinasi antara Pusat dan Daerah. Hal itu karena masing-masing instansi memiliki instrumen yang berbeda-beda sehingga diperlukan adanya sinkronisasi antar sektor juga”, ujar Dyah Sih Irawati.

BACA JUGA: Lembar Fakta FOLU Net Sink 2030

Kemudian di sesi kedua, peserta mendapatkan materi mengenai Peluang Alternatif Pendanaan Iklim di Daerah untuk Pelestarian Lingkungan Hidup yang disampaikan oleh Lia Kartikasari selaku Kepala Divisi Penghimpunan dan Pengembangan Layanan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan RI.

Lia Kartikasari mengatakan ada banyak peluang pendanaan untuk pelestarian lingkungan yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah. “Untuk mendapatkan pendanaan, provinsi harus sudah memiliki rencana aksi, kebutuhannya berapa, dan apa yang akan dicapai”, pungkas Lia Kartikasari.

Peserta kegiatan Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan pada 15-17 Februari 2023 di Ambon, Maluku.

Untuk kegiatan di hari kedua dan ketiga, peserta akan mendapatkan bimbingan teknis penggunaan Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon atau AKSARA. Aplikasi ini adalah aplikasi atau tools yang membantu melakukan monitoringevaluation, and reporting (MER) dalam menyukseskan kerangka Pembangunan Rendah Karbon.

Dalam mekanisme pelaporan AKSARA, perlu adanya pembinaan serta koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku pemantau dan pelapor kegiatan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan berketahanan iklim. Hal ini tentu terkait dengan transparansi dan akuntabilitas dari AKSARA itu sendiri.

Related Article

Ekonomi Politik Updates, dari Leaders Summit on Climate Hingga KTT ASEAN

Ekonomi Politik Updates, dari Leaders Summit on Climate Hingga KTT ASEAN

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (19-26 April 2021), berikut cuplikannya:

1. Leader Summit on Climate

Amerika Serikat mengadakan Leaders’ Summit on Climate pada 22-23 April 2021 yang diadakan selama dua hari dan dihadiri 40 negara perwakilan dari seluruh dunia. Leaders’ Summit on Climate membahas pentingnya negara-negara dunia mempertahankan batas kenaikan suhu global di 1,5°C agar tidak menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang diundang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi memaparkan upaya Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Presiden Jokowi mengatakan Indonesia berhasil menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 66 juta hektare serta mampu menekan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin negara yang hadir untuk memajukan pembangunan hijau. Presiden Jokowi juga menyebutkan, Indonesia telah memutakhirkan NDC untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Sayangnya, dalam pidatonya, tidak seperti beberapa negara lain yang menargetkan net zero emission di tahun yang spesifik, Presiden Jokowi tidak menyatakan secara eksplisit target net zero emission Indonesia yang akan dicapai.

2. Peringatan Hari Bumi

Peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April menuai sejumlah kritik terkait komitmen Pemerintah soal Perubahan Iklim. Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana menyebutkan bahwa pemerintah tak responsif dalam beberapa hal.

Salah satunya yaitu sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengacu pada standar lama yang membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat Celcius. Padahal Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau panel iklim PBB telah merekomendasikan batas rata-rata kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius.

Dampak perubahan iklim ini, telah dirasakan masyarakat. Merujuk pada data-data yang dihimpun Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim. Bencana tersebut antara lain seperti angin topan, siklon, dan bencana ekologis lainnya. BMKG sendiri mengonfirmasi salah satu faktor yang membuat fenomena siklon tropis terjadi masih di wilayah Indonesia dan berdampak pada bencana hidrometeorologi itu tak lepas dari pemanasan global.

Senada dengan Wahyu, Direktur Lingkungan Hidup Partai Solidaritas Indonesia, Mikhail Gorbachev Dom mengatakan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini juga merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan dan tingkah laku manusia dalam mengelola alam. Global Climate Risk Index 2021 sendiri menempatkan Indonesia dalam ranking 3 dunia untuk resiko bencana. Karena itu, menurut Gorba sangat tidak layak KLHK mengeluarkan target 2070 untuk Indonesia nol emisi dalam Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience Indonesia (LTS LCCR) Indonesia.

3. KTT ASEAN soal Myanmar

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang membahas krisis Myanmar digelar di Jakarta pada Sabtu (24/4) dan dihadiri oleh petinggi-petinggi negara ASEAN termasuk Pemimpin Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.

Dalam konferensi ini disepakati lima konsensus, yakni kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar. Terkait pertemuan ini, pihak oposisi junta militer Myanmar bernama NUG, yang merupakan pemerintahan sipil sebagai tandingan dari pemerintahan junta militer menyebut bahwa KTT ASEAN sudah gagal. Menurut NUG, poin-poin perjanjian tadi berpihak pada junta militer yang justru sudah melakukan pelanggaran HAM.

KTT ini juga menjadi sorotan global maupun domestik lantaran dihadiri oleh pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Di Indonesia sendiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat sipil juga menolak kehadiran junta militer. Koalisi itu terdiri dari KontraS, Amnesty International Indonesia, FORUM ASIA, AJAR, Milk Tea Alliance Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Human Rights Working Group, Migrant CARE, Asia Democracy Network, Kurawal Foundation, hingga SAFEnet. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pun menganggap keputusan ASEAN mengundang Aung Hlaing akan menghalangi hubungan blok Asia Tenggara tersebut dengan rakyat Myanmar.

Related Article

FOOD TECHNOLOGY STARTUP BERORIENTASI LINGKUNGAN

FOOD TECHNOLOGY STARTUP BERORIENTASI LINGKUNGAN

Dewasa ini, eksistensi perusahaan rintisan (startup) kian menjamur. Dilansir dari laman Tech in Asia yang merupakan salah satu komunitas online pelaku startup di Asia, menyatakan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih kondusif meskipun situasi ekonomi Indonesia saat ini terombang-ambing akibat pandemi. Bahkan masih banyak startup yang mendapatkan pendanaan dari para venture capital meskipun cenderung menurun. Hal yang membedakan ialah saat ini pihak venture capital akan lebih teliti dalam meninjau rencana profitabilitas startup sekaligus potensi sektor yang digelutinya.

Kehadiran inovasi-inovasi teknologi melalui layanan startup di berbagai sektor sangat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, baik skala mikro maupun makro. Menurut riset INDEF, ekonomi digital telah berkontribusi sebesar 5,5% atau sekitar Rp 814 triliun untuk PDB Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan riset yang sama, sektor ekonomi digital juga telah membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru. Menurut laporan yang bertajuk eConomy SEA 2019, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 nanti.

Perhatian yang serius terhadap pertumbuhan startup tentu diperlukan dalam rangka memajukan perekonomian bangsa.  Menurut William Gozali, Ketua I Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), terdapat tiga sektor yang potensial untuk digarap di tahun 2021, yaitu : digitalisasi UMKM, social commerce, dan food technology. 

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Sektor terakhir, food technology startup ataupun food and beverage startup, memang terlihat menjanjikan akhir-akhir ini. Salah satunya ditandai dengan keberhasilan Kopi Kenangan mendapatkan suntikan dana sebesar $109 juta atau setara Rp 1,6 triliun di tengah situasi pandemi. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan model bisnis industri pangan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya terdapat 3 lingkup industri pangan yang perlu didisrupsi dengan menghadirkan inovasi yang lebih ramah lingkungan:

1. Optimalisasi pangan lokal

Mengkonsumsi pangan lokal dapat didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diproduksi di sekitar tempat tinggal. Di Amerika Serikat, para pelakunya disebut sebagai locavore, umumnya mereka mengonsumsi makanan yang diproduksi pada jarak radius 100 mil dari kediaman masing-masing.

Distribusi dan transportasi bahan makanan yang umumnya berjarak jauh berasosiasi terhadap tingginya konsumsi bahan bakar, meningkatnya polusi udara serta emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Dengan mengkonsumsi pangan lokal, dampak buruk tersebut dapat berkurang. Selain itu, mengkonsumsi pangan lokal berarti membantu petani lokal atau pemilik lahan skala kecil yang umumnya mempraktikkan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan dibanding pemilik lahan besar. Umumnya, model produksi petani lokal bersifat agroekologis dan multikultur dan minim pemakaian input kimia sehingga kesuburan tanah lebih terjaga. Konsumsi pangan lokal yang identik dengan diversifikasi pangan juga dapat membantu merawat keanekaragaman varietas genetika (biodiversitas). 

2. Reduksi angka food loss dan food waste

Diperkirakan sepertiga dari total makanan yang diproduksi dunia per tahunnya (sekitar 1,3 miliar ton) terbuang, baik berupa food loss maupun food wasteFood loss merupakan sampah bahan pangan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah sehingga akhirnya dibuang. Penyebabnya bisa berupa terjadinya pembusukan pasca panen, mutu rendah, ataupun permintaan pasar yang rendah. Adapun food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.

Limbah makanan tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dikutip dari FAO, produksi agrikultur bertanggung jawab terhadap 92% water footprint. Water footprint pada suatu produk didefinisikan sebagai total  volume air segar  yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Masalah lingkungan terjadi jika penggunaan air lebih banyak menggunakan blue water (irigasi) daripada green water (air hujan). Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi tanah, penipisan air dan salinisasi. Faktanya, secara global, blue water footprint untuk produksi agrikultur dari makanan yang terbuang mencapai sekitar 250 km3 pada tahun 2007.

Masalah besar lainnya ialah carbon footprint. Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Kedua senyawa tersebut tidak sehat bagi lingkungan karena berpotensi merusak lapisan ozon. Rata-rata carbon footprint yang dihasilkan sekitar 500 kg CO2 per kapita per tahun. Selain itu, limbah pangan juga berasosiasi terhadap pembukaan lahan yang sia-sia. Padahal, pembukaan lahan umumnya mengorbankan penyusutan biodiversitas.

3. Substitusi bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan

Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Penumpukan sampah plastik yang sulit terurai dapat mencemari lingkungan. Polimer sintesis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, dikembangkanlah biodegradable plastic, yaitu plastik yang mudah terurai kembali oleh mikro organisme di tanah menjadi senyawa ramah lingkungan. Biodegradable plastic terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan biodegradable plastic adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Harga biodegradable plastic lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga berpengaruh. 

Ketiga lingkup tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran inovasi berupa food technology startup berorientasi lingkungan dapat menjadi solusi. Layanan digital dapat menghubungkan petani lokal dengan konsumen secara mudah, memungkinkan traceability suatu bahan pangan, mengelola daur ulang sampah makanan secara optimal, mengolah hasil panen bermutu rendah namun masih layak konsumsi, serta menggiatkan penelitian dan pemakaian kemasan ramah lingkungan sehingga harganya lebih terjangkau.

Layanan-layanan di atas merupakan beberapa contoh dari apa yang dapat  dilakukan untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya. Fleksibilitas startup dalam menyusun business model menjadi salah satu keuntungan tersendiri, sehingga dapat dengan cepat mengadopsi sistem perekonomian yang ramah lingkungan. 

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, hingga konsumen. Kini saatnya mengarahkan kemajuan teknologi untuk mentransformasikan sistem pangan dan perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan.  

Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman

Mahasiswa IPB University

Related Article

[1000 GAGASAN] PENGOPTIMALAN JASA LINGKUNGAN HUTAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI TANPA DEFORESTASI

[1000 GAGASAN] PENGOPTIMALAN JASA LINGKUNGAN HUTAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI TANPA DEFORESTASI

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini Indonesia sedang gencar mengembangkan perekonomiannya. Terlebih setelah World Bank dan International Monetary Fund memprediksi di akhir tahun 2020 ekonomi global akan memasuki resesi dengan penurunan laju ekonomi ke negatif 2,8%, turun 6% dari pertumbuhan ekonomi global di periode sebelumnya, yang juga diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun hingga negatif 0,09%, khususnya karena penurunan di sektor pariwisata dan perdagangan akibat pandemi Covid-19 (Nasution et al., 2020). 

Prediksi ini direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan investasi di Indonesia, salah satunya melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut dianggap lebih banyak menguntungkan investor dan cenderung mengorbankan aspek kelestarian lingkungan. Hutan kemudian menjadi taruhan yang utama atas dipermudahnya kegiatan investasi. Pasalnya, sejak dulu, kegiatan investasi seperti perkebunan atau pertambangan banyak mengorbankan hutan sebagai trade-off untuk pembangunan ekonomi.

Selama ini, banyak yang menganggap hutan memiliki fungsi lingkungan yang tinggi, namun tidak sebanding dengan beban biaya (cost centre) yang dikeluarkan. Padahal, jika dikaji lebih dalam, hutan pada dasarnya memiliki jasa lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, namun juga dapat dioptimalkan manfaatnya dalam menyokong perekonomian Indonesia. Jasa lingkungan hutan sebagai provisioning (penyediaan), regulating (regulasi iklim, air, dan tanah), cultural (pendidikan dan rekreasi), maupun supporting (produksi primer dan siklus hara) dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tentunya dengan pengelolaan secara berkelanjutan. 

BACA JUGA: Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Pengoptimalan jasa lingkungan hutan secara ekonomi dapat menjaga hutan terjaga dari deforestasi karena hutan dapat memberikan pemasukan yang cukup bagi negara dan masyarakat, disamping hanya sebagai beban biaya seperti yang dianggap selama ini. Pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui skema ekowisata dan perdagangan jasa lingkungan tanpa menghilangkan sedikitpun unsur ekosistem dari hutan itu sendiri.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Cultural (budaya) Melalui Ekowisata Forest Therapy

Ekowisata forest therapy sebagai bagian dari jasa lingkungan hutan yang masuk dalam kategori cultural dapat dijadikan gagasan untuk menyokong perekonomian Indonesia. Ekowisata ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan dan meningkatkan imun bagi para pengunjung, baik secara fisik maupun psikologis. Ini berpotensi besar untuk dikembangan pada era new normal karena banyaknya masyarakat yang merasakan tekanan khususnya pada aspek psikologis akibat kebijakan Work From Home (WFH) atau karantina pada masa pandemi Covid-19. Penelitian Brooks et al. (2020) menunjukkan bahwa Covid-19 telah menimbulkan gejala stres pasca-trauma, kebingungan, kemarahan, ketakutan akan infeksi, frustasi, dan sebagainya pada masyarakat.

Hutan terbukti memiliki fungsi terapi fisik dan psikologis. Konsep hutan sebagai sarana terapi yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an (Williams, 1998). Di berbagai negara seperti Amerika, Korea Selatan, dan Jepang, kegiatan ini sudah banyak dilakukan (Rajoo et al., 2020). Di Jepang, kegiatan ini disebut sebagai “Shinrin-yoku” (Kotera & Rhodes, 2020). Shinrin-yoku telah banyak digunakan pada bidang klinis, untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Sedangkan di Korea Selatan, terapi hutan telah didefinisikan secara legal oleh hukum sebagai penguatan kekebalan dan kegiatan peningkatan kesehatan yang memanfaatkan berbagai elemen hutan (Jung et al., 2015). Sayangnya, di Indonesia kegiatan ini masih belum menjadi sorotan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh hutan terhadap peningkatan kesehatan manusia. Penelitian Byeongsang (2017) menunjukkan berada di hutan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperlancar sistem kardiovaskular, memperbaiki rasa nyeri, menaikkan sistem imun, meningkatkan produksi protein anti kanker, mengurangi depresi dan kecemasan, relaksasi mental, memperbaiki konsentrasi dan memori, meningkatkan rasa bahagia, hingga memulihkan seseorang dari kecanduan. Rajoo et al. (2020) membuktikan program 9 hari di hutan telah terbukti berhasil menyembuhkan seseorang dari kecanduan alkohol. 

Peningkatan kesehatan, sistem imun, sarana healing, dan pereda stres dapat dijadikan nilai tambah yang menjual kegiatan ekowisata ini. Kegiatan forest therapy ini tidak seperti ekowisata biasa, melainkan perlu beberapa ketentuan khusus yang mendukung fungsi hutan sebagai terapis. Di antaranya dengan menunjuk spot-spot khusus yang memiliki fungsi terapi, membuat jalur terapi, membatasi jumlah pengunjung, menyediakan alat pengukur kesehatan seperti sphygmomanometer, dan menyediakan beberapa paket khusus terapi alami. Paket-paket tersebut memiliki harga yang berbeda, yang ditentukan oleh bentuk kegiatannya. Contohnya, paket untuk peningkatan kesehatan psikologis dan pengobatan stress ringan dilakukan dengan berkegiatan di spot terapi selama 3 jam yang disertai dengan meditasi, harganya berkisar Rp 25.000,00 untuk sekali kunjungan. Sedangkan, paket untuk menyembuhkan kecanduan dilakukan selama 9 hari berturut-turut, dengan harga paket mencapai Rp 200.000,00.

Dengan dibentuknya kegiatan ekowisata ini, pembangunan ekonomi berbasis hutan tidak hanya menguntungkan aspek ekonomi dan ekologi semata, namun juga dapat menguntungkan aspek sosial dikarenakan kegiatan ekowisata di hutan akan banyak melibatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaannya. Masyarakat dapat dikembangkan untuk turut bekerja di dalamnya, misalnya dengan menjadi guide therapist, sebagai penjaga spot, atau sekedar menjaga loket dan berjualan obat herbal atau HHBK di depan kawasan ekowisata. Kegiatan ini dapat menjawab ketiga unsur pembangunan berkelanjutan yaitu peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek ekologis sekaligus meningkatkan aspek sosial kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan. Kegiatan ini juga dapat menjawab empat poin SDGs yaitu poin 8 (decent work and economic growth), poin 10 (reduced inequalities), poin 13 (climate action), dan poin 15 (life on land).

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Regulating (regulasi iklim) Melalui Skema Perdagangan Karbon

Selain dengan skema ekowisata, pengoptimalan jasa lingkungan hutan tanpa sedikitpun menghilangkan unsur ekosistemnya juga dapat dilakukan melalui pengoptimalan jasa lingkungan regulating dengan skema perdagangan karbon. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sistem perdagangan karbon dibagi menjadi dua jenis, yaitu cap-and-trade dan crediting. Di Indonesia, sistem crediting lebih umum digunakan. Dalam sistem ini, komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar karbon dunia (Purnomo, 2013).

BACA JUGA: Impact Investing: Cara Baru Untuk Melakukan Investasi

Di Indonesia, perdagangan karbon belum menjadi prioritas bagi pemerintah atau pemegang hak karena mekanisme sertifikasinya yang rumit. Walau begitu, hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk peningkatan ekonomi Indonesia karena keuntungan jangka panjang yang tinggi akan didapatkan setelah hutan tersertifikasi. Skema perdagangan karbon yang umum digunakan di Indonesia saat ini adalah melalui crediting dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yang telah mengakomodir berbagai kerja sama bilateral crediting karbon antara Indonesia dengan negara lain seperti Australia dan Norwegia (CIFOR, 2010). Sayangnya, REDD+ baru mengakomodir beberapa hutan di Pulau Kalimantan dan sedikit di Pulau Sumatera dalam skema proyeknya, serta Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai satu-satunya kawasan hutan di Jawa yang dinilai simpanan karbonnya. 

REDD+ yang dapat membayar simpanan karbon hutan sebesar US$5/ton CO2-e hingga US$10/ton CO2-e juga telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan community empowerment. Dilansir dari Mongabay, proyek REDD+ di TNMB telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dari rata-rata Rp1.500.000 per tahun pada 2008 menjadi lebih dari Rp3.500.000 pada 2014. Sehingga proyek ini juga sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya gagasan terkait perdagangan karbon ini bukan merupakan gagasan baru, hanya saja, ini merupakan gagasan yang seringkali dilupakan oleh pemerintah. Padahal, tanpa mengkonversi hutan, ekonomi sebenarnya dapat dijaga melalui skema perdagangan karbon ini. Memang tidak terlalu signifikan hasilnya seperti dengan menjual lahan kepada investor untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau pertambangan, namun, kegiatan ini dapat menjamin ekosistem tetap terjaga untuk ekonomi jangka panjang dan masyarakat sekitar kawasan hutan semakin sejahtera. Karena itu, pemerintah perlu mengingat kembali adanya skema ini dan perannya dalam pembangunan berkelanjutan. Aksi nyata perlu dilakukan untuk mendorong pemerintah menjadikan program perdagangan karbon sebagai suatu prioritas.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Lainnya

Jasa lingkungan lain seperti provisioning dapat dioptimalkan nilai ekonominya dengan melakukan pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti usaha madu hutan, getah atau resin, rotan, minyak atsiri, dan sebagainya. Usaha ini dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan perekonomian. Dengan menjaga ketiga fungsi jasa lingkungan, yaitu cultural, regulating, dan provisioning, jasa lingkungan supporting dapat tetap terjaga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan.

Pada akhirnya, kita tetap berharap pada pemerintah untuk dapat melakukan gagasan-gagasan yang diberikan sebagai proses pembangunan ekonomi tanpa deforestasi. Walau begitu, sebagai pejuang lingkungan, kita tetap dapat memperjuangkan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi melalui gagasan-gagasan yang kita cetuskan dan kita sebarluaskan ke banyak orang. Media sosial adalah metode yang paling mudah untuk melakukannya. Dengan semakin banyaknya orang yang peduli lingkungan dan kreatif, perjuangan menuju pembangunan berkelanjutan tanpa merugikan pihak manapun dapat direalisasikan dengan mudah.

Oleh: Hasna Afifah

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, S., Amlôt, R., Rubin, G. J., & Greenberg, N. (2020). Psychological resilience and post-traumatic growth in disaster-exposed organisations: overview of the literature. BMJ Mil Health, 166(1), 52-56.

Byeongsang, Oh, Kyung Ju Lee, Chris Zaslawski, Albert Yeung, David Rosenthal, Linda Larkey, and Michael Back. (2017). Health and well-being benefits of spending time in forests: systematic review. Environmental Health and Preventive Medicine, 22 (1), 71. 

CIFOR. (2010). REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Jung, W.H., Woo, J.M., Ryu, J.S. (2015). Effects of forest therapy program and the forest environment on female workers’ stress. Urban Forestry & Urban Greening, 14, 274–281.

Kotera, Y., & Rhodes, C. (2020). Commentary: Suggesting Shinrin-yoku (forest bathing) for treating addiction. Addictive Behaviors, 111, 106556.

Nasution, D. A. D., Erlina, E., & Muda, I. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Benefita: Ekonomi Pembangunan, Manajemen Bisnis & Akuntansi, 5(2), 212-224.

Purnomo, Agus. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta: Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Rajoo, K. S., Karam, D. S., Wook, N. F., & Abdullah, M. Z. (2020). Forest Therapy: An environmental approach to managing stress in middle-aged working women. Urban Forestry & Urban Greening, 55, 126853.

Williams A. (1998). Therapeutic landscapes in holistic medicine. Soc Sci Med. 46(9), 1193–203.

Related Article

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Reintegrasi antara ekologi dan ekonomi penting untuk dilakukan, karena keduanya saling terkait dan berhubungan. Tujuan dari kebijakan yang tidak lagi terfokus pada model ekonomi konvensional yakni pertumbuhan ekonomi sebagai solusi semua persoalan. Dan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lagi memadai sebab tidak mencerminkan perkembangan yang melibatkan kontinuitas lingkungan hidup, kebahagiaan juga kesejahteraan hidup (wellbeing). Dan mengubah pola pikir ini membutuhkan banyak kerjasama dari berbagai lini, baik itu dari kebijakan publik, komunitas, sektor swasta, akademia, riset hingga pengabdian masyarakat.

 

Ini disampaikan oleh Dr. Luh Gede Saraswati Putri, M.Hum., atau biasa dikenal dengan Saras Dewi, Dosen Filsafat di Universitas Indonesia dalam Seri Dialog MADANI #1000GagasanEkonomi Pembangunan Tanpa Merusak Lingkungan dalam rangkaian acara EU Climate Diplomacy Week 2020, “Act Today for Our Tomorrow”, 2 November 2020. Diskusi Madani kali ini mengangkat tema “Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia”.

Selain Saras Dewi, turut menjadi narasumber adalah Aleta Baun, seorang perempuan adat dari Molo, Nusa Tenggara Timur yang gigih memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran industri ekstraktif pertambangan. Rafa Jafar, seorang anak muda yang menginisiasi Komunitas eWasteRJ, yaitu komunitas yang peduli terhadap pengelolaan sampah elektronik. Serta Delly Ferdian, Specialist Digital Media di Yayasan Madani Berkelanjutan. Dialog ini dipandu oleh Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Saras Dewi menambahkan bahwa ekonomi yang mengarah pada kesejahteraan sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh para ahli, seperti E.F Schumacher, Manfred Max-Neef, Amartya Sen, Elinor Ostrom, Kate Raworth, Robert Costanza hingga ekonom Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Mubyarto. Di dalamnya juga berbicara terkait pangan dan partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dengan lingkungannya. Inilah yang disebut dengan ekonomi kehidupan. Ekonomi kehidupan ini mengarah pada keberlanjutan.

 

Sementara itu, Aleta Baun menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Mollo memiliki prinsip bahwa, “Kami hanya akan jual yang kami buat dan kami tidak akan menjual apa yang kami tidak bisa buat.” Sehingga Masyarakat Adat di Tiga Batu Tungku sampai saat ini gigih untuk mempertahankan wilayah adatnya. “Yang kami jual adalah apa yang kami buat, seperti kain tenun, hasil pertanian, obat herbal, kerajinan tangan dan pangan lokal. Perempuan Adat juga memiliki peranan penting karena perempuan adat adalah penjaga alam juga sebagai ibu bumi. Filosofi Masyarakat Molo adalah Oel Fani On Na’, Na’a Fani On Nafus, Afu Fani On Nesa, Fatu Fani On Nuif. Yang artinya, air adalah darah, pepohonan adalah rambut, tanah adalah daging dan batu adalah tulang. “Untuk itu, bagaimana agar pembangunan bisa dilakukan tanpa harus menghancurkan lingkungan, karena lingkungan adalah modal masyarakat untuk sejahtera yang telah disediakan oleh alam,” ujar Aleta Baun.

Di sisi lain, Rafa Jafar, anak muda penggagas Komunitas eWasteRJ mengajak anak muda semuanya untuk menjadi konsumen elektronik yang bijak, dengan melakukan recycle terlebih dahulu terhadap barang elektronik yang telah digunakan. Karena banyak sekali sampah elektronik yang belum didaur ulang secara benar. “Dari 53,6 juta metric ton sampah elektronik yang dihasilkan di tahun 2019, hanya 17,4 persen yang telah didaur ulang secara benar,” paparnya.

 

Delly Ferdian, Specialist Digital Media Yayasan Madani Berkelanjutan mengajak anak-anak muda untuk menuangkan gagasannya terkait Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di platform yang disediakan di www.madaniberkelanjutan.id Gagasan dapat berupa tulisan, video, dan infografis. Tulisan-tulisan tersebut akan bersanding dengan tulisan-tulisan para ekonom seperti Prof Emil Salim, Prof Hariadi Kartodihardjo, Rimawan Pradiptyo, Ismid Hadad dan yang lainnya.

Materi selengkapnya dari para narasumber dapat diunduh di bawah ini.

Related Article

id_IDID