Madani

Tentang Kami

Prabowo-Sandi, Perkuat Komitmen Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan pada Visi & Misi 2019-2024

Prabowo-Sandi, Perkuat Komitmen Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan pada Visi & Misi 2019-2024

Solusi-solusi yang ditawarkan Prabowo-Sandi berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur, mengingat adanya komitmen untuk merehabilitasi hutan rusak menjadi hutan tanaman industri.

SIARAN PERS – Untuk disiarkan segera
Jakarta, 29 November 2018
Dalam visi-misinya, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 pada Pemilu 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, menyatakan akan berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global sesuai kondisi Indonesia. Namun, keduanya belum menunjukkan langkah konkret dalam mewujudkannya, serta belum memiliki komitmen untuk menyelesaikan akar persoalan perubahan iklim, yakni penggundulan hutan dan perusakan lahan gambut secara masif akibat masih buruknya tata kelola sektor hutan dan lahan di Indonesia. Temuan ini diungkap pada “Election Talk 2019: Membedah Visi-Misi Kandidat Presiden” yang digelar oleh Yayasan Madani Berkelanjutan di Kedai Tjikini, Jakarta, 29 November 2018.

Kesimpulan tersebut dihimpun oleh Yayasan Madani Berkelanjutan berdasarkan analisis atas dokumen “Empat Pilar Mensejahterahkan Indonesia: Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi”. Dokumen ini diterbitkan oleh Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Koalisi Indonesia Adil Makmur, berisi jabaran visi dan misi yang kelak dilaksanakan keduanya jika terpilih sebagai pemimpin negeri pada Pemilu 2019 mendatang. Porsi pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam dokumen ini hanya berkisar 17,6 persen, dengan rincian isu pengelolaan hutan berkelanjutan hanya berkisar 8,1 persen, ketimpangan penguasaan lahan sebesar 2 persen, energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,4 persen, serta penegakan hukum 6,1 persen. Komitmen perlindungan gambut, mitigasi bencana, polusi industri, perkebunan sawit, dan masyarakat hukum adat tidak mendapatkan tempat sama sekali.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi niat untuk memperbaiki lingkungan hidup yang dicantumkan pada dokumen tersebut, yakni rehabilitasi hutan rusak, lahan kritis, dan Daerah Aliran Sungai (DAS); serta moratorium Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang habis masa berlakunya. Akan tetapi, solusi-solusi yang ditawarkan berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur, mengingat adanya komitmen untuk merehabilitasi hutan rusak menjadi hutan tanaman industri.

“Ini mengindikasikan bahwa pasangan Prabowo-Sandi belum memahami persoalan lingkungan hidup Indonesia secara tepat dan belum memiliki konsep membangun tanpa merusak,” ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sebagai pengusaha, baik Prabowo Subianto maupun Sandiaga Uno turut menjalankan beberapa perusahaan di sektor perkebunan kelapa sawit, salah satunya PT Tidar Kerinci Agung milik Prabowo dan PT Provident Agro Tbk yang dipunyai Sandi. Sayangnya, perbaikan tata kelola industri sawit nasional tidak menjadi perhatian, sedangkan di sisi lain isu perkebunan sawit berkelanjutan telah menjadi salah satu topik bahasan utama pemerintah Indonesia dan global, baik dalam konteks ekonomi, petani, dan lingkungan hidup.

Praktik korupsi sumber daya alam terkait erat dengan minimnya keterbukaan informasi publik dalam konteks kehutanan. Dengan demikian, perbaikan tata kelola sumber daya alam mesti dimulai dengan membuka akses informasi kepada publik, sebagaimana menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Soelthon Nanggara.

“Pemerintah ke depan harus benar-benar memperhatikan keterbukaan informasi. Dalam pengelolaan sumber daya alam, publik tidak hanya butuh keterbukaan soal sistem perizinan, tetapi juga sistem monitoring dan evaluasi dampaknya. Keterbukaan harus menyeluruh: tidak sekadar informasinya, namun juga akses atas dokumen berikut dengan peta-petanya. Kemudian yang terpenting bukan aturan atau kebijakan keterbukaannya, melainkan bagaimana sebuah badan publik mengimplementasikan keterbukaan atas data dan informasi tersebut kepada publik,”

Selain keterbukaan informasi, upaya mengatasi perubahan iklim global juga perlu diakselerasi dari sektor energi. Direktur Finansial dan Operasional Koaksi Indonesia, Nuly Nazlia, memfokuskan pentingnya komitmen dari Presiden dan Wakil presiden terpilih untuk mengakselerasi pencapaian target pemenuhan kebutuhan energi masyarakat Indonesia, dengan menjadikan energi terbarukan dan pemanfaatan energi secara efisien sebagai pilihan pertama perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia, berdasarkan potensi lokal, dengan didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

“Khusus mengenai kebijakan pemerintah terkait bahan bakar nabati sebagai bagian dari energi terbarukan, ke depan harus melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi yang terukur dari hulu ke hilir sehingga tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi semata tetapi juga mencakup kepentingan sosial dan lingkungan hidup,” kata Nuly. Ia juga menyatakan bahwa komitmen pada kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan juga harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik, serta penegakan hukum dan transisi berkeadilan dari energi fosil yang menekankan pada upaya pemulihan menyeluruh.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengimbau kedua pasang kandidat untuk: (i) mempertegas komitmennya dalam melanjutkan dan memperkuat baik kebijakan maupun program-program terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintahan sebelumnya, khususnya dalam hal penegakan hukum, pemulihan gambut, perbaikan tata kelola industri sawit, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, serta pencegahan korupsi; (ii) tidak melakukan rehabilitasi lahan dengan membangun hutan tanaman industri (HTI) dan berkomitmen menghentikan laju ekspansi perkebunan monokultur skala besar; (iii) mempertegas komitmennya dan bekerja keras dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, sebagaimana yang telah dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC); serta (iv) mempertegas komitmen phasing out energi fosil menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang tidak berbasis lahan, juga memastikan terjadinya transfer teknologi kepada masyarakat untuk dapat menggunakan EBT secara mandiri.

*****

Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id
0819-1519-1979

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id
0838-4227-2452
Catatan:
Siaran pers ini adalah edisi revisi. Madani meralat persentase isu lingkungan hidup dalam visi dan misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada paragraf kedua. Sebelumnya, kami menyatakan bahwa porsi lingkungan dalam dokumen visi dan misi Prabowo-Sandi hanya berkisar 18,9 persen, dengan rincian isu pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan hanya berkisar 11 persen, ketimpangan penguasaan lahan sebesar 6 persen, energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,5 persen. Sementara itu, isu Hak Asasi Manusia sebanyak 24 persen. Mohon maaf atas kekeliruan ini.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Analisis Dokumen Visi & Misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024

Analisis Dokumen Visi & Misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024

Pada awal Oktober 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada publik. Sebagai perwakilan masyarakat sipil, Yayasan Madani Berkelanjutan yang fokus menjembatani antarpihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk memperbaiki keadaan hutan dan gambut Indonesia, telah menyoroti dokumen visi dan misi keduanya secara kritis untuk memahami perspektif dan komitmen calon pemimpin bagi lingkungan hidup. Apa saja persoalan lingkungan yang telah maupun belum diakomodasi pada visi dan misi keduanya, serta komitmen seperti apa yang mesti mereka miliki untuk perbaikan kondisi lingkungan dan masyarakat secara menyeluruh?

Kajian ini memaparkan analisis terhadap dokumen visi-misi Jokowi-Ma’ruf terkait lingkungan hidup dengan fokus pada 5 isu utama yaitu pengelolaan hutan dan gambut secara berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum, perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, serta energi baru terbarukan (EBT). Studi ini mengidentifikasi poin-poin program aksi yang ditemukan dalam visi dan misi Jokowi dan Ma’ruf yang berkaitan dengan isu-isu tersebut.

Simak laporan selengkapnya dengan mengunduh di bawah ini.

Related Article

Jokowi-Ma’ruf Amin, Perkuat Komitmen Hutan, Gambut, dan Masyarakat Adat 2019-2024

Jokowi-Ma’ruf Amin, Perkuat Komitmen Hutan, Gambut, dan Masyarakat Adat 2019-2024

“Nawacita II tidak lagi menyebutkan target-target rinci penyelamatan hutan dan lahan gambut serta perlindungan hak-hak masyarakat adat.”

SIARAN PERS – Untuk disiarkan segera
Jakarta, 23 Oktober 2018

Enam puluh tiga persen (63%) daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan tutupan hutan alam mencapai 89,4 juta hektare atau 47,5 persen dari luas daratan Indonesia. Sementara itu, luas lahan gambut Indonesia yang kaya akan karbon mencapai 15 juta hektare. Sayangnya, selama 73 tahun Indonesia merdeka, hutan dan lahan gambut Indonesia belum dikelola dengan baik dan justru menjadi penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar negara ini (63 persen pada 2010 dan 47,8 persen pada 2016) akibat alih guna lahan, deforestasi dan Karhutla. Sementara itu, meskipun pernah menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi selama beberapa dekade, persentase kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional semakin lama semakin menurun. Di sisi lain, korupsi perizinan yang melemahkan tata kelola hutan dan lahan secara keseluruhan masih sangat marak baik di level pusat maupun daerah. Menurut Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, potensi uang suap Indonesia terkait perizinan dalam satu tahun mencapai Rp51 triliun, termasuk proses penilaian dan pengesahan analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL.

Di tengah kompleksnya permasalahan yang ada, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 membawa harapan sekaligus risiko bagi lingkungan hidup dan sumber daya alam Indonesia. Kuat atau tidaknya kepemimpinan politik Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 2019-2024 akan sedikit banyak mempengaruhi kondisi hutan dan lahan gambut. Pada tingkatan yang paling awal, kepemimpinan politik tersebut tercermin dalam visi, misi, dan program aksi yang diusung para kandidat sejak masa pemilihan.

Mengingat pentingnya komitmen para calon pemimpin bangsa, Yayasan Madani Berkelanjutan membedah dokumen Nawacita II yang dikeluarkan oleh Kandidat No. 1, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam kontes politik 2019 dari perspektif Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945, yaitu hak masyarakat Indonesia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik serta pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lima isu utama yang disoroti dalam dokumen ini adalah pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum dan korupsi, masyarakat adat, dan energi terbarukan.

Visi Misi Jokowi-Ma’ruf secara umum mendukung pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dengan 3 (tiga) program aksi dan 13 (tiga belas) butir kebijakan yang fokus pada kebijakan tata ruang yang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Dari 260 butir penjabaran program aksi visi misi Jokowi-Ma’ruf, isu terkait lingkungan hidup berkelanjutan hanya 20 persen, 17 persen di antaranya terkait pengelolaan hutan dan gambut, ketimpangan penguasaan lahan, dan penegakan hukum. Sementara itu, isu perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat serta energi baru terbarukan (EBT) hanya berkisar 3 persen. Dibandingkan Nawacita I, Nawacita II banyak menghilangkan target-target rinci dan spesifik terkait lingkungan hidup/perlindungan hutan dan gambut serta hak-hak masyarakat adat sementara penyelesaian konflik tenurial tidak lagi disebutkan secara eksplisit. Hanya butir-butir kebijakan tentang reforma agraria yang bertambah. Selain itu, meski isu pemberantasan korupsi disebutkan, korupsi SDA tidak disebutkan secara khusus.

Para pegiat dan pakar lingkungan hidup, energi terbarukan, hutan dan lahan gambut menyampaikan langkah bijak yang harus diambil oleh Presiden dan Wapres terpilih 2019-2024 nanti harus tercermin dalam visi-misi dan program aksi kandidat dalam Pilpres 2019.

Forest Watch Indonesia menekankan pentingnya Presiden terpilih untuk memperhatikan keterbukaan informasi perizinan, termasuk akses terhadap dokumen serta peta yang menyertainya. “Publik membutuhkan tidak hanya keterbukaan sistem perizinan, tetapi juga sistem pengawasan dan evaluasi dampaknya,” ujar Soelthon Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia. “Peraturan yang ada saat ini sudah cukup lengkap mengatur keterbukaan informasi, namun yang terpenting adalah bagaimana badan publik mengimplementasikan keterbukaan data dan informasi tersebut kepada publik.”

Sementara itu, Direktur Wetlands International Indonesia, I Nyoman Suryadiputra, mengutarakan lima langkah yang perlu dilakukan oleh Presiden terpilih untuk memperkuat perlindungan gambut, yakni (1) mewajibkan pemegang konsesi di lahan gambut untuk memetakan ulang keberadaan gambut di areal konsesinya dengan memuat luas dan ketebalan gambut, kondisi genangan, dan produktivitas lahan gambut; (2) menyiapkan peta jalan untuk mengeluarkan seluruh kegiatan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri (HTI) dari lahan gambut berbasis pengeringan/drainase; (3) menjalankan upaya rehabilitasi gambut yang berada di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), terutama pembasahan kembali, secara serentak dan segera oleh semua pihak dengan menerapkan sistem penghargaan dan sanksi (misal melalui pengurangan atau peningkatan nilai PBB); (4) menyiapkan peta jalan untuk mengatasi pengaruh perubahan iklim dan subsidensi di kawasan pesisir yang mengancam keberadaan gambut dan bakau karena mengancam bisnis, infrastruktur dan pemukiman di sekitarnya; (5) melakukan moratorium terhadap pemberian izin pembukaan bakau untuk sekurang-kurangnya lima tahun ke depan guna mempertahankan keberadaan dan meningkatkan luasan bakau serta menjadikan moratorium izin di lahan gambut dan hutan primer permanen dengan menetapkan wilayah moratorium sebagai kawasan lindung untuk selamanya.

Terkait energi baru terbarukan, Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia, Rebekka Angelyn, memfokuskan pentingnya komitmen dari Presiden dan Wakil presiden terpilih untuk mengakselerasi pencapaian target pemenuhan kebutuhan energi masyarakat Indonesia dengan menjadikan energi terbarukan dan pemanfaatan energi secara efisien sebagai pilihan pertama perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia, berdasarkan potensi lokal, dengan didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

“Khusus mengenai kebijakan pemerintah terkait bahan bakar nabati sebagai bagian dari energi terbarukan, ke depan harus melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi yang terukur dari hulu ke hilir sehingga tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi tetapi juga mencakup kepentingan sosial dan lingkungan hidup,” ujarnya.

“Komitmen pada kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan juga harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik, serta penegakan hukum dan transisi berkeadilan dari energi fosil yang menekankan pada upaya pemulihan menyeluruh,” tutupnya.

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, menekankan pentingnya pemberantasan korupsi sebagai titik ungkit penyelesaian berbagai masalah di atas. “Ada dua pokok masalah struktural yang terakumulasi dari masa lalu, yaitu fakta lapangan berbeda secara nyata dengan data pemerintah dan terjadinya konflik kepentingan para pengambil kebijakan,” ujar Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo. Untuk itu, pemerintah perlu meneropong fakta lapangan secara lebih detail agar visi-misi dan program aksinya tidak menjawab masalah yang salah. “Selain itu, pembenahan ukuran kinerja birokrasi, sistem insentif, dan keterbukaan informasi bagi publik menjadi sangat penting dan mendesak agar birokrasi mengatasi masalah substansi, bukan hanya administrasi,” ujarnya lagi.

Namun, pemberantasan korupsi harus menjadi landasan dan prasyarat bagi keberhasilan upaya-upaya lainnya. “Tanpa membenahi korupsi perizinan, upaya-upaya yang dilakukan seperti sertifikasi, verifikasi legalitas, maupun instrumen-instrumen CSR, moratorium, perhutanan sosial maupun reforma agraria ibarat pelaksanaan ‘minus malum’ atau second best. Bahkan, instrumen seperti one-map dapat terhenti karena keterbukaan informasi perizinan tidak mungkin bisa diwujudkan ketika masih terjadi korupsi perizinan,” tuturnya.

Siapapun pemimpin bangsa dalam lima tahun ke depan harus menjawab kelima permasalahan di atas melalui sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk KPK. “Kelima isu di atas adalah permasalahan lintas rezim pemerintahan. Oleh karena itu, berbagai upaya perbaikan yang telah dimulai oleh pemerintahan sebelumnya tidak boleh terputus, melainkan harus menjadi benchmark yang harus dilampaui oleh pemerintahan selanjutnya,” tutup Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

***Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id / +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan
anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id / +62 856-2118-997

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id / +62 838-4227-2452

Dapatkan siaran pers dan presentasi narasumber pada konferensi pers di bawah ini.

Related Article

id_IDID